Home / Horor / Ibu Susu untuk Bayi Gaib / 7. Kamu Kebanyakan Tanya

Share

7. Kamu Kebanyakan Tanya

Author: Hayisa Aaroon
last update Last Updated: 2023-08-03 08:15:56

Saking ngerinya, Tini hampir-hampir menghambur keluar, namun mengingat Tuan Ario bahkan tak mampu berpindah, ia mencoba melawan ketakutannya. 

"Nyu-nyuwun sewu, Tuan ...! Saya balik badannya, nggihh ...!" 

Ragu-ragu tangannya terulur, menyentuh bahu Tuan Ario yang masih diam.  Saat pria itu tak melawan, Tini kemudian membalik tubuhnya, hingga pria itu kini terlentang di lantai. 

Ia bersyukur tatapan mata pria itu tak setajam di awal. Tuan Ario yang sekarang terlihat lebih ramah, namun masih belum selesai mengamati Tini dari sela-sela rambut di wajahnya. 

"Duhh ... ini gimana mindahnya ke atas?" 

Kini Tini dipusingkan dengan tubuh Tuan Ario yang berat. Perempuan itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di ketiak pria itu dan susah payah menyeretnya. 

Sampai napasnya terengah dan lehernya dibanjiri keringat, namun Tini hanya sanggup memindahnya hingga ke sisi depan ranjang dan dengan sangat hati-hati menyandarkan punggung pria itu. 

"Tunggu ya, Tuan. Biar saya panggil yang lain buat angkat Tuan."

Lantas Tini bergegas keluar kamar. Sejak ia datang, perempuan itu tak mendapati satu pun pekerja laki-laki. 

"Mbok De ...!" Tini menghampiri Bibinya yang kini sibuk menyiangi sayuran. 

"Ada apa lagi?" jawab perempuan itu sembari menoleh ke arah jam dinding di dapur luas itu. 

"Saya nggak kuat ngangkat Tuan Ario ke atas."

"Loh ...!" Sontak kepala Tumini menoleh ke arah keponakannya. "Tadi Mbok De tinggal, Tuan masih di kursi."

"Iya." Suara Tini membisik. "Itu tadi Nyonya yang bikin jatuh Tuan."

"Ohh ...!" 

Tumini mengangguk, tak terkejut dengan informasi itu. Lantas ditinggalnya sebakul kacang panjang dan bergegas menuju kamar Tuan Ario. 

"Mbok De, kenapa nggak panggil tukang kebun aja biar dibantuin ngangkat?"

"Di sini nggak ada babu laki-laki. Semua perempuan."

Jawaban itu membuat Tini semakin penasaran. "Loh ... kenapa?"

"Ya mungkin Nyonya nggak nyaman kalau ada laki-laki lain. Kalau perempuan semua kan enak, bebas."

"Oh gitu. Eh ... Mbok De, kata Nyonya Arini, tadi Mbok De digigit Tuan? Mana? Berdarah nggak?" tanya Tini sembari memperhatikan tangan bibinya yang berayun. 

"Itu sih biasa. Jangan takut. Tadi Mbok De agak gereget aja makanannya disemburin terus. Bahkan kena muka Mbok De juga. Jadi Mbok De jejelin satu sendok penuh. Terus tangan Mbok De digigit."

Tini tercengang mendengar itu. Sikap Bibinya itu sangat kurang ajar. "Tuan Ario kan majikan kita, Mbok De. Kok Mbok De, gitu?"

Tini kemudian memperhatikan bekas gigitan membiru di bawah ibu jari tangan kanan Bibinya. 

"Lah, orang Nyonya Arini yang nyuruh. Lagian Tuan Ario itu keterlaluan. Udah lumpuh, diurus baik-baik, kok malah nggak bersyukur, sering bikin Nyonya kesel. Pasti tadi Tuan Ario kurang ajar sampai Nyonya Arini bikin dia jatuh dari kursi. Kamu lihat sendiri. Laki-laki kayak gitu, siapa yang nggak jengkel. Kalau Mbok De, udah tak tinggal laki-laki nggak tahu diri begitu."

"Iya, sih. Kasihan tadi lihat Nyonya. Sampai nangis. Itu Tuan Ario gimana bisa kecelakaan, Mbok De?"

Suara Tini semakin rendah, mencoba mengimbangi jalan Bibinya yang lambat. 

"Ceritanya panjang," balas Tumini dengan suara tak kalah pelan. "Jadi, dulu Nyonya Arini tuh lama nggak punya anak. Ada mungkin lima belas tahun. Itu Tuan Ario kan tiga puluh limaan. Nyonya Arini tiga puluh dua. Udah diperiksa ke dokter mana-mana. Dari dokter darah Belanda sampai dokter Jawa, tabib China, katanya Nyonya Rini nggak subur. Berobat dari yang modern sampai alternatif udah semua tapi nggak ada hasil. Jadi mertuanya jodohin Tuan Ario sama perempuan lain. Nyonya Arini ya nerima, mau dimadu. Eh dilalahnya satu hari sebelum ijab kabul, Tuan Ario jatuh dari kuda."

"Kalau lumpuh kok itu Nyonya Arini bisa hamil? Apa Nyonya selingkuh?"

Pertanyaan Tini sontak membuat langkah Tumini terhenti. Dengan gemas perempuan itu mengetuk dahi Tini. 

"Kamu itu pikirannya ya ...! Pembantu laki-laki di rumah ini aja nggak ada. Nyonya Arini juga nggak pernah deket-deket sama laki-laki lain. Kan cuma kakinya aja itu yang lumpuh. Jadi masih bisa buat anak. Kamu itu nggak punya suami, makanya nggak tahu. Makanya sana cari suami, nanti kamu tahu."

Tini yang tidak mengerti apa yang dimaksud bibinya justru semakin dilanda penasaran. Namun langkah mereka yang tiba di kamar Tuan Ario mencegahnya bertanya lebih. 

"Kamu angkat badannya, Tin. Biar Mbok De angkat kakinya."

Tini kemudian bergegas menyelipkan  lengannya di ketiak Tuan Ario, sementara Tumini mengangkat lutut. 

"Wes, siap? Mbok De kasih aba-aba, hitungan ketiga langsung naik yo."

Tini yang telah siap mengangguk. 

"Siji, loro, telu ...!"

Meski telah dibantu Bibinya, Tini masih kesulitan mengangkat badan Tuan Ario, hingga punggung pria itu membentur tepian ranjang. 

"Piye to, Tin ...?!"

Tumini bergegas melepas pegangannya pada kaki Tuan Ario yang telah naik di atas tempat tidur, sementara badan Tuan Ario hampir terjatuh bersama Tini yang oleng. 

Tumini pun menahan tubuh Tuan Ario tepat waktu dan menaikkannya ke ranjang. 

"Tini, Tini. Masih muda kok nggak ada tenaganya," gerutu Tumini sembari membetulkan bantal di kepala Tuan Ario yang memandangnya penuh kebencian. 

Tini yang jatuh berlutut di sisi tempat tidur kemudian mencoba bangkit, ia belum terbiasa dengan bobot berat majikannya.

"Sudah, apalagi?" tanya Tumini dengan napas berat. "Kamu tahu cara pakai kursi roda kan, Tin? Kamu dulu kan pernah kerja ngurus jompo."

Perempuan itu kemudian menuju sudut ruangan dan mendorong kursi roda ke sisi ranjang. 

"Su-sudah Mbok De, matur nuwun ...!" balas Tini dengan memijit lututnya yang menghantam lantai. 

"Ya, sudah Mbok De mau ke dapur lagi. Besok mau ada tamu,  jadi ini repot bikin makanan banyak."

"Eh ... Mbok De ...!" Tini cepat-cepat menyusul Bibinya yang berjalan menuju pintu, lalu memelankan suaranya. "Itu Tuan kalau mau buang air gimana?"

Lalu Tumini menghela napas sembari menoleh ke arah Tuan Ario yang terbaring. 

"Sebenernya, Tuan Ario itu cuma lumpuh kaki dari ujung jari sampai ke lututnya sama nggak bisa ngomong. Baru tadi pagi dia nggak bisa gerakin badan atasnya. Kemarin-kemarin malah bisa pindah sendiri ke kursi roda. Tangannya masih kuat ngapa-ngapain. Mau buang air juga bisa itu di toilet duduk."

"Ohhh ...!" Tini menggangguk-anggukkan kepalanya. "Kok nggak dibawa ke rumah sakit, Mbok De?"

"Hihhh ...! Kamu ini kebanyakan tanya dari tadi. Kenapa kamu jadi pembantu, harusnya kamu jadi wartawan sana! Kamu nggak papa tanya-tanya begini sama Mbok De, tapi selain sama Mbok De, jangan kebanyakan tanya. Bisa dipecat kamu. Udah nggak usah dipikirin itu buang airnya gimana, orang nggak mau makan minum ya paling nggak pengen buang air. Yang penting kamu bersihin dulu badannya! Cepetan! Ingat, nanti jam lima semua pembantu harus pulang. Pembantu yang boleh tidur di sini cuma yang ngurus bayi sama Mbok De. Kamu kan belum ngurus bayi, jadi kamu juga pulang."

"Loh ... kenapa, Mbok De?" tanya Tini dengan mata membulat. 

"Duhh ... Duhhh ... Duhhh ... Tini ... Tini ...! Kebanyakan tanya! Nanti lagi ngomongnya!"

Tumini yang tak tahan dengan keponakannya yang suka bertanya itu kemudian cepat-cepat melenggang pergi. Sementara Tini berjalan tersandung-sandung menuju lemari pakaian. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   26. Mbak Jah dan Mbak Mur

    Tumini menghela napas panjang, duduk perlahan di tepi ranjang. Aroma bedak bayi bercampur dengan wanginya kemenyan yang masih tertinggal di sudut kamar. Suara gamelan dari acara di depan samar-samar masih terdengar."Lah, Tin ... kamu ini aneh-aneh saja pertanyaannya. Nyonya Arini itu ningrat, keturunan darah biru. Orang-orang kaya seperti mereka bebas tidak menyusui bayinya sendiri. Sekarang kamu istirahat dulu, Tin. Besok pagi kita bicarakan lagi soal kamu mau berhenti atau tidak. Tapi ingat, Nyonya Arini sudah percaya sama kamu. Itu hal yang tidak mudah didapat, terutama di keluarga kaya seperti ini."Sebelum Tini bisa berkata lagi, Tumini sudah lebih dulu berjalan tergesa ke pintu, “Mbokde ke depan dulu ya, Tin. Sebentar lagi acara selesai.”Kepergian bibinya yang tergesa-gesa membuat jantung Tini kembali berdebar kencang ditinggal sendirian di kamar yang terasa mencekam.Perempuan itu perlahan duduk, dengan hati-hati melepaskan hisapan sang bayi dari dadanya. Rasa lega seketika

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   25. Aku Mau Berhenti Kerja, Mbokde.

    "Tini," suara Tuan Ario membisik di telinganya, dalam dan lembut, diikuti kecupan dingin di bahunya. Namun tubuh Tini tetap membeku, tak dapat bergerak barang sedikit pun. "Aku bisa membuatmu kaya, tidak perlu susah payah bekerja. Kamu hanya perlu menerimaku."Keringat dingin mulai mengucur deras dari dahi Tini, menetes ke leher hingga membasahi kerah kebayanya. Ia ingin berteriak, ingin melepaskan diri saat merasakan tubuh itu semakin merapat di belakangnya. ‘Aku tidak mau,' batinnya sambil mencoba memberontak sekuat tenaga. Namun, setiap otot di tubuhnya terasa kaku, seakan ditahan oleh pelukan gaib."Aarrrhhh ...!" Jeritan melengkung keluar dari mulutnya tepat saat pintu kamar terbuka dengan bunyi derit pelan. Tumini, yang baru masuk dengan bayi dalam gendongannya, terlonjak kaget. "Duh ... Gusti ...!" serunya sambil mengusap dada, lalu buru-buru menepuk-nepuk pantat bayi yang mulai menangis. Sedangkan Tini, masih berdiri seperti orang linglung, menoleh ke belakang dengan waja

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   24. Hubungan Ibu Tuan Ario dan Lurah Sukardi

    Tini menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya. "Masalah apa yang si Mbok maksud? Apa hubungannya dengan Bapak?"Ibu Tini menghela napas panjang, ia mulai bercerita dengan suara pelan, nyaris berbisik, "Dulu, Bapakmu, Lurah Sukardi, bukan orang biasa, Nduk. Bertahun-tahun dia menjabat sebagai lurah, dan tidak ada yang berani jadi pesaingnya. Orang-orang takut. Baru setelah Mbah Kiai masuk ke desa kita dan menyebarkan agama Islam, baru itu … bapakmu mulai kehilangan pamornya."Tini mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbok … saya tahu itu. Lalu …? ” “Dulu, waktu si Mbok pertama kali dinikahi Bapakmu, Mbok kira karena kecantikan si Mbok. Tapi ternyata bukan hanya itu."Ibu Tini berhenti sejenak. Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Rupanya Lurah Sukardi butuh penerus untuk ilmu-ilmu yang diturunkan dari orangtuanya dulu. Sayangnya, istri-istrinya yang dulu tidak ada yang bisa memberi anak dengan bakat khusus. Yang tubuhnya kuat untuk jadi wadah il

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   23. Tangisan Bayi

    Tumini terkekeh mendengar jawaban Tini, suaranya bercampur dengan sayup-sayup alunan gamelan dari halaman depan. "Ya lihat-lihat dulu siapa yang dulu menghamili kamu, Tin. Kalau sama-sama jongos, ya Mbok De bisa bantu, minimal marah-marah lah, minta tanggung jawab. Nanti kita juga bisa minta bantuan Nyonya Arini. Tapi kalau yang hamilin kamu orang kaya, lihat dulu kayanya sekaya apa. Kalau lebih kaya dari Nyonya Arini ya … Mbokde nggak bisa bantu. Juga Nyonya Arini."Tini menghela napas panjang, aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh bayi di dalam dekapannya seakan menenangkan gejolak hatinya. "Kalau gitu, sudah tidak usah dibahas lagi lah Mbok De. Percuma juga dibahas." Lalu perhatiannya beralih pada bayi yang kembali tertidur pulas. "Ini sudah kenyang kayaknya Mbok De."“Ohhh … iya …. Anak-anaknya Nyonya Arini tuh paling enak diasuh. Pokoknya asal kenyang, sudah. Nggak akan rewel. Sakit juga nggak pernah.”Tumini dengan gemas mengambil bayi dalam dekapan Tini. Sembari menimang s

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   22. Mendhem Ari-ari

    Seketika napas Tini tertahan ketika melihat bayi lain yang menangis di sisi ranjang. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka kain jarik yang membungkus bayi yang mulai menangis kencang. Wangi bedak bayi menyeruak saat kain tersingkap. Tini menghela napas lega saat mendapati kaki bayi itu normal seperti kaki bayi pada umumnya, bukan ekor ular seperti kejadian sebelumnya yang masih membuatnya bingung antara mimpi atau nyata.Tini lantas meletakkan bayi yang telah tertidur lelap di atas perlak motif bunga yang dilapisi kain batik. Ia lalu beralih mengambil bayi lainnya yang masih menangis. Tangisan bayi tampan itu sontak mereda begitu merasakan kehangatan dekapan Tini dan mulai menyusu dengan rakus.Dengan seksama, Tini memperhatikan kedua bayi itu. Mereka begitu mirip, seolah pinang dibelah dua, dan terasa sama nyatanya. Kemudian ia mulai teringat kata-kata ibu Tuan Ario yang mengatakan bahwa ibu susu lain tak bisa melihat bayi kembaran. Apa artinya itu? Tini benar-benar bingung,

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   21. Asal Usul Tini

    Suara Tumini yang memanggil dari arah teras depan rumah bergaya joglo itu sontak membuat Tini terkesiap. Perempuan itu menjauh dengan hati-hati dari dekat jendela, lalu bergegas menuju ke arah depan, menghampiri bibinya yang berjalan ke arah gerbang kayu berukir yang tertutup rapat."Mbok De panggil saya?" tanya Tini dengan berlari kecil menyusuri pelataran di hias pot-pot berbunga warna-warni."Iya," Tumini menoleh dengan kesal, wajahnya yang dihiasi kerut tampak lelah. "Kamu ke mana aja to, Tin? Itu bayinya Nyonya Arini mulai nangis. Mbok De mau cek di dapur, apa sudah beres atau belum.""Iya, Mbok De," sahut Tini patuh. Perempuan itu lantas mengikuti bibinya yang berjalan tergesa menuju teras sembari berkata, "Tini ... Tini ... nasibmu jelek amat to? Mbok De kadang kasihan sama kamu. Baru aja kamu dapat kerja di sini, ehh ... malah ketahuan sama ibunya Tuan Ario kalau kamu anaknya ibumu. Mbok De nggak nyangka ibunya Tuan Ario bisa tanya-tanya begitu. Biasanya kalau ada orang kerj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status