Aku tak jadi menelpon Mas Pras karena moodku keburu hilang. Aku juga menjaga agar dia tak terlalu berharap kepadaku. Langsung saja aku balas pesan whatsupnya.[Aku belum mengajukan proses cerainya, Mas. Mungkin aku menunggu Mas Aksa yang mengajukan karena uang tabunganku tak cukup untuk mengurusnya]Aku sebenarnya malas membalas pesan Mas Pras karena takutnya masalah semakin runyam.[Kalau begitu biar Mas yang kasih modal biar prosesnya lebih mudah, Dek] Benar saja, diotak Mas Pras sepertinya sudah banyak rencana tentang masa depan kami. Namun aku tak ada niat untuk hidup bersamanya apalagi dia bekas suami kakak iparku sendiri.[Nggak usah, Mas. Sekarang aku cuma butuh kamu meluruskan masalah ini kepada Mas Aksa, Ibu dan juga mba Retno. Aku nggak mau lagi ada dalam pusaran permasalahan rumah tanggamu, Mas!]Kemudian jeda cukup lama Mas Pras membalas pesanku, mungkin dia mulai berfikir untuk mengasihaniku dengan menjelaskan semua yan terjadi antara aku dan dia sebenarnya tak ada apapu
Hari- hari berlalu begitu cepat, sudah seminggu lamanya aku berada di Purwokerto. Ibu yang menjanjikanku sebuah rumah mewah di Kawasan elit di Purwokerto ternyata hanya mengontrakan rumah bagus di Alana Hils, perumahan paling mewah di kota kecil ini. Aku cukup bersyukur dan senang karena Ibu berjanji ketika uang DP rumah sudah terkumpul kami akan dibelikan salah satu rumah disekitar sini.“Dek, masak apa toh hari ini? Ntar malem aku pulang malem banget yam au lembur soalnya.” Mas Aksa memeluk pinggangku dari belakang ketika aku sedang memasak pagi itu.“Ini loh, Mas kesukaanmu balado tahu telor, kalau gitu nanti siang pas pulang bawa makan aja ya buat nanti malem?” Aku membalas pelukan Mas Aksa dengan menggenggam tangannya tetapi dalam hatiku masih berkecamuk rasa benci padanya yang belum juga sirna.“Boleh.. boleh, Dek. Tar siang mas balik lagi buat makan ya. sekarang mas mau berangkat dulu.” Mas Aksa kemudian melepaskan lengannya dari pinggangku menuju rak sepatu.“Oia, Mas. Itu lo
Sore harinya, Mas Aksa pulang dengan membawa banyak makanan. Tentu saja Tante Mela dan anak-anaknya nampak senang melihat banyak jajanan yang dibawakan Mas Aksa.“Udah pada mandi belum nih anak-anak? Jam limaan kita pergi yu puter-puter kota Purwokerto, ntar Om mandi dulu ya.” Mas Aksa menyapa anak-anak dengan ramah.“Iya Om mau-mau.” Anak-anak makin sumringah setelah Mas Aksa mengajak mereka untuk jalan- jalan.“Dek..dek bentar ke kamer dulu sini,” Mas Aksa tiba-tiba menarik lenganku dari ruang tivi. Mas Aksa menarikku masuk ke kamar dan segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Apa-apaan ini Mas Aksa masa sore-sore begini dia mau minta jatah, fikirku.“Dek, dek HP kamu yang kemarin itu mana? Mas mau pinjem dulu sebentar, nih Mas gantiin dulu sama hape ini!” Mas Aksa mengeluarkan sebuah handphone keluaran Tiongkok dari kantongnya.“Loh, Mas. Masa hape Ijonk ku mau diganti henpon Cina sih. Aku nggak mau ah.” Aku merajuk kepada Mas Aksa.“Ya makanya, Mas Cuma pinjem sebentar aja. Nanti k
Sesosok Wanita nampak menari-nari dihadapan Aksa, Wanita itu mengenakan dress berwarna hitam, bersepatu merah. Sungguh elegan, jauh rasanya jika dibandingkan dengan Farhana, istrinya. Menurut orang-orang sekitar, farhana istrinya adalah sosok Wanita yang sungguh cantik, bola matanya yang besar, hidungnya yang mancung serta bibirnya yang sedikit tebal menjadi sebuah unggulan yang selalu dgadang-gadang oleh keluarga besarnya. Apakah yang kurang dari seorang Farhana sehingga aku masih selalu haus untuk mencari Wanita lain selain dia?Aku baru sadar hari ini, Farhana adalah sosok yang begitu polos. Dia tidak pernah nampak elegan seperti wanita yang ada di hadapanku. Nora, dia dokter muda yang ditugaskan dikantorku. Malam ini dia sungguh terlihat berbeda, liar dan enerjik. Baru sebulan dia ditugaskan dikantorku, semenjak dia datang banyak pria-pria lajang terpesona pada kecantikannya yang khas, para pria menyebutnya elegan. Tak ketinggalan pun kami para bapak-bapak muda yang ikut terpesona
“Ya Allah, Ca. Kamu ini loh, ambil perhiasan kan bisa nanti-nanti lagi, kamu nggak ada khawatirnya sama sekali sama istrimu apa?” Ibu kembali mengeluarkan urat lehernya mungkin saking kesalnya dengan kelakuanku“Sedelat, Bu. Ini kan biar Farhana senang perhiasannya sudah balik lagi.” Aku berusaha menenangkan Ibu.“Ini pake uang siapa, Ca? Nebus perhiasan istrimu?” Mba Retno mendekatiku ketika didepan kasir pegadaian.“Uang Ibu, kenapa Mba?” Perasaanku sudah tak enak melihat wajah Mbak Retno yang terlihat jutek.“Kamu tuh tega banget sih Aksa, aku kan lagi susah. Suami aku aja kerjanya masih serabutan nggak kaya kamu yang udah BUMN, nggak bosen-bosen minta uang terus ke Ibu? Emang istri kamu dikasih makan emas ya, nggak bisa apa ngirit sedikit?” Mbak Retno menceramahiku sambil berbisik-bisik.“Sst…uwis toh, Mbak. Isin kedengeran orang pegadaian.” Aku tak tahan dengan omelan Mbak Retno, dia pikir hanya dia saja apa di dunia ini yang butuh uang.Mbak Retno kemudian pergi dari hadapanku s
"Apa dek? Ooo... itu. Mas kawinnya aku pinjem dulu dek. Kan yang penting perhiasan dari ibumu toh?" Aku menjawab datar."Gimana sih kamu mas, percuma minta maaf. Lalu gaji bulanan kamu kemana aja sih mas?" Wajah Farhana seperti akan menerkamku."Ahhh...cerewet kamu dek. Udahlah kita nggak usah ngomongin ini lagi. Tambah nesu aku dek." Aku langsung keluar dari kamar dan menggebrak pintu rumah dengan kencang. Lebih baik aku bertemu dengan Nora yang wajahnya selalu terlihat menyegarkan dibanding Farhana.*Aku melajukan mobil katanaku ke sebuah kos-kosan berlantai dua dekat kantor, disanalah Nora tinggal. Rumah orantuanya memang tak begitu jauh, masih disekitaran kota tapi Nora ingin dia lebih mandiri dan memutuskan untuk kos dekat dengan kantor. Sebenarnya keputusan Nora sudah sangat tepat karena aku jadi bisa mengunjunginya kapan saja tanpa harus ada rasa tidak enak kepada Orangtuanya.Aku mengetuk pintu kamar kosannya, terlihat Nora membukakan pintu sambil matanya sembap sepertinya ha
“Nduukkk…tega sekali kamu sama Ibu. Kamu itu satu-satunya anak kebanggaan Ibu, setelah Bapak meninggal tidak ada orang yang menghragai keluarga ini dan semua itu bisa kembali setelah kamu jadi dokter. Ibu berharap kamu tetap membanggakan dan bisa menikah dengan wajar seperti gadis-gadis lain. Apa yang ada dipikiranmu, Nduk?” Bu Wati menangis sejadi-jadinya ketika aku dan Nora mengatakan apa yang sedang terjadi diantara kami dan telah ada sebuah benih cinta kami di dalam perut Nora.“Iya, maaf Bu. Nora khilaf.” Nora tak banyak berkata, hanya bulir bening yang terus keluar dari kedua bola matanya.“Kamu? Lagian kamu sebagai lelaki kenapa tega sekali sih, bukannya menjaga anak saya yang notabene seorang anak yatim, kamu malah menghancurkan hidupnya?” Bu Wati menunjuk-nunjuk kearahku meluapkan kekesalannya.“Nggih, Bu maafkan saya. Saya akan bertanggung jawab menikahi Nora.” Aku bersimpuh di kaki Bu Wati.“Nikahi dia secepatnya tak usah menunggu kandungannya semakin besar!” Tekan Bu Wati
Kami telah sampai di rumah sakit, terlihat petugas UGD telah siap membawa brangkar ke arah mobilku. Petugas kemudian segera mengangkat tubuh Bu Wati ke atas brangkar, Bu Wati segera diberikan pertolongan pertama oleh petugas. Setelah sadar dan diinfus, Bu Wati segera dibawa ke ruang rawat.“Alhamdulillah, Bu. Udah enakan belum?” Nora memijit-mijit tangan Ibunya.“Nora, Ibu mau kamu sama Aksa menikah malam ini juga! Ibu nggak mau nunggu lama, Ibu takut umur Ibu nggak panjang lagi.” Bu Wati menangis lagi.“Bu, ini tuh udah malem banget. Satu minggu lagi saja ya, nanti Mas Aksa usahakan mencari penghulunya dulu.” Nora berusaha membujuk Ibunya.“Nggak, Ibu nggak mau lihat keadaan kamu tanpa suami begini, Ibu takut sebelum kamu menikah Ibu sudah keburu nggak ada.” Bu Wati menangis sesenggukan.“Ibu jangan bilangnya begitu, Ibu bakalan sehat aja kok.” Nora memeluk Ibunya.“Udah…. Udah, Dek. Malam ini biar Mas carikan penghulu yang bisa menikahkan kita besok. Untuk walinya kita pakai wali ha