"Selamat pagi, bu Astri," sapa dokter Rianti saat kunjungan pagi itu.
"Selamat pagi, Dok," balas Astri dan juga Nadia.
"Bagaimana perasaannya saat ini, Bu?"
"Saya masih merasa lemas, Dok."
"Baik Bu, saya periksa dulu ya."
Dokter Rianti menyematkan stetoskop ke kedua lubang telinganya. Kemudian menekan-nekannya ke dada Astri. Menyentuh pergelangan tangan kiri Astri sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya.
"Bagaimana Dok, apa mami saya boleh pulang sekarang?"
Dokter Rianti tersenyum manis.
"Dengan berat hati, saya menyatakan kalau bu Astri belum boleh pulang. Sebaiknya bu Astri istirahat dulu di sini, nanti saat kunjungan siang hari, semoga keadaannya lebih baik sehingga bisa pulang nanti sore."
Penjelasan dokter Rianti membuat Nadia merasa lemas seketika. Niat hati ingin membolos apa daya Nadia harus memenuhi janjinya pada Astri untuk pergi ke kampus.
"Yaah, berarti aku nggak bisa bolos kuliah, dong."
"Kenapa mau bolos?" tanya dokter Rianti ramah.
"Pengen aja Dok, nemenin mami. Sekali-kali biar nggak jadi anak yang lempeng aja, hehe."
"Sayang, mami nggak papa kok sendirian. Ada suster juga yang jagain. Kamu berangkat kuliah ya. Tapi, kamu harus pulang dulu buat mandi dan ganti baju."
"Miiii ..."
"Nurut nggak sama mami? Katanya sayang sama mami kok diminta buat rajin kuliah kamu nolak sih."
"Ya udah lah, kalau sang ratu sudah memberi perintah, bagaimana putri kecil yang tak berdaya ini bisa melawan," ucap Nadia yang membuat semua orang yang ada di sana tertawa seketika.
***
Walau raga ada di kampus, pikiran Nadia tetap tertuju klinik dimana Astri dirawat. Setelah kunjungan dokter tadi pagi, Astri belum boleh pulang sampai nanti sore. Niat semula hendak menghabiskan waktu menjaga sang ibu seharian, apalah daya Astri memaksanya untuk pergi kuliah agar tak ketinggalan pelajaran.
Salsa tampak heran melihat raut muka sahabatnya yang kusut. Biasanya Nadia menyapanya tapi tadi hanya melewatinya di parkiran.
Deg. Tepukan di bahu mengagetkan Nadia yang sedari tadi melamun. Langsung ditolehkannya kepala ke arah kanan dimana Salsa nyengir melihatnya.
"Kamu kenapa, Nad?"
"Eh, emang aku kenapa, Sal?"
Salsa mengembuskan napas pelan.
"Kamu biasanya ceria banget. Tapi, hari ini kayak ayam nggak dikasih makan seminggu. Lemes."
Reflek tangan mulus Nadia mendarat di bahu Salsa di sampingnya.
"Aduhh Nad, kamu kira-kira dong kalo nabok. Sakit nih."
"Halah, nabok ringan aja dibilang sakit. Gimana kalau aku pakai tenaga dobel. Lagian kamu ngatain aku kayak ayam."
"Nih, dengerin ya Nadia sayang, aku ngomong kayak gitu karena ngeliat kamu yang nggak semangat, lemes, trus juga pucet banget. Kamu sakit?"
Salsa selangkah maju lalu berbalik menatap Nadia sambil meraba dahi sahabatnya itu. Tatapan matanya menyiratkan kekhawatiran.
"Nggak panas kok, tapi mata kamu ada lingkaran hitamnya, kayak mata panda. Kamu habis begadang, ya? Apa habis ngedrakor?"
"Apaan sih Sal, aku nggak sakit. Mami aku yang sakit. Mau aku tungguin nggak mau, malah maksa aku buat berangkat kuliah. Padahal kan, libur sehari juga nggak papa. Baru kali ini juga aku lihat mami sakit sampai pucet banget kayak gitu," sahut Nadia sambil cemberut.
"Haah? Tante Astri sakit apa? Kok kamu nggak ngabarin aku? Aduh Nad, kamu tega banget sih sama aku. Harusnya kamu cepet-cepet telpon aku. Kan aku bisa temenin kamu jagain tante Astri. Pantes aja ya, kamu kemarin kekeuh mau langsung pulang."
"Iya Sal, mungkin karena ikatan batin juga. Kemaren waktu aku pulang kuliah, aku dapetin mami pingsan di kamar. Aku nggak tahu mami udah berapa lama pingsannya. Aku panik banget tahu nggak sih. Untunglah ada tante Anggun sama om Burhan yang mau nolong nganterin kami ke klinik. Mami harus dirawat saat itu juga."
"Trus, kata dokter gimana? Tante sakit apa?"
"Kata dokter mami cuma kecapekan hingga tekanan darahnya rendah. Aku semalem nginep di klinik buat nemenin mami. Kirain tadi mami udah boleh pulang ternyata masih nunggu pemeriksaan nanti siang. Moga aja ntar sore udah boleh pulang. Aku pengen ngerawat mami di rumah."
Salsa mengusap pelan bahu sahabatnya.
"Kamu yang sabar, ya. Aku yakin tante Astri akan baik-baik aja. Kalau tante boleh pulang nanti sore biar kita jemput pakai mobil aku aja, ya."
"Makasih ya Sal, kamu memang sahabat terbaik aku. Aku sayang sama kamu."
"Sama-sama. Kamu udah kayak saudara perempuan aku sendiri. Saudara aku 'kan laki-laki semua."
"Ehemm." Kedua gadis itu saling pandang lalu menoleh pada seseorang yang berdehem di belakang mereka.
"Pagi Pak," sapa kedua sahabat itu pada orang itu.
"Pagi," jawab sang dosen sambil berlalu melewati keduanya.
"Nad, menurut kamu pak Awan ada di belakang kita dari tadi apa barusan?" bisik Salsa sambil masih memperhatikan sang dosen.
Nadia mengedikkan bahu cuek.
"Aku nggak tahu dan nggak mau tahu."
"Emang kenapa sih Nad, kamu kayaknya cuek banget sama pak Awan? Atau jangan-jangan cuek tapi diam-diam memperhatikan?"
"Dibilang cuek nggak juga Sal, aku cuma mencoba bersikap biasa aja. Aku pengen jadi mahasiswa yang terkenal karna prestasinya, bukan karena skandal. Jadi ya kayak tadi aja, ada beliau, aku sapa, kalo nggak ya biasa aja gitu. Aku juga bukan fans garis keras pak Awan jadi nggak perlu-perlu banget buat caper sama beliau. Aku nggak mau sampe diserang fansnya dia."
Salsa manggut-manggut mengerti. Aku sebenarnya pengen deketin kamu sama pak Awan, Nad. Kalian orang-orang terdekat aku. Semoga harapanku ini akan jadi kenyataan suatu saat nanti. Batin Salsa sambil menatap Nadia yang berjalan di depannya.
Nadia yang menyadari sahabatnya itu tertinggal di belakang segera berbalik dan melambaikan tangannya.
"Ayo ih, kamu ngapain diem di sana."
Salsa tersenyum dan berjalan cepat ke arah Nadia yang menunggunya.
Tak terasa mereka telah sampai di kelas yang tak lama lagi dimulai. Sebagian besar kursi sudah diduduki teman-teman mereka. Nadia dan Salsa mengambil tempat duduk di bagian tengah.
Sementara itu, di ruangan dosen, Awan tampak termenung memikirkan percakapan yang tak sengaja didengarnya tadi. Tentang ibu dari salah satu mahasiswi di kelasnya. Sudut hatinya terasa tercubit mendengarnya. Walau berusaha melupakan ternyata kenyataannya tak semudah itu. Ada sisi lain hatinya yang menutut penjelasan atas semua yang terjadi padanya sedari kecil.
Apa aku harus mengikuti mereka agar bisa melihatnya? Tapi, kalau sudah melihatnya, apakah aku akan kuat menahan diri untuk tidak menghampirinya?
Awan mengacak rambutnya yang tertata rapi. Dia mengangguk pelan tanpa tersenyum pada rekan kerjanya yang memasuki ruangan.
"Pak Awan sudah sampai dari tadi?"
"Baru saja, pak Agus."
"Pak Awan ini rajin sekali ya, baju juga selalu rapi. Pasti istrinya sangat pintar mengurus keperluan pak Awan."
Tak menjawab, Awan hanya mengulas senyum tipis. Apa aku kelihatan seperti orang yang sudah menikah? Batinnya merasa geli.
"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah.""Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah.""Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita.""Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu.""Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."
Sebuah mobil mewah berwarna putih tampak berbunyi dan mengedipkan lampu sekali ketika Salsa menekan remote di tangannya."Yuk, Nad, biar kita cepet sampai ke klinik."Nadia memandang takjub pada mobil milik Salsa."Sal, ini kita nggak salah mobil, kan?""Hahaha, enggak lah. Kalau salah mobil, aku nggak mungkin bisa buka mobil dengan kunci yang aku bawa ini. Udah ah, yuk cepetan masuk. Atau perlu aku bukain pintunya?"Nadia menggeleng cepat dan segera masuk ke dalam mobil sahabatnya."Mobil kamu bagus, Sal.""Bukan mobil aku, Nad. Ini mobil ayah tiri aku. Aku cuma minjem doang. Kalau mobil aku sendiri lagi di bengkel.""Oh, berarti ayah tiri kamu kaya banget dong ya, mobilnya aja keren gini.""Iya, dan aku beruntung banget mempunyai ayah tiri yang nggak hanya sayang sama mama aku tapi juga sayang sama aku. Bahkan, nggak ngebeda-bedain antara aku sama adik aku yang merupakan anak kandungnya."Salsa melajukan mobil i
Tok. Tok. Tok."Ya, sebentar," jawab Astri dari dapur. Tak lupa wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mematikan kompor yang menyala. Untunglah, masakannya sudah matang hingga bisa ditinggalnya sebentar sebelum memindahkannya ke dalam wadah.Dengan tergopoh, Astri mencuci tangan di wastafel dan mengelapnya. Namun rupanya sang pengetuk pintu sudah tak sabar sehingga ketukannya semakin lama semakin seperti gedoran."Siapa sih, nggak sabaran amat. Memangnya aku ini punya kaki yang panjang hingga bisa mencapai pintu dalam waktu satu detik," gerutu Astri.Astri membuka pintu dengan wajah yang lumayan kesal. Walaupun tamu memang harus dihormati, tapi apa tak bisa sabar sebentar saja menunggu tuan rumah membuka pintu.Astr
Seorang pemuda yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga sedang duduk di sebuah kursi putar. Kepalanya diletakkan di sandaran kursi sambil berputar-putar ke kiri ke kanan. Tangannya memainkan sebuah mainan mobil kecil yang sudah pudar warnanya. Mainan yang sangat berarti untuknya. Mainan masa kecil dari seseorang yang sangat disayanginya. "Bu, Dafa mau mainan itu," kata seorang bocah sambil menunjuk mobil-mobilan remote di sebuah toko mainan. Sang ibu yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah toko mainan di dekat mereka. Saat ini, Dafa sedang ikut Astri belanja di pasar. Wanita berusia tiga puluh tahun yang bertubuh ramping bak remaja itu tersenyum dan berlutut menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Tangannya mengusap lembut rambut Dafa yang hi
Nadia sedang duduk santai di halte sambil menunggu bus yang akan membawanya pulang. Nadia terkesiap kaget saat tiba-tiba Alvin ada di depannya."Om, ngapain ke sini?" tanya Nadia waspada."Mau nemuin keponakan om lah, ngapain lagi."Alvin tersenyum tetapi malah membuat Nadia bergidik ngeri.Nadia berdiri saat dari kejauhan melihat bus tujuan rumahnya. Namun, gadis itu merasa kesal saat Alvin mencekal tangannya. Di halte sore ini sudah sepi dan sedari tadi Nadia hanya sendiri di tempat itu. Alvin lalu menyeret tangan Nadia menjauhi halte sebelum bus berwarna hijau itu sampai di sana."Lepasin Om, lepasin, jangan bawa aku. Memang aku salah apa sama Om. Om sadar nggak sih, Om itu udah nyakitin aku.""Cuma kamu yang bisa b
Mobil melaju membaur dengan berbagai kendaraan di jalan raya yang membuat kemacetan. Nadia memberikan alamat rumahnya pada Awan. Dengan handal, dosen muda itu mengendarai mobilnya menuju rumah Nadia."Sampai sini aja, Pak," ucap Nadia saat mobil Awan hampir sampai di gang menuju rumahnya."Rumah kamu di sebelah mana?""Rumah saya masuk gang, Pak. Saya jalan kaki saja dari sini.""Nanggung Nad, biarkan saya antar sampai rumah. Saya hanya bertanggung jawab untuk mengantar kamu selamat sampai tujuan. Lagipula, mobil bisa masuk gang. Bisa saja lelaki yang mengaku sebagai om kamu tadi menunggu di tempat sepi dan memaksa kamu untuk mengikutinya."Nadia menunduk lalu mengangguk setuju. Gadis itu kemudian memberi tahu arah rumahnya lebih detail.Semakin dekat, hati Awan makin berdebar kencang. Akankah pertemuan itu segera terjadi? Sekarang kah, waktunya untuk mereka bertemu?Awan menghentikan laju kendaraannya tepat di jalan depan rumah berca
"Tuh, mukanya merah, berarti bukan cuma sekedar dosen ya ..."Wajah Nadia makin tersipu saat Astri menggodanya. Nadia menutupi wajah denfan kedua tangan sambil menhgelengkan kepala."Enggak Mi, beneran. Pak Awan itu cuman dosen aku. Lagian juga baru tadi aja kami ketemu secara dekat. Selama ini cuma sekedar interaksi biasa antara mahasiswa sama dosennya.""Yakiiin?" Senyuman Astri mengembang melihat sang putri yang salah tingkah."Iiih Mami, kalo nggak percaya tanya aja sama Salsa. Pak Awan emang baik tapi ya gitu, jarang ngomong. Auranya kayak dingin gitu, Mi.""Kalau dingin dipanasin dong, Sayang.""Mamiii, seneng banget sih godain aku.""Hahaha, iya, iya, mami percaya. T
"Mas, apa tidak bisa aku mendapatkan hatimu sedikit saja? Aku tahu, aku bukan wanita yang sempurna dan sebaik mantan istrimu. Bahkan, dia juga pasti wanita yang sangat cantik sehingga kamu tak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tapi Mas, kita sudah bersama berbulan-bulan lamanya. Aku juga memperlakukan Dafa dengan baik. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi anakku sendiri." "Maaf Ai, aku sudah memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tak mungkin membaginya lagi pada wanita lain. Aku menikahimu karena keinginan ibuku. Maaf kalau hal ini menyakitimu." "Aku tahu Mas, kita dijodohkan. Jujur saja, aku juga sama sekali belum mencintaimu. Aku menerima dirimu sebagai pengganti almarhum mas Jaya karena aku berpikir anakku pasti membutuhkan sosok seorang ayah. Yang kuharapkan kutemukan pada dirimu. Iya, kamu memang baik pada putriku, aku akui itu. Maaf, jika aku men