Nadia memperhatikan mobil hitam di depan pekarangan rumahnya, pasti ini milik Bara tunangannya, siapa lagi. Pria keras kepala itu masih saja membuat ulah, padahal Nadia sudah memperingati Bara agar tidak ke rumahnya selama seminggu.
Dengan langkah kesal Nadia masuk ke dalam rumahnya. Ia sangat malas bertemu dengan Bara. Kenapa juga pria itu ke rumahnya.
"Sayang."
Nadia baru saja ingin melewati Bara menuju kamarnya dan pura-pura tidak melihatnya. Namun dirinya ketahuan juga.
"Apaan sih? Aku capek. Pulang sana!" usir Nadia mengangkat tangan nya seperti mengusir itik ke arah Bara.
Bara tidak menyerah, ia langsung memanggil calon mertuanya. Karena hanya calon mertuanya yang bisa membujuk Nadia.
"Tante Bella!" panggil Bara berteriak nyaring.
Nadia langsung menghampiri Bara dan menyumpal mulutnya dengan satu tangan. Bisa gawat kalau mamanya tahu dirinya belum juga memaafkan Bara. Bara kan menantu kesayangan mamanya.
"Diam gak!" ancam Nadia melototkan matanya ke arah Bara. Nadia melepaskan tangannya dari mulut Bara.
"Bibir aku sakit Yang," rengek Bara memonyongkan bibirnya kedepan.
Ingin sekali Nadia melempar Bara dari atas Monas. Tapi ia takut dosa. Dahlah.
"Kamu mau ngapain ke sini?" tanya Nadia langsung.
"Aku kangen sama kamu sayang. Masak gak boleh ke rumah tunangan aku."
Nadia memutar bola matanya malas. Sebenarnya ia juga rindu tapi sekarang ia tengah merajuk harus disogok menggunakan apapun yang harganya mahal. Ingatkan Nadia sekali lagi, harus mahal.
"Nih aku bawa bunga untuk kamu sama coklat. Kamu kan suka coklat."
Bara menaruh bunga dan coklat di atas meja. Nadia tidak tertarik sedikitpun walaupun ia sempat tergoda dengan coklat Silverqueen di depannya. Tahan Nadia!
"Gak ada… Harganya murah aku mau yang mahal. Kamu kan udah kerja mana jadi CEO perusahaan. Masak gak mampu beli."
"Kamu mau apa, hem?" tanya Bara memperhatikan wajah Nadia yang tengah merajuk. Andai Nadia tahu, Bara akan mengabulkan apapun kemauan Nadia, walaupun itu nyawanya sendiri.
"Uang aku habis, kemarin aku shopping. Jadi… Kamu tahu kan kelanjutannya." Nadia memborong apapun yang ia lihat menarik kemarin bersama kedua temannya. Siapa suruh Bara membuatnya kesal, ia harus tanggung jawab. Biarkan saja Bara mengatainya matre. Nadia tidak peduli. Karena wanita itu butuh uang, dan realistis.
"Kamu mau berapa sayang? Aku kerja juga buat beliin kamu apapun. Dua puluh juta bagaimana??"
Nadia langsung melebarkan matanya. Mana cukup uang segitu. Nadia langsung menggelengkan kepalanya. Walaupun Nadia sama kayanya dengan Bara, tapi ia suka saja mengerjai Bara seperti ini.
"Ngak usah kalau ngak ikhlas. Pulang sana!!" Nadia kembali kesal.
"Makanya sebut berapa maunya??" tanya Bara dengan sabar. Kalau ia emosi nanti Nadia mengancam putus dengannya. Bara takut hal itu terjadi.
"Ngak jadi. Nanti aku minta ke papa ajha. Dasar pelit. Oh ya… Tumben kamu ada waktu untuk aku? Biasanya aku nangis darah pun kamu selalu gak ada waktu karena ke rumah ekor itu."
Kalau Nadia mengingatnya kembali, hatinya sesak ingin memakan manusia. Tapi sudahlah, itu bukan urusannya. Nadia tidak peduli. Ekor Bara siapa lagi yang Nadia maksud kalau bukan Celina. Celina selalu mengikuti Bara kemanapun seperti ekor monyet.
"Celina punya penyakit parah. Kasihan Celina selalu sakit-sakitan. Aku hanya…."
"Panas ya… Jangan dilanjutkan! Males dengar nama itu."
Tidak sekalian saja Bara menjadi baby sitter Celina dan berhenti menjadi CEO. Bayangkan saja dua puluh empat jam waktu dalam sehari, Bara menjaga Celina. Lebih memperhatikan Celina ketimbang dirinya yang tunangan Bara.
Awalnya Nadia mengerti hubungan mereka hanya sebatas sahabat. Tapi semakin ke sini, mereka semakin ngelunjak.
"Kamu inget gak Bar. Waktu kita tunangan di harapan semua orang. Mama dan papa aku, bahkan orang tua kamu. Kamu berjanji gak akan pernah nyakitin perasaan aku. Tapi semuanya bullshit… Kamu pembohong."
"Aku…."
"Aku mau minta maaf, aku mau janji, aku akan tegas, aku akan apa lagi, ahh??" Nadia menahan gejolak emosinya. Ia harus tampil elegan di depan Bara. Perempuan tidak boleh terlihat tersakiti, karena akan semakin terinjak-injak.
Lama Bara terdiam memperhatikan wajah Nadia. Ingin sekali Bara memeluk erat Nadia. Namun ia tidak memiliki keberanian untuk itu.
"Aku capek, baru pulang kuliah. Kamu pulang aja sana, gak sekalian pulang ke rumah ekor kamu."
Sebelum Nadia meninggalkan Bara ia sempat-sempatnya mengambil coklat Silverqueen yang Bara bawa. Lalu pergi meninggalkan Bara yang mematung dengan ucapan nya tadi.
"Kan mubazir yey," ucap Nadia masuk ke dalam kamarnya.
Dua bulan telah berlalu. Kedua sahabat Nadia sudah resmi menikah dan sekarang fokus dengan rumah tangga mereka masing-masing.Nadia menghela nafas pelan ketika dirinya akhirnya bisa berjalan kembali, setelah terapi setiap minggu dan memiliki keinginan yang kuat untuk berjalan. Namun jangan lupakan dibalik kesembuhan Nadia, terdapat seorang pria yang setia dan penyabar di sampingnya.Nadia masih tidak menyangka, ternyata Bara adalah jodohnya dan pernikahan mereka sudah berumur tiga bulan. Bara adalah segalanya untuk Nadia. Tuhan menghadirkan Bara sebagai penerang di kehidupan Nadia yang sunyi dan sepi.“Semoga Bara menyukai hadiahku.”Nadia segera bersiap setelah menyiapkan kejutan untuk Bara. Hari
Senyuman Lala luntur ketika melihat calon suaminya mengobrol dengan dokter muda yang terlihat sangat cantik dan dewasa.Lala mengeratkan pegangan tangannya di rantang yang ia bawa untuk dokter Ryan.Lala berdiri di ujung pintu. Sepertinya mereka tidak menyadari dirinya berada di sana. Karena terlalu asyik mengobrol. Lala mundur perlahan dan segera berbalik arah kembali menuruni anak tangga.Ryan menatap dokter Neza dengan pandangan sulit diartikan. Dokter Neza adalah dokter baru di rumah sakit ini dan sepertinya menyukainya. Karena sedari tadi mencoba mencairkan suasana untuk menggodanya.“Dokter Ryan juga berprofesi menjadi seorang dosen? Wah hebat ya. Dokter sanga
“Sebenarnya, aku ada niatan untuk menjenguk nenek di rumah sakit jiwa,” ujar Nadia pelan, membuat semua orang yang ada di meja makan berhenti sejenak dari aktivitasnya.“Tidak!” tegas Bara, membuat Nadia bukannya takut malah pantang menyerah.“Kenapa, Sayang? Sampai mau jenguk nenek kamu yang jahat dan tidak manusiawi itu?” tanya Rani menatap Nadia, membuat Nadia menghela nafas pelan.“Nadia, ingin berdamai dengan semuanya. Tenang, hanya nenek ajha, kok. Ngak sama dia-dia itu,” ujar Nadia lagi.“Dia siapa?” tanya Bara.“Mantan sahabat kamulah. Siapa lagi, yang kamu belain mati-matian sampai membuang cincin ak ....”
Bara meneliti wajah Nadia yang tengah tertidur. Cantik dan manis. Bibir mungil semanis madu itu selalu berhasil membuatnya tidak berhenti mengecupnya seperti sekarang ini.Mereka masih berada di kantor. Sebentar lagi jam pulang kerja tiba. Namun melihat istrinya masih memejamkan matanya. Bara jadi tidak tega membangunkan Nadia.Bara menghela nafas dan merogoh ponselnya. Ia menyalakan kamera dan mengambil gambar Nadia sebanyak-banyaknya."Sayang banget sama kamu." Bara mendusel hidungnya di leher Nadia, membuat Nadia terusik."Eugh …." Akhirnya Nadia terbangun dan bergumam kesal kepadanya. Karena menganggu tidur nyenyak wanita itu."Sayang, dah
Nadia meringis kala merasakan sakit yang menderai . Nadia menatap Bara yang pagi ini sudah rapi untuk berangkat bekerja.“Sayang, ayo mandi. Kita ke kantor.”Nadia terperangah mendengarnya, “Kamu sendirian pergi. Aku di rumah ajha.”“Nggak bisa, Sayang. Kamu harus ada di samping aku setiap waktu.”Tanpa izin, Bara menggendong Nadia dan masuk ke dalam kamar mandi. Dengan telaten, Bara membasuh dan membersihkan tubuh Nadia dengan sangat lembut dan hati-hati.Setelah menghabiskan waktu 5 menit. Bara menggendong Nadia dan mendudukkannya di pinggir ranjang.Bara beralih mencari dress untuk sang istri. Warna marun dan juga mantel tebal untuk sang istr
Seminggu telah berlalu. Sepasang pengantin baru tersebut, sekarang akhirnya pulang ke rumah orang tua Bara. Nadia mengambil nafas panjang ketika Bara dengan seenaknya, tidak ingin menurunkannya ke kursi roda. Bara mengendongnya sampai ke dalam rumah. Nadia hanya bisa pasrah dan mengeratkan pelukannya ke leher suaminya.Barang-barang, semuanya telah dibawa oleh sopir dan para pembantu ke dalam kamar mereka.“Wah, pengantin baru sudah pulang ternyata,” ujar Rani terlihat antusias. Nadia duduk bersama Bara di depan meja makan, bersama dengan kedua orang tua Bara.“Bagaimana bulan madunya, Sayang?” tanya Rani kepada Nadia.Nadia tersenyum kikuk dan menunduk, “Lancar, Ma.”Mereka berdua mengucap