Aku memutuskan untuk bersenang-senang hari ini, yang terpenting adalah perawatan wajahku yang sudah mulai berkerut disana sini karena memikirkan rumah tanggaku.
Ting ...
Sebuah pesan masuk dari Mas Aksa
[Dek, maafin Mas ya. Barusan Mas di swab ternyata Mas positif, Dek.
"Astagfirullah." Ucapku kaget.
"Eitt ... napa cyinn?" terapis yang sedang membersihkan wajahku ikutan kaget.
"Suami eke kena covid bu, duh facialnya pake cepet ya bu. Eke mau balik nih." Aku meminta proses facialku dipercepat karena aku akan menemui ibu mertuaku.
Berulang kali ku telepon Mas Aksa, berkali-kali pula teleponnya dia reject. Ah, mungkin Mas Aksa sedang diobservasi oleh tenaga medis. Tapi sungguh aku mengkhawatirkannya, walau apapun yang telah dia lakukan kepadaku.
"Assalamualaikum ... buuu ... buu ...". Aku mengetuk-ngetuk rumah Ibu Mertuaku.
"Waalaikumsalam". Ibu keluar dari rumah. Seketika aku memeluk Ibu mertuaku sambil menangis.
"Ealah, Nduk kenapa toh, le?" Ibu menepuk-nepuk pundakku.
"Ibu nggak tau Mas Aksa positif bu?" Aku masih terisak dihadapan Ibu.
"Loh, Aca nggak bilang sama Ibu. Sebentar-sebentar ibu tak telepon si Aca ... Ya Allah," Ibu terlihat panik sambil berjalan cepat ke kamarnya mencari gawai untuk menelepon Mas Aksa.
Kudengar di dalam kamar ibu menjerit agak histeris kemudian aku menyusul ke kamar untuk menenangkannya.
"Gimana, bu?" Ucapku penasaran.
"Katanya Aca kudu di isolasi, Nduk." Ibu masih menangis mungkin teringat anak bungsunya tak ada yang menemani disaat sakitnya.
"Mas Aksa itu kalo saya yang telepon nggak dijawab, Bu. Saya khawatir sekali padahal, Bu. Di isolasi dimana ya dia bu? Biar saya bisa bawain makanan atau apa gitu bu." Aku masih panik.
"Nda bilang dia nduk. Coba doakan saja semoga Aca nggak apa-apa." Ucap ibu berusaha saling menenangkan.
Aku nggak habis fikir sama mas Aksa. Sudah sakit begini pun telepon dari istrinya tetap saja direjectnya. Sebenarnya Mas Aksa ini menganggap aku istrinya atau cuma pajangan aja sih. Kesel banget aku.
**
Malam ini aku harus menghabiskan waktu tidurku sendirian dengan sejuta pikiran tentang Mas Aksa. Bagaimana dia ditempat isolasi; apakah bisa makan atau tidak, apakah ada keluhan sesak atau tidak, apakah dia nyaman tidur di tempat isolasinya.
Semuanya ada dalam fikiranku sampai bagaimana jika Mas Aksa meninggal gara-gara penyakitnya itu. Tapi, bukankah itu lebih baik. Aku tidak akan disakitinya lagi. Tak terasa air mata mengalir di pelupuk mataku sampai akhirnya aku ketiduran hingga keesokan paginya.
Pagi ini aku berniat akan menghabiskan hariku dirumah Ibu mertua agar aku tak ketinggalan info tentang Mas Aksa.
Setibanya di rumah Ibu, semua kakak-kakak Mas Aksa sudah berkumpul mencari solusi agar Mas Aksa bisa di isolasi di kos-kosan mertuaku dan keadaannya lebih terkontrol
Ting ...
Sebuah pesan WA masuk kedalam gawaiku.
[Dek, coba deh liat ini]
Mas Pras mengirimi aku sebuah gambar yang harus aku d******d.
[Apa nih, Mas?]
[Coba unduh dulu, Dek]
Samar-samar kulihat gambar itu, terlihat dua orang sedang duduk disebuah karpet merah dengan meja di hadapannya. Lelaki dan perempuan itu saling menghadap seseorang yang bersalaman dengan satu orang laki-laki lainnya.
Dari perawakan laki-lakinya aku melihat sosok Mas Aksa. Ya, Tuhan mungkinkah Mas Aksa menikah lagi. Apa dia berbohong kalau dia terkena Covid? Berani-beraninya dia.
Seketika aku refleks ingin memperlihatkan gambar itu pada ibu. Tapi ... tunggu dulu nanti ibu tau kalau aku dan Mas Pras sering bertukar pesan.
[Mas, coba kamu kirim pada Mbak Retno. Kalau bisa beberapa gambar lagi mas yang memperlihatkan wajah Mas Aksa, ada?]
[ Bisa, Dek. Tunggu ya.]
Mamp*s kamu Mas, penyakit mematikan kamu permainkan. Siap-siap kamu dibenci oleh keluargamu. Aku menunggu sebuah kehancuranmu. Tak ada doa baik lagi dariku untukmu, Mas!
Mas Pras tidak juga mengirimkan gambar itu kepada Mba Retno, lama- lama aku gemas juga dengan ketakutan dia kepada istrinya. Padahal istrinya sama juga tidak bekerja seperti aku, apa mungkin karena kehidupan Mas Pras yang ditopang oleh keluarga ini.
Memang semenjak awal menikah, dari rumah dan semua kebutuhan hidup mereka dijamin Ibu dan Bapak sampai Mas Pras bisa memiliki pekerjaan seperti sekarang. Tapi pernah juga Mas Pras meminta mobil kepada Ibu dan Bapak dan dikasihnya.
Memang sih kalau dibilang royal, Ibu dan Bapak mertuaku selalu menuruti kemauan anak-anaknya. Namun akhirnya semua anak-anaknya jadi manja dan tidak bertanggung jawab seperti ini.
Ah, aku jadi melantur kemana-kemana. Apa harus aku yang memperlihatkan gambar itu kepada Bapak dan Ibu? Akhirnya kuputuskan untuk mengirim pesan lagi kepada Mas Pras dan mendukung dia agar lebih berani.
[Mas, kok belum dikirim juga gambarnya? Aku sudah nggak sabar melihat reaksi mereka]
Kupencet send pesan itu kepada Mas Pras. Sambil menunggu kulihat bapak sibuk menelpon Mas Aksa yang tidak juga mengangkat telepon darinya.
Sesekali kulihat wajah Bapak yang pucat, mungkin karena dia lelah pada tingkah laku anaknya yang satu itu. Dari awal aku menikah beberapa masalah yang disebabkan Mas Aksa sudah menjadi makanan sehari-hari keluarga ini.
Ah, andai saja aku tahu dari awal bahwa Mas Aksa orang yang tidak baik. Mungkin aku tak akan menikah semuda ini.
[Iya, Dek sabar. Aku abis meeting dadakan. Otewe aku kirim nih]
Perasaanku dibuat tak karu-karuan, kira-kira bagaimana reaksi mereka ya?
"Buuu ... buuu ... coba ini lihat bu!" Mba Retno berlari tergesa mendekati Ibu. Gawainya diperlihatkan ke arah Ibu dan Bapak yang belum menggunakan kacamatanya."Opo sih ... opo? Nggak keliatan Ret!" Bapak segera mengambil kacamata milik Ibu dan miliknya."Ya, Tuhan Aksa ini, Ret? Kawin lagi dia ... ini anak beneran kena covid atau alasan aja buat kawin lagi? Gambar dari siapa itu, Ret?" Bapak kaget melihat foto Mas Aksa yang ternyata kawin lagi."Dari Mas Pras, Pak. Liat aja tanggal di fotonya. Itu kan kemarin." Mba Retno menimpali."Aksa itu keterlaluan banget ya. Kurang ajar, biar Bapak yang telepon dia." wajah Bapak memerah, kemudian dia buru-buru menelpon Mas Aksa.Kudengar Bapak marah-marah pada Mas Aksa sedangkan Ibu masih menenangkanku. Aku tak dapat membendung air mataku, mengapa nasibku harus seperti ini. Apa salahku selama ini, Tuhan?"Nduk, maafin Aca ya, Nduk. Ibu tau rasanya sakit sekali dihianati oleh pasangan kita, Nduk. Ibu mohon orangtuamu jangan sampai tau ya, Nduk.
"Eeh ... iya, Nduk. Bener ibu yang kasih Farhana uang buat dia pergi menenangkan diri, tapi ...," belum juga ibu selesai berbicara Mba Retno memotong pembicaraan kami."Tapi ... ini email pembelian tiket pesawat Mas Pras ada dua, Bu. Dia bilang dari kantornya ada acara di Lombok tapi kenapa ada pembelian tiket ke Bali juga?" Mba Retno memperlihatkan gawainya.Aku melihat email Mas Pras yang ada di gawai Mba Retno, wah sepertinya hidup Mas Pras selalu dimata-matai Mba Retno ya, sampai-sampai email pun ada di gawai istrinya."Iya ... mba aku memang ke Bali. Tapi bener mba aku ngga pergi bareng Mas Pras." Aku menggigit bibir sambil memainkan cincinku."Yakin, Fa? Lalu bukti struk transfer dua juta dari rekening Mas Pras ke rekeningmu itu apa?" Mba Retno melempar kertas transferan ke arahku."Iya, Mas Pras memang memberiku uang, tapi itu hanya sebatas kasihan karena adik iparnya tak dapat memenuhi kebutuhan istrinya. Namun aku nggak sehina itu pergi berdua dengan Mas Pras untuk berlibur!"
"Mas Pras?" Seseorang dengan tubuh tegap menghampiriku."Eh, kamu Plun. Kenapa?" rupanya dia Si Kemplun, OB kantorku."Mas ... aku mau nanya. Apa ini saudaramu?" Kemplun memperlihatkan sebuah gambar di gawainya.Aku mengernyitkan alisku, kenapa ada Si Aksa dalam gambar itu? Tapi yang anehnya Aksa memakai jas putih khas pengantin. Apa anak ini kawin lagi? Ya, Tuhan benar perkiraanku. Si Aksa duduk bersanding dengan seorang perempuan."Ealah ... Plun foto darimana?Itu adik ipar aku loh." "Lah bener toh Mas ...aku tuh mikir dari tadi. Kayane aku pernah liat ini cowo. Lah apa wis cere sama istrinya, Mas?" Kemplun meninggikan suaranya karena kaget."Belom, Plun. Wong istrinya baru keguguran kemarin. Koq kamu bisa dateng ke nikahannya?" "Lah, ini ceweknya sepupu aku, Mas. Ya Allah berati sepupuku ditipu sama dia. Kasian banget dia tuh Mas. Aku tuh dapet fotonya aja sih dari sodaraku Mas Andi" Kemplun menanggapi omonganku dengan serius."Coba, Plun kirim semua gambarnya ke aku." Aku berniat
"Mas ..., apa- apaan ini?" Retno membanting gawainya di kasur ke arahku. Pupilnya membesar mengarah kepadaku.Aku masih tak bergerak, memandangi wajahnya yang memerah dengan mata yang membesar saja sudah membuatku ciut untuk berpindah tempat."Buka HP ku, Mas!" Retno menunjuk gawainya sambil terus memandangiku.Aku mulai mengambil gawainya, sambil mataku fokus kebawah. Aku benci suasana seperti ini, dimana Retno selalu menjadi mayoritas setiap kali ada masalah."Kenapa sih Ma? Ada masalah apa?" Aku selalu tak faham dengan kelakuannya yang sok menguasai. Coba saja sebentar lagi suasana akan semakin rumit."Buka email di HP ku, Mas!" Retno masih menyuruhku dengan kasar.Kubuka gawainya, aku penasaran memangnya ada apa di dalam email istriku. Kurasa pasti tagihan kartu kreditnya yang membengkak atau ah ..., apalah semua tentang istriku memang tak ada yang menarik.Aku mulai mencari aplikasi email dalam gawai Retno, kubuka aplikasinya. Di dalamnya terdapat beberapa email dia dan disitu ad
Aku tak jadi menelpon Mas Pras karena moodku keburu hilang. Aku juga menjaga agar dia tak terlalu berharap kepadaku. Langsung saja aku balas pesan whatsupnya.[Aku belum mengajukan proses cerainya, Mas. Mungkin aku menunggu Mas Aksa yang mengajukan karena uang tabunganku tak cukup untuk mengurusnya]Aku sebenarnya malas membalas pesan Mas Pras karena takutnya masalah semakin runyam.[Kalau begitu biar Mas yang kasih modal biar prosesnya lebih mudah, Dek] Benar saja, diotak Mas Pras sepertinya sudah banyak rencana tentang masa depan kami. Namun aku tak ada niat untuk hidup bersamanya apalagi dia bekas suami kakak iparku sendiri.[Nggak usah, Mas. Sekarang aku cuma butuh kamu meluruskan masalah ini kepada Mas Aksa, Ibu dan juga mba Retno. Aku nggak mau lagi ada dalam pusaran permasalahan rumah tanggamu, Mas!]Kemudian jeda cukup lama Mas Pras membalas pesanku, mungkin dia mulai berfikir untuk mengasihaniku dengan menjelaskan semua yan terjadi antara aku dan dia sebenarnya tak ada apapu
Hari- hari berlalu begitu cepat, sudah seminggu lamanya aku berada di Purwokerto. Ibu yang menjanjikanku sebuah rumah mewah di Kawasan elit di Purwokerto ternyata hanya mengontrakan rumah bagus di Alana Hils, perumahan paling mewah di kota kecil ini. Aku cukup bersyukur dan senang karena Ibu berjanji ketika uang DP rumah sudah terkumpul kami akan dibelikan salah satu rumah disekitar sini.“Dek, masak apa toh hari ini? Ntar malem aku pulang malem banget yam au lembur soalnya.” Mas Aksa memeluk pinggangku dari belakang ketika aku sedang memasak pagi itu.“Ini loh, Mas kesukaanmu balado tahu telor, kalau gitu nanti siang pas pulang bawa makan aja ya buat nanti malem?” Aku membalas pelukan Mas Aksa dengan menggenggam tangannya tetapi dalam hatiku masih berkecamuk rasa benci padanya yang belum juga sirna.“Boleh.. boleh, Dek. Tar siang mas balik lagi buat makan ya. sekarang mas mau berangkat dulu.” Mas Aksa kemudian melepaskan lengannya dari pinggangku menuju rak sepatu.“Oia, Mas. Itu lo
Sore harinya, Mas Aksa pulang dengan membawa banyak makanan. Tentu saja Tante Mela dan anak-anaknya nampak senang melihat banyak jajanan yang dibawakan Mas Aksa.“Udah pada mandi belum nih anak-anak? Jam limaan kita pergi yu puter-puter kota Purwokerto, ntar Om mandi dulu ya.” Mas Aksa menyapa anak-anak dengan ramah.“Iya Om mau-mau.” Anak-anak makin sumringah setelah Mas Aksa mengajak mereka untuk jalan- jalan.“Dek..dek bentar ke kamer dulu sini,” Mas Aksa tiba-tiba menarik lenganku dari ruang tivi. Mas Aksa menarikku masuk ke kamar dan segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Apa-apaan ini Mas Aksa masa sore-sore begini dia mau minta jatah, fikirku.“Dek, dek HP kamu yang kemarin itu mana? Mas mau pinjem dulu sebentar, nih Mas gantiin dulu sama hape ini!” Mas Aksa mengeluarkan sebuah handphone keluaran Tiongkok dari kantongnya.“Loh, Mas. Masa hape Ijonk ku mau diganti henpon Cina sih. Aku nggak mau ah.” Aku merajuk kepada Mas Aksa.“Ya makanya, Mas Cuma pinjem sebentar aja. Nanti k
Sesosok Wanita nampak menari-nari dihadapan Aksa, Wanita itu mengenakan dress berwarna hitam, bersepatu merah. Sungguh elegan, jauh rasanya jika dibandingkan dengan Farhana, istrinya. Menurut orang-orang sekitar, farhana istrinya adalah sosok Wanita yang sungguh cantik, bola matanya yang besar, hidungnya yang mancung serta bibirnya yang sedikit tebal menjadi sebuah unggulan yang selalu dgadang-gadang oleh keluarga besarnya. Apakah yang kurang dari seorang Farhana sehingga aku masih selalu haus untuk mencari Wanita lain selain dia?Aku baru sadar hari ini, Farhana adalah sosok yang begitu polos. Dia tidak pernah nampak elegan seperti wanita yang ada di hadapanku. Nora, dia dokter muda yang ditugaskan dikantorku. Malam ini dia sungguh terlihat berbeda, liar dan enerjik. Baru sebulan dia ditugaskan dikantorku, semenjak dia datang banyak pria-pria lajang terpesona pada kecantikannya yang khas, para pria menyebutnya elegan. Tak ketinggalan pun kami para bapak-bapak muda yang ikut terpesona