Home / Horor / Ibu Susu untuk Bayi Gaib / 7. Cerita Tuan Ario

Share

7. Cerita Tuan Ario

Author: Hayisa Aaroon
last update Last Updated: 2023-08-03 08:15:56

Ario mengangguk, untuk pertama kalinya terlihat malu dengan kondisinya.

Tini kembali ke kamar mandi, mengambil baskom baru berisi air hangat dan botol shampo Sunsilk. 

Ia mengatur bantal hingga kepala Tuan Ario bisa berbaring di tepi tempat tidur, sedikit menggantung.

"Permisi Tuan."

Dengan hati-hati, ia meletakkan baskom di lantai tepat di bawah kepala tuannya. Air hangat dituang perlahan, membasahi rambut yang kusut. Shampoo berbau mint menyegarkan udara pengap.

Jari-jari Tini mulai memijat kulit kepala dengan lembut. Gerakan memutar yang terlatih, menekan titik-titik yang tepat, keterampilan yang didapatnya dari mengurus jompo di keluarga kaya Jakarta. 

Tuan Ario menghela napas panjang, tubuhnya rileks untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu.

Dari posisi ini, Ario bisa melihat wajah Tini dengan jelas. Perempuan itu masih sangat muda—mungkin baru 19 atau 20 tahun. Kulitnya kuning langsat. 

Bibirnya penuh, hidungnya mancung sempurna. Rambut hitamnya yang disanggul rapi memperlihatkan leher jenjang.

‘Cantik, pikir Ario. Terlalu cantik untuk nasib seburuk ini.’

"Apa airnya terlalu dingin, Tuan?"

"Pas. Enak sekali."

Tini tersenyum tipis, terus memijat sambil membilas. Busa putih bercampur kotoran mengalir ke baskom. Ia mengulangi proses ini dua kali, hingga rambut Tuan Ario bersih dan wangi.

Dengan handuk terry yang tebal, ia mengeringkan rambut tuannya, lalu membantunya duduk kembali. Dari lemari, ia mengambil kaos putih katun yang lembut.

"Permisi Tuan."

Dengan telaten, ia membantu Tuan Ario mengenakan kaos, merapikan kerah, memastikan nyaman di badan. Kemudian membantunya bersandar ke tumpukan bantal tinggi.

Tini mundur selangkah, memperhatikan hasil kerjanya. Tanpa sadar, ia tersenyum.

"Tuan tampan sekali kalau bersih begini."

Kata-kata polos itu keluar begitu saja. Wajah Tini langsung tegang, sadar telah lancang.

Tapi Tuan Ario justru tertawa. Tawa yang tulus, bukan getir seperti sebelumnya. Entah kapan terakhir kali ia tertawa seperti ini.

"Sudah lama tidak ada yang bilang begitu," ucapnya masih dengan sisa senyum. "Bahkan Arini tidak pernah."

Tini menunduk malu, sibuk membereskan handuk dan baskom.

"Tuan lapar? Saya ambilkan makanan dari dapur?"

"Ya. Terima kasih, Tin."

Tini bergegas keluar, membawa baskom dan handuk kotor. Langkahnya terhenti di dapur yang riuh dengan persiapan membuat kue untuk acara besok.

Nyonya Arini berdiri di ambang pintu dapur, mengawasi. Tatapannya beralih pada Tini.

"Bagaimana?" tanyanya datar.

"Tuan Ario sudah bersih, Nyonya. Sekarang mau makan."

Mata indah Nyonya Arini membulat, terkejut.

"Bagus. Kamu berhasil melakukan yang tidak bisa dilakukan Tumini." Ia mengeluarkan beberapa koin uang yang kantungnya diselipkan di lipatan stagen. "Ini tambahan untuk kerja bagusmu hari ini."

Mata Tini berbinar melihat uang dalam jumlah seribu rupiah—jumlah yang besar untuk pembantu.

"Terima kasih, Nyonya! Terima kasih banyak!"

Dengan semangat baru, Tini mengambil nampan. Tumini membantu menyiapkan sambil berbisik, "Tin, kamu tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, Mbok De."

"Tuan Ario ... dia bicara apa?"

"Tidak ada, Mbok De."

Bohong. Tapi Tini sudah belajar—di rumah ini, tidak semua kebenaran perlu diucapkan.

Tini mengangkat nampan kayu berisi nasi, sayur bening, dan telur dadar. 

Kembali ke kamar, Tini mendapati Tuan Ario menatap kosong ke arah jendela. Wajahnya lebih damai sekarang, tapi ada kesedihan mendalam di matanya. 

Sinar matahari siang menerobos vitrase putih, membuat bayang-bayang bergerak di lantai kamar yang masih berantakan.

"Permisi Tuan, mau makan sendiri atau disuapi?"

Tini meletakkan nampan kayu di atas nakas dengan hati-hati. 

Ario menoleh. "Makan sendiri saja. Tolong meja lipatnya, di sebelah sana."

Ia menunjuk ke sudut kamar. Di sana tersandar meja kayu jati kecil dengan kaki yang bisa dilipat—meja sakit yang biasa digunakan untuk makan di tempat tidur, dengan tepian yang ditinggikan agar piring tidak merosot.

"Baik, Tuan."

Selagi Ario makan dengan gerakan lambat—tangannya masih gemetar—Tini mulai merapikan kamar. 

Mengangkat kursi yang terjungkal, melipat selimut yang berserakan, menyapu pecahan guci dengan sapu lidi kecil.

"Tin ...."

Suara Ario memecah keheningan.

"Kalau bisa, sambil cari pekerjaan lain."

Tini berhenti menyapu, menoleh.

"Arini itu betul punya setan." Mata Ario menatap lurus ke Tini, serius dan putus asa. "Anak yang dilahirkannya nanti ... anak setan. Bukan anakku."

Sendok di tangan Ario bergetar saat melanjutkan.

"Dia lama tidak punya anak. Tapi tiba-tiba hamil. Padahal …," suaranya turun menjadi bisikan, "saya tidak pernah menggaulinya sejak kecelakaan."

Tini tercenung. Tapi sekali lagi, suara anaknya yang menangis kelaparan bergema di kepalanya. Drama rumah tangga orang kaya bukan urusannya.

"Baik Tuan," jawab Tini sekenanya. "Tapi mencari pekerjaan sekarang tidak mudah."

Ario terdiam, memahami. "Hati-hati saja. Bayi yang dilahirkan Arini ... bukan bayi biasa."

Bulu kuduk Tini meremang, tapi wajah ibu dan anaknya yang kurus lebih menakutkan dari hantu manapun. Ia kembali bekerja—mengelap noda bubur dari lantai teraso, menyeka meja dengan kain pel basah.

Dalam waktu singkat, kamar sudah rapi kembali. Ario selesai makan, piringnya bersih tandas—pertanda ia lapar.

"Ada lagi yang Tuan perlukan?" Tini mengambil nampan, melipat meja. "Kalau tidak, saya ke dapur untuk mengembalikan piring kotor."

"Bantu saya duduk di kursi."

Ario menggeser tubuhnya ke tepi ranjang dengan susah payah. Kakinya diturunkan, kaku seperti kayu.

"Kurang ajar Arini," gerutunya. "Kursi rodaku disembunyikan sejak aku coba kabur."

Tini melingkarkan lengan Ario ke bahunya. Beratnya tidak wajar—seperti memapah patung batu, bukan manusia. Satu langkah. Dua langkah. Tiga meter terasa seperti tiga kilometer.

Keringat membasahi dahi Tini. Napasnya tersengal.

Aneh, pikirnya. Ia sudah pernah memapah orang gemuk tinggi besar, tapi tidak seberat ini.

Akhirnya mereka sampai ke kursi berlengan dengan ukiran burung garuda. Ario ambruk ke dudukan rotan, napasnya berisik.

"Dulu ... saya tidak seperti ini, Tin." Suaranya sendu. "Jatuh dari kuda memang cedera kaki, tapi dokter bilang tidak terlalu buruk. Saya masih bisa jalan meski pincang."

Ia menatap tangannya yang gemetar.

"Tapi setiap pagi sampai siang, lemas seperti ini, rambatan saja sulit. Nanti kalau matahari mulai tenggelam ..." Dahinya berkerut, mencoba mengingat, “rasanya segar, saya bisa berjalan pelan. Tapi anehnya, pasti mengantuk. Bangun, sudah pagi lagi.."

Jeda sejenak. Tatapannya semakin pilu.

"Setelah itu, tiba-tiba Arini hamil. Padahal saya tidak pernah ...."

Tini tidak tahu harus berkomentar apa. Ingat pesan Tumini—jangan banyak mulut.

"Saya tinggal dulu ya, Tuan." Ia mendekatkan lonceng kuningan kecil ke meja samping kursi. "Kalau butuh apa-apa, loncengnya di sini."

"Ya. Terima kasih."

Tini berbalik sambil membawa baju kotor dan nampan berisi piring kosong. Ia tersentak.

Nyonya Arini berdiri di ambang pintu. Matanya menatap Tuan Ario dengan sorot yang membuat Tini tegang, bersyukur ia tak banyak bicara.

Tini membungkuk dalam, refleks.

Tuan Ario yang menyadari kehadiran istrinya langsung memalingkan wajah ke jendela.

Sol sandal selop beludru merah Nyonya Arini mengetuk lantai teraso. Setiap langkah seperti mengintimidasi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   52. Menggoda Keteguhan Arini

    Tini terbangun, terdiam, bingung. Matanya berkedip perlahan—satu kali, dua kali—mencoba menyesuaikan dengan cahaya matahari pagi yang menyilaukan. Pandangannya berputar. Tubuhnya lemas sekali. Setiap otot terasa berat, setiap napas terasa seperti membutuhkan usaha besar.Rasanya seperti baru bangun dari mimpi yang sangat melelahkan, mimpi yang terasa terlalu nyata.Telinganya mulai menangkap suara-suara di sekitar. Suara Sari masih menangis, tapi tidak lagi tangisan keras yang memilukan, hanya sesenggukan di bahu Anthony sebelah kanan. Tini berkedip lagi, pelan. Hidungnya mulai mencium—aroma parfum khas Anthony, parfum Paris yang mewah dan maskulin, yang dulu sering ia cium saat bekerja di rumah keluarga Anthony. Dan ada aroma lain—bau bunga melati, bau masakan, bau-bau khas orang hajatan.Hajatan?Otaknya berusaha memproses, tapi terlalu lelah.Anthony yang pertama menyadari. Ia merasakan tubuh di pelukannya bergerak—sedikit saja, tapi cukup membuatnya bukan main senang. Napas yang

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   51. Jalan Pulang

    Sementara itu, di dunia lain—dunia yang temaram meski siang hari—Tini berjalan bergandengan tangan dengan Ario di jalanan yang diapit pepohonan tinggi dan lebat. Pohon-pohon itu tidak bergerak, seperti lukisan yang diam. Tak ada angin.Tiba-tiba, ia mendengarnya—samar tapi jelas. Suara gending. Kaki Tini berhenti. Ia menoleh ke belakang, mencari sumber suara."Siapa yang menikah?" tanyanya pada Ario.Ario tersenyum—senyuman yang tenang, yang meyakinkan. "Warga kampung sebelah. Ayo kita lanjut. Sedikit lagi sudah sampai."Ia menunjuk ke depan. Di sana, suasana semakin suram seperti siang dengan matahari terhalang mendung tebal. Di depan mereka, sebuah gapura tua berdiri megah, gapura batu yang ditumbuhi lumut, dengan ukiran naga dan makhluk-makhluk aneh di sisi kanan kirinya. Gapura itu seperti pintu menuju dunia lain.Tapi sebelum mereka sampai ke gapura, Tini terkejut.Ibu Tuan Ario berjalan keluar dari balik gapura, menggandeng dua cucu laki-lakinya di kanan dan kiri, yang bayi dig

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   50. Seseorang yang Lebih Berhak Menyebut Istri

    Mbah Kiai menatap ibu Tini yang masih menangis di samping tempat tidur. "Bu Tumirah, saya minta izin. Karena Tini sudah menggantikan Arini sebagai istri, dia harus punya seseorang yang lebih berhak menyebutnya istri."Tumirah menatap Mbah Kiai dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia percaya pada Mbah Kiai."Apa saja, Mbah," ucapnya pelan dengan suara parau. "Asal Tini bisa kembali. Asal dia bisa hidup."Mbah Kiai mengangguk. "Insya Allah."Fajar itu, semua orang tidak lagi tidur. Semuanya sibuk menyiapkan upacara pernikahan yang sederhana tapi sakral—sesuai syariat Islam, tapi juga adat Jawa tidak ketinggalan.Istri Mbah Kiai dan anak-anak perempuannya memandikan tubuh Tini yang masih tidak sadarkan diri dengan air mawar dan melati. Mereka memakaikan kebaya pengantin berwarna putih gading, kebaya milik anak perempuan Mbah Kiai yang baru saja menikah beberapa bulan lalu.Kain batik motif khusus untuk pengantin dililitkan dengan rapi. Sanggul tinggi dibentuk den

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   49. Menggantikan Arini

    Tuan Ario melangkah mendekat. Setiap langkahnya lambat, tatapan menghipnotis.Tini ingin mundur. Seharusnya ia mundur, menutup pintu, berteriak memanggil ibunya. Tapi tubuhnya tidak menurut. Ia hanya berdiri di sana, terpaku, menatap sosok yang semakin mendekat.Ario berhenti tepat di depannya, begitu dekat sampai Tini bisa mencium wangi tubuhnya yang memabukkan. Bukan bau obat-obatan atau perban seperti pasien biasa, tapi aroma manis yang membuat kepala Tini mulai berkabut.Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh bibir bawah Tini dengan sangat lembut, sentuhan yang membuat seluruh tubuh Tini bergetar. "Kau mau ikut denganku, Tini?"Tini tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap mata kelam itu—mata yang seperti jurang tanpa dasar, yang menariknya masuk, menjanjikan kedalaman yang menakutkan sekaligus penuh rasa penasaran."Ikut denganku, Tini, " bisik Ario, tangannya turun dari bibir, menelusuri garis rahang dengan sentuhan sehalus bulu. "Ke tempat di mana tidak ada y

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   48. Memaafkan Tony

    "Jangan dipikir dalam-dalam, Tin. Tono sudah kawin dengan si Tina."Suara laki-laki di dekat telinganya membuat Tini terlonjak dan refleks menampar bahu Toni."Tuan ini sukanya ngagetin!" protesnya kesal.Tony terkekeh—tawa yang hangat dan familiar, tawa yang dulu sering Tini dengar saat mereka masih akrab. Ia meraih tangan Tini yang akan memukulnya lagi."Masih tukang kaget kamu, Tin. Aku kangen kagetmu."Sontak Tini terdiam. Sama diamnya dengan Tony. Mereka saling menatap, mata bertemu mata dalam keremangan cahaya lampu minyak, teringat masa di mana mereka dulu pernah dekat sebagai teman. Masa-masa sederhana saat Tony pulang sore dan mengajak Tini jalan-jalan dengan Nyonya Saridewi, masa-masa saat mereka tertawa bersama tanpa beban.Tini yang tersadar dengan cepat menarik tangannya dan memasang wajah sinis. Ia berjalan melewatinya, tapi Tony menahan lengannya pelan."Tin ... sudahlah ... jangan marah terus. Aku harus bagaimana, biar kamu memaafkan?"Tini berhenti tapi tidak menoleh

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   47. Tentang Ari-Ari

    Mbah Kiai pamit pergi—ia akan bermalam di masjid untuk berdoa sepanjang malam, memohon petunjuk atas masalah yang sedang dihadapi keluarga Nyonya Arini. Langkahnya tenang menyusuri jalan setapak menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya.Nyonya Arini masuk ke dalam rumah, Mbok Lastri mendorong kursi roda Tuan Ario mengikuti di belakang. Roda berderit pelan di lantai papan.Di koridor kamar, mereka bertemu dengan Tini. Perempuan muda itu membeku, dadanya berdebar saat bertemu pandang dengan Tuan Ario. Pria itu tersenyum, hanya senyum terima kasih yang sopan, tak lebih dari itu. Senyuman yang wajar, yang tidak mengandung apa-apa. Jauh berbeda dengan Tuan Ario dalam bayangannya.Tapi Tini merasakan sekujur tubuhnya meremang. Seperti ada sensasi aneh yang menjalar dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jantungnya berdetak lebih cepat, napasnya sedikit tersangkut.Dan Nyonya Arini—perempuan yang sudah bertahun-tahun hidup dengan hal-hal aneh—bisa melihat perbedaan itu. Ia melihat bagaiman

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status