"Assalamualaikum," kuketok pintu rumah ibu mertuaku.
"Waalaikumsalam," terdengar ibu mertuaku berjalan menuju ruang tamu dan membukakan pintu untukku.
"Eh nduk, ayo masuk nak. Ibu lagi nyuci sebentar ya," dengan kepala terangkat dan dada mengembang aku segera masuk, sementara ibu langsung balik badan ingin ke dapur meneruskan cuciannya.
"Bu, sebentar Farhana boleh ngobrol dulu sama Ibu?" Ku gigit bibirku sambil jemariku sesekali beradu karena gugup.
Ibu menghentikan langkahnya kemudian memandangku. Kami berdua akhirnya terduduk di ruang tamu.
"Bu, boleh Fa bicara tentang mas Aksa?" Ibu mengangguk.
"Emang kenapa nduk sama Aksa?"
"Bu, Fa bingung kenapa ya mas Aksa setiap hari cuma jatahin Fa uang tigapuluh ribu, katanya uang itu harus cukup untuk sehari- sehari dan juga untuk nabung biaya persalinanku," Aku agak terbata menceritakan hal ini pada Ibu mertuaku.
Ibu mengernyitkan dahi heran, ibu menghembuskan nafas seperti berat ingin mengeluarkan suaranya.
"Emang kurang ya nduk? Hemat- hematlah Nduk. Ibu sama bapak aja makan sama pepes daleman ikan wes enak banget ko. Makanya ibu bilang kalian tinggal saja disini, rumah ini kan sudah jadi jatahnya Aksa."
"Nggih bu ngapunten Fa paham dengan itu, Fa cuma kepingin mandiri aja bu, biar kami nggak ketergantungan terus sama Bapak dan Ibu," ucapku.
Aku sebenarnya bingung seorang Aksara Diningrat yang bekerja di perusahaan BUMN dan memiliki orangtua yang rumahnya berjejer di komplek ini hanya memberiku jatah sepuluh ribu sehari itu pun harus menabung pula. Apa yang ada dalam fikiran ibu mertuaku?
"Mungkin uang Aksa habis untuk mengontrak kemarin Nduk, sabar ya nanti biar Ibu yang menasehati dia, atau kalau memang jatahmu kurang biar kamu minta saja sama ibu ya Nduk. Ibu ini ngerasa ketitipan kamu loh semenjak ibumu sakit- sakitan." Ibu mengelus kepalaku hangat.
"Nggih bu makasih, Fa cuma sering kepengenan pas lagi hamil ini Bu," ucapku lirih.
"Ooo iya wes kamu kalo kepengenan apa tinggal bilang ibu aja ya Fa, ndak usah sungkan. Tapi ibu aja dulu hamil Aksa sama kakak- kakaknya paling banter ngidam tiwul. Coba ditahan- tahan ngidamu nduk. Ya wes sekarang ibu mau nerusin bilas baju dulu ya," ucap ibu.
"Loh bu emang Bi Narti kemana?"
"Dia ijin sakit hari ini."
"Ooo biar Fa aja yang bilaskan bu," aku segera berjalan ke tempat cucian
Kuambil cucian dari dalam mesin cuci, sungguh aku heran dengan keluarga ini sudah ada mesin cuci kenapa masih dibilas pake tangan lagi, tambah kerjaan lah dua kali. Gerutuku.
~~~~~~~
Aku sebenarnya gemas dengan jawaban ibu mertuaku tadi. Seperti biasa karena aku tak bisa cerita kepada siapapun kuputuskan untuk mengupdate status di media sosialku. Syukur- syukur Mas Aksa lihat, jadi dia bisa tahu seharusnya bagaimana dia jadi suami.
Mau Curhat lagi...
[Lur mau tanya sebenernya apa sih kewajiban suami dan mertua terhadap istri dan menantunya?]
Segera kupencet send sambil aku terkekeh- kekeh puas.
Hari itu Mas Aksa pulang agak telat, katanya di kantor sedang ada pemeriksaan dari BPK. Entah kenapa rasanya aku bersyukur karena tak harus melihat muka masamnya seperti kemarin.
Namun semakin kutunggu Mas Aksa belum juga pulang padahal jam dinding sudah menunjukan angka duabelas. Aku agak cemas kutelepon Mas Aksa namun yang ada teleponku di reject terus menerus.
Aku ingat ketika satu bulan pernikahanku dulu Mas Aksa selalu pulang malam, setiap aku tanya katanya dia sedang lembur. Sama seperti hari ini lagi- lagi pulang malam dan teleponku dia reject.
Kepalaku tiba- tiba pening, ada sesuatu yang mengalir diantara kaki- kakiku. Setelah kulihat, ya Tuhan darah segar mengalir di betisku.
Aku langsung pencet nomor Ibu Mertuaku tapi baru saja tersambung seketika penglihatanku kabur, semuanya gelap.
" Ibuuu ...." Netraku terbuka setelah tak sadarkan diri. Tangisku pecah tak bisa dibendung lagi. Kejadian demi kejadian teringat, diri semakin terisak."Fa, sudah bangun ya, Nduk?" ucap ibu kaget.Entah berapa jam aku terbaring di ruangan ini, ibu nampak setia menemaniku."Bu..., bagaimana bayiku ini, Bu? Semalem darahnya banyak banget," lirihku."Ndak apa- apa ko Nduk. Bayinya masih sehat kata dokter, kamu cuma harus bedrest aja," ucap ibu.Kemudian pintu terbuka, sosok Mas Aksa seketika masuk ke ruanganku."Aksa ambil cuti ya? Ya wes Ibu pulang dulu aja ya biar Aksa yang nemenin kamu Nduk," Ibu seketika merapikan barang- barang yang akan dibawa pulang.Mas Aksa duduk disampingku tetapi wajahnya masih masam seperti kemarin- kemarin."Semalem kamu pulang jam berapa Mas?" Aku penasaran."Ya pas kamu jatuh itu dek. Dek kamu gimana sih janganlah apa- apa cerita ke Ibu. Aku kan jadi dimarahin sama Ibu gara- gara uang sepuluh ribu," Mas Aksa mencebik kesal."Ya Tuhan Mas, istrimu ini habis
"Dokteeer....""Susteeer....""Arghhhh...,mana anak saya?" pembuluh darah di leherku berdenyut.Kupandangi perutku masih membesar, Tuhan terimakasih bayi ini masih diberi kesempatan lagi."Ada apa bu?" seorang suster datang dengan tergopoh- gopoh."Anak saya sus, masih sehat kan dia?" Tanyaku penasaran."Maaf bu, nanti biar dokter yang menjelaskan. Sebentar lagi dia datang, tunggu ya bu," suster itu memperbaiki letak selang infusku lalu pergi meninggalkanku sendiri.Beberapa menit kemudian dokter datang ke ruanganku."Bu mohon maaf sepertinya kemarin ibu pendarahan dan bayi yang ibu kandung mengalami keguguran, namun janinnya belum keluar semua jadi kami harus melakukan tindakan kuret. Suaminya kemana ya bu? Biar nanti Bapak menandatangi surat persetujuannya." dokter menjelaskan dengan seksama."Jadiii ..., dia sudah nggak ada kah dok hikss." Aku terisak sambil memeluk perutku."Iya bu, sabar ya. Semoga Allah segera mengganti kesedihan ibu dengan kebahagiaan," dokter itu kemudian mela
Aku memutuskan untuk tak jadi pergi ke rumah mertuaku, percuma saja pasti aku yang akan dimarahi oleh Ibu.Ting...Gawaiku berbunyi, sebuah pesan whatsup masuk.[Assalamualaikum, Dek ini Mas Pras.]Mas Pras? Mau apalagi suami kakak iparku mengirimi aku pesan. Paling-paling mau berkotbah karena istrinya barusan marah dan protes-protes dihadapanku.Akhirnya kubalas juga pesannya walaupun malas rasanya.[Waalaikumsalam.]Mas Pras mulai mengetik balasannya kembali[Dek, barusan Mbak Retno ke rumahmu ya? Maaf ya dek sama sikap dia ke kamu. Barusan dia curhat panjang lebar sama aku. Ko malah aku yang pusing banget dengernya.][Udah lama sebenernya aku mau ngobrol-ngobrol sama kamu. Akutuh kasian gitu loh dek sama kamu, aku ngerti berada dalam lingkungan keluarga ini seperti apa rasanya.]Waduh, ini nggak salah apa ya seorang Mas Pras merasakan seperti apa yang aku rasakan juga, tuh bener kan bukan cuma aku yang gila terjebak didalam keluarga ini. Aku bales dulu ah ...[Iya, Mas gimana ya ak
Aku memutuskan untuk bersenang-senang hari ini, yang terpenting adalah perawatan wajahku yang sudah mulai berkerut disana sini karena memikirkan rumah tanggaku. Ting ...Sebuah pesan masuk dari Mas Aksa[Dek, maafin Mas ya. Barusan Mas di swab ternyata Mas positif, Dek."Astagfirullah." Ucapku kaget."Eitt ... napa cyinn?" terapis yang sedang membersihkan wajahku ikutan kaget."Suami eke kena covid bu, duh facialnya pake cepet ya bu. Eke mau balik nih." Aku meminta proses facialku dipercepat karena aku akan menemui ibu mertuaku.Berulang kali ku telepon Mas Aksa, berkali-kali pula teleponnya dia reject. Ah, mungkin Mas Aksa sedang diobservasi oleh tenaga medis. Tapi sungguh aku mengkhawatirkannya, walau apapun yang telah dia lakukan kepadaku."Assalamualaikum ... buuu ... buu ...". Aku mengetuk-ngetuk rumah Ibu Mertuaku."Waalaikumsalam". Ibu keluar dari rumah. Seketika aku memeluk Ibu mertuaku sambil menangis. "Ealah, Nduk kenapa toh, le?" Ibu menepuk-nepuk pundakku."Ibu nggak tau
"Buuu ... buuu ... coba ini lihat bu!" Mba Retno berlari tergesa mendekati Ibu. Gawainya diperlihatkan ke arah Ibu dan Bapak yang belum menggunakan kacamatanya."Opo sih ... opo? Nggak keliatan Ret!" Bapak segera mengambil kacamata milik Ibu dan miliknya."Ya, Tuhan Aksa ini, Ret? Kawin lagi dia ... ini anak beneran kena covid atau alasan aja buat kawin lagi? Gambar dari siapa itu, Ret?" Bapak kaget melihat foto Mas Aksa yang ternyata kawin lagi."Dari Mas Pras, Pak. Liat aja tanggal di fotonya. Itu kan kemarin." Mba Retno menimpali."Aksa itu keterlaluan banget ya. Kurang ajar, biar Bapak yang telepon dia." wajah Bapak memerah, kemudian dia buru-buru menelpon Mas Aksa.Kudengar Bapak marah-marah pada Mas Aksa sedangkan Ibu masih menenangkanku. Aku tak dapat membendung air mataku, mengapa nasibku harus seperti ini. Apa salahku selama ini, Tuhan?"Nduk, maafin Aca ya, Nduk. Ibu tau rasanya sakit sekali dihianati oleh pasangan kita, Nduk. Ibu mohon orangtuamu jangan sampai tau ya, Nduk.
"Eeh ... iya, Nduk. Bener ibu yang kasih Farhana uang buat dia pergi menenangkan diri, tapi ...," belum juga ibu selesai berbicara Mba Retno memotong pembicaraan kami."Tapi ... ini email pembelian tiket pesawat Mas Pras ada dua, Bu. Dia bilang dari kantornya ada acara di Lombok tapi kenapa ada pembelian tiket ke Bali juga?" Mba Retno memperlihatkan gawainya.Aku melihat email Mas Pras yang ada di gawai Mba Retno, wah sepertinya hidup Mas Pras selalu dimata-matai Mba Retno ya, sampai-sampai email pun ada di gawai istrinya."Iya ... mba aku memang ke Bali. Tapi bener mba aku ngga pergi bareng Mas Pras." Aku menggigit bibir sambil memainkan cincinku."Yakin, Fa? Lalu bukti struk transfer dua juta dari rekening Mas Pras ke rekeningmu itu apa?" Mba Retno melempar kertas transferan ke arahku."Iya, Mas Pras memang memberiku uang, tapi itu hanya sebatas kasihan karena adik iparnya tak dapat memenuhi kebutuhan istrinya. Namun aku nggak sehina itu pergi berdua dengan Mas Pras untuk berlibur!"
"Mas Pras?" Seseorang dengan tubuh tegap menghampiriku."Eh, kamu Plun. Kenapa?" rupanya dia Si Kemplun, OB kantorku."Mas ... aku mau nanya. Apa ini saudaramu?" Kemplun memperlihatkan sebuah gambar di gawainya.Aku mengernyitkan alisku, kenapa ada Si Aksa dalam gambar itu? Tapi yang anehnya Aksa memakai jas putih khas pengantin. Apa anak ini kawin lagi? Ya, Tuhan benar perkiraanku. Si Aksa duduk bersanding dengan seorang perempuan."Ealah ... Plun foto darimana?Itu adik ipar aku loh." "Lah bener toh Mas ...aku tuh mikir dari tadi. Kayane aku pernah liat ini cowo. Lah apa wis cere sama istrinya, Mas?" Kemplun meninggikan suaranya karena kaget."Belom, Plun. Wong istrinya baru keguguran kemarin. Koq kamu bisa dateng ke nikahannya?" "Lah, ini ceweknya sepupu aku, Mas. Ya Allah berati sepupuku ditipu sama dia. Kasian banget dia tuh Mas. Aku tuh dapet fotonya aja sih dari sodaraku Mas Andi" Kemplun menanggapi omonganku dengan serius."Coba, Plun kirim semua gambarnya ke aku." Aku berniat
"Mas ..., apa- apaan ini?" Retno membanting gawainya di kasur ke arahku. Pupilnya membesar mengarah kepadaku.Aku masih tak bergerak, memandangi wajahnya yang memerah dengan mata yang membesar saja sudah membuatku ciut untuk berpindah tempat."Buka HP ku, Mas!" Retno menunjuk gawainya sambil terus memandangiku.Aku mulai mengambil gawainya, sambil mataku fokus kebawah. Aku benci suasana seperti ini, dimana Retno selalu menjadi mayoritas setiap kali ada masalah."Kenapa sih Ma? Ada masalah apa?" Aku selalu tak faham dengan kelakuannya yang sok menguasai. Coba saja sebentar lagi suasana akan semakin rumit."Buka email di HP ku, Mas!" Retno masih menyuruhku dengan kasar.Kubuka gawainya, aku penasaran memangnya ada apa di dalam email istriku. Kurasa pasti tagihan kartu kreditnya yang membengkak atau ah ..., apalah semua tentang istriku memang tak ada yang menarik.Aku mulai mencari aplikasi email dalam gawai Retno, kubuka aplikasinya. Di dalamnya terdapat beberapa email dia dan disitu ad