Amora menghirup dalam - dalam udara di sekitarnya, suara obrolan, tawa - tawa siswa - siswi dan bau mie ayam beserta teman - temannya membuat Amora menghayati semuanya dengan sedikit lebay karena alasan dalam satu kata, rindu.
"Maju, lo kenapa berdiri di tengah jalan?" Junior sedikit menabrak bahu Amora dari belakang.
Junior berjalan acuh menuju meja yang sering dia tempati, Amora menatap punggung Junior dengan meninju angin.
"Ngapain? Nangkep lalat, Mor?" suara Surya yang spesial mengalun aduhay di telinga Amora. Ngondek guys
Mengabaikan celotehannya, Amora merangkul Surya yang baru datang itu, membawanya menuju meja biasa.
"Dangdutan ga, Mor?" tanya Surya sebelum duduk.
Amora duduk dengan mengangguk."Siap beraksi, siapin aja barangnya.." katanya dengan so ngartis, pura - pura angkuh.
"Mor!" Ilham memeluk Amora sekilas."rindu banget gue, akhirnya lo mau dangdutan lagi, gue udah ga goyang, rasanya kaku.." keluhnya sembari duduk di samping Amora, merangkulnya.
"Sorry deh, gue lagi lupa diri kemarin - kemarin, sekarang gue udah di sembur bah dukun, udah normal!" serunya dengan senyum yang menyebalkan.
"Udah - udah, nih micnya, Mor.." Ratih mulai berseru heboh."go ~" lanjutnya semakin antusias.
Ayu ikut bersorak heboh, sungguh meja yang paling berisik.
Amora mengecek mic bluetooth itu lalu suara - suara sorakan heboh di meja lain pun mulai terdengar, oke saatnya Amora beraksi.
Mengandalkan ponsel yang di modip dengan spiker, milik Ilham. Dandutan dadakan pun jadi. Menambah keramaian kantin. Bahkan penjaga kantin pun mulai terbiasa dan malah terhibur.
Junior tersenyum tipis, sangat tipis. Entah kenapa, kali ini dia tidak suka melihat Amora yang bergoyang dan bernyanyi di depan para siswa yang berada di kantin.
Junior merasa gerah, apalagi melihat Ilham yang kadang memepet Amora dengan goyangan - goyangan ala biduan dangdut dan para om - om peminatnya itu.
Bahkan meja Junior sudah ikut heboh, bersorak dan kini malah mulai ikutan bergoyang tidak jelas.
Kali ini, hiburannya sangat tidak menghibur. Junior sangat panas, banyak sekali siswa yang datang ke kantin hari ini.
Haruskah dia tutup paksa kantin ini? Oke Junior ngawur!
***
Junior menatap Amora lurus, tanpa kata terus saja begitu hingga Amora gerah sendiri dan salah tingkah.
"Kenapa?" Amora mengerjap dengan mengedarkan pandangannya ke arah sopir, itu lebih baik.
Amora membolakan matanya saat merasakan Junior meraih dagu dan mengulum bibirnya.
Amora memukul bahu Junior, menarik diri dengan menatap Junior syok. Amora melotot pada Junior. Mengkodenya kalau di sana ada sopir.
Junior diam lagi, menatap ke depan lurus dengan tanpa ekspresi. Amora menggeleng samar, dia tidak percaya dengan suami dadakan dan rahasianya itu.
"Lo ga risih? Kita baru kenal sebentar tapi skinsh_"
Junior mendekat, berbisik pada telinga Amora."Ada yang lebih gila dari kita, pelacur dan para peminatnya.. Mereka ga kenal aja bisa, kenapa kita engga?" bisiknya lalu menjilat telinga Amora sekilas sebelum kembali ke posisi semula.
Amora refleks menjauh dengan menatap Junior risih, dasar laki - laki! Pikiran mereka terlalu simple!
***
"Goyang kayak di kantin tadi, di depan gue.."
Amora mengangkat bahunya."Ih ga mau, mana ada musiknya di sini.." tolaknya dengan sewot.
"Musik ada, ayo!" Junior menyeret Amora ke dekat ranjang. Junior duduk di tepian ranjang, menunggu Amora bergoyang di depannya.
"Ga mau!"
Junior mencekal lengan Amora yang hendak kabur itu."Musik udah ada, kenapa lo nolak permintaan suami, sedangkan sama mereka lo kasih g****s!" suaranya terdengar kesal.
"Lo kenapa? Ada masalah sama tingkah gue itu? Biasanya jug_"
"Lo istri gue, gue ga suka liat lo di nikmatin banyak cowok!"
Amora melongo."Ha? Lo kenapa ih, nyeremin!" tangannya yang merinding dia usap.
Junior berdecak."Cepet! Goyang kayak yang di kantin, sambil nyanyi!" tegasnya.
Amora berdecak jengkel, dia pun bernyanyi dengan ogah - ogahan, bergoyang pun dengan tidak berpower.
Junior memandangnya, walau berbeda dengan yang di kantin tetap saja Amora sama menggiurkan seperti saat di kantin. Mungkin karena sudah pernah merasakan Amora di bawahnya, Junior jadi gampang terpancing.
Amora memekik kaget saat Junior menariknya, membantingnya pelan ke ranjang lalu menindihnya dengan beberapa kecupan di rahang dan lehernya.
Amora gelagapan, waktu masih sore dan dia tidak mau sampai seperti malam waktu itu kembali terulang. Amora belum siap untuk menggila dengan keadaan pikiran dan perasaannya yang kacau.
Ngidam, satu kata yang membuat Zein mengacak rambutnya frustasi. Zeva sungguh menyebalkan saat ini, permintaannya membuatnya gila. "Sekali aja, pake." Zeva mengembungkan pipinya yang semakin berisi itu. "Aku laki - laki, cowok, pria, Zeva sayang." Zein tersenyum paksa dengan menahan geraman marah. "Cuma merah sebentar, masih ga mau?" tatapannya menatap Zein dengan lucunya. Sontak Zein tidak berkutik, sialan memang wajah Zeva yang menggemaskan itu. "Jangan tebel - tebel." Zein pun pasrah, melirik sekitarnya yang cukup ramai. "Yeay!" Zeva dengan semangat menempelkan lipstik merah itu pada bibir Zein yang tebal nan seksi itu. Zein menatap wajah cerah Zeva dengan tatapan yang kian melembut, istrinya begitu bahagia hanya karena tindakan kecil itu. Harusnya Zein tidak menolak dari awal. "Woah!" Zeva menutup mu
Jalan - jalan kilat pun berakhir dengan Zeva yang asyik dengan benih - benih bunga yang di belinya. Membiarkan Jackson menanamnya karena tukang kebun tak kunjung datang. Jackson terlihat menggali dengan air wajah tidak yakin, dia sudah beberapa kali menolak untuk menanam benih itu namun Zeva keukeuh agar dirinya yang menanam benih itu. Demi apapun, Jackson belum pernah menanam bunga. Semoga saja semua benihnya tumbuh dengan baik. Harapnya masih dengan tidak yakin. "Sayang, ayo masuk." Zein bersuara di ambang pintu. Zeva yang sedang berjongkok menoleh lalu mengangguk dengan patuhnya."Beresin ya, Jackson. Maaf ngerepotin sama ga bisa terus nemenin." sesalnya dengan lugu. Jackson terkekeh dalam hati, dia itu pegawainya. Kenapa Zeva tidak sadar soal itu dan berperan seperti teman saja. Mungkin karena terlalu baik pikir Jackson. "Tidak apa - apa
Bang Jack membantu Zein yang akan pergi pemotretan dan pengambilan video untuk iklan minuman yang sudah terlanjur mengkontraknya. Tadinya Zein ingin membatalkan namun kata bang Jack lebih baik lanjut karena perusahaan itu tidak keberatan soal skandal yang menimpa Zein. "Cuma 6 menit, durasi yang singkat. Sayang sama uang kamu walau uang kamu ga akan habis." kata Jack seraya merapihkan tas Zein. "Kalau gitu ajak Zeva boleh? Biar pulang langsung jalan." Jack menggeleng tegas."Ga bisa, Zeva masih jadi inceran. Kasihan dia, Zein." balasnya. Zein menekuk wajahnya, tidak bisa menyangkal ucapan Jack yang benar adanya. "Tuan Zein—" panggil Jackson yang mengundang Jack untuk menoleh juga."nyonya Zeva menangis di belakang dan menyuruh saya untuk memang—" Zein lebih dulu membawa langkahnya ke taman belakang di banding mendengarkan penjelasan pengawal
Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. *** Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah. Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***