Share

Bab 7

"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah."

"Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah."

"Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita."

"Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu."

"Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."

"Nak, Dafa, Sayang, dengarkan ayah. Kamu harus kuat. Jadi laki-laki jangan cengeng. Jangan gampang mengeluarkan air mata."

"Ayah jahat, Ayah udah biarin ibu pergi. Nenek jahat, nenek sudah usir ibu dari sini. Aku benci Ayah, aku benci sama nenek."

Tangan kecil Dafa memukul dada Ismail yang tak berarti apa-apa bagi lelaki itu.

"Ayah sama ibu sayang sama Dafa. Begitupun nenek. Maaf, semua ini salah ayah. Ayah yang tak becus menjaga ibu. Maafkan ayah, Nak."

Raungan dan tangisan Dafa tak bisa mengubah apapun. Ismail berusaha menenangkan anak semata wayangnya. Berhari-hari Dafa tak mau berbicara padanya. Bahkan keadaan itu berlanjut hingga Dafa lulus sekolah. Walaupun tak sampai mendiamkan ayahnya terus-menerus, sikap Dafa tak juga hangat kepada Ismail.

Hal yang sama juga anak itu lakukan pada neneknya. Sekeras apa pun Halimah mengambil hati cucu pertamanya itu, tak pernah satu kali pun Dafa menghiraukannya. Semua yang diberi oleh Halimah memang diterimanya namun sama sekali tak dipakainya. Perkataan pun diatur sedemikian rupa agar tak terkesan ketus. Pernah sekali Dafa berkata kasar pada Halimah, bocah yang duduk di bangku SD itu langsung dibentak oleh sang ayah. Rasa kesal dan tak sukanya bertambah ketika Ismail menurut saja saat Halimah menjodohkannya dengan wanita lain sampai dua kali.

Hanya kepada keluarga Mirna, adik dari Ismail, Dafa bisa bersikap ramah. Bahkan, Dafa lebih sering berada di rumah tantenya daripada di rumah sang ayah. Dafa berusaha melayangkan protes yang malah membuatnya makin dikekang oleh Halimah. Halimah mendikte cucunya agar menerima ibu baru yang katanya lebih baik dari Astri. Wanita itu terlalu membenci mantan menantu yang telah memberinya satu orang cucu itu. Kedua wanita itu memang baik dan menerima Ismail berikut Dafa. Namun, tak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi Astri di hati Dafa maupun Ismail. 

Wanita-wanita yang pernah menjadi istri Ismail pun berusaha menjadi ibu yang baik untuk Dafa. Sayangnya, pernikahan mereka tak bertahan lama. Yang pertama hanya bertahan setahun karena sikap Ismail yang tak perhatian padanya. Wanita bernama Dini mengajukan gugatan cerai saat sikap Ismail tak berubah. Tetap cuek padanya. Padahal, Dini berusaha bersikap sebaik-baiknya sebagai seorang istri. Sedangkan yang kedua bisa sampai dua tahun menjadi ibu sambung Dafa. Wanita bernama Aisyah itu mempunyai seorang anak perempuan dari pernikahannya terdahulu. Dafa sudah mulai menerima dan menyayangi ibu sambung dan adik tirinya namun Ismail menceraikan Aisyah karena tak ingin membuat wanita itu tersiksa. Selama ini Ismail tak bisa mencintainya. Di hatinya hanya ada Astri, tak ada yang lain. Ismail ingin Aisyah mendapatkan laki-laki yang bisa membahagiakannya dan mencintainya dengan tulus. 

"Sekarang kamu ada dimana As ... jujur saja aku merindukanmu. Walau aku sudah dua kali mendapatkan penggantimu, aku tak pernah bisa melupakanmu. Maafkan sikapku yang dulu sering memojokkanmu. Aku yang sering menyalahkanmu. Maafkan aku atas segalanya," gumam lelaki paruh baya itu sambil menerawang jauh.

Di tangannya tampak wadah berisi pakan ikan yang masih utuh. Sedikit saja ia melangkah maju, maka lelaki itu akan tercebur ke dalam kolam ikan sedalam satu setengah meter itu. Seorang wanita tampak berjalan pelan menghampirinya. Langkahnya terhenti kala melihat penampilan Ismail yang kusut. Rambut dibiarkan berantakan tanpa disisir. Pakaian pun seadanya. Walau memang tak lagi memiliki istri, seharusnya Ismail bisa lebih memperhatikan dirinya sendiri. Tidak menyiksa diri seperti itu. Wanita itu maju beberapa langkah dan memanggil Ismail yang tampak termenung.

"Mas ... mas Is lagi apa?"

"Oh, ini lagi ngasih makan ikan. Kamu mau apa Mir?"

"Itu, tadi aku nyimpen lauk buat makan mas Is. Makanlah selagi hangat."

"Terima kasih, Mir. Hanya kamu yang masih bersedia menganggap aku saudara."

"Jangan berkata seperti itu Mas, sudah kewajibanku sebagai adik mas Is untuk melakukan semuanya. Lagipula, Dafa juga berpesan agar aku sering memperhatikan mas Is."

"Anak itu walaupun sikapnya dingin padaku, aku tahu kalau dia masih menyayangi ayahnya yang sudah tak punya apa-apa ini."

"Dafa sangat menyayangi mas Is. Dia hanya kecewa lantaran takdir yang memisahkannya dari mbak Astri."

"Kira-kira dimana Astri sekarang ya Mir, apa dia masih ada di dunia ini ataukah sudah kembali ke pangkuan-Nya. Aku masih sering merasa bersalah padanya."

"Kita berdoa saja semoga masih ada kesempatan bertemu mbak Astri. Aku ingin meminta maaf atas nama ibu."

Ismail terdiam lagi. Setetes air bening mengalir dari pelupuk matanya namun segera laki-laki itu hapus. Entah sudah berapa liter air mata penyesalan yang ditumpahkannya.

"Ya sudah, aku pulang dulu. Jangan lupa makan ya, Mas," kata Mirna sambil mengusap bahu kakaknya pelan.

"Iya, makasih. Sampaikan terima kasihku juga pada Yudha."

Mirna mengangguk pelan sambil tersenyum kemudian berlalu menuju rumahnya.

Ismail menghembuskan napas panjang mencoba meredakan keresahan hati. Lelaki paruh baya itu berbalik setelah meletakkan pakan ikan di tempatnya. Sesampainya di dapur, Ismail membuka tudung saji dan melihat nasi yang masih mengepul dengan beberapa potong ayam goreng dan sayur asem. Ismail kadang merasa tak enak pada adik dan juga adik iparnya karena mereka sangat baik memperlakukannya.

***

Nadia bergegas keluar kampus bersama Salsa.

"Sabar Nad, jalannya jangan buru-buru. Aku capek ngikutinnya."

"Aku pengen cepet-cepet ketemu sama mami, Sal. Aku harus mastiin mami bisa pulang hari ini. Kebetulan 'kan besok kita nggak ada mata kuliah."

"Iya, aku tahu, tapi kalau kamu jalannya terburu-buru gini, yang ada ntar kamu kesandung. Bukannya kamu merawat tante Astri malah kamu yang sakit. Kamu mau kalau sampai tante kepikiran?"

Nadia mengerem langkahnya seketika hingga Salsa hampir menabraknya.

"Kalau mau berhenti bilang-bilang dong Nad, kamu gimana sih."

Nadia berbalik, "hehe, maaf Sal, nggak sengaja. Ya udah, aku biasa aja jalannya, nggak lari lagi."

"Nah, gitu dong. Yuk, ke parkiran sekarang."

"Eh iya, emangnya kamu bawa mobil?"

"Bawa kok, kebetulan banget,  kan?" Tanpa setahu Nadia, sebenarnya Salsa meminta pada sang ibu agar supir mengantarkan mobilnya ke kampus.

Tak jauh dari kedua gadis itu, Awan tampak berjalan pelan mengikuti mereka. Lelaki itu berusaha menjaga jarak aman agar tak ketahuan Nadia maupun Salsa. Jangan sampai kedua gadis itu tahu kalau dia mengikuti mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status