"Dokteeer...."
"Susteeer...."
"Arghhhh...,mana anak saya?" pembuluh darah di leherku berdenyut.
Kupandangi perutku masih membesar, Tuhan terimakasih bayi ini masih diberi kesempatan lagi.
"Ada apa bu?" seorang suster datang dengan tergopoh- gopoh.
"Anak saya sus, masih sehat kan dia?" Tanyaku penasaran.
"Maaf bu, nanti biar dokter yang menjelaskan. Sebentar lagi dia datang, tunggu ya bu," suster itu memperbaiki letak selang infusku lalu pergi meninggalkanku sendiri.
Beberapa menit kemudian dokter datang ke ruanganku.
"Bu mohon maaf sepertinya kemarin ibu pendarahan dan bayi yang ibu kandung mengalami keguguran, namun janinnya belum keluar semua jadi kami harus melakukan tindakan kuret. Suaminya kemana ya bu? Biar nanti Bapak menandatangi surat persetujuannya." dokter menjelaskan dengan seksama.
"Jadiii ..., dia sudah nggak ada kah dok hikss." Aku terisak sambil memeluk perutku.
"Iya bu, sabar ya. Semoga Allah segera mengganti kesedihan ibu dengan kebahagiaan," dokter itu kemudian melangkah keluar.
Dimana laki- laki biadap itu, disaat aku kehilangan anak dalam kandunganku dia tidak ada disampingku. Lihat saja nanti Mas, dendamku terlalu dalam untukmu.
Kulihat pintu ruanganku terbuka. Ibu, suamiku dan Kakak iparku datang beramai- ramai.
"Nduk sudah bangun? Maaf tadi kami pergi makan siang sebentar," ucap ibu.
"Dek, maafin mas ya. Mas menyesal dek. Mas sudah kembalikan perhiasanmu di rumah." Mas Aksa menciumi punggung tanganku.
Aku masih cuek melihatnya, enak banget ya mas minta maaf tidak akan mengembalikan keadaan desisku dalam hati.
Beberapa jam kemudian suster mendatangiku kembali.
"Bu kita masukan dulu obatnya ya," ucap suster sambil menyuntikan obat ke dalam cairan infusku.
Seketika perutku terasa sakit kemudian semakin berdetik jarum jam sakitnya makin menjadi, rasanya nyawaku seperti akan dicabutNya. Kemudian aku dibawa ke meja operasi, obat bius mulai menjalar ke sekujur tubuhku -- Gelap. Selamat tinggal anakku tercinta.
~~~~~~~
Aku telah pulih kembali, kekuatan tubuhku siap untuk menghadapimu sekarang mas.
Sesampainya di rumah aku langsung mengecek perhiasanku yang katanya sudah dikembalikan Mas Aksa, tapi aku tercenung memandangi kotak perhiasanku.
"Maaas ... ini ko cuma cincin sama kalung yang dari ibu aja mas? Mas kawin yang dari kamu mana?" Aku meninggikan suaraku dari dalam kamar.
Mas Aksa kemudian masuk ke dalam kamar.
"Apa dek? Ooo... itu. Mas kawinnya aku pinjem dulu dek. Kan yang penting perhiasan dari ibumu toh?" Mas Aksa menjawab datar.
"Gimana sih kamu mas, percuma minta maaf. Lalu gaji bulanan kamu kemana aja sih mas?" Aku tambah kesal.
"Ahhh...cerewet kamu dek. Udahlah kita nggak usah ngomongin ini lagi. Tambah nesu aku dek." Mas Aksa langsung keluar dari kamar dan menggebrak pintu rumah dengan kencang. Entah mau kemana lagi dia selarut ini.
Awas kamu mas, besok aku bakalan bilang sama Ibumu.
~~~~~~~~~
Pagi sekali aku sudah berdandan untuk berangkat ke rumah mertuaku, tapi baru saja aku membuka pintu depan aku dikagetkan dengan suara pagar yang dibuka oleh seseorang.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, eh mba Retno. Sini masuk mba." Aku mempersilakan kakak iparku untuk masuk.
Kami berdua duduk di ruang tamu.
"Mas Aca ndak pulang dari semalem mba." Kujelaskan sebelum mba Retno menanyakan adiknya.
"Loh, kemana ya dia. Tapii ..., aku kesini mau ngobrol sama kamu ko, Fa," ucapnya.
"Ada apa gitu mba?" Aku penasaran.
"Fa, kamu tau ngga kalo si Aca itu kemaren minta-minta uang ke Ibu. Katanya buat nebus perhiasanmu," Mba Retno menghembuskan napasnya dengan berat.
"Ooo... gitu toh mba. Tapi mas kawinku tetep nggak balik ko mba. Kemarin yang dikembalikan cuma perhiasan dari ibuku." Aku menjelaskan pada kakak iparku.
" Loh emang keperluan kalian itu banyak banget apa, Fa. Sampai-sampai harus menggadaikan perhiasan? Padahal kalian kan belum punya anak." Mba Retno meninggikan nada bicaranya sedikit.
"Gara-gara itu aku kan jadi nggak bisa minta uang ke ibu, Fa. Padahal uangnya untuk keperluan anakku. Kamu kan tau sendiri suamiku, Mas Pras cuma seorang salesman. Cobalah, Fa kamu hemat-hemat sedikit." Mba Retno mengangkat dagunya seperti marah kepadaku.
"Loh, harusnya mba sebagai kakaknya yang lebih tau selama ini Aksa suka pake uang-uang itu buat apa aja, mba. Aku sendiri sebagai istrinya nggak pernah tau apa yang Mas Aksa lakukan diluar sana sampai setiap hari aku dijatah sepuluh ribu saja mba." Aku mendengus kesal.
"Ko, kamu jadi nyolot, Fa? Ya sudah pokoke hemat-hematlah kalian. Biar aku ga susah kalo mau minta-minta uang ke Ibu." Mba Retno langsung berdiri dan angkat kaki dari rumah tanpa permisi.
Huh ... dasar nggak kakak nggak adik. Bagai pinang dibelah dua, sama saja. Busuk.
Aku memutuskan untuk tak jadi pergi ke rumah mertuaku, percuma saja pasti aku yang akan dimarahi oleh Ibu.Ting...Gawaiku berbunyi, sebuah pesan whatsup masuk.[Assalamualaikum, Dek ini Mas Pras.]Mas Pras? Mau apalagi suami kakak iparku mengirimi aku pesan. Paling-paling mau berkotbah karena istrinya barusan marah dan protes-protes dihadapanku.Akhirnya kubalas juga pesannya walaupun malas rasanya.[Waalaikumsalam.]Mas Pras mulai mengetik balasannya kembali[Dek, barusan Mbak Retno ke rumahmu ya? Maaf ya dek sama sikap dia ke kamu. Barusan dia curhat panjang lebar sama aku. Ko malah aku yang pusing banget dengernya.][Udah lama sebenernya aku mau ngobrol-ngobrol sama kamu. Akutuh kasian gitu loh dek sama kamu, aku ngerti berada dalam lingkungan keluarga ini seperti apa rasanya.]Waduh, ini nggak salah apa ya seorang Mas Pras merasakan seperti apa yang aku rasakan juga, tuh bener kan bukan cuma aku yang gila terjebak didalam keluarga ini. Aku bales dulu ah ...[Iya, Mas gimana ya ak
Aku memutuskan untuk bersenang-senang hari ini, yang terpenting adalah perawatan wajahku yang sudah mulai berkerut disana sini karena memikirkan rumah tanggaku. Ting ...Sebuah pesan masuk dari Mas Aksa[Dek, maafin Mas ya. Barusan Mas di swab ternyata Mas positif, Dek."Astagfirullah." Ucapku kaget."Eitt ... napa cyinn?" terapis yang sedang membersihkan wajahku ikutan kaget."Suami eke kena covid bu, duh facialnya pake cepet ya bu. Eke mau balik nih." Aku meminta proses facialku dipercepat karena aku akan menemui ibu mertuaku.Berulang kali ku telepon Mas Aksa, berkali-kali pula teleponnya dia reject. Ah, mungkin Mas Aksa sedang diobservasi oleh tenaga medis. Tapi sungguh aku mengkhawatirkannya, walau apapun yang telah dia lakukan kepadaku."Assalamualaikum ... buuu ... buu ...". Aku mengetuk-ngetuk rumah Ibu Mertuaku."Waalaikumsalam". Ibu keluar dari rumah. Seketika aku memeluk Ibu mertuaku sambil menangis. "Ealah, Nduk kenapa toh, le?" Ibu menepuk-nepuk pundakku."Ibu nggak tau
"Buuu ... buuu ... coba ini lihat bu!" Mba Retno berlari tergesa mendekati Ibu. Gawainya diperlihatkan ke arah Ibu dan Bapak yang belum menggunakan kacamatanya."Opo sih ... opo? Nggak keliatan Ret!" Bapak segera mengambil kacamata milik Ibu dan miliknya."Ya, Tuhan Aksa ini, Ret? Kawin lagi dia ... ini anak beneran kena covid atau alasan aja buat kawin lagi? Gambar dari siapa itu, Ret?" Bapak kaget melihat foto Mas Aksa yang ternyata kawin lagi."Dari Mas Pras, Pak. Liat aja tanggal di fotonya. Itu kan kemarin." Mba Retno menimpali."Aksa itu keterlaluan banget ya. Kurang ajar, biar Bapak yang telepon dia." wajah Bapak memerah, kemudian dia buru-buru menelpon Mas Aksa.Kudengar Bapak marah-marah pada Mas Aksa sedangkan Ibu masih menenangkanku. Aku tak dapat membendung air mataku, mengapa nasibku harus seperti ini. Apa salahku selama ini, Tuhan?"Nduk, maafin Aca ya, Nduk. Ibu tau rasanya sakit sekali dihianati oleh pasangan kita, Nduk. Ibu mohon orangtuamu jangan sampai tau ya, Nduk.
"Eeh ... iya, Nduk. Bener ibu yang kasih Farhana uang buat dia pergi menenangkan diri, tapi ...," belum juga ibu selesai berbicara Mba Retno memotong pembicaraan kami."Tapi ... ini email pembelian tiket pesawat Mas Pras ada dua, Bu. Dia bilang dari kantornya ada acara di Lombok tapi kenapa ada pembelian tiket ke Bali juga?" Mba Retno memperlihatkan gawainya.Aku melihat email Mas Pras yang ada di gawai Mba Retno, wah sepertinya hidup Mas Pras selalu dimata-matai Mba Retno ya, sampai-sampai email pun ada di gawai istrinya."Iya ... mba aku memang ke Bali. Tapi bener mba aku ngga pergi bareng Mas Pras." Aku menggigit bibir sambil memainkan cincinku."Yakin, Fa? Lalu bukti struk transfer dua juta dari rekening Mas Pras ke rekeningmu itu apa?" Mba Retno melempar kertas transferan ke arahku."Iya, Mas Pras memang memberiku uang, tapi itu hanya sebatas kasihan karena adik iparnya tak dapat memenuhi kebutuhan istrinya. Namun aku nggak sehina itu pergi berdua dengan Mas Pras untuk berlibur!"
"Mas Pras?" Seseorang dengan tubuh tegap menghampiriku."Eh, kamu Plun. Kenapa?" rupanya dia Si Kemplun, OB kantorku."Mas ... aku mau nanya. Apa ini saudaramu?" Kemplun memperlihatkan sebuah gambar di gawainya.Aku mengernyitkan alisku, kenapa ada Si Aksa dalam gambar itu? Tapi yang anehnya Aksa memakai jas putih khas pengantin. Apa anak ini kawin lagi? Ya, Tuhan benar perkiraanku. Si Aksa duduk bersanding dengan seorang perempuan."Ealah ... Plun foto darimana?Itu adik ipar aku loh." "Lah bener toh Mas ...aku tuh mikir dari tadi. Kayane aku pernah liat ini cowo. Lah apa wis cere sama istrinya, Mas?" Kemplun meninggikan suaranya karena kaget."Belom, Plun. Wong istrinya baru keguguran kemarin. Koq kamu bisa dateng ke nikahannya?" "Lah, ini ceweknya sepupu aku, Mas. Ya Allah berati sepupuku ditipu sama dia. Kasian banget dia tuh Mas. Aku tuh dapet fotonya aja sih dari sodaraku Mas Andi" Kemplun menanggapi omonganku dengan serius."Coba, Plun kirim semua gambarnya ke aku." Aku berniat
"Mas ..., apa- apaan ini?" Retno membanting gawainya di kasur ke arahku. Pupilnya membesar mengarah kepadaku.Aku masih tak bergerak, memandangi wajahnya yang memerah dengan mata yang membesar saja sudah membuatku ciut untuk berpindah tempat."Buka HP ku, Mas!" Retno menunjuk gawainya sambil terus memandangiku.Aku mulai mengambil gawainya, sambil mataku fokus kebawah. Aku benci suasana seperti ini, dimana Retno selalu menjadi mayoritas setiap kali ada masalah."Kenapa sih Ma? Ada masalah apa?" Aku selalu tak faham dengan kelakuannya yang sok menguasai. Coba saja sebentar lagi suasana akan semakin rumit."Buka email di HP ku, Mas!" Retno masih menyuruhku dengan kasar.Kubuka gawainya, aku penasaran memangnya ada apa di dalam email istriku. Kurasa pasti tagihan kartu kreditnya yang membengkak atau ah ..., apalah semua tentang istriku memang tak ada yang menarik.Aku mulai mencari aplikasi email dalam gawai Retno, kubuka aplikasinya. Di dalamnya terdapat beberapa email dia dan disitu ad
Aku tak jadi menelpon Mas Pras karena moodku keburu hilang. Aku juga menjaga agar dia tak terlalu berharap kepadaku. Langsung saja aku balas pesan whatsupnya.[Aku belum mengajukan proses cerainya, Mas. Mungkin aku menunggu Mas Aksa yang mengajukan karena uang tabunganku tak cukup untuk mengurusnya]Aku sebenarnya malas membalas pesan Mas Pras karena takutnya masalah semakin runyam.[Kalau begitu biar Mas yang kasih modal biar prosesnya lebih mudah, Dek] Benar saja, diotak Mas Pras sepertinya sudah banyak rencana tentang masa depan kami. Namun aku tak ada niat untuk hidup bersamanya apalagi dia bekas suami kakak iparku sendiri.[Nggak usah, Mas. Sekarang aku cuma butuh kamu meluruskan masalah ini kepada Mas Aksa, Ibu dan juga mba Retno. Aku nggak mau lagi ada dalam pusaran permasalahan rumah tanggamu, Mas!]Kemudian jeda cukup lama Mas Pras membalas pesanku, mungkin dia mulai berfikir untuk mengasihaniku dengan menjelaskan semua yan terjadi antara aku dan dia sebenarnya tak ada apapu
Hari- hari berlalu begitu cepat, sudah seminggu lamanya aku berada di Purwokerto. Ibu yang menjanjikanku sebuah rumah mewah di Kawasan elit di Purwokerto ternyata hanya mengontrakan rumah bagus di Alana Hils, perumahan paling mewah di kota kecil ini. Aku cukup bersyukur dan senang karena Ibu berjanji ketika uang DP rumah sudah terkumpul kami akan dibelikan salah satu rumah disekitar sini.“Dek, masak apa toh hari ini? Ntar malem aku pulang malem banget yam au lembur soalnya.” Mas Aksa memeluk pinggangku dari belakang ketika aku sedang memasak pagi itu.“Ini loh, Mas kesukaanmu balado tahu telor, kalau gitu nanti siang pas pulang bawa makan aja ya buat nanti malem?” Aku membalas pelukan Mas Aksa dengan menggenggam tangannya tetapi dalam hatiku masih berkecamuk rasa benci padanya yang belum juga sirna.“Boleh.. boleh, Dek. Tar siang mas balik lagi buat makan ya. sekarang mas mau berangkat dulu.” Mas Aksa kemudian melepaskan lengannya dari pinggangku menuju rak sepatu.“Oia, Mas. Itu lo