Share

8. Lebih Baik Kamu Jangan Balik Lagi Besok!

Lalu ragu-ragu kakinya kembali mendekat pada majikannya dengan beberapa potong pakaian di tangannya, namun tatapan menilai Tuan Ario yang masih memandangnya dari sela-sela rambut di wajah membuat Tini kembali dilanda gugup. 

"Tuan Ario kok ngeliatinnya gitu, sih?" gumam perempuan itu sembari menoleh ke arah pintu ketika rumah itu kembali dikuasai keheningan. "Tapi dia kan lumpuh, nggak akan bisa macem-macem."

Pandangannya kemudian beralih pada jam dinding, tak terasa waktu bergulir begitu cepat dan hari mulai merangkak siang.

Perempuan itu kemudian teringat pada putrinya seraya meraba dadanya yang terasa penuh. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga ada waktu untuk sekejap pulang menyusui putrinya.

Kemudian dengan menepis segala ketakutannya pada Tuan Ario, perempuan muda itu mulai menghamparkan selimut ke tubuh majikannya dan dengan telaten melucuti pakaian kotor pria itu tanpa memandang wajah yang sedari tadi menyulut ketakutan di hatinya.

Hingga sang majikan kini jauh lebih bersih dan aroma bubur ayam dari tubuhnya kini berganti wangi linen. 

"Sedikit lagi," gumam perempuan itu dengan mengusap peluh di dahinya saat menggeser posisi tubuh Tuan Ario hingga kepala pria itu ada di sisi tepat tidur dan mudah untuk dikeramas rambutnya yang terkena bubur. 

Biasanya Tini mengurus jompo yang kebanyakan kurus dan tak memerlukan banyak tenaga untuk memindah, bahkan beberapa perempuan tua ia mampu menggendong mereka. 

Tapi kali ini tubuh Tuan Ario terasa berkali lipat lebih berat. Sampai-sampai ia berhenti sejenak hanya untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. 

Hingga semuanya selesai, Tini baru saja usai menyukur kumis dan janggut Tuan Ario, lalu menyisir rambut Tuannya yang telah dikeringkan. Perempuan itu pun cukup terpana dengan tampilan pria yang kini jauh dari kata gembel. 

Namun sayangnya pria itu masih muram mimik wajahnya. Kemudian pintu yang tiba-tiba terbuka membuat Tini tersentak sampai-sampai sisir di tangannya terjatuh. 

Tini bergegas berbalik badan dan membungkuk dalam saat mendapati Nyonya Arini terdiam di ambang pintu, menatap Tuan Ario dengan sorot yang sulit dimengerti Tini. 

Sedangkan Tuan Ario yang menyadari kehadiran istrinya kemudian membuang muka ke arah jendela, tepat di saat suara ketukan sol sandal selop merah perempuan itu mengisi keheningan. 

"Ohhh ... jadi maunya diurus pembantu muda yang cantik, baru mau diganti bajunya?" 

Suara Nyonya Arini terdengar begitu kental dengan nada sarkas, seraya melirik ke arah Tini yang masih membungkuk dalam. 

"Laki-laki di mana-mana sama saja! Maunya yang lebih muda, lebih cantik."

Lalu Nyonya Arini terkikik, entah apa yang lucu. Cara perempuan itu tertawa terdengar mengerikan di telinga Tini. 

"Laki-laki kaya, ganteng, tapi kalau lumpuh bisa apa?"

Nyonya Arini berkata lagi dengan tatapan mengejek ke arah Tuan Ario yang kini menoleh ke arahnya penuh kebencian.

"Mana calon istri Kang Mas? Dia sudah menikah dengan laki-laki lain yang gagah. Meninggalkan Kang Mas di sini yang cuma bisa habisin duit buat berobat. Udah nggak usah berobat lagi, percuma. Kang Mas lumpuh itu karena karma. Hukuman buat laki-laki yang nggak bisa terima istrinya mandul. Lihat saya, bahkan Kang Mas lumpuh saja saya masih setia dan justru bisa hamil."

Lalu pandangannya beralih pada Tini yang serba salah ada dalam satu ruangan dengan suami istri yang sedang bersitegang. 

"Tini urus Kang Mas cuma sementara, jangan senang dulu. Sekarang Kang Mas baru saya carikan pembantu paling jelek, lebih jelek daripada Jumiati kurang ajar itu. Tini ini ibu susu buat anak kita, jodoh buat anak dalam perut saya. Jadi Kang Mas jangan bersenang hati dulu!"

Dengan mengelus perutnya, kemudian perempuan itu membalik badan, melangkah anggun menuju pintu seraya berkata, "Ayo Tini! Ikut saya! Jam makan siang."

Mendengar itu, Tini bergegas membuang air berbusa dalam baskom enamel bekas mencuci rambut Tuan Ario, lalu meraup pakaian kotor dan menyusul Nyonya Arini. 

"Kamu taruh pakaian kotor di dekat sumur! Terus makan siang di sini. Setelah itu baru kamu suap Tuan Ario!"

Seketika Tini meneguk liur memandang meja makan di dapur yang sudah dipenuhi berbagai makanan lezat, bahkan ada potongan ayam kampung yang hanya bisa Tini santap sekali setahun tepatnya di Hari Raya Idul Fitri.

"Tini, Kamu dengar saya tidak?" tanya Nyonya Rini dengan tersenyum, terhibur dengan wajah Tini yang hampir-hampir meneteskan liur. 

"De-dengar, Nyonya. Ma-makan makanan ini, Nyonya?" 

Tini pun bertambah  heran saat Tumini dibantu pembantu lain masih meletakkan menu-menu lainnya. 

"Saya perlakukan pembantu di sini dengan baik Tini, saya anggap seperti keluarga saya sendiri. Jadi tolong kamu tahu diri, jangan seperti Jumiati. Dia sudah dipengaruhi Tuan Ario, ikut melawan saya. Selama kamu mengurus Tuan, jangan dengar apapun yang berusaha Tuan Ario sampaikan. Apa yang dia tunjukkan tentang saya tidak benar. Dia itu gila, kamu hati-hati. Ya sudah, sana taruh pakaian kotor ke keranjang dekat sumur biar dicuci."

"Njihh ... Nyonya ...!"

Tini bergegas menuju sumur, dan saat kembali, Nyonya Arini telah pergi. 

"Ayo Tin, cepet makan. Abis ini istirahat sebentar. Baru kita kerja lagi. Itu yang di sebelah sana kamu habisin semua makanannya"

Tini membulat matanya mengikuti arah tangan Bibinya. Makanan yang ada di paling ujung meja panjang pelitur cokelat itu dua kali lipat lebih banyak dari porsi makan Tumini. 

"Semua, Mbok De? Enggak salah?" 

"Iya, udah jangan heran. Kamu kurus banget, Tin. Kata Nyonya biar kamu gemuk. Orang itu si Zul sama Atun yang gemuk aja jadi kurus nyusuin anak pertama sama kedua Nyonya."

"Tapi ya kebanyakan Mbok De," balas Tini sembari duduk di kursinya. "Nyonya Arini baik banget ya, Mbok De. Ini ada opor ayam telur, oseng kangkung, anggur, jeruk, tahu, tempe, ada susu juga. Perut saya ya nggak muat to, Mbok De."

"Ya udah kalau nggak habis nanti dibungkus. Udah cepetan makannya. Dikenyangin!"

Tini yang hampir tak pernah makan enak kemudian makan dengan lahap. Namun mengingat ibunya di rumah dan persediaan untuk makan malam, perempuan itu hanya memakan setengah porsi yang disediakan dan membungkus sisanya dengan daun pisang. 

Kemudian Tini kembali ke kamar Tuan Ario di mana pria itu masih duduk bersandar ke bantal yang disusun tinggi pada punggung tempat tidur dihias ukiran bunga-bunga. 

Kini pria itu tampak lebih segar dan tatapannya tak semengerikan ketika Nyonya Arini ada bersama mereka. 

"Nyuwun sewu, Tuan. Makan dulu, ya. Biar Tuan sehat. Sebentar lagi bayi Tuan mau lahir, apa Tuan ndak kepengen gendong? Pasti bayi Tuan cakep kayak Tuan."

Tini yang mencoba membunuh kekakuan seketika tertahan napasnya saat pria muram itu sedikit menoleh ke arahnya, lalu bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. 

Tini tak mengira pria itu akan bereaksi terhadap ucapannya. Perempuan itu hanya mencoba mengusir kekosongan, mengingat para jompo kesepian yang senang saat ia banyak berbicara. 

Tini yang terhenyak kemudian meletakkan mangkuk berisi nasi dan telur opor ke atas nakas, lalu memasang serbet ke bagian depan kemeja putih Tuan Ario dengan menghindari kontak mata.

"Lebih baik kamu jangan balik lagi besok kalau masih ingin umur panjang."

Tuan Ario yang tiba-tiba berucap dengan suara lirih berat sontak membuat Tini mundur dengan tatapan membelalak. Bagaimana pria itu bisa bertutur padahal Bibinya bercerita bahwa Tuan Ario tak dapat berbicara. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status