Tanpa Gilang, akhirnya Mas Vino dan Lia pulang berdua ke rumah. Di malam itu juga, Vino memutuskan untuk langsung datang menemui Pak Darma. Tetangga yang biasanya ramah dan suka berolahraga hampir setiap hari.
"Gimana kerjaan Lia, Mas Vino? Nak Gilang bilang enggak kalau hari ini, dia seneng banget main sama Lia?" Mendengar pernyataan tersebut, Vino pun menganggukan kepala. "Gilang bilang, Tante Lia asik buat dijadiin pengasuh." "Syukur deh kalau begitu, ada gunanya juga dia hidup." Lia melotot tajam mendengar pernyataan Darma yang benar-benar terdengar jahat. Jadi selama ini di mata sang Papa, Lia tidak berguna ya? "Tapi loh kenapa, Lia kayak habis nangis?" Lia berdehem. "Enggak apa kok Pa." "Sebelumnya, Pak Darma. Lia menangis bukan karena saya ya? Tapi dia memang melihat pacarnya lagi bonceng cewek lain." Tak ingin disalahkan dan dituduh oleh Pak Darma, Mas Vino buru-buru menjelaskan. "Kenapa Mas bilang ke Papa sih?" "Saya enggak mau disalahkan." "Sebentar, si Aldo selingkuhin kamu, Lia?" "Enggak tahulah, Pa. Jangan bahas dia, Lia lagi males." "Kalian putus atau enggak? Awas aja itu anak, semisal ketemu di jalan nanti, Papa langsung pelintir kepalanya. Lagian kamu enggak pernah bisa dibilangin, enggak sadar atau gimana sih kalau Aldo itu cowok enggak bener?" "Pa, ini Lia juga marah dan kesel banget, jangan nyalah-nyalahin Lia karena Lia enggak sadar tentang kelakuan Aldo yang ternyata sebajingan itu." "Kamu itu, sejak awal, makanya harus mau Papa arahin, Papa bilangin, bukan malah hidup seenaknya kamu." "Iya, iya, jangan ceramahin Lia sekarang Papa. Lia masih sakit hati." "Dasar kamu, Lia." Darma menggelengkan kepala mendapati kelakuan anaknya yang memang sangat amat sulit dikendalikan. Mungkin karena terbiasa hidup sendiri, Lia merasa bisa melakukan apapun tanpa arahan siapapun selama ini. Di sisi lain, sebenarnya Darma merasa sangat amat bersalah. Tapi mau bagaimana lagi? Ia juga tak bisa melakukan banyak hal. Ia terlalu sibuk untuk mengurus Lia sedang sang istri sudah meninggalkan ia dan sang anak lebih dulu. "Ya sudah, kalau begitu, saya pamit pulang ya Pak Darma." "Baik, terimakasih sudah mengantarkan Lia." "Sama-sama." Setelah menghantar Mas Vino pergi ke arah depan, Darma memutuskan untuk duduk di samping Lia yang masih melamun, banyak pikiran. "Udahlah, cowok kayak gitu kok kamu pikirin. Ganteng enggak seberapa, nyatikinnya kok enggak ngira-ngira, banyak bertingkah segala. Nanti-nanti, Papa carikan cowok yang lebih segalanya dari si Aldo. Atau itu tuh, Mas Vino, dia ganteng kok. Baik juga. Boleh banget sebenarnya kalau mau kamu embat." Mendengar itu, Lia jadi teringat sesuatu, tentang pembicaraan ia dan Mas Vino tadi. "Memang Papa setuju gitu Lia sama Mas Vino?" "Setuju, selama jadi tetangga kita, dua tahun terakhir, Mas Vino itu kelihatan santun, pinter, baik, enggak ada kurangnya sama sekali." "Kalau emang enggak ada kurangnya, terus kenapa dia bisa cerai dari mantan istrinya sekarang?" "Lia, hubungan antar manusia itu kompleks. Bisa jadi Mas Vino terlalu banyak kelebihannya sampai membuat mantan istrinya itu insecure kan? Beribu hal yang bisa bikin hubungan seseorang rusak, termasuk sebuah kesempurnaan." "Kenapa sih Pa, hubungan antar manusia itu harus serumit ini?" tanya Lia sembari menarik dan mengembuskan napas dalam. "Sesederhana biar kita bisa belajar dari kesalahan dan perilaku orang lain. Itu aja sih." "Dan omong-omong, tentang Mas Vino dan persetujuan Papa tadi. Lia bakalan nikah sama Mas Vino kalau gitu." Mendengarnya, Darma tertawa penuh dengan ejekan sampai kulit perutnya kesakitan sendiri. "Yang bener aja kamu Li. Mas Vino mana mau sama cewek kayak kamu. Seleranya itu pasti tinggi banget." "Hah? Maksud Papa gimana? Memang Lia rendah ya?" "Enggak gitu, tapi kamu sama Mas Vino itu beda dunia. Dia anak orang kaya raya, punya uang bermiliar-miliar, sedang kita? Jadi jangan mimpi deh Li, nanti jatuhnya sakit banget." "Enggak ada yang mimpi, Papa. Lia memang akan menikah dengan Mas Vino, percaya enggak percaya. Tanyain aja sama Mas Vino-nya sendiri." "Oke, Papa besok tanya ke Mas Vino. Kalau kamu bohong, Papa buang kamu ke sungai ya, Li." "Berani, asal Papa beneran nikahin Lia sama Mas Vino secepat mungkin setelah denger jawaban dari duda sebelah nanti. Titik!" Lia tidak sabar untuk punya banyak uang. Lihat saja, ia akan membalas perlakuan Vino dengan uang-uangnya.Dalam keadaan bingung harus melakukan apa, Lia menatap Olivia yang kini nampak beradu argumen dengan Vino. "Gilang enggak sopan sama orang lain, dan tentu aku sebagai ayahnya harus ngasih tahu kalau kelakuan dia itu enggak baik." "Dengan cara ngebentak gitu Vin? Menurut kamu memang itu bijak?" Olivia melipat kedua tangan di dada lalu melirik kepada Lia. "Lagian siapa tahu pengasuhnya Gilang yang kurang ajar dan kurang baik dalam mendidiknya. Kenapa kamu malah marah duluan ke Gilang?" Vino menyugar rambut yang masih setengah basah. "Olivia, aku cuma enggak mau Gilang kayak gitu. Aku enggak mau Gilang enggak tahu caranya sopan dan santun ke orang. Okei, kalau memang aku salah karena memperlakukan Gilang kayak tadi dan kamu enggak suka, aku minta maaf." Mendengar Vino tiba-tiba melemah dan melembut dalam menanggapi ocehan dari mantan istrinya, Lia langsung saja mengerutkan kening bingung. Tatapan dan gerak-gerik Vino juga nampak berbeda sekali saat bersama dengan Olivia. "Oke
"Gilang enggak setuju saya mau nikah sama kamu." "Terus?" tanya Lia dengan alis yang kini terangkat naik. "Dia enggak mau lagi diasuh sama kamu pagi ini, dia marah besar kayaknya." Ringisan dari wajah Lia terlihat, wanita itu sebenarnya sudah menebak jika, Gilang tak akan suka dengan pernikahan antara ia dan Mas Vino. Dari sejak awal, Gilang sudah menampakan hal tersebut. Anak itu tidak ingin Papa kesayangannya menikah lagi. "Terus sekarang Lia harus apa, Mas? Kita batal aja nikah? Enggak bisa, Lia lagi butuh duit. Dan biar Aldo tahu kalau dia enggak sebegitu pentingnya dalam hidup Lia. Buktinya, Lia bisa nikah cepet setelah dia ketahuan selingkuh. Lagian, apa ijin dari Gilang penting?" "Kamu enggak inget tugas utama kamu apa di rumah nanti? Ngasuh Gilang, kalau Gilang enggak mau, kamu kerjanya apa?" "Ngasuh Mas Vino?" Lelaki berusia 32 tahun itu menyugar rambut. "Terlalu enak, coba hari ini kamu deketin Gilang. Pernikahan kita akan tetap berlangsung meskipun Gilang l
"Gilang enggak kamu bawa?" "Enggak Bunda, Vino selesai ngajar dari kampus langsung ke sini." "Memang ada apa kamu ini Vino? Mau numpang makan siang aja?" tanya Abas, sang ayah yang kini tengah duduk di kursi utama meja makan. "Begitulah, kangen masakan Bunda sama mau nengok keadaan Kak Isa." "Keadaanku udah mendingan kok Vin. Besok juga pulang ke rumah sendiri. Kakak sanggup ngurus rumah, anak dan suami lagi." "Syukur deh kalau gitu." Vino memegang sendok dan garpu saat sang Bunda kemudian berkata, "Gilang happy sama pengasuhnya? Kalau enggak, Bunda kan bilang sama kamu, biar Bunda aja yang ngasuh gilang." "Atau lebih baik kamu cari istri baru. Sudah menduda tiga tahun lamanya, kamu enggak bosen apa Vino. Mantan istrimu saja mau menikah sekarang, bahkan mau pindah ke luar negeri tanpa membawa Gilang dan menyerahkan anak itu ke kamu. Dulu saja dia ribut sendiri ingin hak asuh, sedang sekarang?" Kata-kata dari Abas membuat Vino menyunggingkan senyum. Betapa terlihatnya
"Saya dengar, Mas Vino mau menikahi anak saya, si Lia?" Vino yang tengah duduk pun mengangguk dengan raut dan gerakan yang tenang. "Betul Pak Darma." "Kenapa tiba-tiba sekali? Lia baru putus dengan pacarnya dan kamu juga baru berinteraksi dengan Lia kemarin. Secepat itu kalian membulatkan pikiran untuk menikah?" "Kami, khususnya saya sendiri merasa jika, enggak ada salahnya kalau menikah. Dalam keadaan yang nampaknya, kurang baik, kami memilih menikah sebagai jalan keluar dari masalah kami." Darma masih merasa bingung dan tidak yakin dengan keputusan yang diambil oleh Lia dan Mas Vino, bukan apa-apa, ini semua juga terlalu cepat bagi Darma sendiri. "Kalian menikah sebagai jalan keluar dari sebuah masalah kan? Jadi sebetulnya kalian itu tidak saling memiliki perasaan kepada satu sama lain?" Perasaan ya? Vino menunduk sesaat, bahkan ia lupa perasaan juga ketertarikan terhadap perempuan seperti apa setelah bercerai dari mantan istrinya. "Mungkin untuk sekarang, baik saya dan
Tanpa Gilang, akhirnya Mas Vino dan Lia pulang berdua ke rumah. Di malam itu juga, Vino memutuskan untuk langsung datang menemui Pak Darma. Tetangga yang biasanya ramah dan suka berolahraga hampir setiap hari. "Gimana kerjaan Lia, Mas Vino? Nak Gilang bilang enggak kalau hari ini, dia seneng banget main sama Lia?" Mendengar pernyataan tersebut, Vino pun menganggukan kepala. "Gilang bilang, Tante Lia asik buat dijadiin pengasuh." "Syukur deh kalau begitu, ada gunanya juga dia hidup." Lia melotot tajam mendengar pernyataan Darma yang benar-benar terdengar jahat. Jadi selama ini di mata sang Papa, Lia tidak berguna ya? "Tapi loh kenapa, Lia kayak habis nangis?" Lia berdehem. "Enggak apa kok Pa." "Sebelumnya, Pak Darma. Lia menangis bukan karena saya ya? Tapi dia memang melihat pacarnya lagi bonceng cewek lain." Tak ingin disalahkan dan dituduh oleh Pak Darma, Mas Vino buru-buru menjelaskan. "Kenapa Mas bilang ke Papa sih?" "Saya enggak mau disalahkan." "Sebentar, si
Satu tamparan keras langsung mampir di wajah Aldo, membuat laki-laki itu limbung sesaat kebelakang dengan ekspresi syok. "Lia!" "APAA?!" Solot Lia tak gentar. "Kamu jangan malu-maluin." "Kamu yang malu-maluin aku tahu?! Sialan! Goblok kamu! Kita putus sekarang juga!" Mata Lia yang nampak marah memancarkan kebencian yang pekat. "Awas aja kamu Do." Sebelum kemudian, wanita itu kembali masuk ke dalam mobil Mas Vino dan menutup pintu keras-keras. Vino, yang sebenarnya tidak terima mobil kesayangan tiba-tiba mendapat perlakuan tak senonoh pun hanya bisa diam, menyadari lampu sudah berubah hijau di depan sana, membuat Vino mau tak mau harus melajukan mobilnya cepat-cepat. Tak ada pembicaraan setelah itu, Gilang yang sejak tadi mengoceh pun memutuskan untuk diam sembari sesekali melirik Lia yang tengah melipat tangan di dada dengan wajah yang masih dikuasai oleh ekspresi penuh amarah. "Ayo turun, kita beli es krim dulu." Vino melepaskan sealbelt dari tubuh Gilang. Sembari menamb