"Selamat pagi, ini kiriman makanan dari Bu Sena." Hanna membuka pintunya pagi itu dan ia begitu terkejut mendapati Sena mengirim begitu banyak macam makanan. "Ya ampun, dari Bu Sena?" "Iya, makanan sehat untuk ibu hamil.""Itu ... terima kasih." Hanna menatap makanan di mejanya sampai tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya menggoreng telur untuk sarapan pagi ini, tapi ia malah mendapat kiriman begitu banyak. "Wah, banyak makanan!" pekik Gio yang langsung menyantap makanannya. Hanna pun langsung menelepon Sena untuk berterima kasih. "Jangan sungkan, Hanna! Tante pikir kau pasti tidak sempat memasak. Maaf, Tante tidak sempat ke sana jadi Tante hanya mengirim makanan saja." "Ah, tidak apa, Tante. Kebetulan ada acara di sekolah Gio, aku akan ada di sana sampai siang nanti.""Oh, begitu ya? Kalau begitu, makanlah dulu sebelum pergi. Perut harus kenyang. Jangan lupa minum vitaminnya. Dan jangan terlalu lelah. Jangan memakai sepatu hak tinggi juga ya, pakai flat shoes saja." Sena berp
Louis melajukan mobilnya pulang ke rumahnya setelah lelah menunggu Hanna selama hampir tiga jam. Louis sampai sempat tertidur di mobilnya, tapi Hanna belum pulang juga. Louis ingin mencari Hanna, tapi mendadak rasa lelah membuatnya ingin pulang. Selain itu, ada sebuah desakan yang menyuruhnya untuk pulang ke rumah dulu untuk mencari Indira. "Kalau aku bertemu Indira duluan, bukankah aku akan makin sulit bertemu Hanna lagi? Tapi aku harus tetap pulang. Aku harus bicara dengan Indira, aku tidak bisa seperti ini lagi dan terus mengabaikan Hanna yang sedang hamil anakku." Louis mengembuskan napas panjangnya dan akhirnya pulang ke rumah yang terlihat sepi seperti biasanya. Pintu gerbang sedang terbuka saat itu karena security sedang menyiram jalan. Mobil Louis masuk dengan mulus tanpa ada suara berlebihan dan Louis langsung mengernyit melihat mobil asing di sana. "Siapa yang datang, Pak?" tanya Louis pada security. "Ada teman Bu Indira, Pak." "Teman Bu Indira? Baiklah." Louis turun
Saat sebuah kejahatan dan kebohongan tidak kunjung terungkap, bukan berarti kejahatan selalu menang, melainkan hanya menunggu waktu yang tepat untuk terbongkar. Begitulah saat semua kebohongan dan rekayasa Indira akhirnya terdengar, bukan oleh orang lain, tapi oleh Louis langsung. Louis sama sekali tidak bisa mencegah air matanya yang meluncur begitu saja. Amarah berkumpul di dadanya, tapi ternyata rasa sedihnya tetap mendominasi sampai Louis menangis. Sungguh, Louis pernah merasa sangat mencintai Indira, tapi detik ini, ia tidak tahu makhluk apa yang pernah dicintainya itu. Dengan penuh emosi, Louis pun membuka pintu kamar itu dengan kasar. Brak!Dan pemandangan yang ia lihat membuat darahnya makin mendidih. Indira dan Ruben sedang berdiri berpelukan. Leher Indira mendongak dan Ruben sedang membenamkan wajah ke leher wanita itu. Sontak keduanya membelalak kaget sampai Indira langsung mendorong Ruben menjauh. "L-Louis?" lirih Indira dengan mata yang membelalak begitu lebar. "K
"Hanna!" Martin melambaikan tangannya pada Hanna di depan sekolah Gio. Martin sempat menelepon Hanna tadi dan Hanna langsung mengangkat telepon dari temannya itu. Hanna sengaja tidak membawa motornya karena ia takut guncangan di jalan akan berbahaya bagi janinnya, dan untungnya, Martin malah menjemput mereka. Hanna sudah pucat kelelahan, walaupun acara di sekolah Gio bukan sepanjang hari. "Itu Uncle Dokter!" pekik Gio yang berlari duluan menghampiri Martin. Sementara Hanna hanya tersenyum lemah sambil melangkah perlahan menghampiri mereka. "Hai, Gio! Bagaimana acaranya?" tanya Martin sambil mengacak rambut Gio. "Lancar! Ada video di ponsel Kak Hanna." "Benarkah itu? Nanti Uncle Dokter lihat ya! Tapi kau kenapa, Hanna? Kau tidak enak badan?" Martin sama sekali belum tahu tentang kehamilan Hanna karena Martin belum bertemu Hanna lagi sejak kemarin. "Kak Hanna mual terus, Uncle. Terus Kak Hanna juga tidur terus," celetuk Gio. "Ah, tidak. Aku tidak apa," dusta Hanna yang masih
Louis menyetir mobilnya dengan air mata yang masih berlinang. Louis langsung pergi meninggalkan Indira tadi tanpa peduli lagi kalau Indira memanggil dan mengejarnya. "Akhirnya dia mengejar aku saat semuanya sudah terlambat! Sial! Sial!" geram Louis sambil terus memukul setirnya. Perasaan Louis sangat tidak karuan. Ia tidak bisa berpikir. Hatinya jauh lebih hancur daripada yang bisa ia jelaskan. Rasa lelah di tubuhnya membuat kepalanya terasa mau pecah dan air matanya tidak bisa berhenti mengalir. "Sakit sekali, Indira! Sial!!! Ruben brengsek! Semua brengsek!" teriak Louis. Ia terus menangis dan menggeram, sebelum akhirnya ia kembali mengingat Hanna-nya. "Karena aku, kau harus begitu menderita, Hanna. Dipermainkan oleh Indira dan difitnah. Maafkan aku! Maafkan aku!" Bayangan Hanna-nya yang menangis muncul di otak Louis sampai akhirnya Louis pun memutar balik mobilnya dan melajukannya ke rumah Hanna. Bahkan, kali ini, Louis akan menunggu sampai kapan pun, yang penting Hanna mau me
Suasana membeku sesaat. Hanna mematung di tempatnya. Untuk sesaat, ia tidak mau peduli apa pun yang Louis katakan, tapi ada sisi hatinya yang bertanya-tanya apa maksud Louis. Sementara otak Martin berpikir keras, berusaha memahami maksud Louis, tapi ia juga tidak berkata apa pun. "A-apa maksudmu ... kau tidak pernah menandatangani surat cerai itu?" bisik Hanna, suaranya gemetar.Louis mengangguk, napasnya tersengal, suaranya pecah. "Demi Tuhan, aku tidak pernah menandatangani surat cerai apa pun, Hanna! Bahkan, mengurus surat cerai saja tidak pernah!" "Apa? Tapi surat itu jelas adalah surat pernyataan cerai dan tanda tangan itu adalah tanda tanganmu, Louis! Bahkan, di cek itu juga tanda tanganmu ...." "Sial! Cek apa, Hanna? Aku bersumpah aku tidak pernah menandatangani apa pun untukmu selama ini, selain pembelian rumah ini kembali dari para rentenir itu! Aku bersumpah, Hanna! Aku tidak akan datang ke sini seperti ini kalau aku berniat menceraikanmu kan? Aku sama sekali tidak per
Louis akhirnya memilih pulang ke rumahnya setelah pembicaraan dengan Martin, bukan untuk berdamai dengan Indira, tapi untuk mencari tahu tentang surat cerai dan cek yang Hanna bilang tadi. Indira sendiri hampir gila sejak Louis pergi tadi, walaupun Indira terlalu syok untuk mengejar Louis, ia tidak bisa berpikir. Ruben ingin menenangkannya, tapi Indira mengusirnya dengan kasar. "Pergi kau, Ruben! Pergi! Ini semua karena kau! Kau yang sudah membuat semuanya kacau seperti ini! Siapa yang menyuruhmu datang ke rumahku, hah? Selama ini kita selalu melakukan hal yang aman di luar rumah, mengapa kau harus datang ke sini?" "Aku merindukanmu, Indira! Kau juga bilang Louis baru pulang minggu depan!" "Sial! Jangan membela diri, Ruben! Aku sudah bilang padamu jangan bertemu dulu selama aku belum menyesuaikan urusanku! Sial! Brengsek semua! Pergi dari hidupku, Ruben! Pergi dan jangan pernah menemuiku lagi!" usir Indira dengan kasar. Ruben tidak punya pilihan selain pergi, walaupun dengan pera
"Aku akan menceraikan Indira." Louis akhirnya pulang ke rumah orang tuanya. Ya, tempat yang paling nyaman adalah keluarga. Saat Louis sedang punya masalah dengan Indira, sebisa mungkin Louis tidak mencari keluarganya karena ia tidak ingin membebani mereka. Louis melarikan diri dengan alkohol dan terus bersikap baik-baik saja. Namun, saat masalahnya sudah sebesar ini, tidak ada tempat lain yang bisa ia tuju, selain keluarganya. Sesukses apa pun dirinya, sebanyak apa pun orang yang bisa menghibur dan mendukungnya, Louis tetap membutuhkan orang tuanya, keluarganya. Xander dan Sena yang ada di rumah sore itu pun mematung mendengar ucapan Louis. Begitu juga dengan Adrianna yang saat itu ada di sana. "Apa yang kau katakan, Louis? Indira sedang lumpuh dan kau malah ingin menceraikannya? Pria macam apa kau, Louis? Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi pria brengsek seperti ini!" geram Xander yang langsung bangkit berdiri dari kursinya saking marahnya. "Sabar, Xander! Sabar! Anakku tida
Suasana seketika hening saat Tama dan Hanna bertatapan di sana. Sampai saat Tama mengatakan sesuatu yang membuat Louis kembali meradang. "Maafkan aku, Hanna! Aku bersumpah aku tidak tahu itu kau! Aku ...." Belum sempat Tama menyelesaikan ucapannya, tapi Louis langsung maju lagi. Louis meraih kerah kaosnya sampai Tama berjinjit di hadapan Louis. "Apa maksudmu? Kau sengaja mau menabrak Hanna kan? Aku sudah mendengar ceritanya! Para saksi mata bilang motormu melaju lurus ke arah Hanna!" geram Louis penuh amarah. "Kau mau membunuh adik kandungnya sendiri, hah?" Semua orang sudah menahan napasnya kaget dengan kenyataan itu, sedangkan Hanna sudah bercucuran air mata mengingat kejadian mengerikan tadi. "Kau pria yang mengemudikan motor itu kan? Kau pelakunya kan? Kau harus ikut aku ke kantor polisi, Brengsek! Aku akan menjebloskanmu ke penjara! Dasar brengsek!" Buk!Tanpa bisa dicegah, Louis melayangkan tinjunya ke pipi Tama sampai Tama terhuyung dan menabrak meja. Kakinya belum kuat
Tama membuka matanya siang itu. Ia sempat pingsan selama hampir satu jam, sebelum akhirnya ia sadar. Kakinya yang robek sudah dijahit dan ia masih berada di ruang perawatan. Awalnya, tidak ada yang tahu bagaimana menghubungi keluarga Tama karena tidak ada yang mengenalnya. Namun, begitu sang sopir bercerita pada Sena bahwa Tama sempat menggendong Hanna untuk menolongnya, Sena pun langsung menanggung administrasi Tama, walaupun saat itu, belum ada yang tahu nama Tama. "Bu, pasiennya yang pingsan sudah sadar." "Ah, baiklah! Ayo kita lihat!" Sambil menunggu Louis yang masih menjenguk Hanna, Sena pun menuju ke kamar Tama, sedangkan Gio dititipkan pada Xander. "Di mana aku? Di mana ini?" Tama masih lemah dan linglung. "Anda ada di rumah sakit, Pak. Robek di kakinya juga sudah dijahit. Ada memar di dada dan di bagian lain, Anda butuh banyak istirahat." Secara ajaib, luka Tama tidak ada yang berakibat fatal, walaupun Tama tetap harus menjalani pemulihan yang tidak sebentar. Tama masi
"Bu Sena, Bu Hanna jatuh setelah ditabrak sepeda motor!" Sopir Sena langsung menelepon Sena begitu ia tiba di rumah sakit dan Sena pun langsung membelalak kaget mendengarnya. Keluarga Sena sendiri baru saja pulang dari rumah Hendra. Mereka terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang hubungan Louis dan Indira, tapi mereka sudah sepakat tidak akan terlalu ikut campur. Biarkan anak-anak mereka bertanggung jawab atas hubungan mereka sendiri. Sena dan Xander pun naik satu mobil, sedangkan Louis membawa mobilnya sendiri, mobil yang berbeda. Sena pun begitu panik mendengar laporan sang sopir. "Apa, Pak? Di mana kejadiannya? Bagaimana Hanna? Kalian di mana sekarang?" Sang sopir segera memberitahu rumah sakitnya dan Sena meminta Xander segera menyusul ke rumah sakit. "Cepat, Xander! Ya Tuhan, semoga Hanna baik-baik saja!" "Sabar, Sayang! Kita berdoa saja!" seru Xander yang langsung melajukan mobilnya makin cepat ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Sena sendiri menelepon Louis dan Loui
Hanna masih mengobrol santai dengan sopir di mobilnya saat ia melihat jam dan jam pulang sekolah Gio sudah tiba. Biasanya Gio akan melangkah sumringah sambil membawa tas ranselnya dan Gio akan selalu tertawa senang melihat Hanna. Hanna pun akhirnya keluar dari mobil dan melangkah ke arah gerbang sekolah. Namun, sebelum ia tiba di gerbang, mendadak suara mesin sepeda motor terdengar sangat berisik dan laju motor yang begitu cepat terdengar di belakangnya. Sontak Hanna menoleh dan jantung Hanna pun langsung memacu kencang melihat motor yang memang sedang melaju kencang ke arahnya. Untuk sesaat, Hanna membelalak lebar dan kakinya mendadak kaku. Dalam kepanikannya, Hanna blank, ia harus menghindar atau tetap di tempatnya. Entahlah, Hanna panik, sangat panik, apalagi motor itu terlihat sengaja akan menabraknya. Sampai tidak lama kemudian, ia mendengar suara pria, seperti suara Tama. "Tidak! Hanna! Minggir!" Hanna masih membeku di tempatnya, tapi ia langsung berteriak saat ia pikir
"Aku dan Indira sudah tidak menemukan tujuan yang sama dalam pernikahan ini, Ayah." Louis menepati janjinya untuk bicara dengan Hendra pagi itu. Bukan hanya Louis, tapi Xander dan Sena ikut datang ke rumah Hendra untuk bertemu dengan besannya itu. Tidak hanya Hendra yang ada di sana, tapi juga Linda dan Indira. Tadinya Indira tidak mau datang, tapi Hendra tidak bisa dibantah. Hendra meminta orang menjemput dan memaksa Indira datang. Itulah pertama kalinya Hendra melihat anaknya yang bisa berdiri tegak, tidak lumpuh lagi seperti yang ia tahu selama ini. Indira pun sudah siap membela diri kalau Louis menjelekkannya di depan Hendra, tapi Louis sama sekali tidak mengatakan apa pun pada Hendra. Hendra sendiri bertanya-tanya, tapi ia terus terkejut melihat anaknya itu mendadak bisa berdiri tegak. "Ada apa ini, Louis? Ayah tahu kau adalah pria yang gentle, mungkin kau mau menyembunyikan keburukan anak Ayah, tapi Ayah juga perlu tahu apa yang dia lakukan kan? Apa ini ada hubungannya deng
Indira masih menatap pria frustasi di hadapannya sambil tersenyum tipis. Postur pria itu tinggi besar, wajahnya cukup tampan, kulitnya putih, tapi rambutnya acak-acakan, dan penampilannya tidak terawat. Pria itu sendiri sudah memicingkan mata menatap Indira, ia mengernyit sambil menyimpan kembali ponselnya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Kau bicara denganku?" tanya pria itu. "Ya, aku mendengarmu menelepon dan aku tahu kau butuh pekerjaan. Aku bisa memberimu pekerjaan dengan bayaran yang tinggi." Tatapan pria itu langsung berbinar-binar. Ia tersenyum sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Untuk sesaat, sosok itu terlihat lebih tampan saat rambutnya ditata lebih rapi. "Hmm, baiklah, aku tanya dulu, apa kau ini sejenis ... Tante Girang, hah?" "Apa maksudmu Tante Girang, hah?" pekik Indira sambil membelalak kaget. "Ah, haha, tidak! Kau terlihat seperti wanita kaya yang haus belaian!" Indira menahan napasnya sejenak mendengar ucapan pria tidak tahu sopan santun itu.
"Hanna!" Hanna mematung kaget melihat Sena dan Adrianna sudah berdiri di depan pintu rumahnya pagi itu setelah ia mengantar Gio ke sekolah. "Tante Sena! Bu Adrianna!" "Panggil aku Kak saja, Hanna! Tidak usah memanggilku Bu lagi," seru Adrianna dengan nada yang melembut. "Ah, itu ...." Belum sempat Hanna menjawabnya, mendadak Sena sudah maju untuk memeluknya. "Menantuku ... Hanna ...," ucap Sena sambil memeluk Hanna begitu hangat. Hanna kembali mematung dan tidak tahu harus melakukan apa, membalas pelukan Sena atau melepaskannya karena ia tidak pantas dipeluk. "Tante Sena, ini ...." "Panggil Mama saja! Kau menantu Mama, Hanna." Tatapan Hanna langsung berkaca-kaca mendengarnya. Jantungnya memacu kencang dan ia tidak menyangka pada akhirnya pernikahannya dengan Louis akan diketahui orang banyak. Apa Louis yang menceritakannya? Hanna makin tegang memikirkannya. Namun, Sena yang melepas pelukannya pun langsung membelai kepala Hanna dengan sayang. "Louis sudah menceritakan semu
"Aku akan menceraikan Indira." Louis akhirnya pulang ke rumah orang tuanya. Ya, tempat yang paling nyaman adalah keluarga. Saat Louis sedang punya masalah dengan Indira, sebisa mungkin Louis tidak mencari keluarganya karena ia tidak ingin membebani mereka. Louis melarikan diri dengan alkohol dan terus bersikap baik-baik saja. Namun, saat masalahnya sudah sebesar ini, tidak ada tempat lain yang bisa ia tuju, selain keluarganya. Sesukses apa pun dirinya, sebanyak apa pun orang yang bisa menghibur dan mendukungnya, Louis tetap membutuhkan orang tuanya, keluarganya. Xander dan Sena yang ada di rumah sore itu pun mematung mendengar ucapan Louis. Begitu juga dengan Adrianna yang saat itu ada di sana. "Apa yang kau katakan, Louis? Indira sedang lumpuh dan kau malah ingin menceraikannya? Pria macam apa kau, Louis? Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi pria brengsek seperti ini!" geram Xander yang langsung bangkit berdiri dari kursinya saking marahnya. "Sabar, Xander! Sabar! Anakku tida
Louis akhirnya memilih pulang ke rumahnya setelah pembicaraan dengan Martin, bukan untuk berdamai dengan Indira, tapi untuk mencari tahu tentang surat cerai dan cek yang Hanna bilang tadi. Indira sendiri hampir gila sejak Louis pergi tadi, walaupun Indira terlalu syok untuk mengejar Louis, ia tidak bisa berpikir. Ruben ingin menenangkannya, tapi Indira mengusirnya dengan kasar. "Pergi kau, Ruben! Pergi! Ini semua karena kau! Kau yang sudah membuat semuanya kacau seperti ini! Siapa yang menyuruhmu datang ke rumahku, hah? Selama ini kita selalu melakukan hal yang aman di luar rumah, mengapa kau harus datang ke sini?" "Aku merindukanmu, Indira! Kau juga bilang Louis baru pulang minggu depan!" "Sial! Jangan membela diri, Ruben! Aku sudah bilang padamu jangan bertemu dulu selama aku belum menyesuaikan urusanku! Sial! Brengsek semua! Pergi dari hidupku, Ruben! Pergi dan jangan pernah menemuiku lagi!" usir Indira dengan kasar. Ruben tidak punya pilihan selain pergi, walaupun dengan pera