Tubuh Ibu terhempas ke sofa. Kalau ngamuk ya begini, Ibu tak bisa dicegah. Ah, biarakan saja, aku selalu menganggapnya kaleng rombeng saja."Udah ah, Bu, aku mau masuk! Mau mandi dan berendam air hangat. Tubuhku bau keringat!" Gegas aku bangkit dan tinggalkan Ibu sendiri yang sedang riweuh karena kena malu oleh rekannya. Sebenarnya aku juga sama, Bu, tapi malas untuk cerita. Sepertinya otakku sudah benar-benar muak sekali.***"Eh, tahu enggak? Aku lihat GM kita jadi pelayan di restoran? Aku kemarin ke resto diajak pacarku. Eh, dari kejauhan aku benar-benar lihat kalau Pak Anang sedang jadi pelayan!"Jleb!Terdengar bisik-bisik karyawanku saat langkah kaki ini mulai mendekat ke arah mereka. Karena posisi duduk balik dinding, jadi mereka tak tahu kalau aku sedang ada di sekitar."Ah, masak sih? Masak Pak Anang jadi pelayan? Dia kan angkuh sekali!"Kedua bola mataku membuka lebar. Ternyata kemarin ada karyawan yang melihatku jadi pelayan? Mati aku. "Masak sih?""Iya, katanya pas makan
PoV Maya***Hari ini aku resmi telah menjadi tunangan Mas Yoga. Semalam, acara lamaran dilangsungkan di rumahku secara sederhana. Yang hadir hanya keluarga saja. Dari apa yang kuketahui mengenai keluarga calon suami, nampak sekali mereka tidak gengsian. Meskipun lamaran tidak mewah, tapi yang penting sakral.Malam itu aku serasa di awang-awang. Bagaimana tidak? Aku yang bukan konglomerat malah selangkah lagi akan dipersunting oleh seorang pria keturunan Medan dan Minang.Sebenarnya untuk jadi istri keturunan orang daerah luar itu banyak sekali peraturan dan adat istiadat ternyata. Mungkin saja bila nanti aku sudah menjadi istri Mas Yoga, aku akan membeli marga dengan cara upacara adat kata Mas Yoga. Aku sih belum begitu paham. Ah, nanti saja bahas itu. Sekarang aku harus fokus kerja dulu.Sebenarnya setelah bertunangan aku merasa malu dan canggung bila bertemu dengan Mas Yoga. Ini rasanya seperti mimpi, karena ada rasa malu akan status, sehingga aku pun bersikap layaknya bos dan kary
POV MAYA***"Haha. Ya ampun, sudah kuguda. Sudah kuduga kalian memang orang-orang misikin yang ingin diakui kaya. Aduh," kekeh Mas Anang."Mas, jangan ditertawain, entar mereka nangis dan malu loh, Mas!" Sama saja, pacar Mas Anang mengejek kami berdua."Sayang, ayok, lebih baik kita duduk di tempat sana. Di sini gerah sekali," saran Mas Yoga, aku pun manggut-manggut."Hush! Pergi!" Mereka berdua mengusir kami."Mohon maaf, ada apa ini?" Tiba-tiba seorang pria yang kuduga tadi adalah manajer resto menghampiri."Enggak, ini, mereka mau duduk sembarangan di tempat duduk kami. It's oke, sudah saya usir," ujar Mas Anang dengan angkuh.Sang manajer manggut-manggut, namun ia melirik kami berdua. "Kalau begitu kami minta maaf atas ketidaknyamanannya, Mas, Mbak. Kalau begitu mari kami antar Mbak dan Mas ke ruang VIP di restoran kami ini."Deg!Manajer mempersilahkan kami dengan santun dan ramah. Aku dan Mas Yoga pun merasa tersanjung. Lalu, dua orang menyebalkan itu sekarang malah menahan kep
PoV Maya***"Selamat siang, Pak, Bu? Selamat datang."Resepsionis menyapa aku dan juga Mas Yoga dengan ramah. Yang aku lakukan hanyalah tersenyum sambil manggut.Sepertinya dia berpikir kalau aku adalah sekretaris Mas Yoga."Selamat siang. Di mana manajer Andi?" tanya Mas Yoga tanpa basa-basi. Aku masih berada di sampingnya."Manajer Andi sedang keluar, Pak." Itu jawaban resepsionis yang kuketahui namanya Santi dari tanda pengenal yang ia pakai."Keluar? Ke mana? Tinjau pekerjaan?" tanya Mas Yoga."Saya tidak tahu, Pak. Baru saja manajer Andi keluar. Apa ada yang bisa saya sampaikan, Pak?" ucap resepsionis itu."Tak usah. Saya mau menunggu saja." "Baiklah, Pak, mari saya antar," katanya dengan penuh kesantunan."Tak usah, saya bisa sendiri." Mas Yoga menjawab."Apa perlu saya hubungi Pak Andi, Pak?" saran Santi si resepsionis."Tak usah, saya yang akan hubungi dia." "Baikah, Pak."Aku dan Mas Yoga pun lanjut melangkahkan kaki ke sebuah ruangan yang tersekat hanya dengan partisi din
"A … apa maksud, Pak Bos?" tanyanya seakan ingin berdalih. Kata 'bos' yang aku tanggapi itu berarti hanya untuk pencitraan setelah merasa dirinya mungkin salah."Konsumen mengeluhkan. Kondisi bangunan barangnya tidak seperti yang diinginkan. Apakah yang salah ini perusahaan atau supplier barang?" Mas Yoga mencecar Pak Andi."Bukankah supplier juga sudah tahu apa yang kita inginkan? Kenapa jadi berubah? Pak Andi yang tak teliti atau mereka yang berhasil memasukkan barang jelek dengan harga yang sama dengan kualitas yang diinginkan?" Saat ini wajah Pak Andi mulai memucat. Dia yang baru bekerja beberapa bulan itu sepertinya harus bersiap-siap menerima surat peringatan dari perusahaan."Ma … maaf, Pak. Saya betul-betul tak tahu. Sepertinya saya juga baru tahu masalah ini." Pak Andi menjawab dengan ragu. Dia ini sedang berakting atau takut?"Tolong ambil semua laporan mengenai proyek itu," titah Mas Yoga."Baik, Pak."Sepertinya Pak Andi kaget betul dengan pertanyaan Mas Yoga saat ini. Di
"Lalu, mana uangnya? Kalau barang dengan kualitas begitu yang kita beli? Kenapa laporan uang yang keluar masih tetap sama? Ini artinya, Pak Andi yang raup keuntungan bersama orang yang diajak kerjasama dengan Pak Andi. Karena tak mungkin orang kerja sendiri tanpa bantuan orang lain. Ini jelas, Pak Andi memang mengambil keuntungan dari proyek ini. Jadi, silahkan beresi barang-barang Pak Andi dan tinggalkan kantor ini sekarang juga."Hah?Aku benar-benar kaget dengan keputusan Mas Yoga. Kupikir manajer Andi hanya akan diberikan SP saja, belum sampai dipecat."Pak Yoga? Kenapa Bapak memutuskan hal yang belum tentu benar? Bapak kenapa pecat saya?" Kedua bola mata Pak Andi terbelalak lebar. Ia kaget dengan keputusan Mas Yoga saat ini."Belum tentu benar? Jelas Anda yang jelaskan pada saya kalau semuanya itu ada keuntungannya. Tapi, keuntungan bagi siapa? Dana yang dihabiskan untuk proyek ini begitu besar dengan barang yang tak sesuai. Jadi, dari jawaban Pak Andi tadi, itu membuktikan kala
PoV Anang***"Bagian Mas telah aku transfer. Aku bangga bisa kerjasama dengan Mas dalam hal ini. Lain kali, saat ada proyek seperti ini lagi, Mas jangan lupa bimbing aku. Aku ini orangnya panikan, Mas. Untung ada Mas yang atur semuanya." Dia bicara padaku.Saat ini aku dan sohib hitamku sedang duduk manis di sebuah tempat asing. Menikmati anggur untuk menemani keberhasilan kami. Tak lupa juga pesta pizza hanya berdua saja. Yang lainnya nanti belakangan, ini hanya pesta si dalang saja."Tentu, ini sebenarnya hal kecil namun kita bisa untung besar. Halilintar corps itu sekarang lebih sering menang proyek, imbasanya, bos marah-marah gak karuan. Halah, aku bodo amat, dia gak kasih komisi, tapi kita punya komisi sampingan. Tinggal tek, tek, tek, selesai. Lagipula, barang yang kamu kirim itu gak ada bedanya. Sekilas mereka tak akan teliti soal itu," jelasku penuh wibawa.Siasatku sejak awal memang berbuah manis. Sejak bertemu dengan Sindy dan juga omnya ini, peluang bisnis terbuka lebar. K
"B … bos," jawabnya seperti tak bernyawa."Apa mungkin bosmu tahu?" selidikku, karena kalau secepat ini tidak mungkin. Apa Halilintar Corps menghubungi perusahaan supplier?"Coba diangkat?" saranku.Gelas berisi anggur kusimpan sejenak. Penasaran dengan apa yang bosnya katakan, aku pun menyuruh Lukman untuk loud speaker.Wajah Lukman memucat, padahal belum tentu apa yang kita lakukan diketahui oleh bos."Pak Lukman, Anda di mana?" tanya bos Lukman.Aku berharap Lukman bisa menjawab dengan santai. "Saya sedang di luar, Bos. Sebentar lagi saya kembali." Bagus, sekarang sepertinya dia sudah bisa berakting. Walaupun tak bertatap muka, tapi mimik wajah menjadi bumbu keluarnya nada dari pita suara."Sebentar lagi kita ada proyek besar. Sore ini kita meeting dadakan. Saya masih di batas kota, satu jam lagi saya sampai."Aku sudah kaget dengan apa yang ingin dikatakan oleh bos Lukman. Namun, sepertinya tak ada sangkut paut dengan kegiatan kami. Aku harus cepat-cepat memastikan si manajer ya