Setelah aku mengusir Jendra waktu itu dari apartemeku, aku benar-benar mengabaikan semua pesan atau teleponnya. Pernah tiga hari kemudian dia nekat datang ke apartemenku masih dengan setelan seragam kerjanya. Beruntung sebelum membuka pintu, aku mengecek pada interkom sehingga menghindarkan aku bertemu dengannya. Aku hanya terdiam bersandar pada pintu dan menahan diri untuk tidak membuka pintu untuknya. Jendra bertahan disana dengan tetap mencoba menelepon atau mengirimi pesan untuk membukakan pintu untuknya.
"Dela, gue tahu lo ada didalam. Please buka pintunya, gue mau jelasin semuanya."Sampai akhirnya Jendra menyerah, dan meninggalkan unitku tengah malam.Hampir setiap hari mengirim Jendra mengirim pesan meminta untuk bertemu agar bisa menjelaskan semuanya tentang masalah perjodohan itu. Lagi-lagi aku mengabaikan pesannya tanpa minat untuk membalasnya. Hingga akhirnya beberapa hari kemudian aku tidak lagi mendapatkan pesan atau telepon darinya.Jujur rasanya bDi dalam mobil, kami sama-sama terdiam. Tadi Jendra sempat mengajakku bicara, menanyakan aku mau makan di mana, karena tadi di cafe aku tidak sempat makan. Menatap pemandangan di luar jendela, aku berfikir apa yang setelah ini akan terjadi. Aku marah pada Jendra karena seenaknya mengeluarkan pernyataan. Bagaimana perasaan Tari setelah nanti melihat berita itu. Sia-sia selama ini aku menghindarinya. Lama melamun, aku tak sadar ternyata Jendra mengajakku ke apartemennya. Melihat sekeliling, mobil sudah masuk ke parkiran basement. "Ngapain kita kesini?antar gue pulang Dra." Ucapku menahan kekesalanku. "Gak, lo gak pulang sekarang. Kita harus bicara, gue harus jelasin ini semua." Aku menggeleng, "gak ada yang perlu dijelasin lagi. Fine kalau lo gak mau nganterin, gue bisa pulang sendiri." Ucapku seraya membuka pintu. Namun dengan cepat tangan Jendra segera mencegahku membuka pintu, dia menggenggam tanganku yang satunya, dan menarikku keluar dari mobil. Pint
“Gimana?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan Jendra yang sudah kutahu maksudnya apa. “Kenapa, hm?” “Emangnya mama semudah itu merestui kita?” Bisa kurasakan Jendra tersenyum menanggapi pertanyaanku dan menggeleng. “Gak mudah, tapi aku berhasil yakinin dia. Ini pertama kalinya aku menentang keputusan mama, but worth it. Bagaimanapun pernikahan bukan hal yang bisa digabung sama bisnis atau politik. Aku gak mau berakhir gak bahagia sama Tari.” “Who knows?” Aku melepaskan pelukan Jendra dan memberi jarak pada kami. “Bisa aja semuanya akan tumbuh seiring waktu, Dra. Saat lo dan Tari berhasil, gak cuma kalian yang bahagia, tapi semua orang. Benar-benar semua orang.” Jendra memandangku lamat-lamat. “Yang jelas gue gak akan mempertaruhkan kebahagiaan gue sendiri di atas kata ‘bisa aja’.” Dia mengubah kembali kata gantinya dan memandangku dengan serius. “Apa Tari akan bisa survive saat berkunjung ke daerah bencana? Apa simpatiknya akan terasa nyata di mata warga
Aku langsung menatapnya tajam, "kamu kebiasaan deh suka cium-cium. Otak mesumnya dikurangin bisa?" Protesku padanya. Jendra tertawa mendengar protesku, lalu mencubit pelan hidungku, "sakit tahu" aku menepis tangannya yang mencubit hidungku. "Kamu sih ngegemesin, nikah aja yuk" "Mulutnya, jangan aneh-aneh ya" ancamku padanya untuk meningkahi salah tingkahku karena ucapan Jendra barusan. Lagi Jendra menatapku dengan lembut, "aku serius sayang, lagian tadi di depan wartawan kan aku udah bilang kalau kamu calon istriku." Aku berdecih, "ck itu mah jawaban ngaco kamu biar gak di kejar-kejar pertanyaan wartawan mulu. Oh iya kok bisa ada pertanyaan dari wartawan tentang calon istri ya?" “Biasa wartawan suka gitu, lihat aku sama cewek aja langsung digosipin. Makanya udah gak kaget kalau ada pertanyaan kayak gitu.” Aku memutar bola mata malas mendengernya. Lalu aku teringat sesuatu, "Dra, tadi kan ada yang mencet bel, kenapa ga di bukain pintu?" "I
Aku berjalan ke dalam kamar mandi membawa kaos dan handuk yang tadi diberikan oleh Jendra. Di dalam kamar mandi, aku berhenti di depan kaca. Menatap bayangan diriku disana, memegang pipiku yang memerah malu. Aku masih tidak percaya, rasanya seperti mimpi kalau Jendra benar mencintaiku. Menggelengkan kepala, aku kembali mengusap wajahku yang masih ada sisa-sisa air. Selesai mandi, ternyata Jendra masih berada di dalam kamar. Dia saat ini sedang duduk di ujung kasur dengan kepala tertunduk, sibuk dengan ponselnya. Begitu mendengar aku memanggilnya, Jendra baru menegakkan kepalanya. Bukannya menjawab panggilanku, dia malah diam sambil terus menatapku. Aku menunduk melihat penampilanku, kaos hitam yang tadi diberikan Jendra saat aku kenakan hanya bisa menutupi bagian atas tubuhku 5 cm dari lutut, aku tidak menggunakan celana kerjaku lagi, karena menurutku akan membuatku gerah. "Dra, kenapa sih ngeliatinnya gitu?kependekan ya?aku pake celana kerjaku lagi aja deh." Ucapku, yang
"By the way emang kamu gak apa-apa besok cuti. Bukannya jadwal Walikota lagi padat-padatnya?" "Gak apa-apa lah, selama ini aku juga belum ada cuti sama sekali. Malah kadang sabtu atau minggu aku masih kerja." "Kok bisa kamu kepikiran buat cuti hari ini?" Tanyaku penasaran. "Ya buat jaga-jaga aja kalau kamu gak mau ketemu aku lagi, dan kamu ga mau dengerin penjelasanku, jadi aku gak perlu bolak balik." "Halah, tapi kamu pakai jebakan biar bisa ketemu aku. Kamu sogok apa Tina sampai dia mau kerjasama?" "Itu namanya trik sayang, coba kalau aku datang ke kantor kamu, pasti kamu bakalan lebih marah sama aku terus semakin sulit buat aku ketemu kamu. Atau aku ke apartemen, udah pasti kamu ga bakalan bukain pintu." "Iya sih, kalau kamu nekat datang ke kantor aku bakalan marah banget dan bakalan bikin gempar juga di kantor." Terdengar bunyi bel, segera Jendra berdiri untuk membukakan pintu. Mungkin Mas Aldo yang mengantarkan makanan. Sesaat setelah Jendra m
Oh iya, mengenai kedatanganku yang tiba-tiba semalam, kedua orang tuaku cukup terkejut karena sebelumnya aku sama sekali gak ngasih kabar akan pulang. Mama langsung mencercaku dengan pertanyaan aku pulang dengan siapa, kenapa beberapa minggu ini gak pulang, tiap di telepon susah. "Tadi siapa yang nganterin Kakak?Tumben gak naik kereta?" "Pulang bareng temen Mah, lumayan irit ongkos." dustaku pada Mama. "Kenapa gak disuruh mampir dulu, gak sopan banget kamu udah numpang tapi gak nawarin mampir." Aku hanya nyengir mendengar omelan Mama, "dia sibuk Mah, udah ditungguin juga sama keluarganya." Dan akhirnya malam itu aku dan Mama bercerita-cerita sampai malam sambil menunggu Stevan pulang. Kembali lagi tentang Jendra yang memaksaku untuk ikut pada kunjungannya. Aku sudah selesai bersiap-siap saat mendengar ponselku berdering. "Iya halo Dra. Iya ini udah selesai bentar lagi aku keluar." “Aku perlu turun gak?” tanyanya. “Ga usah macem-macem gak
Tak terasa sudah hari Senin lagi. Setelah dadakan cuti hari Jumat kemarin, Shela langsung memberondongku dengan pertanyaannya. Kami baru sempat bertemu di kantor, karena kemarin aku kembali ke apart malam hari. Salahkan saja Jendra yang menahanku di apartnya begitu kami sampai di Ibukota. Dia baru mengantar ke apartku ketika dia akan kembali ke kota M."Lo kemana aja selama cuti kemarin?tumben banget cuti dadakan gak ngabarin gue dulu. Gue cari lo di unit juga gak ada.""Gue di culik Jendra, gak di pulangin ke apartemen." Jawabku cuekShela melototkan matanya, "seriusan?bukannya lo gak mau ketemu dia lagi?"Sebelumnya aku sudah menceritakan semuanya pada Shela. Karena waktu malam itu dia menemukanku menangis di apartemen sendirian. Akhirnya aku mencurahkan semuanya pada Shela."Hmmm dia nyuruh Tina buat janjian ketemuan sama gue, eh ternyata yang datang malah Jendra. Dan akhirnya di cafe itu chaos gara-gara banyak wartawan.""Oh gue tahu, gue sempet ba
Pagi ini aku terbangun dengan mata yang sembab. Tadi selesai mandi, aku berkaca dan mataku terlihat bengkak. Ternyata bukan hanya hatiku yang berantakan, tapi wajahku kini terlihat sama mengerikannya juga. Meskipun sudah menggunakan concealer untuk menyembunyikan lingkar hitam di bawah mata, tapi tidak banyak membantu. Semalaman aku terus menangis. Hatiku masih terus merasa sesak setiap mengingat foto itu. Masih teringat jelas dalam ingatanku, foto yang diambil dari sisi samping itu, menampilkan Jendra dan Tari. Tidak perlu melihatnya 2 kali, terlihat jelas wajah dan postur tubuh itu milik Jendra. Aku yang sudah pernah melihatnya shirtless ataupun saat mengenakan baju, aku langsung mengenali bahwa itu Jendra. Aku ingin menyangkal tentang kebenaran foto itu, tapi semuanya tampak nyata. Dan ancaman yang dilontarkan Tari, membuatku tidak mempunyai pilihan lain. Aku juga memikirkan bagaimana nanti aku menghadapi Jendra. Aku ingin segera mengkonfrontasinya, meskipun aku tahu na