Masuk"Sudah disini kamu rupanya, mana sertifikat rumah itu hah?! Enak saja kamu main ambil dan jual rumah itu. Rumah itu masih ada hak milik Sinta disitu." Suara ibunya Sinta memberhentikan pembicaraan ku dan istri barunya ayah, aku berdiri dan mendekat ke arah ibu Reni yang berdiri angkuh di depan warung. Di belakangnya terlihat mas Danu dan juga Sinta mendekat, Sinta memasang wajah angkuhnya sedang mas Danu terlihat tertekan. Tidak ada raut kebahagiaan di wajah mantan suamiku itu, mungkin dia sudah mulai mendapatkan karma nya sendiri. "Ayah saja yang sebagai istri dari ibu ku tidak memiliki hak disitu, apalagi anakmu itu. Lagian kalau mau sertifikat nya minta sama kepala desa, sertifikat nya sudah ada di tangannya," tegasku. "Kamu pikir dengan keangkuhan kamu itu aku bakalan takut?! nggak akan. Selama ini kamu juga sudah memakan uang ku, dan semua itu tidak akan pernah aku maafkan," lanjutku membuat ibunya Sinta langsung terkekeh kecil. "Jangan terlalu kejam kak, ingat, karma itu
"Kamu pulang dulu, ibu dan ayah akan berpisah. Ayah ketahuan selingkuh sama janda anak tiga." Pesan dari Santi aku baca dalam hati, pantas saja akhir-akhir ini ayah dan ibu sering adu mulut. Entah apa yang ada di dalam pikiran ayah sampai harus melakukan itu, padahal umurnya sudah tua dan tidak akan kuat lagi bekerja. Sinta mengirimkan lokasi mereka, tida terlalu jauh dari apartemen yang aku sewa. Setelah pulang bekerja aku langsung menuju ke lokasi yang Sinta katakan, belum sempat turun dari ojek aku melihat ayah yang sedang bermain dengan seorang anak kecil berumur sekitar delapan tahun. Aku berhenti, mendekat ke arah mereka yang sedang bermain di depan sebuah rumah makan kecil. Saat ada pelanggan yang datang, ayah langsung buru-buru menggendong anak itu lantas membuat kan pesanan pada pelanggan yang datang. "Doni duduk yang manis dulu ya, ayah siapkan makanan dulu. Jangan bandel, nanti ayah nggak akan mau main lagi kalau Doni bandel," ujar ayah dengan senyum tercetak je
"Kalau bukan karena kemanusiaan, akan aku penjarakan kamu mas! Enak saja setelah kamu tipu aku dan khianati aku kamu masih bisa hidup dengan baik," gerutuku sambil naik ke lantai dua restoran. Bruk! "Aduh! Hati-hati kalau jalan!" Seruku saat aku menabrak satu pria yang berjalan di depanku. Padahal salahku karena berjalan terlalu cepat sampai menyenggol tubuh tingginya. Pria itu hanya diam, menatap jasnya lantas beralih padaku. Mata dengan manik coklat itu menajam, aku cuek saja dan memilih langsung pergi. "Hei! Mau kemana kamu hah?!" Teriak pria itu dari belakang. Aku berhenti dan berbalik, menatapnya dengan kekesalan. Pria itu mendekat, tatapan kami beradu. "Kenapa? Aku sedang sibuk dan tidak ada waktu melayani anda." "Apa ini sikap pelayan pada pembelinya? Sepertinya kamu perlu di laporkan pada atasan kamu, melihat sikap kamu yang tidak baik dan juga tidak profesional," dia memperhatikan aku dari atas sampai bawah. Aku diam terpaku mendengar apa yang dia katakan, m
"Semoga, semoga semuanya akan lebih baik." Aku menarik nafas dalam-dalam, hari pertama bekerja kembali setelah seminggu aku libur. "Jangan banyak pikiran, nanti pak Edward marah loh. Nggak takut apa kalau itu pria tiba-tiba sudah ada di depan matamu dan melotot tajam?!" Ketus Rara dari samping ku. Aku hanya tersenyum samar menanggapi guyonannya, apa yang dia katakan memang benar. Kepala manajer kami itu tidak pandang bulu, aku yang sebagai manajer satu saja sering dia tegur gara-gara terlalu sibuk bekerja. Padahal yang aku lakukan baik dan tidak merugikan restoran, tapi bagi pak Edward bekerja berlebihan itu tidak bagus. "Dina! ke ruangan saya sekarang," baru saja di omongin orangnya sudah muncul. Aku mengekor di belakang pak Edward dan masuk ke dalam ruangannya. "Apa ada masalah pak?" Tanyaku setelah beliau duduk di bangkunya, aku berdiri di depan mejanya dengan perasaan tidak enak. "Tidak ada masalah, hanya saja suami kamu menelpon saya tadi. Apa ada masalah sampai kam
"Ini adik kamu itu, jauh cantikan kamu Dina. Dia sudah kayak tante-tante tau, ih! Kalau aku jadi kamu, aku bakalan langsung lapor ke polisi saja mereka ini," cerocos Rara. Wanita yang sudah menjadi sahabatku selama bekerja di restoran itu terlihat begitu marah. Wajar saja dia marah, aku menunjukkan gambar kemesraan Sinta dan mas Danu saat berada di sebuah hotel. Gambar itu aku ambil dari handphone milik Sinta, semua bukti sudah terkumpul dan tinggal menunggu waktu eksekusi."Mereka sudah dekat sejak SMA, aku saja yang bodoh sebab tidak mencari tau bagaimana pertemanan mas Danu selama berpacaran. Sinta itu cinta pertama mas Danu Ra, kamu tau kan kalau cinta pertama itu susah buat di lupakan," jelasku."Nggak masuk itungan kalau udah mantan Dina! Otak mantan suami kamu itu juga yang nggak waras. Terus adik tiri kamu itu, apa dia nggak kasihan sama kamu?! Selama ini kamu yang biayain dia biar bisa kuliah. Kamu rela lembur dan ngambil pekerjaan tambahan, itu wanita kurang ajar banget," s
Handphone Sinta masih berada di genggaman ku, sedikit penasaran dengan isinya, aku membuka handphone tersebut. Ternyata tidak di kunci, mungkin Sinta yakin aku tidak akan mencurigai nya sebab selama ini aku masa bodoh dengan urusannya. Aku tidak pernah ikut campur urusan Sinta, kecuali itu urusan keuangan. Namun, sekarang setelah dia bekerja, aku tidak pernah lagi dia mintai uang. Berganti pada ibuk yang hampir setiap minggu meminta uang dengan alasan arisan dan juga uang iuran. Untuk urusan dapur, mereka tidak pernah ambil pusing. Akulah yang selama ini memenuhi kebutuhan dapur, mengesampingkan perawatan dan juga keperluan badanku demi bisa memenuhi kebutuhan keluarga. "Astaga!" Seruku dengan suara tertahan, aku refleks menutup mulut saat melihat galeri foto Sinta yang penuh dengan isi gambar terlarang. Begitu banyak, bahkan ada juga beberapa video biru yang diambil secara langsung dari handphone tersebut. Tanganku gemetar melihat gambar-gambar itu, Sinta dengan tak tau malu







