Share

Bab 7

Author: umi roihan
last update Last Updated: 2022-03-08 10:00:00

"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah."

"Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah."

"Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita."

"Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu."

"Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."

"Nak, Dafa, Sayang, dengarkan ayah. Kamu harus kuat. Jadi laki-laki jangan cengeng. Jangan gampang mengeluarkan air mata."

"Ayah jahat, Ayah udah biarin ibu pergi. Nenek jahat, nenek sudah usir ibu dari sini. Aku benci Ayah, aku benci sama nenek."

Tangan kecil Dafa memukul dada Ismail yang tak berarti apa-apa bagi lelaki itu.

"Ayah sama ibu sayang sama Dafa. Begitupun nenek. Maaf, semua ini salah ayah. Ayah yang tak becus menjaga ibu. Maafkan ayah, Nak."

Raungan dan tangisan Dafa tak bisa mengubah apapun. Ismail berusaha menenangkan anak semata wayangnya. Berhari-hari Dafa tak mau berbicara padanya. Bahkan keadaan itu berlanjut hingga Dafa lulus sekolah. Walaupun tak sampai mendiamkan ayahnya terus-menerus, sikap Dafa tak juga hangat kepada Ismail.

Hal yang sama juga anak itu lakukan pada neneknya. Sekeras apa pun Halimah mengambil hati cucu pertamanya itu, tak pernah satu kali pun Dafa menghiraukannya. Semua yang diberi oleh Halimah memang diterimanya namun sama sekali tak dipakainya. Perkataan pun diatur sedemikian rupa agar tak terkesan ketus. Pernah sekali Dafa berkata kasar pada Halimah, bocah yang duduk di bangku SD itu langsung dibentak oleh sang ayah. Rasa kesal dan tak sukanya bertambah ketika Ismail menurut saja saat Halimah menjodohkannya dengan wanita lain sampai dua kali.

Hanya kepada keluarga Mirna, adik dari Ismail, Dafa bisa bersikap ramah. Bahkan, Dafa lebih sering berada di rumah tantenya daripada di rumah sang ayah. Dafa berusaha melayangkan protes yang malah membuatnya makin dikekang oleh Halimah. Halimah mendikte cucunya agar menerima ibu baru yang katanya lebih baik dari Astri. Wanita itu terlalu membenci mantan menantu yang telah memberinya satu orang cucu itu. Kedua wanita itu memang baik dan menerima Ismail berikut Dafa. Namun, tak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi Astri di hati Dafa maupun Ismail. 

Wanita-wanita yang pernah menjadi istri Ismail pun berusaha menjadi ibu yang baik untuk Dafa. Sayangnya, pernikahan mereka tak bertahan lama. Yang pertama hanya bertahan setahun karena sikap Ismail yang tak perhatian padanya. Wanita bernama Dini mengajukan gugatan cerai saat sikap Ismail tak berubah. Tetap cuek padanya. Padahal, Dini berusaha bersikap sebaik-baiknya sebagai seorang istri. Sedangkan yang kedua bisa sampai dua tahun menjadi ibu sambung Dafa. Wanita bernama Aisyah itu mempunyai seorang anak perempuan dari pernikahannya terdahulu. Dafa sudah mulai menerima dan menyayangi ibu sambung dan adik tirinya namun Ismail menceraikan Aisyah karena tak ingin membuat wanita itu tersiksa. Selama ini Ismail tak bisa mencintainya. Di hatinya hanya ada Astri, tak ada yang lain. Ismail ingin Aisyah mendapatkan laki-laki yang bisa membahagiakannya dan mencintainya dengan tulus. 

"Sekarang kamu ada dimana As ... jujur saja aku merindukanmu. Walau aku sudah dua kali mendapatkan penggantimu, aku tak pernah bisa melupakanmu. Maafkan sikapku yang dulu sering memojokkanmu. Aku yang sering menyalahkanmu. Maafkan aku atas segalanya," gumam lelaki paruh baya itu sambil menerawang jauh.

Di tangannya tampak wadah berisi pakan ikan yang masih utuh. Sedikit saja ia melangkah maju, maka lelaki itu akan tercebur ke dalam kolam ikan sedalam satu setengah meter itu. Seorang wanita tampak berjalan pelan menghampirinya. Langkahnya terhenti kala melihat penampilan Ismail yang kusut. Rambut dibiarkan berantakan tanpa disisir. Pakaian pun seadanya. Walau memang tak lagi memiliki istri, seharusnya Ismail bisa lebih memperhatikan dirinya sendiri. Tidak menyiksa diri seperti itu. Wanita itu maju beberapa langkah dan memanggil Ismail yang tampak termenung.

"Mas ... mas Is lagi apa?"

"Oh, ini lagi ngasih makan ikan. Kamu mau apa Mir?"

"Itu, tadi aku nyimpen lauk buat makan mas Is. Makanlah selagi hangat."

"Terima kasih, Mir. Hanya kamu yang masih bersedia menganggap aku saudara."

"Jangan berkata seperti itu Mas, sudah kewajibanku sebagai adik mas Is untuk melakukan semuanya. Lagipula, Dafa juga berpesan agar aku sering memperhatikan mas Is."

"Anak itu walaupun sikapnya dingin padaku, aku tahu kalau dia masih menyayangi ayahnya yang sudah tak punya apa-apa ini."

"Dafa sangat menyayangi mas Is. Dia hanya kecewa lantaran takdir yang memisahkannya dari mbak Astri."

"Kira-kira dimana Astri sekarang ya Mir, apa dia masih ada di dunia ini ataukah sudah kembali ke pangkuan-Nya. Aku masih sering merasa bersalah padanya."

"Kita berdoa saja semoga masih ada kesempatan bertemu mbak Astri. Aku ingin meminta maaf atas nama ibu."

Ismail terdiam lagi. Setetes air bening mengalir dari pelupuk matanya namun segera laki-laki itu hapus. Entah sudah berapa liter air mata penyesalan yang ditumpahkannya.

"Ya sudah, aku pulang dulu. Jangan lupa makan ya, Mas," kata Mirna sambil mengusap bahu kakaknya pelan.

"Iya, makasih. Sampaikan terima kasihku juga pada Yudha."

Mirna mengangguk pelan sambil tersenyum kemudian berlalu menuju rumahnya.

Ismail menghembuskan napas panjang mencoba meredakan keresahan hati. Lelaki paruh baya itu berbalik setelah meletakkan pakan ikan di tempatnya. Sesampainya di dapur, Ismail membuka tudung saji dan melihat nasi yang masih mengepul dengan beberapa potong ayam goreng dan sayur asem. Ismail kadang merasa tak enak pada adik dan juga adik iparnya karena mereka sangat baik memperlakukannya.

***

Nadia bergegas keluar kampus bersama Salsa.

"Sabar Nad, jalannya jangan buru-buru. Aku capek ngikutinnya."

"Aku pengen cepet-cepet ketemu sama mami, Sal. Aku harus mastiin mami bisa pulang hari ini. Kebetulan 'kan besok kita nggak ada mata kuliah."

"Iya, aku tahu, tapi kalau kamu jalannya terburu-buru gini, yang ada ntar kamu kesandung. Bukannya kamu merawat tante Astri malah kamu yang sakit. Kamu mau kalau sampai tante kepikiran?"

Nadia mengerem langkahnya seketika hingga Salsa hampir menabraknya.

"Kalau mau berhenti bilang-bilang dong Nad, kamu gimana sih."

Nadia berbalik, "hehe, maaf Sal, nggak sengaja. Ya udah, aku biasa aja jalannya, nggak lari lagi."

"Nah, gitu dong. Yuk, ke parkiran sekarang."

"Eh iya, emangnya kamu bawa mobil?"

"Bawa kok, kebetulan banget,  kan?" Tanpa setahu Nadia, sebenarnya Salsa meminta pada sang ibu agar supir mengantarkan mobilnya ke kampus.

Tak jauh dari kedua gadis itu, Awan tampak berjalan pelan mengikuti mereka. Lelaki itu berusaha menjaga jarak aman agar tak ketahuan Nadia maupun Salsa. Jangan sampai kedua gadis itu tahu kalau dia mengikuti mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gara-Gara Utang   Bab 41

    Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala

  • Gara-Gara Utang   Bab 40

    "Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih

  • Gara-Gara Utang   Bab 39

    Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny

  • Gara-Gara Utang   Bab 38

    Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se

  • Gara-Gara Utang   Bab 37

    Nadia keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menghampiri Astri di kamarnya."Mi," panggilnya.Astri yang masih rebahan menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Nadia."Kamu sudah mandi, Sayang?""Sudah Mi, Mami mau aku bantuin ke kamar mandi?""Boleh Sayang, rasanya lengket banget badan mami."Nadia memapah langkah Astri ke kamar mandi. Astri tak lagi selemas tadi tapi memang belum benar-benar merasa sehat. Bagaimanapun, hal-hal yang tadi mereka alami membuatnya syok. Dia tak tahu jika sampai terlambat datang ke tempat itu.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dibantu Nadia, Astri mengajak putrinya itu ke meja makan."Tadi kamu yang angetin sayurnya, Nad?"Nadia nyengir malu."Mas Awan Mi, yang angetin.""Kamu panggil nak Awan, mas?""Iya, Mi," jawab Nadia malu-malu. "Dia yang minta, Mi. Sebenarnya aku malu ketahuan nggak bisa nyalain kompor, tapi Mami tahu sendiri kan apa penyebabnya.""Bukan nggak bisa, Sayang, tapi kamu masih takut ya, gara-gara waktu ke

  • Gara-Gara Utang   Bab 36

    "Kalau Nak Awan sendiri apakah sudah mempunyai kekasih hati? Maaf ya Nak, gara-gara kami, kamu harus berkorban. Kalau memang Nak Awan sudah memiliki pacar atau bahkan istri, lebih baik Nak Awan tinggalkan Nadia sekarang juga," ucap Astri tegas. Ia tak mau Nadia akan tersakiti nantinya jika terikat dengan Awan lebih lama.Lagipula, keluarga mereka belum saling mengenal. Yang Astri tahu, Awan adalah saudara tiri Salsa.Awan balas menggenggam tangan Astri dan setia tersenyum pada wanita itu."Saya masih sendiri, Bu. Saya belum memilik istri eh sekarang kan sudah. Sebenarnya ada yang ingin saya lakukan terlebih dahulu sebelum mempunyai pasangan.""Oh ya, apa ibu boleh tahu? Kalau Nak Awan tak bisa juga tak apa-apa. Ah ya, bukankah kamu lebih baik memanggil mami juga seperti Nadia?"Awan tersenyum canggung."Maaf Bu, tapi bolehkah saya tetap memanggil ibu? Saya merasa lebih nyaman.""Oh iya, silahkan. Kalian istirahatlah, pasti sama-sama capek.""Mami kan belum makan. Kita makan dulu ya, b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status