Share

Part 7

“Halo, ya Dra," sapaku saat ada panggilan telepon masuk.

"Dela, lo masih di kantor?"

"Iya ini gue masih di kantor, kenapa?"

"Lo balik jam berapa?gue lagi ada di Milton nih. Ketemuan yuk Del" Mendengar ucapan Jendra, refleks aku menghentikan kegiatanku.

"Hah gimana?kok mendadak amat sih."

"Gue lupa tadi pagi mau ngabarin lo, ini mumpung ada kerjaan di Milton jadi sekalian pengen ketemu lo."

"Tunggu gue pulang 30 menit lagi, masih kelarin laporan kerjaan hari ini."

"Oke santai aja, ini gue juga masih meeting kok, kalau udah mau kelar kabari lagi ya, see you."

Begitu sambungan telepon berakhir, aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku. Shela yang duduk di sebelah, melihat aku yang terburu-buru setelah menerima telepon pun bertanya, "siapa yang telepon Del?kok lo jadi buru-buru gini?"

"Si Jendra yang telepon, ngabarin kalau lagi di Milton. Ngajakin gue ketemuan."

"Jendra yang Wali kota itu?" Pekik Shela yang sukses mengundang teman-temanku menoleh kepada kami, langsung saja aku membekap mulut Shela.

Memang aku sudah menceritakan semuanya kepada Shela, makanya dia yang heboh saat tahu Jendra ingin menemuiku karena memang 2 minggu setelah makan malam di apartemen Jendra, kami tidak pernah bertemu lagi.

"Bisa diem ga lo, malu tahu orang-orang pada ngeliatin," omelku yang dibalas cengiran tanpa dosa dari Shela.

"Terus-terus sekarang Jendra ada dimana?"

"Gak tau gue, dia cuman bilang masih meeting." Jawabku cuek.

"Dih lo ya, ga ada sopan-sopannya, masak Walikota disuruh nungguin lo sih?"

"Biarin ajalah, salah sendiri gak ngabarin dari kemarin-kemarin. Udahlah gue mau lanjut kerja, balik sana udah ditungguin cowok lo di depan tuh." Tunjukku pada lelaki yang saat ini sedang duduk di lobby depan kantor.

"Oke, gue tinggal dulu ya. Inget jangan kelamaan lo. Kasian pak Walikota nungguin lo." Godanya sebelum meninggalkan kursinya, yang ku jawab dengan acungan buku yang siap aku lempar kepada Shela.

***

Sesuai perkiraan, tepat 30 menit aku menyelesaikan pekerjaanku. Langsung aku menghubungi Jendra.

"Halo Dra, lo dimana?"

"Maaf Bu Dela, ini saya Aldo. Mau bicara sama Bapak ya?"

Ternyata yang menjawab panggilan teleponku Aldo, asisten pribadi Jendra. Sudah tak asing lagi bagiku, terkadang saat aku menelepon balik Jendra yang mengangkat asistennya atau mbk Ema, sekretarisnya. Aku pun tidak pernah menelepon duluan Jendra, hanya saja saat aku sibuk atau tidak sempat mengangkat teleponnya, maka aku yang menelepon balik Jendra.

"Oh mas Aldo, pak Jendra mana ya mas?"

"Bapak masih meeting bu." akan tetapi di sela jeda terdengar langkah kaki mendekat. "Oh sebentar ini bapak mau bicara bu."

"Halo Del, lo udah selesai?" terdengar suara Jendra yang kini di saluran telepon.

"Iya, ini gue baru selesai. Kalau lo masih meeting, lanjutin aja gak apa-apa. Gue langsung balik apartemen aja."

"Tunggu di sana, gue jemput sekarang, oke?" Ucapnya langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawabanku. Kebiasaan!

***

Setelah menunggu 10 menit, terlihat kedatangan mobil Camry milik Jendra, aku bergegas menuju mobilnya sebelum sempat dia turun. Meskipun beberapa teman kantorku sudah pulang, tapi kalau ada yang mengenali Jendra, bisa bahaya.

"Lo ngapain sih jemput ke sini segala?" Semprotku begitu aku masuk ke dalam mobilnya.

"Kan tadi di telepon udah gue bilang, mau ngajak lo ketemu," jawabnya sambil bersiap menjalankan mobilnya.

Refleks aku memegang lengannya untuk mencegah Jendra menjalankan mobilnya. "Tunggu dulu," ucapku.

"Kenapa lagi sih Del?ada barang lo yang ketinggalan?"

"Gue tadi belum selesai ngomong pas ditelepon. Gue bawa motor Dra, gak bisa pulang bareng lo."

"Motornya tinggal aja di sini, toh besok hari sabtu libur juga kan?"

"Gak mau, kalau motor di tinggal gue kalau kemana-mana pakai apa?"

"Siniin kunci motor lo." Balas Jendra sambil menegadahkan tangannya.

"Buat apa?"sahutku, meskipun heran aku tetap mengambil kunci di tasku.

Tanpa menjawabku, Jendra membuka jendela dan melambaikan tangan, tak lama, muncul salah satu pengawalnya.

"Tolong bawa motor matic dengan nomor polisi E320DLP ke apartemen Saphire, nanti saya tunggu di sana, mengerti?" Perintahnya dengan memberi kunci motorku pada pengawalnya, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala.

Aku hanya bisa melongo melihatnya, dari mana datangnya pengawal itu. Perasaan tadi saat menuju ke mobilnya, aku tidak melihat ada mobil yang mengikutinya. Menengok ke belakang, ternyata mobilnya ada dibelakang kami. Mungkin karena saking paniknya aku tadi, sampai tidak melihat sekitar.

"Oke Problem solve", katanya enteng sambil melajukan mobilnya keluar dari parkiran kantorku. "Sekarang mau makan malem di mana?"

"Order online aja deh, gue males makan dibluar, lihat nih gue masih pake seragam, lo juga masih pake jas gitu."

"Oke kita langsung ke apartemen lo ya?" Tanyanya yang ku jawab dengan anggukan. Sepanjang perjalanan aku hanya menyandarkan kepala dan memandangi jalanan yang lumayan padat di jam pulang kerja ini.

Tak lama mobil sudah berada di parkiran basement apartemen. Karena terlalu lelah, tanpa sadar aku tertidur di sepanjang perjalanan. Aku terbangun saat merasakan ada yang mengelus pelan puncak kepalaku. Pelan-pelan aku membuka mata, setengah sadar aku melihat wajah Jendra ada di dekat wajahku, dan tangannya yang berada di puncak kepalaku. Mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadaran. Jendra yang menyadari kebingunganku mulai berkata, "Hei bangun, udah nyampek di apartemen lo."

Aku yang mulai sadar pun dengan posisi kami, refleks memundurkan kepala. Berhubung kepalaku sudah mentok pada sandaran kursi, aku hanya bisa memalingkan wajah ke samping jendela. Kulirik Jendra masih belum beranjak dari posisinya, wajahnya masih sangat dekat dengan wajahku, dan lihatlah senyumnya tiba-tiba jantungku berdetak dengan cepat.

"Iih munduran sana Dra, deket banget sih." Kataku sambil mendorong pelan wajah Jendra menjauh.

"Lucu banget sih muka lo kalau bangun tidur."

"Mana ada orang bangun tidur lucu, ngaco mulu loh." Gerutuku pada Jendra. "Udah ah, lo mau turun gak?badan gue udah lengket banget pengen cepet mandi."

Bergegas aku turun dari mobil dan masuk ke dalam lift. Jendra mengikutiku dari belakang dan tanpa terduga dia menggenggam tanganku dan ini sudah kedua kalinya dia menggenggamnya. Lagi-lagi, jantungku ikut berdetak dengan cepat. Kulihat Jendra santai saja saat menggenggam tanganku, aku juga berusaha santai meskipun jantungku berdetak cepat.

Di dalam lift tidak ada pembicaraan apapun, Jendra sibuk dengan ponselnya dan jangan lupakan satu tangannya yang masih menggenggam tanganku. Yang bisa kulakukan hanya memandangi angka di lift berharap segera sampai di lantai unitku. Tak sampai 5 menit, pintu lift terbuka di lantai unitku. Aku menyenggol lengan Jendra, menyadarkannya kalau kami harus segera keluar dari lift.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status