LOGINLouis meneguk minumannya di sebuah klub malam itu. Pikirannya kusut, rasanya ia hampir gila setelah menjadi pria brengsek yang beristri dua. Bahkan, dalam mimpi pun, Louis tidak pernah membayangkan akan punya dua istri.
Louis mencintai Indira hingga ia tidak peduli sekalipun wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu divonis mandul. Tapi sialnya, ambisi Indira untuk punya anak demi mendapat warisan membuat semuanya kacau seperti ini. "Seharusnya sejak awal aku tegas dan menolak pernikahan ini!" geram Louis sambil kembali meneguk minumannya sampai tandas. Baru saja Louis akan memanggil pelayan untuk mengisi lagi gelasnya saat ia melihat seorang wanita yang familiar di meja sudut. Cahaya remang-remang membuat tatapannya tidak jelas, tapi entah mengapa Louis masih bisa mengenali wanita itu. Hanna. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria yang memberikan sebuah kartu padanya. Louis pun makin membelalak saat melihat pria itu memeluk dan mencium pelipis Hanna. "Indira benar-benar sudah salah memilih wanita murahan itu!" geram Louis lagi yang langsung melangkah mendekati Hanna. "Baru saja menikah tapi kau sudah selingkuh dariku, Hanna?" seloroh Louis penuh kebencian setelah kekasih Hanna pergi dari sana. Hanna melonjak kaget. Saat ia menoleh, ia pun mematung tidak percaya melihat Louis di tempat seperti ini. Penampilan pria itu kacau tidak rapi seperti biasanya, tapi tatapan pria itu masih sama tajamnya sampai membuat jantung Hanna memacu tidak karuan. "P-Pak Louis?" sapa Hanna terbata. "Kau terkejut karena aku memergokimu, hmm? Jadi ini pekerjaan sampinganmu selain menjadi asisten istriku? Merayu pria sampai mereka memberimu kartunya seperti barusan?" Hanna menahan napasnya sejenak. "Anda salah sangka, Pak. Tadi itu ...." "Aku tidak peduli siapa pria tadi, Hanna! Entah dosa apa yang sudah kulakukan sampai aku harus berurusan dengan wanita sepertimu! Tapi aku masih memberimu kesempatan!" Louis mempersempit jarak antara mereka dan langsung mencengkeram rahang Hanna sampai wajah wanita itu mendongak menatapnya. "Katakan pada Indira kau mau bercerai! Hentikan semua kegilaan ini lalu segera mengundurkan diri dari perusahaan!" Louis makin mendekatkan wajahnya. "Atau kau akan merasakan neraka buatanku karena sudah berani masuk ke dalam rumah tanggaku, Wanita Murahan!" Louis menatap Hanna sedikit lebih lama, sebelum ia melepaskan wajah Hanna dengan kasar dan pergi dari sana. Hanna yang masih syok pun hanya bisa menganga menatap punggung Louis dengan perasaan yang tidak karuan. Hanna menelan salivanya, tatapannya berkaca-kaca. Rasa sakit akibat penghinaan yang Louis lakukan di kamar pengantin mereka tadi saja masih membekas, tapi sekarang, Hanna sudah harus menghadapi penghinaan Louis yang lain. Air mata Hanna menetes tanpa sadar, tapi ia segera menghapusnya dan pergi dari sana. Namun, Hanna tidak punya tenaga lagi untuk kembali ke rumah sakit malam itu dan Hanna hanya terduduk lunglai di lantai kamarnya begitu lama. "Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menuruti Pak Louis saja demi ketenangan hidupku? Tapi bagaimana bisa tenang kalau sewaktu-waktu Gio harus berjuang antara hidup dan mati?" "Lagipula kau sudah menandatangani kontrak gila itu, Hanna! Tidak ada jalan kembali! Ya, tidak ada jalan kembali! Demi Gio!" Hanna menguatkan dirinya. Ia tidak mau ragu lagi dengan langkah yang sudah ia ambil, walaupun sepanjang tidurnya, air matanya tidak berhenti mengalir. * Hanna bangun terlambat keesokan harinya sampai ia begitu panik dan buru-buru berangkat ke kantor. Hanna pun langsung disambut oleh kemarahan Indira di ruang kerja bosnya itu. "Aku tidak membayarmu untuk gagal, Hanna!" "M-maafkan aku, Bu. Aku ...." "Aku tidak mau mendengar alasan! Kau sudah menandatangani kontrak itu! Aku akan memberikan uangnya setelah kau tidur dengan suamiku, jadi kalau kau berani melanggar kesepakatan ini, bukan hanya nyawa adikmu taruhannya, tapi aku juga akan membawa ini ke jalur hukum!" Lagi-lagi Hanna tertekan, tapi ia hanya bisa mengangguk pasrah. "Aku tidak akan lupa, Bu. Aku hanya ... aku hanya sedang memikirkan cara lain tanpa harus tidur bersama. Apa boleh kita menggunakan cara lain seperti bayi tabung, Bu? Mungkin ... Pak Louis jijik padaku." Hanna memberanikan dirinya sampai Indira tertawa kesal mendengarnya. "Kau sudah mulai berani mengaturku, hah? Aku tidak mau bayi tabung, aku mau yang alami dan harus cepat sebelum kau melewatkan masa suburmu!" Tentu saja Indira sudah mengajak Hanna memeriksakan kesuburannya sebelum tanggal pernikahan ditetapkan dan Indira menginginkan semuanya berjalan dengan cepat. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Hanna! Aku butuh keturunan segera sebelum ayahku mewariskan semuanya pada kakakku!" geram Indira lagi. Ayah Indira yang otoriter hanya akan mewariskan perusahaan pada anak yang bisa memberinya keturunan. Dan Indira tidak akan membiarkan kerja kerasnya selama ini dimiliki oleh orang lain. Indira pun menatap Hanna penuh rencana dan sebuah senyuman licik terbit di wajahnya. "Tapi jangan khawatir karena setelah merayu suamiku dengan piyama satin gagal, aku sudah menyiapkan rencana lain yang tidak mungkin gagal." Indira langsung mengeluarkan sebuah botol kecil obat dari dalam tasnya. "Ambil ini, Hanna!" Hanna mengernyit menatap botol kecil obat di tangan bosnya itu. Dengan ragu, Hanna menerimanya dan makin mengernyit melihat botol yang tidak ada label namanya sama sekali itu. "Apa ini, Bu?" "Itu obat yang dibutuhkan Louis untuk bisa membuatmu hamil." Hanna masih mengernyit, tidak yakin dengan maksud Indira. Namun, tidak lama kemudian, ia membelalak saat menyadari bahwa obat yang ia pegang ini pasti adalah obat perangsang. Jantung Hanna pun langsung memacu kencang. "Pada acara perusahaan besok, masukkan obat ini ke dalam minuman Louis dan lakukan apa yang harus kau lakukan, Hanna!" Indira menjeda ucapannya, sebelum ia kembali berbicara. "Tidurlah dengan suamiku dan pastikan kau segera hamil anaknya!" **"Welcome home, Baby Larry!" Spanduk bertuliskan "Welcome Home" dan hiasan balon-balon memenuhi rumah Tama dan Cassa saat mereka pulang membawa bayi mereka siang itu. "Selamat datang di rumah, Baby Larry!" pekik Hanna antusias. Gio dan kedua anak kembar Hanna pun ikut meloncat senang melihat bayi baru di keluarga mereka itu. Sedangkan anak-anak Nadine ikut bertepuk tangan sambil tertawa di gendongan baby sitter mereka. Tama dan Cassa pun tidak berhenti tertawa sambil memeluk satu persatu keluarga yang sudah datang ke rumahnya untuk menyambut kepulangan bayi mereka itu. Ibu Cassa sendiri menggendong cucunya dengan bangga dan dengan hati-hati. "Dia lucu sekali!" "Iya, dia tampan sekali!" puji semua orang di rumah. "Selama jangan menangis saja! Haha, kalau sudah menangis, semua orang akan langsung panik!" sahut Cassa sambil terkikik sendiri karena sejak lahir, suara Baby Larry memang sudah menggemparkan. Semua orang ikut tertawa mendengarnya dan Cassa pun akhirnya membawa Larry k
Beberapa bulan berlalu dan kandungan Cassa pun sudah memasuki bulan terakhirnya.Dokter mengatakan sewaktu-waktu bayi bisa lahir dan Cassa yang sudah mempersiapkan diri untuk melahirkan normal pun makin antusias. Sejak kehamilannya makin besar, Cassa malah makin aktif bekerja, makin aktif di media sosial namun cuti dari semua pekerjaannya menjadi BA dan bintang iklan. Cassa juga makin rajin berkunjung ke rumah Nadine untuk membantu merawat si kembar dan ke rumah Susan yang sudah melahirkan bayi perempuan duluan. Cassa begitu serius belajar untuk mengurus bayinya sendiri nanti. "Ini Aunty, Mimi! Kau gendut sekali!" seru Cassa yang begitu asik bermain dengan Mimi, bayi Refi dan Susan yang sudah hampir berumur empat bulan itu. Tubuh Mimi yang waktu lahir begitu kecil, sekarang sudah begitu gembul dan lucu.Cassa pun menggelitik ringan tubuh montok itu sampai Mimi terus membuka mulutnya seolah tertawa. "Haha, dia lucu sekali, Susan!" "Dia gembul karena suka minum susu.""Bukankah it
Cassa tidak berhenti tersenyum saat ia membersihkan diri di kamar mandi rumahnya malam itu. Setelah pulang dari rumah Hanna dan memikirkan kemungkinan dirinya hamil, ia terus mengusap perut ratanya dengan perasaan yang berbunga-bunga. "Apakah benar aku hamil? Apa kau ada di dalam perut Mama, anak Mama sayang?" Mendadak Cassa makin antusias membayangkan dirinya akan dipanggil Mama oleh anak yang mirip Tama. Tama yang masuk ke kamar mandi pun langsung memeluk mesra istrinya itu. "Apa yang kau lakukan, Sayang?" "Haha, berandai-andai kalau aku memang hamil. Apa kau sudah siap menjadi Papa, Tama?" "Sangat siap. Aku sudah siap sebelum aku memutuskan menikah. Bagaimana denganmu sendiri, hmm?" "Apalagi aku. Haha, aku tidak sabar sekali menantikan punya anak dari rahimku sendiri, anak yang mirip denganmu." Tama tergelak. "Haha, besok kita langsung ke dokter saja ya." "Eh, apa tidak perlu memakai tespek dulu? Tapi aku baru ingat kalau aku memang belum pernah haid lagi sejak bulan madu.
Tama dan Cassa akhirnya berangkat berbulan madu satu minggu kemudian. Mereka akan berkeliling Eropa dan Cassa begitu antusias membuat story tentang tempat-tempat indah yang mereka kunjungi. "Ah, ini indah sekali, Tama! Aku sudah pergi mengunjungi semuanya, tapi bersamamu, semua terasa makin indah." "Haha, dibanding aku, kau yang lebih sering menggombal, Cassa!" "Hei, aku tidak pernah gombal, aku ini adalah manusia yang paling jujur dan tidak bisa menyembunyikan perasaanku. Aku terlalu bahagia bersamamu, Sayang."Tama tergelak dan ia pun memeluk istrinya gemas. Kalau biasanya Tama paling tidak suka difoto, tapi bersama Cassa, Tama pun pasrah. Istrinya itu suka sekali berfoto dan Cassa selalu fotogenik. Mau foto pose apa pun, Cassa selalu terlihat cantik. Begitu banyak foto yang mereka ambil di tempat yang berbeda-beda dan mereka pun tidak berarti berbagi kemesraan juga. Di setiap toko souvenir yang mereka kunjungi, Cassa selalu memborong banyak hadiah untuk keluarganya maupun ang
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Leonard and Julianna" terbentang di pinggir kolam renang rumah Samuel dan Nadine hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang. Selain itu, banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu.Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Nadine lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan yang diberi nama Leonard Sagala dan Julianna Sagala itu benar-benar menambah kebahagiaan semua orang. Cucu kembar Xander dan Sena pun bertambah. Dan mereka tidak berhenti bersyukur untuk itu. Samuel sendiri akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua baby sitter untuk bayi kembar mereka, tapi Samuel ingin tidur dengan bayi mereka dan menemani istrinya. Samuel berusaha menjadi suami dan Papa siaga, mengurus istri dan kedua bayinya. Samuel selalu andil dalam apa pun itu yang berhu
Suasana bahagia masih melingkupi semua orang sejak Nadine melahirkan. Nadine dan si kembar masih harus dirawat di rumah sakit, tapi anggota keluarga tidak hentinya menjenguk ke sana, tidak terkecuali pengantin baru Tama dan Cassa yang baru bisa datang lagi beberapa hari kemudian. "Aku gemas sekali ingin menggendong mereka, Tama," seru Cassa saat mereka sudah di mobil. "Sabar, Sayang. Mereka masih terlalu kecil, nanti kalau sudah pulang ke rumah baru kita bisa menggendongnya ya." "Iya, tapi ayo cepat, Tama!" "Cepat apa?" "Cepat buat anak kita sendiri," goda Cassa gemas. Tama tergelak dan langsung menyentil hidung istrinya itu. "Kau nakal sekali, Cassa! Tapi baiklah, aku akan menuruti maumu! Ayo kita segera pulang!" seru Tama yang langsung melajukan mobilnya sampai Cassa terus tergelak. Setelah menikah, Tama dan Cassa masih tinggal di hotel sembari menjamu tamu mereka. Lalu mereka sempat menginap di rumah orang tua Cassa sebagai syarat dan mengikuti tradisi, sebelum Cassa ikut ti







