Tama memimpikan Elva malam itu. Asisten cantiknya itu berdiri di depannya tanpa kacamata, tanpa rambut keriting, dan tanpa bintik-bintik di wajahnya. Elva tersenyum padanya sampai membuat jantung Tama berdebar begitu kencang. Wanita itu terus mendekat dan mendekat, lalu memeluk leher Tama. Jantung Tama pun makin berdebar kencang saat wanita itu memajukan bibirnya. Elva akan menciumnya. Tama harus menerima atau menolak. Di satu sisi, Tama bosnya Elva. Tapi di sisi lain, Tama juga menginginkannya. Tama tidak bisa berpikir, tapi ia memejamkan matanya. Persetan dengan bos dan asisten, Tama ingin mencium Elva juga. Tama pun memejamkan matanya dan akhirnya memajukan bibirnya lalu mereka berciuman begitu heboh. "Kak Tama! Kak Tama! Mengapa menciumi guling? Kak Tama!" Suara teriakan Gio langsung membuat Tama tersentak kaget dan membelalak. "Apa? Apa? Ada kebakaran? Mengapa harus berteriak?" omel Tama kaget. "Apa yang kau lakukan di sini, Anak Kecil?" tanyanya lagi saat melihat Gio ber
Sejak makan siang berdua, Tama benar-benar melihat Elva dengan cara berbeda. Ia sudah tidak pernah mengatai asistennya itu jelek. Malahan, tatapan Tama tidak pernah berhenti mencari Elva sepanjang hari. Terkadang saat rapat, tatapan mereka akan diam-diam bertemu. Saat sedang makan siang dengan klien pun, Tama selalu berusaha mencuri pandang pada Elva. Bahkan, tidak terhitung berapa kali Tama membuat alasan agar ia bisa berdua saja dengan asistennya itu. Begitu juga Elva yang makin jatuh cinta pada Tama dan mulai lebih berani menunjukkan rasa tertariknya. Seperti sore itu, saat Elva mengetuk pintu ruangan Tama untuk mengantarkan kopi. "Selamat sore, Pak. Aku mengantarkan kopi untuk Anda." Tama sampai kaget sendiri. "Mengapa kau yang mengantarkan kopinya ke sini?" Elva mengulum senyumnya tersipu. "Kebetulan aku melihat office girl sedang sibuk. Karena itu, aku yang membuatkan kopinya.""Bahkan kau juga yang membuat kopinya?" Tama menganga tidak percaya, tapi ia benar-benar ingin
"Bagaimana kalau kita makan sushi, Pak? Sushi di sana enak sekali!" Elva menunjuk ke sebuah restoran sushi.Setelah tidak fokus sepanjang hari, akhirnya siang hari tiba, waktu makan siang bersama antara Tama dan Elva. Tadinya Tama berpikir ia tidak fokus karena ia ingin membatalkan makan siang ini. Namun, nyatanya saat jam makan siang tiba, ia mendadak antusias. Mungkin alam bawah sadarnya menantikan makan siang absurd ini. Tama berusaha bersikap biasa saja, tapi Elva tidak bisa menyembunyikan rasa girangnya. Mereka melangkah beriringan seperti bos dan asisten pada umumnya dan mereka tidak banyak mengobrol di sepanjang perjalanan, walaupun keduanya sama-sama antusias. "Ah, kau suka makan sushi ya?" tanya Tama malas. Elva mengerjapkan mata mendengar nada Tama. "Apa Anda tidak suka makan sushi? Kalau begitu, kita cari tempat lain saja ...." "Tidak usah! Makan sushi juga tidak apa. Lagipula kau yang traktir kan? Jadi kau yang memilih tempatnya." "Eh, jangan begitu! Kita kan makan b
"Dia bilang aku cantik, Dera! Dia bilang Elva cantik!" Cassa memekik kegirangan begitu ia tiba di rumah sampai lagi-lagi Dera menggeleng tidak percaya. "Tunggu dulu, Cassa! Kau baru saja hampir dilecehkan oleh seorang fans fanatik yang tidak jelas, tapi kau malah bersikap biasa saja dan tersipu karena dibilang cantik? Ini serius, Cassa!" "Aku juga serius, Dera! Yang penting orang itu sudah diamankan dan aku yakin Tama akan menjagaku," sahut Elva sambil tersenyum. Dera memutar bola matanya. "Oh, sepertinya sekarang tidak ada yang penting bagimu selain Tama. Tapi semoga kejadian horor tadi benar-benar tidak terulang lagi. Itu mengerikan sekali!" "Jujur saja, itu memang mengerikan. Dan ya, semoga tidak terulang lagi! Aku siap-siap live dulu!" Cassa terus terkikik dan malam itu, ia kembali live dengan sumringah lagi sambil terus memikirkan pertemuan dengan Tama besok. *Tama pasti sudah gila saat ia melirik ke meja Elva pagi itu saat ia baru tiba di kantor. Sejak semalam menolong E
Jantung Tama masih berdebar tidak karuan karena Elva. Ia tidak ingin terus menatap, tapi sialnya, ia tidak bisa berhenti menatap. Sampai tanpa sengaja, Elva yang sudah selesai membersihkan darah di bibir Tama pun mendongak menatap bosnya itu. Tatapan mereka bertemu dan suasana kembali hening. Jantung Elva juga menderu kencang menatap Tama dari jarak dekat. Kali ini mereka saling menatap dengan rasa kagum yang terpancar dalam tatapan masing-masing. Elva sama sekali belum sadar kalau kacamatanya sudah jatuh lagi dan saat ini, wajahnya adalah wajah cantik Cassa. Tatapan mereka bertaut begitu lama dan Elva bersumpah ia melihat Tama melirik bibirnya, mungkin Tama akan menciumnya. Mungkin Tama akhirnya tertarik padanya. Elva rasanya sudah ingin berjinjit agresif dan mencium pria itu duluan saking gemasnya. Namun, untunglah suara ponsel berbunyi membuatnya tidak melakukannya. Tama tersentak duluan dan langsung mengedarkan pandangannya mencari sumber suara. "Itu ... ponsel siapa? Ada ya
Tama masih mematung melihat mobil Elva yang bergoyang dengan pintu belakang mobil yang terbuka. Untuk sesaat, ia membeku dengan banyak pikiran di otaknya, sampai akhirnya ia sadar. "Sial, apa yang terjadi, Refi? Apa dia membawa pria dan melakukan itu di mobilnya?" "Apa yang kau pikirkan, Tama! Tidak mungkin Elva melakukan itu! Ayo ke sana dan lihat!" Refi segera berlari, Tama tidak punya pilihan lain selain mengikutinya dan saat mereka makin dekat, suara teriakan Elva mulai terdengar. Tama membelalak dan mempercepat larinya, ia pun langsung emosi melihat seorang pria berpakaian serba hitam yang sedang menindih Elva di jok belakang mobil. Sementara itu, Elva sudah bercucuran air mata saat pria tadi memaksa menciumnya. Elva bukan wanita lemah, tapi saat sedang tidak berdaya, ia tidak tahu lagi harus melakukan apa sampai ia mulai menangis. Elva yang terus berteriak membuat pria itu kembali membungkam bibirnya sampai Elva sesak napas. Susah payah, Elva berusaha mendorong dan menenda