Tanpa menunggu jawaban atau izin berlanjut, bergegas Rana pergi keluar ruangan, dari pada harus mendengarkan proses hukum yang terasa rumit dan menyebalkan. Bergerak bebas netra Rana menilai dan mengamati setiap seni dalam kata atau gambar coretan yang berada di dinding, hanya sekali lihat saja Rana tahu itu untuk menambah estetika dan menunjukkan arti keadilan. Namun, kenapa Rana merasa keberatan saat tahu Fafa tidak mendapat hukuman apa pun atas segala perbuatannya? Bukankah itu adil, mengingat Fafa hanya orang suruhan untuk teror dan melakukan perzinahan secara personal?Ocehan bayi disertai kaki dan tangan terayun-ayun, menyadarkan Rana dari kehampaan yang berada di sekitar rasa kesal. Terhela cepat dan singkat napasnya lalu beralih pada bayi itu, "eh, kamu siapa? Aku lupa nama kamu," gumam Rana menggoyang-goyangkan badannya ke kiri dan kanan seraya berjalan pelan di pinggir, agar tidak menghalangi jalan siapa pun."Ran!"Menoleh Rana ke sumber suara yang memanggil, tersadar ia ba
Riuh terdengar sedikit menggema dan memenuhi ruang persidangan, diikuti suara tepuk tangan yang tak juga berakhir meski sudah mendapat teguran melalui pengeras suara. Sampai pria hampir lanjut usia mengangkat suaranya, suara dan tepukan tangan itu perlahan berkurang hingga ruangan pun menjadi senyap, menciptakan suasana yang menjadi canggung dan kaku lagi.Berdeham sesaat pria berjubah sebelum kembali berucap, "Dengan ini, perkara nomor tentang perceraian dan hak asuh anak telah diputus secara final dan mengikat. Pengadilan Negeri memutuskan bahwa Jessica Danti dan Tomi Uraga telah resmi bercerai, dan menetapkan hak asuh anak kepada Jessica Danti. Putusan ini telah final dan mengikat, dan kedua belah pihak diwajibkan untuk mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Pengadilan Negeri menutup perkara ini dengan harapan bahwa kedua belah pihak dapat melanjutkan hidup dengan damai."Tok!Selesai sudah segala perjuangan, berakhir sudah semua pengorbanan, dan karam sudah kapal yang melewati
Tawa pelan terdengar menggoda dari setiap sentuhan yang dilancarkan, membelai tangan menuju lengan, mengusap dada yang masih tertutup baju, dan mengecup punggung tangan yang ditarik paksa. Mata sayu dengan mulut beraroma alkohol sangat jelas menunjukkan betapa payahnya kondisi yang ada, lemahnya fisik yang terlihat, dan paraunya suara yang terdengar."Ck, Ran. Sudahlah, tidur saja," oceh seorang pria setelah mengusap bersih wajah istrinya dengan kapas pembersih, "tidur saja, ya, Sayang.""Enggak mau," tukas wanita bernama Kirana Zendaya, beranjak duduk ia dan merengut manja, "kamu, kamu tahu sesuatu, enggak?" katanya lagi menatap tajam sang suami yang hanya tersenyum hambar dan berdeham."Enggak tahu," jawab pria itu singkat, bukan berniat untuk benar-benar menjawab melainkan hanya untuk menghindari celoteh Rana.Terakhir kali pria itu menghadapi mabuknya seorang Kirana Zendaya, rasanya sulit dengan banyaknya celoteh yang tidak masuk akal. Kali ini apalagi? Sejak Rana berhadapan langs
Satu, tiga, lima botol habis sudah ditandaskan wanita berambut hitam panjang. Bersandar lunglai tubuh mungil itu di sofa ruang privasi yang disewanya, mata sendu dan mulut sedikit terbuka menambah penjelasan kondisi payah wanita ini.Berbanding terbalik dengan seorang wanita berambut cokelat pendek, yang hanya berpangku tangan di atas meja mengamati sang adik. Tidak habis pikir ia melihat pola wanita yang sudah hampir tidak sadarkan diri, mendapat nasihat lalu sengaja minum alkohol kadar sedang dalam jumlah banyak untuk melakukan nasihat itu.Terdiam membisu saja wanita berambut cokelat itu, mencoba untuk melihat dunia dengan cara berpikir ala sang adik. Pandangan yang membuat si adik secara konyol jadi seorang Kepala Humas, meski memiliki kepribadian yang cenderung suka menyendiri dan sangat tidak menyukai keramaian. Rasanya sangat aneh bila melihat karakter sang adik untuk menjadi seorang Kepala Humas, tapi kenyataan berkata bahwa dia adalah seorang pemimpin tim yang berkompeten dan
Detik demi detik berputar untuk mencapai menit, menit demi menit berjalan demi menemui jam, dan jam demi jam tetap bergerak mencari hari yang terus berlalu, sampai hari berganti pekan, dan pekan menjadi bulan. Segala perjalanan yang kemudian banyak manusia sebut sebagai waktu, perjalanan yang bisa penuh arti bagi para pejuang, tapi juga perjalanan yang hanyalah batas kehampaan dalam kegelapan tiada akhir bagi para mantan pejuang yang ingin menyerah.Ada begitu banyak waktu berlalu hingga timbul sebutan bumi sudah tua, dan ada begitu banyak manusia dengan berbagai sudut pandang yang kompleks hingga tak jarang amat sulit untuk dimengerti. Sama halnya yang dialami salah satu keluarga konglomerat negeri, bagaimana bisa si putri sulung, sang pewaris pertama jatuh cinta pada pria yang tidak jelas asal-usulnya? Bagaimana bisa si putri sulung konglomerat ini terus mengalah dan menerima segala yang dilakukan suaminya? Bahkan, ternyata pria itu menikahinya hanya karena dendam pada salah satu an
Deham dan deham berulang kali terdengar dari Rana yang hanya mendekatkan ponsel ke telinganya, terlihat jelas bahwa Rana tidak benar-benar mendengarkan. Entah hati yang sudah mati atau pikiran yang memang sengaja tidak ingin mengetahui, tapi semua terungkap jelas dari ekspresi Rana yang tidak ingin mendengar apa pun."Nanti dikabari lagi," ucap Rana tiba-tiba yang terdengar seperti memotong pembicaraan, ucapan yang tentu membuat Kalil sontak melihatnya terkejut setelah Rana terus berdiam diri dan hanya berdeham.Bergerak cepat Rana mengakhiri sambungan telepon itu dan mematikan ponselnya, "kalau mereka mencariku dan Jessica, kasih tahu saja," kata Rana pada suaminya yang mengernyit, "mereka banyak tanya tentang kondisi Jessica, mereka tahu karena adanya catatan dan pesan otomatis dari asuransi yang meminta konfirmasi penggunaan atas nama Jessica Danti," lanjutnya membuat Kalil mengangguk paham.Tanpa perlu banyak penjelasan lagi, Kalil tahu bahwa mertuanya hanya ingin mendapat informa