Setelah perdebatan alot tadi, akhirnya aku di sini sendirian. Jendra yang tadinya tetap ngotot ingin agar sopirnya menungguku karena dia merasa bertanggung jawab telah mengajakku kesini jadi dia ingin memastikan aku nantinya pulang dengan selamat. Tentu saja aku tetap menolaknya dengan ancaman aku tidak akan mau bertemu dengannya lagi kalau dia tetap memaksa sopirnya menungguku di sini.
"Fine, sopir gue gak akan nunggu lo, tapi lo harus janji kabari gue kalau udah sampai apartemen lo." Yang kujawab dengan anggukan kepala. Setelah itu Jendra akhirnya pulang bersama asistennya.Ibu Wahyu, aku sudah tidak asing lagu dengan namanya. Beliau adalah Walikota 2 periode kota Aare saat aku masih SD hingga lulus SMP, dan juga beliau adalah Ibu kandung dari Jendra. Di usianya yang saat ini, bu Wahyu masih aktif menjabat sebagai anggota Dewan.Jendra sendiri merupakan anak sulung dari 2 bersaudara, setahuku adik perempuannya masih kuliah di luar negeri namanya Dinda. Dari dulu sudah di prediksi bahwa Jendra yang akan meneruskan Ibunya untuk menjadi Walikota kota Aare. Dan benar saja, setelah 2 kali pergantian kepemimpinan Walikota, setahun yang lalu Jendra akhirnya resmi menjadi Walikota setelah memenangkan pemilu. Sedangkan Ayahnya sudah berpulang saat Jendra baru memasuki dunia perkuliahan. Dari kabar yang sempat aku dengar dulu, semenjak Ayahnya meninggal, dia kuliah sambil menjalankan kerajaan bisnis Ayahnya. Meskipun tidak 100% Jendra yang mengerjakan, karena Ibunya pun ikut turut serta bekerja bersamanya.Dering panggilan telepon masuk membuyarkan lamunanku tentang keluarga Jendra."Ya halo Dra, hmm ini gue masih di restoran. Lo udah sampai rumah?" Tanyaku berusaha agar suaraku terdengar riang."Barusan aja sampai rumah. Lo kok belum pulang sih, ini udah malem Dela."Aku melirik jam tangan, saat ini menunjukkan pukul 20.00, masih belum terlalu malam, lagian ini malam minggu juga."Masih jam segini Dra, daripada gue di apartemen sendirian mending disini dulu sambil ngabisin makanan.""Pulang buruan gih, gak baik cewek pulang malem sendirian. Jarak restoran ke apartemen lo lebih dari 30 menit." Entah perasaanku saja atau memang suara Jendra terdengar khawatir."Hahaa..apaan sih lo lebay banget, udah gue tutup teleponnya, lo pasti udah di tungguin tamunya. Bye!" tanpa menunggu respon dari Jendra aku menutup teleponnya.Tak lama ada pesan masukJendra :Inget kabarin gue kalau lo udah di apartemen, sekali lagi maafin gue ya udah ninggalin lo.Setelah membaca pesannya, aku menghembuskan nafas kasar. Jujur ada perasaan kecewa saat harus ditinggalkan seperti ini. Dia yang mengajakku mampir ke restoran dulu, tapi dia juga yang meninggalkanku sendiri disini. Bukan sepenuhnya salah Jendra, tadi dia sudah menawarkan untuk mengantarku pulang dulu, tapi aku sadar diri dan tidak ingin merepotkannya.Menghabiskan makanan yang kami pesan tadi, yang untungnya semua bukan makanan berat hanya camilan dan minuman ringan yang masih bisa ditampung perutku. Aku bergegas pulang, setelah taxi online yang aku pesan sudah datang, aku menuju meja kasir untuk membayar. Namun saat aku membayar, kasirnya menolak karena ternyata tadi Jendra sudah membayarnya ketika dia keluar dari restoran.Tak ingin membuat driver taxi online menunggu lebih lama lagi, aku keluar dari restoran dan masuk ke taxi online. Perjalanan dari restoran ke apartemen memakan waktu 1 jam, lebih lama dari biasanya dikarenakan ini malam minggu, sudah pasti jalanan macet.Sesampainya di apartemen, aku langsung merebahkan diri di sofa, lelah dengan hari ini. Terdengar denting pesan masuk, kulirik sekilas ponselku, ternyata pesan dari Jendra. Masih sempat-sempatnya dia mengirim pesan di saat ada tamu. Kubaca pesan dari Jendra,Jendra :lo udah nyampek apartemen?kok pesan gue tadi gak lo bales cuman di read doang.Oh iya aku lupa membalasnya tadi, buru-buru aku membalas pesannya.Me :Sorry Dra, tadi gue lupa bales. Barusan aja gue nyampek apartemen.Selesai mengirim pesan balasan, aku beranjak ke kamar untuk mandi dan berganti baju. Belum sempat aku mengapai handle pintu kamar, ponselku berdering tanda ada panggilan telepon masuk. Berjalan berbalik menuju sofa tempat dimana aku meninggalkan ponselku tadi, mengecek siapa yang menghubungiku. Ternyata Jendra yang menelepon, katanya ada tamu sempat-sempatnya telepon."Halo Dra?""Kenapa baru nyampek apartemen?" Aku mendengus mendengar pertanyaannya, sungguh posesif sekali Bapak Walikota satu ini."Tadi macet, makanya baru sampai. Tamu lo udah pulang?""Belum, gue tadi ijin ke toilet. Mau mastiin lo beneran udah sampai apartemen.""Ya udah, sekarang lo balik ke tamu lo. Gak sopan ninggalan tamu. Gue juga mau bersih badan. Oh iya thank's traktirannya ya.""Nevermind, lain kali kita kesana lagi dan gue janji gak akan ninggalin lo. Ya udah lo istirahat. Bye Dela," pamitnya."Bye Dra," aku pun menutup telepon, dan melanjutkan kegiatanku yang tertunda tadi.Selesai mandi, berganti baju, dan tak lupa kegiatan rutinku menggunakan skincare sebelum tidur, aku merebahkan diriku di kasur dan bersiap untuk tidur.Tiba-tiba wajah Jendra terlintas di pikiranku. Ada rasa kecewa ketika memeriksa ponsel dan tidak mendapatkan satu pun pesan atau panggilan darinya. Ada apa denganku?Bukankah harusnya aku lega Jendra tidak lagi bertanya macam-macam dan mengganggu waktu istirahatku?Aku menghela nafas dan meletakkan ponselku di nakas samping tempat tidurku. Setelah sempat mencoba memejamkan mata sejenak, aku kembali terbangun karena suara denting pesan masuk. Dengan malas aku membuka pesan itu.Dari Jendra.Aku hanya membacanya, lalu menutupnya kembali.Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.