Bergegas Kalil menuju kamar mandi setelah memasang gembok pengaman di gerbang dan mengunci pintu utama, membuang air kecil, mencuci bersih tangan dan wajah sebelum tidur. Kebiasaan kecil Rana yang kini jadi bagian dari kebiasaan Kalil juga, berjalan ia ke kamar tidur dan menjumpai Rana yang sedang memegang botol susu Karsa yang sudah terlelap, "aku naik, ya?""Hm," deham Rana melihat suaminya yang bergegas menaiki ranjang perlahan, dan membaringkan diri di dalam selimut yang disingkap, "Bunda sudah pulang?""Sudah, naik mobil dari ojek daring."Mengangguk pelan Rana menanggapi suaminya, "tadi sore dia ke sini naik apa?""Diantar supir, tapi dia enggak mau telepon supir lagi buat jemput karena ini sudah malam." Mengernyit bingung Rana mendengarnya, aneh sekali mendengar sang Ibunda memahami arti kemanusiaan, "biar supirnya istirahat," tambah Kalil menduga Rana bingung dengan jawabannya."Hm," deham Rana lagi dan mengangguk acuh tak acuh, seraya berpikir kebenaran yang meragukan. Benark
Terdiam Angelica setelah berucap profesional sedemikian rupa di hadapan anak dan menantunya, begitu pula dengan Rana dan Kalil yang memilih tetap diam, semakin mempermudah hening yang memekakan telinga untuk menyelimuti dalam canggung dan bingung satu sama lain. Kalil dengan pekerjaan, Rana dengan persiapan diri untuk berhenti kerja dan hanya fokus pada keluarga, dan Angelica yang memikirkan pengganti Jessica, "Lagi pula, separah apa kondisi Kak Jess?""Kondisinya sangat berantakan," jawab Angelica usai terdiam sesaat untuk mempertimbangkan jawaban, haruskah menyembunyikan fakta dengan kebohongan demi menjaga kebaikan nama Jessica Danti? Ataukah lebih baik jujur demi ketenangan hati? Namun, apa yang harus dijaga dari sesuatu yang cepat atau lambat akan diketahui?"Berantakan gimana?" tanya Rana lagi menuntut penegasan dari jawaban Angelica.Bagi Rana, hubungan keluarga harus selalu terbuka dan jelas dalam hal apa pun, terutama kondisi kini kala Karsa dirawat Rana yang sedang hamil dan
Mengangguk Rana menyambut ujaran ibunya yang tidak menyenangkan hati, "meski begitu, kami juga mempertimbangkan pemahaman Rana tentang perusahaan yang pasti tidak dikenal sepenuhnya, tapi kami juga mempertimbangkan kecerdasan Rana beradaptasi dan pengalamannya di perusahaan lain. Karena itu, kami memutuskan agar kalian menjadi pimpinan dari dewan pengawas internal perusahaan," ujar Angelica membuat Rana terbelalak, sedangkan Kalil sontak menunduk dan berdeham.Tanpa banyak kata, Angelica tahu bahwa sejoli ini terkejut dan cemas. Namun, hasil pertimbangannya dengan para investor hanya dua, antara Rana jadi bagian dewan pengawas atau mengisi jabatan yang pernah ditempati Jessica dan Tomi. Pertimbangan sangat tidak mudah tapi tidak bisa disebut sangat sulit, mengingat besarnya bisnis yang dikelola."Apa enggak ada posisi atau hal lain yang memungkinkan?" tanya Rana mengusap kepala Karsa yang berambut amat tipis, mencari penenang dari hati yang semakin gelisah."Ada," jawab Angelica singk
"Bungsuku sebentar lagi jadi ibu," goda wanita hampir paruh baya setelah berkunjung ke rumah putri bungsunya, godaan yang terlontar begitu saja sambil melihat si bungsu yang sedang membuka blazer, "kamu masih kerja atau Kalil masih betah jadi pengangguran?" tanya wanita hampir paruh baya bernama Angelica Audreylia."Beberapa hari lalu sudah mengajukan surat pengunduran diri, besok konfirmasi terakhir sekalian berpamitan sama tim," jawab si bungsu bernama Kirana Zendaya, si bungsu yang sikap dan cara berpikirnya hampir serupa dengan banyaknya para kakak perempuan pertama. Bukan karena keberanian atau pembentukan karakter yang didapat dari orang tua atau sekolah, tapi karena kenyataan pahit yang memaksa dan melatihnya untuk tetap bisa bertahan hidup, "Kalil mulai kerja nanti awal bulan," lanjutnya melirik Angelica dengan kesal, lirikan yang menjadi hasil dari kekesalan terpendam."Berarti sudah disetujui perusahaan kalau mau berhenti?" tanya wanita hampir paruh baya yang berstatus sebag
"Hai, cucu eyang!" seru Guntur menyambut kedatangan Kalil dan Rana yang menggendong anak dari Jessica, pagi hari yang terbilang cerah sejalan dengan suasana hati semua orang, walau jelas terlihat hampir tidak sejalan dengan Rana yang hanya senyum canggung penuh rasa terpaksa yang jelas terlihat."Ayo masuk," ajak Angelica, ibunda Rana yang hampir setengah hidupnya untuk bermusuhan dengan Rana, hanya karena Rana terlihat lebih mirip dengannya baik dari fisik hingga sikap."Iya, Bu," kata Kalil mewakili Rana yang memang hanya diam setelah memaksanya memakaikan baju pada bayi Jessica, "Ayo, Sayang.""Hm," deham Rana acuh tak acuh, berjalan lebih dulu bahkan melewati sang ayah dan bunda, "Kak Jess!" teriaknya tiba-tiba setelah berada di ruang tengah, menidurkan bayinya di sofa untuk satu orang dan kembali berteriak memanggil."Shh," desis Kalil merangkul istrinya erat, "kenapa, Sayang? Akhir-akhir ini kamu gampang emosi, ya.""Ck, lepas!" tukas Rana menepis tangan Kalil dari bahunya dan m
Rasa malas begitu kuat, fisik yang rasanya seperti patah pada setiap sendi hingga lunglai, dan pikiran tetap terasa berat meski beban terbesar yang berasal dari Tomi telah selesai. Terduduk Rana di atas toilet dan mengulurkan tangan sedikit ke bawah untuk menampung air seni, mengikuti instruksi tertulis dari kotak alat uji kehamilan lalu menyelesaikan hajat.Penuntasan hajat yang seringkali tidak membutuhkan waktu lama, tapi tak jarang juga menghabiskan banyak waktu yang tak terduga. Terhela napasnya seraya mencuci tangan di wastafel kecil, beralih pandangannya pada sebuah stik yang memiliki indikator, stik yang kini bersandar santai di gelas kecil berisikan air seni pertama di pagi hari, dan stik yang kini Rana ambil untuk melihat hasilnya.Terdiam ia melihat layar digital yang menunjukkan hasil, mematung hanya melihat stik di tangannya yang perlahan gemetar takut dan gelisah, "Kalil Nayaka!" teriaknya memanggil."Kenapa, Ran?" sahut Kalil bergegas mendekati pintu kamar mandi dan men