Aku mencari keberadaan tasku, saking gugupnya aku sampai lupa meletakkan dinmana tasku. Dan ternyata tasku ada di meja depan, aku berdiri dan mengambil ponsel di dalam tas.
Berdeham sesaat untuk meredamkan kegugupan, "ehmm..ya halo Stev?"Aku yang masih berdiri, terkesiap kaget, saat Jendra mencekal lenganku dan menarikku hingga terjerembab duduk dipangkuannya. Jendra memeluk pinggangku sehingga aku tidak bisa beranjak kemana-mana.Berusaha fokus kembali pada panggilan Stevan, "iya habis ini kakak pulang, ini lagi siap-siap.""Kakak perlu aku jemput gak?ini udah malem banget.""Gak usah Stev, kakak pulang sendiri aja. Bye!"Mematikan panggilan telepon Stevan, aku menundukkan kepala menatap kedua tangan Jendra yang melingkari pinggangku. Aku menoleh ke balik pundak dan kurasakan kepala Jendra bersandar di pundakku."Dra gue harus pulang udah jam 11 malem." Aku berusaha melepaskan tangan Jendra, bukannya terlepas, tangannya semakin erat melingkari pinggangku."Kayak gini sebentar aja, habis ini gue anterin lo pulang.""Gak usah, gue pulang sendiri aja. Ini kan udah deket sama rumah gue.""Udah malem, gak baik cewek pulang sendiri." Jendra menghembuskan nafas pelan, kurasakan dia mencium sekilas pundakku dan mulai melepaskan tangannya.Aku refleks langsung berdiri dan segera mengemasi tasku yang tadi ada di meja. Berharap tadi Jendra tidak mendengarkan debaran jantungku yang kencang setelah ciuman itu."Seriusan gue pulang sendiri aja, gue udah biasa pulang malem sendirian, apalagi ini di kota Aare. Pasti besok jadwal lo padet, lebih baik lo istirahat aja." Ujarku lagi tidak ingin dia mengantarku pulang, bisa ramai kalau keluargaku tahu Jendra yang mengantarku pulang."Gue gak mungkin bisa istirahat kalau gak mastiin sendiri lo pulang ke rumah dengan selamat."Tanpa menunggu responku lagi, Jendra menggandeng tanganku untuk keluar dari apartemennya. Aku pasrah saja, karena sudah malam dan aku malas berdebat lagi. Seperti saat kami datang tadi, mobil sudah siap di basement. Malam ini yang menjadi sopir salah satu pengawal dan juga Aldo yang masih bertugas sampai malam.Di dalam mobil, Jendra masih menggenggam tanganku. Aku yang merasa malu dengan Aldo dan pengawalnya, berusaha melepaskan tangan kami. Aku tak ingin mereka berfikiran yang tidak-tidak tentang hubunganku dengan Jendra. Bukannya terlepas, Jendra malah mempereratnya dan melemparkan tatapan tajam sebagai bentuk protes. Lagi aku mengalah, tidak ingin memperpanjang masalah.Selama perjalanan pulang, kami mengobrol ringan seperti biasa tanpa kecanggungan. Seolah lupa dengan ciuman kami tadi. Sebenarnya bukan lupa, aku hanya berusaha bersikap biasa saja agar suasana tidak canggung, entah perasaanku saja, atau memang Jendra bersikap seolah-olah ciuman kami tadi adalah hal yang 'lumrah' baginya.Berhenti tepat di depan gerbang rumahku, aku pamit turun pada Jendra."Gue pulang dulu ya Dra, thank you untuk makan malamnya. Makasih mas Aldo dan Pak Burhan. Bye."Keluar dari mobil, aku tidak langsung masuk, tetap di depan pagar menunggu sampai mobil berjalan. Memegang dada untuk menetralisir debaran jantung yang sejak tadi berdebar. Sikap Jendra benar-benar beda, kenapa dia tiba-tiba menciumku.Aku tidak ingin salah sangka dengan sikap Jendra, mungkin tadi hanya terbawa suasana saja sampai Jendra menciumku. Menggelengkan kepala mengusir pikiran ngawur, aku berjalan masuk ke rumah.Begitu masuk rumah, lampu ruangan sudah padam. Sepertinya keluargaku sudah tidur semua. Aku naik ke atas menuju kamarku, saat akan membuka pintu kamarku. Kamar yang ada diseberangku terbuka, nampak Stevan keluar dari kamarnya."Siapa tadi yang nganterin kakak?malam banget pulangnya." Stevan mulai mode posesifnya."Temen kakak, tadi diajak main sama dinner dulu mumpung lagi di kota Aare, Jarang-jarang kan kakak pulang lama.""Hmm..besok berangkat bareng aku ga?""Gak kayaknya, kakak besok ke pameran dapat jatah jaga siang.""Oke, kakak langsung tidur, udah malem ini.""Oke, kamu juga tidur, jangan sleep call mulu sama pacar.""Idih, jomblo sirik aja." Katanya mengejekku dan dengan cepat melarikan masuk ke dalam kamarnya untuk menghindari amukanku"Dasar punya adek kurang aja ya sama kakaknya."Aku hanya bisa pasrah masuk ke dalam kamar. Menaruh tas di atas meja, kamar yang sejak remaja aku tempati ini tidak terlalu besar. Hanya ada kasur ukuran queen size dengan meja nakas disampingnya, meja rias yang ada di ujung ruangan serta sofa kecil yang menghadap jendela kamar. Meskipun aku sudah bekerja di Ibukota Milton dan sesekali pulang ke kota Aare, kamarku tidak pernah berubah dan selalu bersih karena ada ART atau mama yang setiap hari membersihkannya.Seperti biasa, setelah bepergian atau dari aktivitas luar rumah, aku akan selalu mandi. Mau itu pulangnya tengah malampun aku akan tetap mandi, karena segarnya setelah mandi akan membuat badan segar dan nyaman saat di bawa tidur. Apalagi tadi seharian dari pagi aku beraktifikas, pasti badanku lengket dengan keringat. Bergegas ke lemari untuk mengambil baju ganti dan segera meluncur ke kamar mandi. Tak sampai 10 menit, aku sudah selesai mandi dan merebahkan diri di atas kasur.Sambil merebahkan diri di atas kasur, aku menyempatkan diri berselancar di jejaring media sosialku. Mengecek akun media sosial kantorku yang tadi siang sempat meng-upload beberapa kegiatan kami di pameran, dan tiba saat di foto slide ke-lima ada foto Jendra yang tadi sedang berkunjung di stand kami. Dan entah kenapa saat melihat foto itu, jantungku langsung bergetar teringat kejadian di apartemen kami.Buru-buru aku menutup akun media sosialku, melempar ponselku ke kasur dan menutup wajahku bantal karena aku malu sendiri dengan diriku yang bisa-bisanya bertingkaj seperti remaja jatuh cinta saja.Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.