Share

Part 14

“Lo kenapa baru makan jam segini Dra?Jam makan lo telat banget.” Tanyaku setelah melihat jm di dinding menunjukkan pukul 20.45. Makan malam yng terlalu larut menurutku.

Menyelesaikan kunyahannya Jendra menjawab, “Gue pikir lo belum makan, makanya nungguin lo sekalian.”

“Ya kali jam segini gue belum makan, bisa pingsan di pameran gue.”

“Emang sempet tadi makan malam?dari laporan orang-orang, pameran hari pertama ramai banget.”

“Lebih tepatnya di sempat-sempatin sih, jadi gantian makannya dan gak bisa lama-lama makannya. Yang penting udah isi energy, balik lagi deh ke stand. Gila ya promosinya Dinas Pariwisata sini, sampai bisa ramai gitu yang datang.”

“Iyalah, gue selalu tegasin ke Kepala Dinas sama ketua Panitia Pelaksana buat bikin promosi sebaik mungkin agar menarik pengunjung, karena event ini ngundang peserta dari daerah lain, jadi jangan sampai para peserta kecewa. Udah denger kan nanti di hari terakhir bakalan ada konser penutupnya?”

“Iya gue tahu, udah janjian tuh sama anak-anak mau nonton, mumpung kita nontonnya gratis. Kapan lagi lihat artis nasional manggung gratis.” Ucapku sambil terkekeh.

Tanpa terasa makanan yang ada dipiringku dan Jendra telah habis. Saat bersiap untuk membawa piring kotor ke bak cuci piring, tanganku langsung ditahan oleh Jendra. Dan dia berkata, "biarin aja, nanti bakalan ada orang yang beresin semuanya, lo tamu ga usah repot-repot bersihin piring-piringnya, oke!"

Jendra langsung menarikku duduk kembali ke window seat. Aku duduk miring dengan satu kaki yang ditekuk ke atas agar aku bisa menghadap ke jendela untuk melihat pemandangan jalan raya di malam hari. Sedangkan Jendra duduk disamping dengan posisi yang sama, sehingga kami duduk saling berhadapan meskipun kaki kami masing-masing harus diangkat satu. Suasana hening, tidak ada satupun dari kami yang berbicara.

"Dela, lo masih marah sama gue?" Aku mengernyitkan dahi tak mengerti maksud pertanyaannya. Jendra kembali melanjutkan, "lo 3 minggu ini gak hubungin gue sama sekali, lo masih marah gara-gara gue tinggal sendirian di resto waktu itu?"

Aku menyandarkan punggung menempel pada sandaran kursi agar bisa menatap Jendra sepenuhnya, "apasih Dra, siapa yang marah?"

"Lo yang marah sama gue."

Menghembuskan nafas pelan, "jujur gue ga marah sama lo sama sekali. Dan apa alasan gue harus ngehubungin lo Jendra. Gue cuman temen lo, rakyat biasa lo, ada hak apa gue buat selalu ngehubungin lo."

Ku lihat Jendra sedang menatapku dengan gusar.

"Lo temen gue, lo berhak hubungin gue Dela. Gue tiap pulang kerja pengen hubungin lo, tapi gue takut ganggu waktu tidur lo. Karena beberapa minggu ini jadwal padet kunjungan dari satu daerah ke daerah lain, sampai rumah dinas lewat tengah malam."

"Itu lo tahu, lo sibuk juga Dra, gak mungkin gue gangguin lo. Gue beberapa kali lihat berita juga lo sibuk kunjungan ke daerah-daerah."

"Tapi sebelum ini kan kita masih fine-fine aja komunikasinya, tapi sejak gue ninggalin lo di resto, lo gak pernah lagi hubungi gue."

"Oke, kayaknya kita disini salah paham aja. Gue sama sekali gak marah sama lo, gue paham lo ada panggilan penting dari nyokap lo, jadi gue gak bisa marah. Dan untuk gue yang gak pernah hubungi lo, sorry Dra, gue gak pengen ganggu lo karena tahu lo lagi sibuk-sibuknya."

"Lo gak pernah ganggu gue Dela. Gue sampek pesan ke Aldo kalau ada panggilan atau pesan dari lo, harus langsung bilang ke gue. Tapi hasilnya nihil, lo gak coba hubungi gue sama sekali. Dan bahkan gue baru tahu lo ada di kota Aare saat pameran tadi. Coba kalau gue gak datang, pasti gue gak akan tahu lo disini" Aku yang mendengar ucapannya, sedikit tersentuh.

“Gue juga sibuk akhir-akhir ini ngurusin persiapan pameran ini.” Ucapku.

“Setelah kita ketemu beberapa kali, gue udah nyaman dan ngobrol-ngobrol sama lo, kerasa ada yang kurang pas lo ngehilang.”

Terdengar bunyi ponsel bergetar, aku menoleh meja dibelakangku, ternyata ponsel Jendra yang bergetar. Baru saja aku menoleh kembali untuk memberitahunya, tapi entah sejak kapan wajah Jendra sudah berada di dekatku. Aku menahan nafas sesaat, tangannya terulur melewati belakang kepalaku, mengecek ponselnya sesaat masih dengan posisi ini. Tidak berani bergerak, jarak Jendra sangat dekat denganku, aroma tubuh dan parfumnya menusuk indra penciumanku. Jantungku dengan tidak sopannya berdebar kencang, bohong kalau aku berkata tidak gugup berada sedekat ini dengan Jendra. Memejamkan mata sejenak untuk meredakan debaran jantungku, tepat saat aku merasakan sentuhan di pipiku, aku membuka mata. Wajah Jendra tepat berada di depan wajahku, bahkan desahan nafasnya terasa diwajahku.

"May I?" Tanyanya dengan terus memandangi bibirku dan jarinya yang menyentuh di bibirku

Aku menelan ludah, tanpa sadar mencengkeram ujung kursi. Dari jarak sedekat ini, mataku ikut terpaku pada bibirnya.

Tanpa menunggu jawabanku, Jendra menyapukan bibirnya di bibirku. Aku terkesiap saat merasakannya. Bibirnya terasa lembut, menekan perlahan nyaris tidak terasa. Tak lama Jendra melepas bibirnya dari bibirku, tapi wajahnya tak juga menjauh. Wajahnya begitu dekat, hingga ujung hidungnya hampir menyentuh hidungku, deru nafas kami menyatu. Kulihat Jendra tersenyum sekilas.

Tangannya meraih tengkukku, kembali aku merasakan bibir kenyal Jendra di bibirku, sapuan bibirnya kali ini terasa lebih menekan. Akupun refleks menutup mata, kurasakan Jendra semakin menekan tengkukku, mendorongnya membuat ciuman kami semakin dalam. Refleks aku melepaskan pegangan pada ujung kursi berganti dengan aku yang mendekap erat pundak Jendra. Bibir Jendra masih memaku bibirku, menekannya lebih dalam lagi, perlahan aku mulai membuka bibirku dan membalas ciumannya. Ciuman Jendra benar-benar membuaiku, meninggalkan sensasi menyenangkan.

Aku mendesah kecewa saat Jendra melepas pagutannya di bibirku. Pelan aku membuka mata, menatap pada matanya. Kami saling melempar senyum sesaat, tangan Jendra terulur ke bibirku, membersihkan sisa cairan saliva kami.

"Sorry udah nyium lo, tapi gue ga nyesel sama sekali. Gue suka bibir lo." Ucapnya masih dengan jarinya yang mengusap bibirku.

Aku hanya diam, bingung dan canggung untuk meresponnya.

Lagi Jendra berkata, "ponsel lo bunyi, sekarang lo angkat dulu teleponnya."

Aku terkesiap, saking terbuainya aku dengan ciuman Jendra sampai tidak sadar kalau ponselku berdering.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status