Hanna melangkahkan kakinya dengan begitu berat keluar dari rumah Louis karena pria itu mengusirnya.
Dengan mempertahankan harga dirinya yang tersisa, Hanna pun langsung pergi dari sana dan menuju ke rumah sakit, tempat surga dunianya dirawat di sana. Hanna menghapus air matanya dan langsung menunjukkan topeng tawanya, sebelum ia masuk ke dalam kamar. "Tok tok, permisi! Apa ada orang?" Hanna melebarkan tawanya seolah tidak terjadi apa-apa. Anak laki-laki bernama Gio yang sedang duduk di ranjangnya pun langsung tertawa sumringah melihat kakaknya itu. "Kak Hanna!" pekik Gio senang. Wajah pucatnya berseri-seri melihat Hanna dan Gio langsung menunjukkan mainan barunya, sebuah pesawat terbang mini. "Suster kasi Gio ini! Pesawatnya bisa terbang lho!" seru Gio sambil menggerakkan pesawat itu berputar-putar dengan tangannya. "Itu mainan pasien yang tertinggal kemarin, tapi pasiennya sudah sembuh dan pulang," sahut sang suster yang menemani Gio di sana. "Ah, iya, terima kasih ya, Suster." "Sama-sama. Permisi, Suster keluar dulu ya, Anak Tampan." "Dah, Suster!" Gio melambaikan tangannya dan kembali sibuk dengan pesawatnya. Hanna pun tersenyum sambil meletakkan tas tangannya di meja kecil di samping ranjang Gio, lalu ia duduk di samping adiknya itu. "Bagaimana rasanya hari ini, Sayang? Bagian mana yang masih tidak enak?" Hanna memeluk dan mengusap sayang dada Gio, tempat jantungnya berada. Gio memiliki kelainan jantung sejak kecil. Hanya saja, kelainan itu terlambat disadari karena perawatan klinik tempat melahirkan yang terbatas dulu. Gio sendiri adalah janin yang tidak diinginkan. Hanna sudah berumur lima belas tahun saat ibu Hanna hamil Gio dan ibunya berusaha keras menggugurkannya. Berbagai obat-obatan diminum karena ekonomi mereka tidak cukup kuat untuk menghidupi satu anak lagi. Namun, Tuhan berkehendak agar Gio tetap lahir. Satu tahun setelah melahirkan, ibu Hanna pun berpulang menyusul ayah mereka yang sudah berpulang duluan. Hanna remaja pun dipaksa dewasa demi menghidupi adik kecilnya saat kakak yang ia miliki sama sekali tidak bisa diandalkan. "Gio sudah tidak sakit, Kak. Gio cuma capek sedikit." Tatapan Hanna goyah mendengarnya. Rasa lelah berlebih itu menunjukkan kondisi Gio yang tidak baik-baik saja. "Kalau Gio lelah, Gio tidur saja ya." "Tapi Kak Hanna jangan ke mana-mana ya. Kak Hanna temani Gio di sini." "Iya, Sayang. Kakak akan menemani Gio, tapi setelah Kakak bicara dengan suster dulu ya. Kakak akan keluar sebentar, tapi Kakak tidak akan lama. Gio main pesawat dulu." "Oke!" Hanna pun tersenyum dan segera keluar untuk bicara dengan suster. Namun, saat Hanna keluar, seorang pria malah masuk ke kamar Gio. "Kak Tama?" sapa Gio yang mengenali pria bertubuh besar itu sebagai kakak pertama mereka. Mereka tiga bersaudara. "Ck, ternyata benar kau masuk rumah sakit lagi, merepotkan sekali! Mana Hanna?" Gio mengerut mendengar nada kasar Tama. "Kak Hanna sedang bicara sama suster di luar." "Benarkah? Baiklah, aku keluar saja!" Baru saja Tama akan melangkah keluar, tapi ia berhenti sesaat melihat tas Hanna di sana. Sambil menyeringai, Tama pun membuka tas itu dan langsung mengeluarkan dompet Hanna. "Eh, Kak Tama mau apa? Itu punya Kak Hanna!" "Diam kau, Bocah! Aku hanya minta uang pada kakakmu yang pelit itu!" Tama segera mengambil uang tunai yang cukup banyak dari dompet Hanna karena memang Hanna baru saja mengambil uang. Tidak hanya itu, tapi Tama juga mengambil kartu ATM Hanna lalu menciumnya dengan girang. "Ini yang aku butuhkan!" "Jangan, Kak! Nanti Kak Hanna marah! Itu buat bayar rumah sakit Gio!" Gio yang masih lemas berusaha menggapai Tama, tapi kakaknya itu bergerak lebih cepat. "Kau anak kecil tahu apa? Kalau aku tidak punya uang, aku akan mati! Kau mau kakakmu ini mati? Sudah tidur saja sana!" geram Tama yang langsung berniat keluar dari kamar. "Jangan! Kak Tama! Kak Tama! Akkhh!" Buk! Terdengar suara begitu keras karena Gio terjatuh dari ranjang saat anak itu berusaha meraih Tama. Suara teriakan dan suara jatuh pun membuat Hanna dan suster kaget. Mereka segera menoleh ke arah kamar Gio dan Hanna melihat Tama di sana. "Tama! Apa yang kau lakukan?" Tama yang melihat Hanna langsung berlari ke arah lain dan kabur. "Tama! Mengapa kau kabur? Kau mendadak muncul dan mendadak kabur begitu saja! Tama!" pekik Hanna. Namun, Hanna sudah tidak fokus karena suster berteriak mengatakan Gio jatuh. Jantung Hanna pun memacu begitu kencang dan Hanna langsung menyusul ke kamar Gio untuk melihat adiknya yang tampak merintih kesakitan itu. "Gio! Sayang, Gio tidak apa? Apa yang terjadi?" "Gio mau kejar Kak Tama! Kak Tama ambil uang di dompet kakak." "A-apa? Ambil uang?" Sontak Hanna langsung menoleh ke arah tasnya yang sudah terbuka. Dengan cepat, Hanna membuka dompetnya dan semua uang tunainya raib. Bukan hanya uang tunai, tapi kartu ATM-nya juga. "Uangku ... uangku!" pekik Hanna tertahan. Napas Hanna tersengal. Semua uang tabungannya ada di kartu itu. Hanna mau memakainya untuk biaya rumah sakit karena Indira belum memberikan satu peser pun. Indira baru akan memberikan bayaran saat Hanna berhasil tidur dengan Louis. "Kakak akan mengejar Kak Tama!" Hanna kemudian menatap ke arah perawat, "Tolong, Suster! Tolong pastikan adikku baik-baik saja, aku ... aku harus pergi sebentar!" Dengan air mata yang berderai, Hanna berlari seperti orang gila menyusuri koridor rumah sakit sampai ke parkiran. Hanna mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari sosok Tama. Alih-alih bertanggung jawab sebagai kakak pertama dan pengganti orang tua, Tama malah hanya bisa menambah beban hidup Hanna. Tama pengangguran dan hobi berjudi. Tama pun mempunyai banyak hutang. Ditambah Tama gemar menjual investasi dan koin-koin tidak jelas yang bukannya untung malah membuatnya dikejar-kejar banyak orang yang mengalami kerugian karena dirinya. Air mata Hanna pun mengucur makin deras membayangkan setiap ketakutannya saat pintu rumahnya diketuk para penagih hutang. "TAMAAA!!!" teriak Hanna begitu pilu. Bahkan, demi uang, Hanna harus menjual harga dirinya menjadi ibu pengganti, tapi Tama malah begitu mudah mengambil semua yang tersisa. Dada Hanna sesak. Sungguh, hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. **"Welcome home, Baby Larry!" Spanduk bertuliskan "Welcome Home" dan hiasan balon-balon memenuhi rumah Tama dan Cassa saat mereka pulang membawa bayi mereka siang itu. "Selamat datang di rumah, Baby Larry!" pekik Hanna antusias. Gio dan kedua anak kembar Hanna pun ikut meloncat senang melihat bayi baru di keluarga mereka itu. Sedangkan anak-anak Nadine ikut bertepuk tangan sambil tertawa di gendongan baby sitter mereka. Tama dan Cassa pun tidak berhenti tertawa sambil memeluk satu persatu keluarga yang sudah datang ke rumahnya untuk menyambut kepulangan bayi mereka itu. Ibu Cassa sendiri menggendong cucunya dengan bangga dan dengan hati-hati. "Dia lucu sekali!" "Iya, dia tampan sekali!" puji semua orang di rumah. "Selama jangan menangis saja! Haha, kalau sudah menangis, semua orang akan langsung panik!" sahut Cassa sambil terkikik sendiri karena sejak lahir, suara Baby Larry memang sudah menggemparkan. Semua orang ikut tertawa mendengarnya dan Cassa pun akhirnya membawa Larry k
Beberapa bulan berlalu dan kandungan Cassa pun sudah memasuki bulan terakhirnya.Dokter mengatakan sewaktu-waktu bayi bisa lahir dan Cassa yang sudah mempersiapkan diri untuk melahirkan normal pun makin antusias. Sejak kehamilannya makin besar, Cassa malah makin aktif bekerja, makin aktif di media sosial namun cuti dari semua pekerjaannya menjadi BA dan bintang iklan. Cassa juga makin rajin berkunjung ke rumah Nadine untuk membantu merawat si kembar dan ke rumah Susan yang sudah melahirkan bayi perempuan duluan. Cassa begitu serius belajar untuk mengurus bayinya sendiri nanti. "Ini Aunty, Mimi! Kau gendut sekali!" seru Cassa yang begitu asik bermain dengan Mimi, bayi Refi dan Susan yang sudah hampir berumur empat bulan itu. Tubuh Mimi yang waktu lahir begitu kecil, sekarang sudah begitu gembul dan lucu.Cassa pun menggelitik ringan tubuh montok itu sampai Mimi terus membuka mulutnya seolah tertawa. "Haha, dia lucu sekali, Susan!" "Dia gembul karena suka minum susu.""Bukankah it
Cassa tidak berhenti tersenyum saat ia membersihkan diri di kamar mandi rumahnya malam itu. Setelah pulang dari rumah Hanna dan memikirkan kemungkinan dirinya hamil, ia terus mengusap perut ratanya dengan perasaan yang berbunga-bunga. "Apakah benar aku hamil? Apa kau ada di dalam perut Mama, anak Mama sayang?" Mendadak Cassa makin antusias membayangkan dirinya akan dipanggil Mama oleh anak yang mirip Tama. Tama yang masuk ke kamar mandi pun langsung memeluk mesra istrinya itu. "Apa yang kau lakukan, Sayang?" "Haha, berandai-andai kalau aku memang hamil. Apa kau sudah siap menjadi Papa, Tama?" "Sangat siap. Aku sudah siap sebelum aku memutuskan menikah. Bagaimana denganmu sendiri, hmm?" "Apalagi aku. Haha, aku tidak sabar sekali menantikan punya anak dari rahimku sendiri, anak yang mirip denganmu." Tama tergelak. "Haha, besok kita langsung ke dokter saja ya." "Eh, apa tidak perlu memakai tespek dulu? Tapi aku baru ingat kalau aku memang belum pernah haid lagi sejak bulan madu.
Tama dan Cassa akhirnya berangkat berbulan madu satu minggu kemudian. Mereka akan berkeliling Eropa dan Cassa begitu antusias membuat story tentang tempat-tempat indah yang mereka kunjungi. "Ah, ini indah sekali, Tama! Aku sudah pergi mengunjungi semuanya, tapi bersamamu, semua terasa makin indah." "Haha, dibanding aku, kau yang lebih sering menggombal, Cassa!" "Hei, aku tidak pernah gombal, aku ini adalah manusia yang paling jujur dan tidak bisa menyembunyikan perasaanku. Aku terlalu bahagia bersamamu, Sayang."Tama tergelak dan ia pun memeluk istrinya gemas. Kalau biasanya Tama paling tidak suka difoto, tapi bersama Cassa, Tama pun pasrah. Istrinya itu suka sekali berfoto dan Cassa selalu fotogenik. Mau foto pose apa pun, Cassa selalu terlihat cantik. Begitu banyak foto yang mereka ambil di tempat yang berbeda-beda dan mereka pun tidak berarti berbagi kemesraan juga. Di setiap toko souvenir yang mereka kunjungi, Cassa selalu memborong banyak hadiah untuk keluarganya maupun ang
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Leonard and Julianna" terbentang di pinggir kolam renang rumah Samuel dan Nadine hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang. Selain itu, banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu.Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Nadine lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan yang diberi nama Leonard Sagala dan Julianna Sagala itu benar-benar menambah kebahagiaan semua orang. Cucu kembar Xander dan Sena pun bertambah. Dan mereka tidak berhenti bersyukur untuk itu. Samuel sendiri akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua baby sitter untuk bayi kembar mereka, tapi Samuel ingin tidur dengan bayi mereka dan menemani istrinya. Samuel berusaha menjadi suami dan Papa siaga, mengurus istri dan kedua bayinya. Samuel selalu andil dalam apa pun itu yang berhu
Suasana bahagia masih melingkupi semua orang sejak Nadine melahirkan. Nadine dan si kembar masih harus dirawat di rumah sakit, tapi anggota keluarga tidak hentinya menjenguk ke sana, tidak terkecuali pengantin baru Tama dan Cassa yang baru bisa datang lagi beberapa hari kemudian. "Aku gemas sekali ingin menggendong mereka, Tama," seru Cassa saat mereka sudah di mobil. "Sabar, Sayang. Mereka masih terlalu kecil, nanti kalau sudah pulang ke rumah baru kita bisa menggendongnya ya." "Iya, tapi ayo cepat, Tama!" "Cepat apa?" "Cepat buat anak kita sendiri," goda Cassa gemas. Tama tergelak dan langsung menyentil hidung istrinya itu. "Kau nakal sekali, Cassa! Tapi baiklah, aku akan menuruti maumu! Ayo kita segera pulang!" seru Tama yang langsung melajukan mobilnya sampai Cassa terus tergelak. Setelah menikah, Tama dan Cassa masih tinggal di hotel sembari menjamu tamu mereka. Lalu mereka sempat menginap di rumah orang tua Cassa sebagai syarat dan mengikuti tradisi, sebelum Cassa ikut ti