"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah."
"Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah."
"Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita."
"Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu."
"Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."
"Nak, Dafa, Sayang, dengarkan ayah. Kamu harus kuat. Jadi laki-laki jangan cengeng. Jangan gampang mengeluarkan air mata."
"Ayah jahat, Ayah udah biarin ibu pergi. Nenek jahat, nenek sudah usir ibu dari sini. Aku benci Ayah, aku benci sama nenek."
Tangan kecil Dafa memukul dada Ismail yang tak berarti apa-apa bagi lelaki itu.
"Ayah sama ibu sayang sama Dafa. Begitupun nenek. Maaf, semua ini salah ayah. Ayah yang tak becus menjaga ibu. Maafkan ayah, Nak."
Raungan dan tangisan Dafa tak bisa mengubah apapun. Ismail berusaha menenangkan anak semata wayangnya. Berhari-hari Dafa tak mau berbicara padanya. Bahkan keadaan itu berlanjut hingga Dafa lulus sekolah. Walaupun tak sampai mendiamkan ayahnya terus-menerus, sikap Dafa tak juga hangat kepada Ismail.
Hal yang sama juga anak itu lakukan pada neneknya. Sekeras apa pun Halimah mengambil hati cucu pertamanya itu, tak pernah satu kali pun Dafa menghiraukannya. Semua yang diberi oleh Halimah memang diterimanya namun sama sekali tak dipakainya. Perkataan pun diatur sedemikian rupa agar tak terkesan ketus. Pernah sekali Dafa berkata kasar pada Halimah, bocah yang duduk di bangku SD itu langsung dibentak oleh sang ayah. Rasa kesal dan tak sukanya bertambah ketika Ismail menurut saja saat Halimah menjodohkannya dengan wanita lain sampai dua kali.
Hanya kepada keluarga Mirna, adik dari Ismail, Dafa bisa bersikap ramah. Bahkan, Dafa lebih sering berada di rumah tantenya daripada di rumah sang ayah. Dafa berusaha melayangkan protes yang malah membuatnya makin dikekang oleh Halimah. Halimah mendikte cucunya agar menerima ibu baru yang katanya lebih baik dari Astri. Wanita itu terlalu membenci mantan menantu yang telah memberinya satu orang cucu itu. Kedua wanita itu memang baik dan menerima Ismail berikut Dafa. Namun, tak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi Astri di hati Dafa maupun Ismail.
Wanita-wanita yang pernah menjadi istri Ismail pun berusaha menjadi ibu yang baik untuk Dafa. Sayangnya, pernikahan mereka tak bertahan lama. Yang pertama hanya bertahan setahun karena sikap Ismail yang tak perhatian padanya. Wanita bernama Dini mengajukan gugatan cerai saat sikap Ismail tak berubah. Tetap cuek padanya. Padahal, Dini berusaha bersikap sebaik-baiknya sebagai seorang istri. Sedangkan yang kedua bisa sampai dua tahun menjadi ibu sambung Dafa. Wanita bernama Aisyah itu mempunyai seorang anak perempuan dari pernikahannya terdahulu. Dafa sudah mulai menerima dan menyayangi ibu sambung dan adik tirinya namun Ismail menceraikan Aisyah karena tak ingin membuat wanita itu tersiksa. Selama ini Ismail tak bisa mencintainya. Di hatinya hanya ada Astri, tak ada yang lain. Ismail ingin Aisyah mendapatkan laki-laki yang bisa membahagiakannya dan mencintainya dengan tulus.
"Sekarang kamu ada dimana As ... jujur saja aku merindukanmu. Walau aku sudah dua kali mendapatkan penggantimu, aku tak pernah bisa melupakanmu. Maafkan sikapku yang dulu sering memojokkanmu. Aku yang sering menyalahkanmu. Maafkan aku atas segalanya," gumam lelaki paruh baya itu sambil menerawang jauh.
Di tangannya tampak wadah berisi pakan ikan yang masih utuh. Sedikit saja ia melangkah maju, maka lelaki itu akan tercebur ke dalam kolam ikan sedalam satu setengah meter itu. Seorang wanita tampak berjalan pelan menghampirinya. Langkahnya terhenti kala melihat penampilan Ismail yang kusut. Rambut dibiarkan berantakan tanpa disisir. Pakaian pun seadanya. Walau memang tak lagi memiliki istri, seharusnya Ismail bisa lebih memperhatikan dirinya sendiri. Tidak menyiksa diri seperti itu. Wanita itu maju beberapa langkah dan memanggil Ismail yang tampak termenung.
"Mas ... mas Is lagi apa?"
"Oh, ini lagi ngasih makan ikan. Kamu mau apa Mir?"
"Itu, tadi aku nyimpen lauk buat makan mas Is. Makanlah selagi hangat."
"Terima kasih, Mir. Hanya kamu yang masih bersedia menganggap aku saudara."
"Jangan berkata seperti itu Mas, sudah kewajibanku sebagai adik mas Is untuk melakukan semuanya. Lagipula, Dafa juga berpesan agar aku sering memperhatikan mas Is."
"Anak itu walaupun sikapnya dingin padaku, aku tahu kalau dia masih menyayangi ayahnya yang sudah tak punya apa-apa ini."
"Dafa sangat menyayangi mas Is. Dia hanya kecewa lantaran takdir yang memisahkannya dari mbak Astri."
"Kira-kira dimana Astri sekarang ya Mir, apa dia masih ada di dunia ini ataukah sudah kembali ke pangkuan-Nya. Aku masih sering merasa bersalah padanya."
"Kita berdoa saja semoga masih ada kesempatan bertemu mbak Astri. Aku ingin meminta maaf atas nama ibu."
Ismail terdiam lagi. Setetes air bening mengalir dari pelupuk matanya namun segera laki-laki itu hapus. Entah sudah berapa liter air mata penyesalan yang ditumpahkannya.
"Ya sudah, aku pulang dulu. Jangan lupa makan ya, Mas," kata Mirna sambil mengusap bahu kakaknya pelan.
"Iya, makasih. Sampaikan terima kasihku juga pada Yudha."
Mirna mengangguk pelan sambil tersenyum kemudian berlalu menuju rumahnya.
Ismail menghembuskan napas panjang mencoba meredakan keresahan hati. Lelaki paruh baya itu berbalik setelah meletakkan pakan ikan di tempatnya. Sesampainya di dapur, Ismail membuka tudung saji dan melihat nasi yang masih mengepul dengan beberapa potong ayam goreng dan sayur asem. Ismail kadang merasa tak enak pada adik dan juga adik iparnya karena mereka sangat baik memperlakukannya.
***
Nadia bergegas keluar kampus bersama Salsa.
"Sabar Nad, jalannya jangan buru-buru. Aku capek ngikutinnya."
"Aku pengen cepet-cepet ketemu sama mami, Sal. Aku harus mastiin mami bisa pulang hari ini. Kebetulan 'kan besok kita nggak ada mata kuliah."
"Iya, aku tahu, tapi kalau kamu jalannya terburu-buru gini, yang ada ntar kamu kesandung. Bukannya kamu merawat tante Astri malah kamu yang sakit. Kamu mau kalau sampai tante kepikiran?"
Nadia mengerem langkahnya seketika hingga Salsa hampir menabraknya.
"Kalau mau berhenti bilang-bilang dong Nad, kamu gimana sih."
Nadia berbalik, "hehe, maaf Sal, nggak sengaja. Ya udah, aku biasa aja jalannya, nggak lari lagi."
"Nah, gitu dong. Yuk, ke parkiran sekarang."
"Eh iya, emangnya kamu bawa mobil?"
"Bawa kok, kebetulan banget, kan?" Tanpa setahu Nadia, sebenarnya Salsa meminta pada sang ibu agar supir mengantarkan mobilnya ke kampus.
Tak jauh dari kedua gadis itu, Awan tampak berjalan pelan mengikuti mereka. Lelaki itu berusaha menjaga jarak aman agar tak ketahuan Nadia maupun Salsa. Jangan sampai kedua gadis itu tahu kalau dia mengikuti mereka.
Sebuah mobil mewah berwarna putih tampak berbunyi dan mengedipkan lampu sekali ketika Salsa menekan remote di tangannya."Yuk, Nad, biar kita cepet sampai ke klinik."Nadia memandang takjub pada mobil milik Salsa."Sal, ini kita nggak salah mobil, kan?""Hahaha, enggak lah. Kalau salah mobil, aku nggak mungkin bisa buka mobil dengan kunci yang aku bawa ini. Udah ah, yuk cepetan masuk. Atau perlu aku bukain pintunya?"Nadia menggeleng cepat dan segera masuk ke dalam mobil sahabatnya."Mobil kamu bagus, Sal.""Bukan mobil aku, Nad. Ini mobil ayah tiri aku. Aku cuma minjem doang. Kalau mobil aku sendiri lagi di bengkel.""Oh, berarti ayah tiri kamu kaya banget dong ya, mobilnya aja keren gini.""Iya, dan aku beruntung banget mempunyai ayah tiri yang nggak hanya sayang sama mama aku tapi juga sayang sama aku. Bahkan, nggak ngebeda-bedain antara aku sama adik aku yang merupakan anak kandungnya."Salsa melajukan mobil i
Tok. Tok. Tok."Ya, sebentar," jawab Astri dari dapur. Tak lupa wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mematikan kompor yang menyala. Untunglah, masakannya sudah matang hingga bisa ditinggalnya sebentar sebelum memindahkannya ke dalam wadah.Dengan tergopoh, Astri mencuci tangan di wastafel dan mengelapnya. Namun rupanya sang pengetuk pintu sudah tak sabar sehingga ketukannya semakin lama semakin seperti gedoran."Siapa sih, nggak sabaran amat. Memangnya aku ini punya kaki yang panjang hingga bisa mencapai pintu dalam waktu satu detik," gerutu Astri.Astri membuka pintu dengan wajah yang lumayan kesal. Walaupun tamu memang harus dihormati, tapi apa tak bisa sabar sebentar saja menunggu tuan rumah membuka pintu.Astr
Seorang pemuda yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga sedang duduk di sebuah kursi putar. Kepalanya diletakkan di sandaran kursi sambil berputar-putar ke kiri ke kanan. Tangannya memainkan sebuah mainan mobil kecil yang sudah pudar warnanya. Mainan yang sangat berarti untuknya. Mainan masa kecil dari seseorang yang sangat disayanginya. "Bu, Dafa mau mainan itu," kata seorang bocah sambil menunjuk mobil-mobilan remote di sebuah toko mainan. Sang ibu yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah toko mainan di dekat mereka. Saat ini, Dafa sedang ikut Astri belanja di pasar. Wanita berusia tiga puluh tahun yang bertubuh ramping bak remaja itu tersenyum dan berlutut menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Tangannya mengusap lembut rambut Dafa yang hi
Nadia sedang duduk santai di halte sambil menunggu bus yang akan membawanya pulang. Nadia terkesiap kaget saat tiba-tiba Alvin ada di depannya."Om, ngapain ke sini?" tanya Nadia waspada."Mau nemuin keponakan om lah, ngapain lagi."Alvin tersenyum tetapi malah membuat Nadia bergidik ngeri.Nadia berdiri saat dari kejauhan melihat bus tujuan rumahnya. Namun, gadis itu merasa kesal saat Alvin mencekal tangannya. Di halte sore ini sudah sepi dan sedari tadi Nadia hanya sendiri di tempat itu. Alvin lalu menyeret tangan Nadia menjauhi halte sebelum bus berwarna hijau itu sampai di sana."Lepasin Om, lepasin, jangan bawa aku. Memang aku salah apa sama Om. Om sadar nggak sih, Om itu udah nyakitin aku.""Cuma kamu yang bisa b
Mobil melaju membaur dengan berbagai kendaraan di jalan raya yang membuat kemacetan. Nadia memberikan alamat rumahnya pada Awan. Dengan handal, dosen muda itu mengendarai mobilnya menuju rumah Nadia."Sampai sini aja, Pak," ucap Nadia saat mobil Awan hampir sampai di gang menuju rumahnya."Rumah kamu di sebelah mana?""Rumah saya masuk gang, Pak. Saya jalan kaki saja dari sini.""Nanggung Nad, biarkan saya antar sampai rumah. Saya hanya bertanggung jawab untuk mengantar kamu selamat sampai tujuan. Lagipula, mobil bisa masuk gang. Bisa saja lelaki yang mengaku sebagai om kamu tadi menunggu di tempat sepi dan memaksa kamu untuk mengikutinya."Nadia menunduk lalu mengangguk setuju. Gadis itu kemudian memberi tahu arah rumahnya lebih detail.Semakin dekat, hati Awan makin berdebar kencang. Akankah pertemuan itu segera terjadi? Sekarang kah, waktunya untuk mereka bertemu?Awan menghentikan laju kendaraannya tepat di jalan depan rumah berca
"Tuh, mukanya merah, berarti bukan cuma sekedar dosen ya ..."Wajah Nadia makin tersipu saat Astri menggodanya. Nadia menutupi wajah denfan kedua tangan sambil menhgelengkan kepala."Enggak Mi, beneran. Pak Awan itu cuman dosen aku. Lagian juga baru tadi aja kami ketemu secara dekat. Selama ini cuma sekedar interaksi biasa antara mahasiswa sama dosennya.""Yakiiin?" Senyuman Astri mengembang melihat sang putri yang salah tingkah."Iiih Mami, kalo nggak percaya tanya aja sama Salsa. Pak Awan emang baik tapi ya gitu, jarang ngomong. Auranya kayak dingin gitu, Mi.""Kalau dingin dipanasin dong, Sayang.""Mamiii, seneng banget sih godain aku.""Hahaha, iya, iya, mami percaya. T
"Mas, apa tidak bisa aku mendapatkan hatimu sedikit saja? Aku tahu, aku bukan wanita yang sempurna dan sebaik mantan istrimu. Bahkan, dia juga pasti wanita yang sangat cantik sehingga kamu tak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tapi Mas, kita sudah bersama berbulan-bulan lamanya. Aku juga memperlakukan Dafa dengan baik. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi anakku sendiri." "Maaf Ai, aku sudah memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tak mungkin membaginya lagi pada wanita lain. Aku menikahimu karena keinginan ibuku. Maaf kalau hal ini menyakitimu." "Aku tahu Mas, kita dijodohkan. Jujur saja, aku juga sama sekali belum mencintaimu. Aku menerima dirimu sebagai pengganti almarhum mas Jaya karena aku berpikir anakku pasti membutuhkan sosok seorang ayah. Yang kuharapkan kutemukan pada dirimu. Iya, kamu memang baik pada putriku, aku akui itu. Maaf, jika aku men
Suasana hening dini hari sebuah apartemen tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan sang pemilik apartemen tersebut."Ibuuu ... "Lelaki itu bangun sambil terengah seolah habis berlari puluhan kilometer. Tangannya masih menggapai ke depan dan keringat dingin tampak memenuhi sekujur tubuhnya. Telapak tangannya meraup kasar wajah tampan perpaduan dari wajah ayah dan ibu kandungnya.Jantung berdegup kencang bila mengingat mimpi yang hadir dalam lelapnya tadi. Apakah dia terlalu berpikir dalam tentang sang ibu hingga terbawa ke alam mimpi. Saking rindunya dia pada ibu yang telah melahirkannya."Dafa," panggil seorang wanita berparas cantik. Wajahnya masih sama seperti berpuluh tahun yang lalu seolah tak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Ataukah memang i