“Lo kenapa baru makan jam segini Dra?Jam makan lo telat banget.” Tanyaku setelah melihat jm di dinding menunjukkan pukul 20.45. Makan malam yng terlalu larut menurutku.
Menyelesaikan kunyahannya Jendra menjawab, “Gue pikir lo belum makan, makanya nungguin lo sekalian.”“Ya kali jam segini gue belum makan, bisa pingsan di pameran gue.”“Emang sempet tadi makan malam?dari laporan orang-orang, pameran hari pertama ramai banget.”“Lebih tepatnya di sempat-sempatin sih, jadi gantian makannya dan gak bisa lama-lama makannya. Yang penting udah isi energy, balik lagi deh ke stand. Gila ya promosinya Dinas Pariwisata sini, sampai bisa ramai gitu yang datang.”“Iyalah, gue selalu tegasin ke Kepala Dinas sama ketua Panitia Pelaksana buat bikin promosi sebaik mungkin agar menarik pengunjung, karena event ini ngundang peserta dari daerah lain, jadi jangan sampai para peserta kecewa. Udah denger kan nanti di hari terakhir bakalan ada konser penutupnya?”“Iya gue tahu, udah janjian tuh sama anak-anak mau nonton, mumpung kita nontonnya gratis. Kapan lagi lihat artis nasional manggung gratis.” Ucapku sambil terkekeh.Tanpa terasa makanan yang ada dipiringku dan Jendra telah habis. Saat bersiap untuk membawa piring kotor ke bak cuci piring, tanganku langsung ditahan oleh Jendra. Dan dia berkata, "biarin aja, nanti bakalan ada orang yang beresin semuanya, lo tamu ga usah repot-repot bersihin piring-piringnya, oke!"Jendra langsung menarikku duduk kembali ke window seat. Aku duduk miring dengan satu kaki yang ditekuk ke atas agar aku bisa menghadap ke jendela untuk melihat pemandangan jalan raya di malam hari. Sedangkan Jendra duduk disamping dengan posisi yang sama, sehingga kami duduk saling berhadapan meskipun kaki kami masing-masing harus diangkat satu. Suasana hening, tidak ada satupun dari kami yang berbicara."Dela, lo masih marah sama gue?" Aku mengernyitkan dahi tak mengerti maksud pertanyaannya. Jendra kembali melanjutkan, "lo 3 minggu ini gak hubungin gue sama sekali, lo masih marah gara-gara gue tinggal sendirian di resto waktu itu?"Aku menyandarkan punggung menempel pada sandaran kursi agar bisa menatap Jendra sepenuhnya, "apasih Dra, siapa yang marah?""Lo yang marah sama gue."Menghembuskan nafas pelan, "jujur gue ga marah sama lo sama sekali. Dan apa alasan gue harus ngehubungin lo Jendra. Gue cuman temen lo, rakyat biasa lo, ada hak apa gue buat selalu ngehubungin lo."Ku lihat Jendra sedang menatapku dengan gusar."Lo temen gue, lo berhak hubungin gue Dela. Gue tiap pulang kerja pengen hubungin lo, tapi gue takut ganggu waktu tidur lo. Karena beberapa minggu ini jadwal padet kunjungan dari satu daerah ke daerah lain, sampai rumah dinas lewat tengah malam.""Itu lo tahu, lo sibuk juga Dra, gak mungkin gue gangguin lo. Gue beberapa kali lihat berita juga lo sibuk kunjungan ke daerah-daerah.""Tapi sebelum ini kan kita masih fine-fine aja komunikasinya, tapi sejak gue ninggalin lo di resto, lo gak pernah lagi hubungi gue.""Oke, kayaknya kita disini salah paham aja. Gue sama sekali gak marah sama lo, gue paham lo ada panggilan penting dari nyokap lo, jadi gue gak bisa marah. Dan untuk gue yang gak pernah hubungi lo, sorry Dra, gue gak pengen ganggu lo karena tahu lo lagi sibuk-sibuknya.""Lo gak pernah ganggu gue Dela. Gue sampek pesan ke Aldo kalau ada panggilan atau pesan dari lo, harus langsung bilang ke gue. Tapi hasilnya nihil, lo gak coba hubungi gue sama sekali. Dan bahkan gue baru tahu lo ada di kota Aare saat pameran tadi. Coba kalau gue gak datang, pasti gue gak akan tahu lo disini" Aku yang mendengar ucapannya, sedikit tersentuh.“Gue juga sibuk akhir-akhir ini ngurusin persiapan pameran ini.” Ucapku.“Setelah kita ketemu beberapa kali, gue udah nyaman dan ngobrol-ngobrol sama lo, kerasa ada yang kurang pas lo ngehilang.”Terdengar bunyi ponsel bergetar, aku menoleh meja dibelakangku, ternyata ponsel Jendra yang bergetar. Baru saja aku menoleh kembali untuk memberitahunya, tapi entah sejak kapan wajah Jendra sudah berada di dekatku. Aku menahan nafas sesaat, tangannya terulur melewati belakang kepalaku, mengecek ponselnya sesaat masih dengan posisi ini. Tidak berani bergerak, jarak Jendra sangat dekat denganku, aroma tubuh dan parfumnya menusuk indra penciumanku. Jantungku dengan tidak sopannya berdebar kencang, bohong kalau aku berkata tidak gugup berada sedekat ini dengan Jendra. Memejamkan mata sejenak untuk meredakan debaran jantungku, tepat saat aku merasakan sentuhan di pipiku, aku membuka mata. Wajah Jendra tepat berada di depan wajahku, bahkan desahan nafasnya terasa diwajahku."May I?" Tanyanya dengan terus memandangi bibirku dan jarinya yang menyentuh di bibirkuAku menelan ludah, tanpa sadar mencengkeram ujung kursi. Dari jarak sedekat ini, mataku ikut terpaku pada bibirnya.Tanpa menunggu jawabanku, Jendra menyapukan bibirnya di bibirku. Aku terkesiap saat merasakannya. Bibirnya terasa lembut, menekan perlahan nyaris tidak terasa. Tak lama Jendra melepas bibirnya dari bibirku, tapi wajahnya tak juga menjauh. Wajahnya begitu dekat, hingga ujung hidungnya hampir menyentuh hidungku, deru nafas kami menyatu. Kulihat Jendra tersenyum sekilas.Tangannya meraih tengkukku, kembali aku merasakan bibir kenyal Jendra di bibirku, sapuan bibirnya kali ini terasa lebih menekan. Akupun refleks menutup mata, kurasakan Jendra semakin menekan tengkukku, mendorongnya membuat ciuman kami semakin dalam. Refleks aku melepaskan pegangan pada ujung kursi berganti dengan aku yang mendekap erat pundak Jendra. Bibir Jendra masih memaku bibirku, menekannya lebih dalam lagi, perlahan aku mulai membuka bibirku dan membalas ciumannya. Ciuman Jendra benar-benar membuaiku, meninggalkan sensasi menyenangkan.Aku mendesah kecewa saat Jendra melepas pagutannya di bibirku. Pelan aku membuka mata, menatap pada matanya. Kami saling melempar senyum sesaat, tangan Jendra terulur ke bibirku, membersihkan sisa cairan saliva kami."Sorry udah nyium lo, tapi gue ga nyesel sama sekali. Gue suka bibir lo." Ucapnya masih dengan jarinya yang mengusap bibirku.Aku hanya diam, bingung dan canggung untuk meresponnya.Lagi Jendra berkata, "ponsel lo bunyi, sekarang lo angkat dulu teleponnya."Aku terkesiap, saking terbuainya aku dengan ciuman Jendra sampai tidak sadar kalau ponselku berdering.Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.