LOGINAngin pagi di atap itu berhembus lembut, seolah ingin meredakan segala riak kecil yang mulai muncul di hati dua manusia yang berdiri dalam diam. Rania menatap ujung gedung, hembusan angin dingin menyentuh pipinya, membuatnya sedikit tersadar dari ketegangan yang sempat menahan dadanya ketika melihat Leodric berdiri di sana lebih dulu.Leodric, yang sejak tadi hanya memandangi horizon, akhirnya berbicara tanpa menoleh.“Sering ke sini pagi-pagi?” suaranya datar, tapi tidak dingin. Hanya… ingin tahu.Rania mengerjapkan mata pelan sebelum menjawab, “Kadang, Pak. Kalau lagi pengen tenang.”Leodric mengangguk kecil. “Tempat ini memang enak buat kabur sebentar.”Rania tersenyum tipis. “Bapak juga suka ke sini?”Leodric mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberanian kecil itu. “Kita semua butuh ketenangan dari sesuatu, kan. Walau itu sebentar."Ada jeda. Angin kembali berembus, membawa aroma kopi mereka berdua.Untuk pertama kalinya, suasana di antara mereka terasa hangat meski kata-kat
Pagi setelah pulang dari rumah Ibu, Rania tiba lebih cepat dari biasanya. Waktu masih menunjukkan pukul enam lewat sedikit saat ia memasuki apartemennya kembali subuh tadi untuk tidur sebentar hanya dua puluh menit, tetapi cukup membuat tubuhnya terasa lebih segar dan kepala sedikit lebih ringan. Begitu masuk mobil lagi untuk berangkat ke kantor, ia sempat menatap layar ponsel. Ada satu hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Sebelum menyalakan mesin mobil, Rania mengetik pesan cepat. Rania: "Bu, aku udah sampai apartemen tadi. Sekarang mau berangkat kerja." "Ibu jangan lupa sarapan ya ❤️" Tak sampai satu menit, balasan masuk. Ibu: "Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Jangan maksain diri. Jangan lupa sarapan juga yah nak." Pesan itu membuat Rania tersenyum kecil senyum yang masih membawa kehangatan pelukan dini hari tadi. Rania membalas dengan nada ringan dan manja, tapi tetap sopan. Rania: "Iya, Bu. Aku nurut kok. Nanti sarapan dulu sebelum kerja.❤️" Tak memakan waktu lama pes
Malam setelah hari itu, Rania tidur dengan hati ringan. Tidak ada pikiran yang menyesakkan, tidak ada bayangan masa lalu yang menahan langkahnya. Hanya rasa tenang seperti udara setelah hujan yang sempat ia rasakan pagi tadi.Keesokan harinya adalah hari libur. Tidak ada alarm yang berdering, tidak ada tumpukan laporan di meja kerja. Hanya cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar apartemennya dan suara burung yang terdengar sayup dari luar jendela.Rania menggeliat malas, lalu tersenyum kecil. “Hari ini, pulang ke rumah Ibu aja, deh…”Ia menatap kalender di dinding. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali pulang. Tanpa pikir panjang, ia mulai berkemas ringan beberapa pakaian, oleh-oleh kecil, dan sekotak kue kesukaan ibunya.Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam. Jalanan pagi itu cukup sepi, dan pemandangan di luar jendela perlahan berganti dari gedung tinggi menjadi deretan rumah-rumah sederhana dan pepohonan hijau. Semakin dekat, hatinya terasa makin hangat.Begitu mobi
Pagi itu, udara masih membawa aroma tanah basah sisa hujan malam. Langit belum benar-benar cerah, tapi bias cahaya mulai menembus jendela kaca tinggi gedung kantor. Di halaman depan, petugas kebersihan sibuk menyapu daun-daun yang menempel di trotoar, sementara beberapa karyawan berlari kecil agar sepatu mereka tidak basah. Rania melangkah masuk dengan langkah ringan. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa riasan berlebih, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sorot matanya lebih lembut, tenangnya bukan karena menyerah, tapi karena akhirnya ia berhenti melawan hal-hal yang sudah seharusnya dilepas. Begitu sampai di lantai divisi marketing, aroma kopi dan suara mesin printer menyambutnya. Dari arah pantry, Siska sudah melambaikan tangan lebar-lebar. “Raniaaa! Sini, aku beliin roti keju. Jangan bilang kamu belum sarapan lagi!” Rania terkekeh, menaruh tas di kursi lalu menghampirinya. “Kamu selalu punya timing yang pas banget, Sis.” “Feeling sahabat level tinggi,
Udara malam terasa lembap. Lampu jalan memantul di genangan air yang tersisa setelah hujan sore. Rania berdiri di depan halte bus, memeluk tasnya rapat-rapat sambil menatap ke arah jalan yang ramai tapi berantakan. Entah kenapa malam ini terasa terlalu berat — bukan hanya karena hari yang panjang di kantor, tapi juga karena suasana hati yang masih belum sepenuhnya pulih sejak rapat tadi. Beberapa bus melintas, tapi semuanya penuh. Orang-orang berdesakan di bawah atap halte yang bocor, sebagian memegang payung yang robek, sebagian lagi menggerutu karena aplikasi transportasi tak bisa memesan kendaraan akibat hujan. Rania menghela napas pelan. “Udah lengkap banget deh harinya,” gumamnya getir. “Capek, lembur, hujan, dan sekarang… gak bisa pulang.” Ia mencoba menelpon ojek online, tapi sinyalnya buruk. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras. Beberapa penumpang yang tadi menunggu ikut panik mencari tempat berteduh, membuat Rania terdorong keluar dari atap halte yang sempit.
Pagi di kantor terasa lebih ringan dari biasanya. Rania datang lebih awal, dengan senyum kecil yang jarang terlihat akhir-akhir ini. Ia menyapa beberapa rekan kerja, membantu satu dua hal kecil, bahkan sempat bercanda ringan dengan Siska. Dari kejauhan, beberapa pegawai saling berbisik, “Kayaknya Kak Rania udah lebih ceria, ya?” “Iya, kemarin sempat murung banget, sekarang kayak balik lagi ke versi lamanya.” Di lantai atas, suasana serupa juga terlihat. Leodric tampak santai, sesekali melempar komentar ringan ke timnya, bahkan sempat tertawa kecil saat rapat pagi, hal yang membuat semua orang sedikit heran. “Pak Leodric ketawa? Wah, catat tanggalnya,” celetuk salah satu staf pelan, membuat suasana ruangan ikut mencair. Namun, kehangatan itu seolah punya batas tak terlihat. Sebab setiap kali Rania dan Leodric berpapasan di lorong atau lift, semuanya kembali dingin dan formal. Hanya sapaan singkat, atau sekadar anggukan sopan. Tidak ada senyum kecil, tidak ada per







