" Ibuuu ...." Netraku terbuka setelah tak sadarkan diri. Tangisku pecah tak bisa dibendung lagi. Kejadian demi kejadian teringat, diri semakin terisak.
"Fa, sudah bangun ya, Nduk?" ucap ibu kaget.
Entah berapa jam aku terbaring di ruangan ini, ibu nampak setia menemaniku.
"Bu..., bagaimana bayiku ini, Bu? Semalem darahnya banyak banget," lirihku.
"Ndak apa- apa ko Nduk. Bayinya masih sehat kata dokter, kamu cuma harus bedrest aja," ucap ibu.
Kemudian pintu terbuka, sosok Mas Aksa seketika masuk ke ruanganku.
"Aksa ambil cuti ya? Ya wes Ibu pulang dulu aja ya biar Aksa yang nemenin kamu Nduk," Ibu seketika merapikan barang- barang yang akan dibawa pulang.
Mas Aksa duduk disampingku tetapi wajahnya masih masam seperti kemarin- kemarin.
"Semalem kamu pulang jam berapa Mas?" Aku penasaran.
"Ya pas kamu jatuh itu dek. Dek kamu gimana sih janganlah apa- apa cerita ke Ibu. Aku kan jadi dimarahin sama Ibu gara- gara uang sepuluh ribu," Mas Aksa mencebik kesal.
"Ya Tuhan Mas, istrimu ini habis pendarahan loh. Nggak mau nanya tentang anakmu ini apa mas, dia sehat atau nggak. Datang- datang ko langsung marah." Aku mendengus kesal.
"Halah alesan lagi apa- apa gara- gara hamil, gara- gara bayi. Wong bayimu nggak apa- apa ko," ucap Mas Aksa sambil fokus pada layar gawainya.
Lagi- lagi tak bisa kutahan air mata yang mengalir dari kelopak mataku. Sakit rasanya sungguh sakit lahir dan batinku.
~~~~~~~~~
Cukup dua hari aku berada di pembaringan rumah sakit, walaupun belum sepenuhnya pulih aku harus meneruskan bedrestku di rumah.
Siang itu aku tertidur sendiri di kamarku, Bi Narti telah selesai menyiapkan keperluanku sampai sore nanti. Alhamdulillah aku beruntung memiliki mertua yang cukup perhatian kepadaku.
Namun aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Aksa. Tak seperti biasanya Mas Aksa pulang di siang bolong seperti ini. Dia masuk ke kamar dengan terburu- terburu. Matanya kesana kemari seperti mencari sesuatu.
"Cari apa Mas?" ucapku penasaran.
"Dek, perhiasanmu yang mas kawin dari aku ditaruh dimana?" matanya masih melihat kesana kemari sambil langkahnya berhenti pada lemari pakaianku.
"Di sini?" Mas Aksa menunjuk lemari pakaianku sambil membukanya.
"Buat apa Mas?" Aku mengernyitkan dahi.
"Mas mau pinjem dulu dek, mau Mas gadaikan. Nggak lama Dek paling sebulan sudah Mas kembalikan." Mas Aksa meyakinkanku.
"Iya, tapi buat apa Mas. Adek ini kan istri Mas jadi Adek berhak tau," suaraku agak tinggi karena kesal.
"Halahh cerewet kamu Dek. Itu kan dari aku juga jadi aku masih berhak untuk menggadaikannya. Masih untung tidak aku jual Dek." Suara Mas Aksa malah lebih tinggi dari nada bicaraku.
Daripada pembicaraan ini semakin panjang dan berbuntut pertengkaran aku terpaksa bangun dari tempat tidurku dan memberikan sebuah kotak kayu yang tersimpan di lemariku.
"Ini mas," kuserahkan kotak itu padanya.
"Loh ini ada cincin sama kalung juga Dek?" Pupil Mas Aksa melebar.
"Yang itu jangan Mas, itu dari Ibuku," ucapku sambil kemudian aku berusaha mengambil kotak itu.
"Eitt...biar sekalian Dek.Mas gadaikan saja nanti Mas nggak jatahin Adek sepuluh ribu lagi atau sekalian kamu mau Mas belikan handphone baru?" Mas Aksa langsung keluar dari kamarku dengan langkah seribu tanpa mempedulikan jawabanku.
Aku mengejarnya keluar, tapi langkahnya lebih cepat dari kakiku yang lemah. Pinggangku terasa sakit sekali, darah segar kembali keluar diantara betisku. Ya Tuhan, ada apa lagi dengan kandunganku?
Setelah pembicaraan itu, aku segera pamit pulang ke rumahku. Sekarang aku lebih siap menghadapi cucian segunung, sampah sekeranjang ataupun lantai yang lengket karena tidak disapu dan di pel berhari-hari. Oke aku sudah siap! Dengan semangat empat lima aku membuka kunci pintu rumah. Taraaa….Ternyata rumahnya masih rapih kawan-kawan, apakah Mas Aksa sedang kerasukan jin baik? Aku tak percaya, ku putari sekali lagi dari ruang tamu ke dapur, dari dapur ke ruang tamu, kamar mandi, gudang dan juga kamar tingkat diatas. Semua rapih sama seperti sebelum kami berangkat ke Jogja. Jadi yang kudapat dari hasil memutari rumahku adalah, Mas Aksa belum pulang ke rumah semenjak dia balik dari Jogja sendiri. Kemana dia pergi coba? Ibu mertuaku saja bilangnya dia tak mampir-mampir ke rumahnya.Apakah pemikiranmu sama seperti pikiranku sekarang kawan? Pasti sama kan? Instingku mengatakan jika Mas Aksa menginap dirumah sundal itu. Pasti sudah pasti tak akan bisa lagi Mas Aksa mengelak atas semua ini, ke
Aku menghabiskan sisa waktu liburan bersama keluarga Tante Mela tanpa berkabar dengan suamiku, memang benar pada akhirnya kita tidak saling peduli saja jadi membuat hidupku tak banyak fikiran seperti kemarin-kemarin. Aku harus mulai meregangkan otakku, membuang fikiran negatifku dan mungkin sekalian harus juga mencari pelarian agar pikiranku tak melulu soal Aksara Diningrat.Aku diantarkan oleh Tante Mela langsung kerumah mertuaku karena katanya dia ingin memberikan oleh-oleh untuk mertuaku, untung saja Tante Mela tak minta langsung ke rumah karena tau sendiri rumah yang aku tinggalkan hanya kepada Mas Aksa pasti sekarang bentuknya melebihi seperti kapal pecah. Keburukan Mas Aksa kali ini terselamatkan lagi.“Ini Tante Mela, nggak nginep dulu aja sehari disini? Biar nanti Ibu ajakin ke restoran di baturaden yang baru itu loh.” Ibu mertuaku memang selalu royal pada saudara-saudaraku yang datang.“Waduh, makasih Ibu. Kapan-kapan saja ya karena ini saja liburannya sudah terlalu lama. Ini
Kurebahkan badanku diatas kasur empuk yang tak kutemukan di rumah, aku mulai berniat untuk mengirimkan gambar yang barusan aku terima dari Mas Pras kepada suamiku tapi bulir bening yang semenjak tadi kutahan akhirnya turun juga dari mataku. Kuratapi lagi betapa hidupku hancur karena mengenal seorang Aksara Diningrat, andai Ibu masih ada mungkin aku sudah memeluknya hari ini dan akan diusapkannya kepalaku dengan tangannya yang lembut. Ibu aku rindu masa kecilku, masa dimana hanya PR matematika yang membuatku pusing. [Mas ini kamu ya? Senang ya karokean sama mantan istri atau jangan-jangan masih nikah ya kalian? Jangan sampai aku nekad kirim gambar ini ke Bapak ya!] Aku segera kirim pesan itu kepada Mas Aksa, sudah seharusnya orang seperti itu kuberi ancaman dari dulu. Kita lihat apalagi alasan dia kali ini? [Apaan sih, Dek. Itu cuma kebetulan ketemu dan kami cuma nostalgia karokean aja, lagian kita rame-rame kok perginya nggak berduaan aja. Udah nggak usah macem-macem kirim gambar in
“Ada apa nelpon, Mas?” Aku penasaran.“Kamu lagi dimana, Fa? Di rumah apa dimana?” Mas Pras memberondongku dengan pertanyaan.“Lagi di Jogja liburan, emangnya kenapa? Jangan bilang kamu mau nyamperin, aku udah balikan loh sama Mas Aksa, kamu tau kan?” Dengan tegas aku menembaknya dengan kalimat itu.“Tau lah, aku kan selalu tau kabar update tentang kamu, kukira kamu nggak bakalan mau lagi sama Si Aksa, udah disakitin kaya apa tetep aja bertahan. Sekarang kamu emang tahu Aksa lagi dimana?” Mas Pras membuatku membuatku penasaran.“Di rumah lalu kerja lalu pulang lalu paling nginep di rumah Ibu.”“Kamu nggak penasaran, coba sebentar aku kirim fotonya ke whatsup kamu ya, Fa.” Mas Pras sukses membuatku berhenti dan duduk di taman pinggir jalan tanpa menghiraukan Tante Mela dan keluarganya yang sudah menghilang entah kemana.Sebuah pesan gambar masuk ke gawaiku, aku segera membukanya karena penasaran. Kulihat wajah seorang Aksa suamiku yang sedang asyik karokean sambil memeluk seorang wanit
“Sama siapa tadi, Fa?” Tante Mela penasaran dengan mobil yang mengantarku barusan. “Oh, tadi sepupunya Mas Aksa yang polisi. Dia lagi pulang kuliah di luar negri karena anaknya baru lahir kemarin.” “Oh, gitu. Ya udah kita masuk yu. Nanti kamu sekamer sama anak-anak nggak apa-apa ya? Pas kita pesen dua kamer satu single bed satu double bed tapi yang double bed kasurnya meuni gede-gede pisan.” Tante Mela menempelkan kartu kunci hotel ke tombol lift agar lift berjalan sesuai lantai tempat kamar kami menginap. “Iya, nggak apa-apa yang penting jadi liburannya nih, hehe.” Aku merasa senang seperti anak kecil yang baru saja diberikan loilipop. “Aksa gimana? Mobilnya sudah diambil kah?” “Udah, Tan. Nah itu tadi yang bantuin kami ambil mobil, Si Reval itu polisi tapi lagi sekolah lagi di Singapura. Pas banget coba kami ketemu dia lagi tugas ke Jogja gitu, dasar ya rejeki ada aja.” Kami berjalan keluar dari lift. “Wah iya rejeki banget ya. Ini Aksa nggak apa-apa ditinggal sendirian pulangn
Hanya setengah jam mobil sudah bisa kembali lagi kepada kami, sakti juga Reval yang belum mulai masuk kerja lagi tapi bisa membantu kami yang kesusahan. Uang di tangan pun tak banyak raib karena bantuannya, alhamdulillah aku bersyukur ternyata memang Allah tak membolehkan kami memakai uang hasil penjualan handphone itu.“Tuh kan, Mas. Emang kita nggak boleh make uang itu kali. Untung ada si Reval kalo nggak coba sih kita kaya apa?”“Nggak lah, Dek. Kan uangnya bisa dipake buat benerin mobil. Nggak liat apa kamu mobil gompel dimana-mana? Berabe urusannya kalo nggak dibenerin.” Mas Aksa melihat mobil bekas kecelakaan penuh dengan baret-baret.“Dosa loh, Mas. Ya udah aku mau ke tempat Tante Mela aja kalau gitu. Daripada pusing kepalaku liat kelakuan kamu. Sini aku minta uang yang buat liburan kemarin!” aku mengulurkan tanganku meminta uang hasil menggadaikan handphone ijonkku kemarin daripada nanti uangnya ujung-ujungnya nggak jelas kemana.“Tau apa kamu tentang dosa? Sok suci banget, u