Hari Senin kali ini berbeda dari biasanya, karena aku ditugaskan oleh kantor untuk mengikuti pameran yang menampilkan hasil UMKM atau hasil karya warga Ibukota Milton. Pameran kali ini dilaksanakan di kota Aare, kota asalku. Sudah menjadi agenda rutin kantor mengikuti pameran-pameran yang diadakan baik diluar kota ataupun dalam kota. Tujuan kantor mengikuti pameran untuk mengenalkan produk-produk UMKM Ibukota Milton dan membantu memasarkannya.
Sudah sedari hari Sabtu aku pulang ke kota Aare. Tim kali ini yang berangkat ke kota Aare, ada 4 orang yaitu aku, Angga, Martin dan Shela. Pameran ini diadakan oleh pemerintah kota Aare dengan mengundang daerah-daerah lain yang akan dilaksanakan selama 1 minggu kedepan.Sebenarnya dari kantor disediakan akomodasi hotel dan transportasi selama jalannya pameran, berhubung acaranya diadakan dikotaku, aku memilih untuk tinggal dirumahku sendiri dan mencairkan saja uang akomodasiku.Sedangkan 3 temanku yang lain tinggal di hotel yang berada tidak jauh dari venue pameran. Shela sudah aku ajak untuk ikut menginap dirumahmu saja, tapi dia menolaknya karena tidak enak dengan keluargaku kalau harus menginap sampai 1 minggu."Halo Angga, lo dimana?gue udah di stand nih, tapi kok kalian ga ada?"Sesuai janji yang kami sepakati di grup, aku sudah sampai di venue pukul 7 pagi. Tapi ketiga partnerku belum ada yang datang."Bentar Del, ini kita baru dapet taxi online-nya. Tunggu 10 menit kami sampai."Setelah menutup telepon Angga, aku menatap sekitar. Tak sengaja aku membaca spanduk yang terpasang di tengah panggung hiburan bertuliskan 'Selamat Datang Walikota Jendra Andriansyah pada Pembukaan Pameran UMKM Nasional'.Sudah lebih dari 3 minggu ini aku dan Jendra tidak bertemu ataupun berkomunikasi, sejak terakhir Jendra meneleponku di malam dia meninggalkanku di restoran. Akupun tidak berusaha menghubunginya, toh hubungan kami tidak sedekat itu untuk intens saling menghubungi satu sama lain. Lagian Jendra pasti sibuk dengan pekerjaannya.Tak ingin terlalu memikirkan Jendra, aku kembali melanjutkan langkahku menuju stand kantor kami yang terletak cukup dekat dengan panggung hiburan.10 menit kemudian, teman-temanku datang. Bergegas kami merapikan stand, kurang dari 1 jam lagi acara pembukaan dimulai. Shela tiba-tiba menghampiriku dan berbisik, "gue denger nanti Pak Walikota dateng ya?lo gak ada kabar-kabaran gitu sama dia kalau lo ada disini?""Gak, gak ada kabar-kabaran lagi gue sama dia. Udah lo bantuin Martin tuh nata flyer biar nanti orang-orang gampang ngambilnya." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, malas untuk membahas Jendra."Iih lo kebiasaan deh, mesti ngalihin pembicaraan," cemberut Shela meninggalkanku menuju ke depan stand untuk menata flyer di meja."Dela, ntar lo sama gue ya yang wakilin waktu acara pembukaan." Ujar Angga tiba-tiba."Lo sama Shela ajalah, gue mau jaga stand aja deh." Tolakku."Duh si Shela ga bakalan betah lama-lama duduk anteng selama acara pembukaan, masak iya gue sendirian disana sih," Angga tetap memaksaku untuk ikut."Emang harus ya ikut duduk disana?""Iyalah, kan pembukaannya belum ada warga umum masuk. Masak pas pembukaan Walikotanya pidato kagak ada orang, makanya masing-masing perwakilan wajib ikutan pas acara pembukaan." Ujar Angga menggebu.Dengan terpaksa, aku mengiyakan. Tidak tega juga kalau Angga kesana sendirian, lagian sementara stand dijaga Martin dan Shela juga tidak masalah. Lanjut aku dan Angga menata display hasil UMKM yang kami bawa dari Ibukota.Tepat pukul 09.00, Angga mengajakku menuju panggung hiburan tempat acara akan dibuka. Aku dan Angga mengambil duduk di deret nomor 3 pojok agar kami nantinya mudah untuk kembali ke stand.***Di deretan kursi depan ditempati oleh para petinggi daerah, kemudian dibelakangnya ditempati oleh peserta pameran dari perwakilan daerah. Aku dan Angga menempati kursi deret ketiga dari depan. Posisi yang strategis tidak terlalu mencolok, berharap Jendra tidak menyadari keberadaanku.Menggelengkan kepala, membuang pikiranku, memangnya aku siapa sampai Jendra akan menyadari keberadaanku. Disampingku, Angga menyenggol lenganku, "kenapa geleng kepala?kepala lo pusing?""Gak apa-apa, lama banget acaranya dimulai.""Sabar tinggal nunggu Walikota datang aja." Tak berapa lama, MC acara mengabarkan acara peresmian akan segera dimulai, meminta seluruh perwakilan daerah yang belum hadir, agar segera menempati duduk di di area panggung. Saat Walikota sudah sampai dan sedang menuju ke panggung."Del Dela, gue denger Walikota sini seumuran lo ya?""Hmm" jawabku tanpa minat."Gila ya umur 28 tahun udah sukses jadi Walikota, gak kayak lo malah jadi kacung pemerintah," ledek Angga.Aku memutar bola mata malas tidak sakit hati sama sekali dengan ucapan Angga, "Sialan lo, bedalah. Dia dari dulu udah punya privilege. Sedangkan gue, bokap juga pegawai pemerintahan pastilah anaknya nurun jadi pegawai pemerintahan.""Ya begitulah orang-orang kayak kita, udah bisa jadi pegawai pemerintahan aja orang tua udah bangga. Tos dulu dong kita sesama anak keturunan pegawai pemerintahan."Saat kami sedang melakukan tos, tanpa sengaja pandanganku bertemu dengan pandangan Jendra. Dia juga sedang menatapku, buru-buru aku menurunkan tanganku yang sedang tos dengan Angga dan segera mengalihkan pandangan. Aku lirik melalui ekor mataku, Jendra sendiri segera menempati tempat duduknya setelah disenggol lengannya pelan oleh Aldo.Setelah sambutan penyelenggara pameran dari Dinas Pariwisata, MC memanggil Walikota untuk memberikan sambutan dan meresmikan pembukaan pameran. Dengan mantap dan percaya diri, Jendra melangkah menuju panggung. Baru kali ini aku melihat langsung Jendra dalam balutan baju dinasnya, terlihat berwibawa dan aura kepemimpinan yang kental. Beberapa kali bertemu dengannya, baru kali ini aku mengakui aura kepemimpinannya.Lagi, aku merasakan Jendra menatapku sebelum memulai pidatonya, aku mengalihkan perhatianku sesaat karena Angga mendekat berbisik di telingaku untuk mengajakku bicara."Gila, cakep banget Wali kota lo. Gue yang cowok aja mengakui dia cakep banget, jadi insecure gue." Angga berbicara bisik-bisik di telingaku."Asal lo tau aja, dia masih jomblo belum married. Lo menang lah dalam urusan jodoh." Balasku yang juga berbisik ditelinganya. Memang benar Angga menang untuk urusan jodoh, karena di usianya 28 tahun dia sudah menikah dan baru saja dikaruniai seorang anak.Sedari tadi aku merasakan pandangan Jendra sesekali tertuju padaku saat menyampaikan pidatonya. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi beberapa kali aku menangkap basah dirinya saat menatapku. Dan kini pandangan matanya berubah tajam saat aku masih saling berbisik dengan Angga. Merasa tak nyaman, aku mengakhiri sesi saling berbisik dengan Angga dan mencoba kembali fokus dengan pidato Jendra.Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.