LOGIN"Ayo ditelan makanannya! Jadi laki-laki jangan menyusahkan!"
Yang lebih mengejutkan, Tuan Ario menyemburkan bubur dalam mulutnya ke wajah Nyonya Arini, lalu meludahi perut buncitnya, membuat perempuan itu menamparnya kuat-kuat.
“Laki-laki tidak tahu diuntung …!” Nyonya Arini mengusap wajahnya dengan serbet yang terlipat di meja.
Alih-alih menyesal, Tuan Ario justru tertawa seperti orang gila. “Bunuh saja aku, Arini …! Kenapa kau biarkan aku tetap hidup?”
Dengan kesal Nyonya Arini melemparkan serbet ke wajah suaminya yang masih terus tertawa geli. Lalu tatapan tajamnya beralih pada Tumini yang berdiri dengan kepala tertunduk.
"Tum! Suap sampai habis. Awas kalau tidak habis—saya potong gaji kamu!" Jeda sejenak, matanya menyipit. "Omong-omong, kamu belum dapat gantinya Jumiati?"
"Ngapunten, Nyonya. Belum." Suara Tumini kemudian merendah. "Jumiati yang hilang tiba-tiba tanpa kabar membuat orang-orang kampung takut bekerja di sini."
"Memangnya kamu tidak cerita kalau Jumiati minggat sama selingkuhannya?!"
"Sudah, Nyonya. Tapi ... banyak yang meragukan karena Jumiati tidak pernah terlihat punya selingkuhan. Yang orang-orang tahu, pagi itu dia masih datang ke sini untuk mengurus Tuan Ario."
Hening sejenak, hanya diisi tawa Tuan Ario yang terdengar semakin geli mendengar percakapan istrinya, membuat Nyonya Arini tampak semakin kesal.
"Ya sudah! Selesai menyuapi Tuan, langsung kembali ke dapur. Bagian dapur kekurangan tenaga untuk persiapan besok. Jangan sampai ada yang kurang! Saya tidak mau keluarga Mas Ario berkata yang tidak enak tentang jamuan di rumah ini."
"Njih ... Nyonya ..." Tumini perlahan menegakkan punggung, namun dahinya tiba-tiba berkerut. "Tapi Nyonya—"
"Tapi apa lagi?" Mata Nyonya Arini melotot, hampir habis kesabaran.
"Tadi Nyonya minta saya melap badan Tuan setelah makan?"
"Duhhh!" Helaan napas panjang keluar dari mulut Nyonya Arini. Tangannya menangkup dahi menahan pusing. "Sudah, biarkan saja! Tidak usah dilap dulu pagi ini. Lagipula, ibu tidak ke sini hari ini. Ada undangan ke luar kota. Yang penting kamu suapi dia, lalu bantu bagian dapur. Tidak ada waktu lagi!"
Di balik pintu, Tini yang sedari tadi mengintip sontak mundur teratur. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar langkah kaki Nyonya Arini mendekat.
Dengan cepat ia duduk bersimpuh di lantai, pura-pura melipat pakaian—seolah tak menyaksikan apa pun.
"Ayo Tini, ikut saya!"
Suara tegas itu membuat Tini tersentak. Ia bergegas bangkit, mengikuti langkah tergesa majikan barunya.
Koridor rumah tua itu terasa semakin gelap dan pengap saat mereka berjalan menuju kamar mandi dekat dapur.
"Kamu mandi di sini!" perintah Nyonya Arini. "Di dalam sudah ada air kembang. Gosok badanmu pakai lulur yang sudah disiapkan. Setelah itu, berpakaian rapi dan temui saya di ruang tamu. Mengerti?"
"Njih ... Nyonya!" Dada Tini berdebar semakin kencang.
Jadi benar, pikirnya sembari mengamati Nyonya Arini yang melenggang pergi. Keanehan Nyonya Arini yang jadi buah bibir di kampung memang nyata.
Kaki Tini ragu melangkah masuk. Kamar mandi itu terlalu mewah untuk ukuran pembantu—lantai tegel bersih, cermin besar dengan bingkai ukiran, bahkan pakaian telah terlipat rapi di atas bangku kayu jati.
Namun kemewahan itu tak mampu mengusir firasat buruk yang merayapi tengkuknya.
Tini menghampiri wadah tanah liat berisi lulur. Aromanya semerbak, campuran bunga kenanga dan melati, tapi ada sesuatu yang lain—bau yang tak bisa ia kenali, manis namun menyengat.
"Ini orang mau nikah atau mau kerja, to? Mosok yo harus luluran segala?" gumamnya sembari mengamati tekstur lulur yang kasar, seperti ditumbuk terburu-buru.
Ia mengendus lengannya yang tadi diasapi kemenyan. Wanginya sudah melekat di kulit, membuat bulu kuduknya meremang tanpa sebab.
"Duhh ... jadi merinding. Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang penting kerja, kerja, kerja."
Dengan gerakan cepat, Tini mulai menggosok kulitnya. Dalam keheningan kamar mandi yang hanya diisi bunyi air menetes, tiba-tiba terdengar desisan lirih.
Sssshhh...
Tini menegang. Matanya menyapu sekeliling ruangan, mencari sumber suara. Tidak ada ular. Tidak ada apa-apa.
"Ahh ... paling salah dengar."
Ia melanjutkan, menggosok jari-jari kaki dengan teliti. Tiba-tiba, sesuatu yang ringan jatuh menimpa kepalanya. Tanpa pikir panjang, Tini menepis benda itu—mengira hanya sarang laba-laba dari langit-langit tua.
Selesai melulur, kakinya tanpa sengaja menginjak benda putih tipis yang tadi ditepisnya. Teksturnya aneh di bawah telapak kaki.
Tini mengerutkan alis, mengangkat kaki dan menunduk, lalu menjumput helaian panjang yang sedikit hancur terinjak. Matanya menyipit, mengamati lebih dekat.
Bukan sarang laba-laba. Ini kulit. Kulit ular yang terkelupas.
"Lah dalah ...!" Tini menyentak benda itu dari tangannya, jijik bercampur ngeri. "Kulit ulo ...!"
Dengan menelan ludah, kepalanya perlahan mendongak. Di sana, melilit di antara reng kayu atap yang berdebu, seekor ular berukuran besar.
Sisiknya berkilau kehijauan dalam remang-remang cahaya yang masuk dari ventilasi. Matanya—dua manik hitam yang dalam—menatap lurus ke arahnya.
"Aaaaa ...!" Tini tersungkur di lantai.
Pekikan Tini memecah sunyi. Ular itu bergerak, membuat debu dari reng berguguran. Kepalanya menjulur ke bawah dengan gerakan yang terlalu halus, terlalu tenang. Lidahnya yang bercabang keluar-masuk, seolah mencicipi ketakutan.
Gedoran keras di pintu membuat Tini tersentak.
"Tin ...! Tini ...! Ono opo?!" Suara Tumini terdengar panik di luar.
Dengan lutut gemetar hebat, Tini merangkak ke pintu. Tangannya yang basah oleh keringat dingin kesulitan membuka slot kayu.
Begitu pintu terbuka, Tini tergagap sambil gemetar menunjuk atap. "U-ulo ... ono ulo ... Mbok De!"
Alih-alih, menarik Tini keluar, Tumini justru membekap mulut Tini, matanya melebar waspada.
"Ssssttt ...! Diam, Tin!" bisiknya tajam. "Jangan ribut! Nyonya Arini beberapa hari ini mudah sekali marah. Nanti kamu kena marah."
Kepala Tumini melongok masuk, menyapu seluruh sudut kamar mandi dengan pandangan yang anehnya terlalu tenang. "Mana ularnya?"
"I-itu Mbok De, di atas sana!"
Jari Tini yang bergetar menunjuk ke reng atap, tapi tak ada apa-apa.
"Mana? Salah lihat kamu, Tin."
“Loh … betul, Mbok De. Tadi ada. Mungkin sudah pergi.”
Tumini berdecak lidah. "Sudah sana, cepat selesaikan mandinya!"
Tini melangkah masuk dengan ragu-ragu, tangannya memegangi kain jarik yang hampir melorot. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Apalagi ini?!" Suara Nyonya Arini membentak.
Nyonya Arini muncul di ambang pintu, wajahnya masam. Matanya yang tajam langsung tertuju pada tubuh Tini yang gemetar.
"Ini Nyonya, tadi si Tini kepleset. Tidak biasa dengan lantai tegel," sahut Tumini cepat.
Tatapan Nyonya Arini beralih ke lutut Tini yang dipijit-pijit gugup.
"Ya sudah. Jangan lama-lama! Saya tunggu di ruang tamu."
Begitu punggung Nyonya Arini menghilang di belokan koridor, Tumini segera menutup pintu. Wajahnya berubah serius.
"Mulai sekarang," bisiknya sambil mengedarkan pandangan waspada ke sekeliling bilik, seolah dinding punya telinga, "kalau kamu lihat apapun yang aneh di rumah ini, pura-pura saja tidak lihat."
"Maksud Mbok De?" Tini tampak bingung.
“Paling kamu cuma kebawa cerita orang-orang kampung soal Nyonya Arini. Jadi kamu ketakutan.”
"Betul, Mbok De, saya tadi lihat ular! Saya malah kejatuhan kulitnya."
Tini mencari-cari di lantai. Kulit ular yang tadi dipegangnya lenyap tanpa jejak. Bahkan bekas kulitnya yang hancur pun tidak ada.
"Loh ... tadi ada kok di sini."
"Nah to?" Tumini mendekat, suaranya semakin pelan. "Pokoknya pesen Mbok De—diam, Tin. Apa yang kamu lihat, seaneh apapun, jangan cerita ke siapa-siapa. Ngerti?"
Alis Tini berkerut dalam. "Lah kalau lihat betulan, mana bisa pura-pura tidak lihat, Mbok De? Kalau ada ular, mosok yo kita diam saja? Nanti digigit bagaimana?"
"Sudah to!" potong Tumini yang mulai lelah berbicara dengan Tini yang banyak bicara. "Inget pesen Mbok De. Pura-pura saja tidak lihat. Kamu tidak akan diapa-apain kalau kamu kerja yang betul. Sudah sana cepat mandinya!"
Tumini beranjak pergi, tapi langkahnya terhenti di ambang pintu saat Tini bertanya lirih, "Jadi ular yang saya lihat tadi betul yo, Mbok De?"
Tini terbangun, terdiam, bingung. Matanya berkedip perlahan—satu kali, dua kali—mencoba menyesuaikan dengan cahaya matahari pagi yang menyilaukan. Pandangannya berputar. Tubuhnya lemas sekali. Setiap otot terasa berat, setiap napas terasa seperti membutuhkan usaha besar.Rasanya seperti baru bangun dari mimpi yang sangat melelahkan, mimpi yang terasa terlalu nyata.Telinganya mulai menangkap suara-suara di sekitar. Suara Sari masih menangis, tapi tidak lagi tangisan keras yang memilukan, hanya sesenggukan di bahu Anthony sebelah kanan. Tini berkedip lagi, pelan. Hidungnya mulai mencium—aroma parfum khas Anthony, parfum Paris yang mewah dan maskulin, yang dulu sering ia cium saat bekerja di rumah keluarga Anthony. Dan ada aroma lain—bau bunga melati, bau masakan, bau-bau khas orang hajatan.Hajatan?Otaknya berusaha memproses, tapi terlalu lelah.Anthony yang pertama menyadari. Ia merasakan tubuh di pelukannya bergerak—sedikit saja, tapi cukup membuatnya bukan main senang. Napas yang
Sementara itu, di dunia lain—dunia yang temaram meski siang hari—Tini berjalan bergandengan tangan dengan Ario di jalanan yang diapit pepohonan tinggi dan lebat. Pohon-pohon itu tidak bergerak, seperti lukisan yang diam. Tak ada angin.Tiba-tiba, ia mendengarnya—samar tapi jelas. Suara gending. Kaki Tini berhenti. Ia menoleh ke belakang, mencari sumber suara."Siapa yang menikah?" tanyanya pada Ario.Ario tersenyum—senyuman yang tenang, yang meyakinkan. "Warga kampung sebelah. Ayo kita lanjut. Sedikit lagi sudah sampai."Ia menunjuk ke depan. Di sana, suasana semakin suram seperti siang dengan matahari terhalang mendung tebal. Di depan mereka, sebuah gapura tua berdiri megah, gapura batu yang ditumbuhi lumut, dengan ukiran naga dan makhluk-makhluk aneh di sisi kanan kirinya. Gapura itu seperti pintu menuju dunia lain.Tapi sebelum mereka sampai ke gapura, Tini terkejut.Ibu Tuan Ario berjalan keluar dari balik gapura, menggandeng dua cucu laki-lakinya di kanan dan kiri, yang bayi dig
Mbah Kiai menatap ibu Tini yang masih menangis di samping tempat tidur. "Bu Tumirah, saya minta izin. Karena Tini sudah menggantikan Arini sebagai istri, dia harus punya seseorang yang lebih berhak menyebutnya istri."Tumirah menatap Mbah Kiai dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia percaya pada Mbah Kiai."Apa saja, Mbah," ucapnya pelan dengan suara parau. "Asal Tini bisa kembali. Asal dia bisa hidup."Mbah Kiai mengangguk. "Insya Allah."Fajar itu, semua orang tidak lagi tidur. Semuanya sibuk menyiapkan upacara pernikahan yang sederhana tapi sakral—sesuai syariat Islam, tapi juga adat Jawa tidak ketinggalan.Istri Mbah Kiai dan anak-anak perempuannya memandikan tubuh Tini yang masih tidak sadarkan diri dengan air mawar dan melati. Mereka memakaikan kebaya pengantin berwarna putih gading, kebaya milik anak perempuan Mbah Kiai yang baru saja menikah beberapa bulan lalu.Kain batik motif khusus untuk pengantin dililitkan dengan rapi. Sanggul tinggi dibentuk den
Tuan Ario melangkah mendekat. Setiap langkahnya lambat, tatapan menghipnotis.Tini ingin mundur. Seharusnya ia mundur, menutup pintu, berteriak memanggil ibunya. Tapi tubuhnya tidak menurut. Ia hanya berdiri di sana, terpaku, menatap sosok yang semakin mendekat.Ario berhenti tepat di depannya, begitu dekat sampai Tini bisa mencium wangi tubuhnya yang memabukkan. Bukan bau obat-obatan atau perban seperti pasien biasa, tapi aroma manis yang membuat kepala Tini mulai berkabut.Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh bibir bawah Tini dengan sangat lembut, sentuhan yang membuat seluruh tubuh Tini bergetar. "Kau mau ikut denganku, Tini?"Tini tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap mata kelam itu—mata yang seperti jurang tanpa dasar, yang menariknya masuk, menjanjikan kedalaman yang menakutkan sekaligus penuh rasa penasaran."Ikut denganku, Tini, " bisik Ario, tangannya turun dari bibir, menelusuri garis rahang dengan sentuhan sehalus bulu. "Ke tempat di mana tidak ada y
"Jangan dipikir dalam-dalam, Tin. Tono sudah kawin dengan si Tina."Suara laki-laki di dekat telinganya membuat Tini terlonjak dan refleks menampar bahu Toni."Tuan ini sukanya ngagetin!" protesnya kesal.Tony terkekeh—tawa yang hangat dan familiar, tawa yang dulu sering Tini dengar saat mereka masih akrab. Ia meraih tangan Tini yang akan memukulnya lagi."Masih tukang kaget kamu, Tin. Aku kangen kagetmu."Sontak Tini terdiam. Sama diamnya dengan Tony. Mereka saling menatap, mata bertemu mata dalam keremangan cahaya lampu minyak, teringat masa di mana mereka dulu pernah dekat sebagai teman. Masa-masa sederhana saat Tony pulang sore dan mengajak Tini jalan-jalan dengan Nyonya Saridewi, masa-masa saat mereka tertawa bersama tanpa beban.Tini yang tersadar dengan cepat menarik tangannya dan memasang wajah sinis. Ia berjalan melewatinya, tapi Tony menahan lengannya pelan."Tin ... sudahlah ... jangan marah terus. Aku harus bagaimana, biar kamu memaafkan?"Tini berhenti tapi tidak menoleh
Mbah Kiai pamit pergi—ia akan bermalam di masjid untuk berdoa sepanjang malam, memohon petunjuk atas masalah yang sedang dihadapi keluarga Nyonya Arini. Langkahnya tenang menyusuri jalan setapak menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya.Nyonya Arini masuk ke dalam rumah, Mbok Lastri mendorong kursi roda Tuan Ario mengikuti di belakang. Roda berderit pelan di lantai papan.Di koridor kamar, mereka bertemu dengan Tini. Perempuan muda itu membeku, dadanya berdebar saat bertemu pandang dengan Tuan Ario. Pria itu tersenyum, hanya senyum terima kasih yang sopan, tak lebih dari itu. Senyuman yang wajar, yang tidak mengandung apa-apa. Jauh berbeda dengan Tuan Ario dalam bayangannya.Tapi Tini merasakan sekujur tubuhnya meremang. Seperti ada sensasi aneh yang menjalar dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jantungnya berdetak lebih cepat, napasnya sedikit tersangkut.Dan Nyonya Arini—perempuan yang sudah bertahun-tahun hidup dengan hal-hal aneh—bisa melihat perbedaan itu. Ia melihat bagaiman







