Terdiam membisu seorang wanita menatap kosong ke benda pipih di atas meja kerjanya, perasaan hampanya terlihat jelas dari ekspresi datar yang kian menggelapkan ruang kerjanya. Boleh jadi, ruangan itu memang terang dari cahaya luar gedung dan cahaya area humas, tapi tidak cukup menerangkan nuansa yang mengikat kuat di dalamnya.
"Nak, iya bunda tahu selama ini salah, salah banget malah, sudah usir kamu, jadikan kamu musuh, biarkan kamu hampir mati di luar sana. Maaf sayang, maaf." Suara dari benda pipih di atas meja kerja terdengar lagi, walau mengacaukan hari yang baru dimulai, tapi enggan rasanya untuk memutus panggilan seperti yang pernah terjadi dulu.Telepon dari orang tua adalah salah satu musuh besar dan terberat dalam jiwa seorang Kirana Zendaya, katakan saja itu memang bagian dari kelemahannya, tapi bukan kelemahan karena rasa cinta, justru kelemahan karena rasa takut. Takut jika harus mendengar makian, amarah, dan sumpah serapah. Walau usia sudah hampir memasuki kepaKecanggungan yang tentu membuat Rana terdiam bingung, "Ran, kenapa tiba-tiba kamu mau berhenti? Okelah kamu belum tentu mau, tapi kenapa kepikiran begitu?" tanya Nifa memecah keheningan keduanya, hening yang diciptakan cepat dari kebingungan Rana dan kecanggungan Nifa."Kayaknya aku mau lanjutkan bisnis keluarga.""Hah?" tukas Nifa cukup keras, terkejut pada ungkapan sang pimpinan tim, "s-serius? Buat apa? Posisi kamu di sini sudah enak, Rana.""Ah sudahlah," pungkas Rana mengakhiri obrolan keduanya lalu bergegas menuju meja kerja, "balik kerja saja, Nifa," ucapnya lagi setelah duduk di kursi kerja yang tinggi itu, kursi serupa dan terasa seperti singgasana neraka yang panas dan memuakkan, penuh tuntutan dan pemaksaan."Enggak mau! Aku mau tahu alasanmu dulu," jawab Nifa menatap kesal Nifa dan menarik kursi di depan meja kerja itu, duduk dan merengut, "sekarang aku sebagai teman, bukan rekan kerja atau anggota tim," lanjutnya menegaskan situasi yang dirasa."Sete
"Gimana cara buktikan kasih sayang orang tua saat usiaku saja sudah hampir tiga puluh?" kata Rana pelan cenderung berbisik, hanya isak tangis yang sesekali terdengar lebih jelas dari pada perkataan itu."Enggak ada cara spesifik yang bisa kujelaskan, dan memang enggak ada cara ideal yang bisa diungkapkan," jawab Nifa menepuk pundak pimpinan tim dari tempatnya bekerja, "kalau kamu tanya alasannya, karena setiap orang tua punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayang. Sama kayak kamu, di saat banyak perempuan menunjukkan sedih dan amarah dengan tangis, dulu kamu tunjukkan perasaan itu dengan apa? Diam saja, kan? Ya itu caramu," lanjutnya menjelaskan dan memberi contoh, membuat Rana kian mengeratkan dekapan yang amat dibutuhkan kini.Eratnya dekapan yang jelas membuat Nifa untuk pertama kalinya merasakan sisi feminin dari seorang Kirana Zendaya, senguk napas tak sengaja dari tangis yang menyesakkan. Kirana memang sesekali menceritakan konflik keluarganya, betapa keras dan banyaknya t
Terdiam membisu seorang wanita menatap kosong ke benda pipih di atas meja kerjanya, perasaan hampanya terlihat jelas dari ekspresi datar yang kian menggelapkan ruang kerjanya. Boleh jadi, ruangan itu memang terang dari cahaya luar gedung dan cahaya area humas, tapi tidak cukup menerangkan nuansa yang mengikat kuat di dalamnya."Nak, iya bunda tahu selama ini salah, salah banget malah, sudah usir kamu, jadikan kamu musuh, biarkan kamu hampir mati di luar sana. Maaf sayang, maaf." Suara dari benda pipih di atas meja kerja terdengar lagi, walau mengacaukan hari yang baru dimulai, tapi enggan rasanya untuk memutus panggilan seperti yang pernah terjadi dulu.Telepon dari orang tua adalah salah satu musuh besar dan terberat dalam jiwa seorang Kirana Zendaya, katakan saja itu memang bagian dari kelemahannya, tapi bukan kelemahan karena rasa cinta, justru kelemahan karena rasa takut. Takut jika harus mendengar makian, amarah, dan sumpah serapah. Walau usia sudah hampir memasuki kepa
"Intinya apa mau kamu dari kami?" pungkas Arhan sebagai penengah, memangkas habis niat berucap Fafa membalas ujaran Rana di tengah tangisnya yang mulai membasahi pipi."Aku cuma mau tetap bisa hidup karena sebatang kara di dunia, aku sadar enggak bisa terus membebani teman-temanku yang baik ini, tapi aku juga enggak mau bayi ini tumbuh tanpa sosok ayah," ucap Fafa menunduk dan mengusap perutnya."Kalau gitu, kita buat kesepakatan sebagai jalan tengah." Arhan berucap tegas dan menatap orang di ruangan itu dengan keyakinan yang jelas tersorot dari netranya, "kita tes paternitas alias tes DNA dulu buat anaknya Fafa. Jika hasilnya positif anak Kalil, maka Kalil akan ceraikan Rana dan menikahi Fafa untuk bentuk tanggung jawab. Dan untuk Rana jika itu anak Kalil, apa kamu akan tetap melanjutkan laporan hukum?"Terdiam sejenak Rana dan tersenyum masam seraya melihat suaminya, ia tahu kegugupan yang dirasakan Kalil, sebab Rana tahu betul perjuangan Kalil selama ini untuk menjadi
"Sudah selesai bercelotehnya?" kata Rana penuh penekanan yang berhasil mencekamkan suasana, menggelapkan keadaan, dan mengakhiri semua celoteh dan drama yang baru dibangun dari tiga wanita dalam satu geng itu, "kalau belum selesai, lanjutkan sampai puas.""Bacot," ketus Fafa melihat Rana dengan pandangan merendahkan, ketus yang membuat Rana hanya tersenyum simpul tanpa memberi ekspresi apapun.Bukan karena emosi sudah berhasil ditahan, bukan juga karena rasa lelah sudah menguasai hati dan pikiran. Hanya karena Rana tahu, masalah yang ia hadapi kini bersumber dari orang yang sebenarnya tidak setara, dari orang yang sebenarnya tidak bisa dijadikan saingan, dan dari orang yang akan selalu ingin jadi pemenang dengan sejuta keegoisannya yang bersifat permanen. Apa harus mengalah? Tidak, tapi hanya harus terus melawan tanpa benar-benar melawan."Balik ke topik saja, biar cepat selesai," pungkas Arhan berkata setelah saling terdiam satu sama lain, setelah tidak banyak kata yang
"Apa maksudmu ingin dapat uang tetap demi si bayi, dan hidup bahagia sama suami saya tanpa memikirkan biaya hidup? Tanpa berjuang bertahan hidup? Begitu?" sambung Jessica turut merasakan lelah dan emosi, membuat tekanan darahnya naik dan harus sering kontrol ke dokter kandungan demi menjaga kesehatan jabang bayi.Memang sial wanita bernama Fauziah Aini, pikir Jessica dalam diamnya usai turut mengungkapkan isi pikiran. Menjelajah matanya melihat bentuk kepala, rambut yang terurai, bentuk dan tekstur wajah, warna kulit, sampai aura hampa yang terpojok, rasanya sama sekali tidak ada yang bisa dicintai dari wanita ini. Kenapa bisa Kalil dan Tomi jatuh cinta sampai mengorbankan segalanya? Apa yang dilihat dari wanita pendendam tanpa sebab yang jelas? Beralih pandang netra Jessica melihat adik iparnya yang juga terdiam, lagi dan lagi pikirannya menjadi rumit hanya karena memikirkan cara lelaki memandang seorang Fauziah Aini."Yang bilang siap membebaskan Tomi asal aku mau tes pate