“Ya Allah, Ca. Kamu ini loh, ambil perhiasan kan bisa nanti-nanti lagi, kamu nggak ada khawatirnya sama sekali sama istrimu apa?” Ibu kembali mengeluarkan urat lehernya mungkin saking kesalnya dengan kelakuanku“Sedelat, Bu. Ini kan biar Farhana senang perhiasannya sudah balik lagi.” Aku berusaha menenangkan Ibu.“Ini pake uang siapa, Ca? Nebus perhiasan istrimu?” Mba Retno mendekatiku ketika didepan kasir pegadaian.“Uang Ibu, kenapa Mba?” Perasaanku sudah tak enak melihat wajah Mbak Retno yang terlihat jutek.“Kamu tuh tega banget sih Aksa, aku kan lagi susah. Suami aku aja kerjanya masih serabutan nggak kaya kamu yang udah BUMN, nggak bosen-bosen minta uang terus ke Ibu? Emang istri kamu dikasih makan emas ya, nggak bisa apa ngirit sedikit?” Mbak Retno menceramahiku sambil berbisik-bisik.“Sst…uwis toh, Mbak. Isin kedengeran orang pegadaian.” Aku tak tahan dengan omelan Mbak Retno, dia pikir hanya dia saja apa di dunia ini yang butuh uang.Mbak Retno kemudian pergi dari hadapanku s
"Apa dek? Ooo... itu. Mas kawinnya aku pinjem dulu dek. Kan yang penting perhiasan dari ibumu toh?" Aku menjawab datar."Gimana sih kamu mas, percuma minta maaf. Lalu gaji bulanan kamu kemana aja sih mas?" Wajah Farhana seperti akan menerkamku."Ahhh...cerewet kamu dek. Udahlah kita nggak usah ngomongin ini lagi. Tambah nesu aku dek." Aku langsung keluar dari kamar dan menggebrak pintu rumah dengan kencang. Lebih baik aku bertemu dengan Nora yang wajahnya selalu terlihat menyegarkan dibanding Farhana.*Aku melajukan mobil katanaku ke sebuah kos-kosan berlantai dua dekat kantor, disanalah Nora tinggal. Rumah orantuanya memang tak begitu jauh, masih disekitaran kota tapi Nora ingin dia lebih mandiri dan memutuskan untuk kos dekat dengan kantor. Sebenarnya keputusan Nora sudah sangat tepat karena aku jadi bisa mengunjunginya kapan saja tanpa harus ada rasa tidak enak kepada Orangtuanya.Aku mengetuk pintu kamar kosannya, terlihat Nora membukakan pintu sambil matanya sembap sepertinya ha
“Nduukkk…tega sekali kamu sama Ibu. Kamu itu satu-satunya anak kebanggaan Ibu, setelah Bapak meninggal tidak ada orang yang menghragai keluarga ini dan semua itu bisa kembali setelah kamu jadi dokter. Ibu berharap kamu tetap membanggakan dan bisa menikah dengan wajar seperti gadis-gadis lain. Apa yang ada dipikiranmu, Nduk?” Bu Wati menangis sejadi-jadinya ketika aku dan Nora mengatakan apa yang sedang terjadi diantara kami dan telah ada sebuah benih cinta kami di dalam perut Nora.“Iya, maaf Bu. Nora khilaf.” Nora tak banyak berkata, hanya bulir bening yang terus keluar dari kedua bola matanya.“Kamu? Lagian kamu sebagai lelaki kenapa tega sekali sih, bukannya menjaga anak saya yang notabene seorang anak yatim, kamu malah menghancurkan hidupnya?” Bu Wati menunjuk-nunjuk kearahku meluapkan kekesalannya.“Nggih, Bu maafkan saya. Saya akan bertanggung jawab menikahi Nora.” Aku bersimpuh di kaki Bu Wati.“Nikahi dia secepatnya tak usah menunggu kandungannya semakin besar!” Tekan Bu Wati
Kami telah sampai di rumah sakit, terlihat petugas UGD telah siap membawa brangkar ke arah mobilku. Petugas kemudian segera mengangkat tubuh Bu Wati ke atas brangkar, Bu Wati segera diberikan pertolongan pertama oleh petugas. Setelah sadar dan diinfus, Bu Wati segera dibawa ke ruang rawat.“Alhamdulillah, Bu. Udah enakan belum?” Nora memijit-mijit tangan Ibunya.“Nora, Ibu mau kamu sama Aksa menikah malam ini juga! Ibu nggak mau nunggu lama, Ibu takut umur Ibu nggak panjang lagi.” Bu Wati menangis lagi.“Bu, ini tuh udah malem banget. Satu minggu lagi saja ya, nanti Mas Aksa usahakan mencari penghulunya dulu.” Nora berusaha membujuk Ibunya.“Nggak, Ibu nggak mau lihat keadaan kamu tanpa suami begini, Ibu takut sebelum kamu menikah Ibu sudah keburu nggak ada.” Bu Wati menangis sesenggukan.“Ibu jangan bilangnya begitu, Ibu bakalan sehat aja kok.” Nora memeluk Ibunya.“Udah…. Udah, Dek. Malam ini biar Mas carikan penghulu yang bisa menikahkan kita besok. Untuk walinya kita pakai wali ha
Nora yang nampak kelabakan belum siap untuk akad segera mengganti baju dengan kebaya putih yang dipinjamnya semalam dari salon. Nora berdandan alakadarnya tapi masih terlihat sungguh mempesona. Kami kemudian segera duduk di hadapan Pak Penghulu dan aku segera mengucapkan ijab kabul. Akhirnya kami syah jadi suami istri, kunyalakan gadgetku, terlihat sederetan riwayat telepon dari Farhana dan keluargaku nampak menghiasi layar, aku tak pedulikan dulu telepon dari istri dan keluargaku yang terpenting aku harus memiliki momen yang tersimpan rapih di galeri handphoneku. Walaupun foto pernikahanku bukan menggunakan kamera bagus dan hanya menggunakan handphone tapi tetap harus memiki kesan tersendiri.Handphoneku berbunyi, aku mendapat pesan whatsup dari sahabatku Joko, dia menanyakan kabarku yang katanya terkena covid. Agar mereka percaya aku segera mengambil foto diriku yang sedang diruang rawat agar terlihat nyata. Tak berapa lama segera kukirim foto itu, kemudian setelah itu kulihat mertu
Jika Joko ada di hadapanku rasanya akan aku cabik-cabik wajahnya karena telah menyebarkan suatu milikku yang sifatnya sangat rahasia itu. Entah apa yang sebenarnya Joko pikirkan tentangku padahal selama bekerja aku selalu baik kepadanya. Ada pekerjaan apapun selalu aku ikut sertakan dia walaupun dia adalah bawahanku.“Niku loh, Mas. Sehabis Mas kirim foto itu, Mas Andi orang HRD kan ada disebelahku lah ya otomatis dia lihat lalu hapeku dia rebut masuk ke ruangannya lalu dia kunci dari dalam. Aku loh sampe nangis-nangis, Mas. Eh malah Mas Andi kirimkan ke keluargamu, maaf beribu-ribu maaf, Mas. Kalau saja Mas Andi nggak ambil hapeku pasti nggak akan kaya gini kejadiane.” Suara Joko terdengar parau, dia seperti ketakutan mendengarku marah.“Bener kamu, Jok? Awas kalau sampe kamu bohong ya. Aku bakalan nanya ke Mas Andi, lagian tolong sekarang kamu bilang sama Si Andi itu kalau foto aku sama Nora itu cuma buat bahan becanda karena kami sama-sama kena covid kok.” Aku bingung mau berbohong
Mbak Retno segera menelpon ambulance karena Bapak tak juga sadar ketika diberikan pertolongan pertama berupa oksigen oleh kami. Setelah ambulance datang kami segera mengantar Bapak ke rumah sakit. Di rumah sakit Bapak segera ditangani dengan baik oleh para petugas sehingga Bapak bisa lekas siuman dan dipindahkan ke ruang rawat. Sebagai anak lelaki, aku dan kakakku bergantian menjaga Bapak di malam hari. Hari pertama Bapak dirawat, Bapak ingin aku yang menjaganya. “Ca, tolong ambilkan Bapak minum.” Bapak terduduk dari posisi berbaringnya, dia agak sedikit kerepotan karena lengannya dipasang infus. Aku segera mengambilkan gelas yang berisi air putih yang berada di sampingnya. “Ca, kamu bener kalau Nora itu lagi hamil anakmu?” Bapak sepertinya masih penasaran dengan pernyataanku yang membuat pinsan itu. “Nggak, Pak. Aca becanda kok, Nora nggak hamil cuma kami itu kan udah deket banget jadi Ibunya yang kemarin sakit-sakitan minta kami segera menikah biar nggak zina katanya.” Aku sebena
“Aksaaaa….” Tante Mela menjerit seketika mobil terbalik ke arah kanan. Aku yang berada di kursi bagian kanan seketika merasa nyeri di bagian lengan kiriku tapi aku masih bisa berdiri dan keluar menyelamatkan diri, aku kemudian membantu Tante Mela dan anak-anaknya. Kulihat Mas Aksa sepertinya tak sadarkan diri, kami berusaha membuka pintu mobil Mas Aksa dan berusaha juga mengeluarkan dia dari dalam mobil takut-takut jika mobilnya konslet dan meledak. Karena masih di jalan tol, bantuan segera mendatangi kami, ketika ambulance tiba Mas Aksa segera diangkat ke dalam mobil dan juga kami yang ikut mobil ambulance dan mobil patroli tol. Sebagai orang Indonesia, aku merasa masih beruntung karena kecelakaan ini kecelakaan tunggal dan juga kecepatan Mas Aksa tidak terlalu tinggi sehingga kami hanya mengalami luka ringan. Sekarang yang membuat kami khawatir adalah Mas Aksa yang masih tak sadarkan diri, aku takut lukanya ada di bagian dalam tapi semoga saja pinsannya ini hanya karena kaget. Akh