LOGINTapi Tini tidak punya kemewahan untuk peduli dengan drama rumah tangga orang kaya. Yang dia butuhkan hanyalah bekerja dan mendapat upah. Itu saja.
Dengan tenang, Tini mengambil baskom enamel putih bergaris hijau dari meja. Di sebelahnya ada handuk bersih dan kotak kayu kecil berisi obat merah, kapas, dan perban—tersedia lengkap, seolah kejadian seperti ini sudah biasa.
‘Berapa kali Tuan Ario melukai dirinya sendiri?’ pikirnya.
Tini mendekati tuannya, berlutut dengan posisi bersimpuh—jari kaki menumpu di lantai, pantat di atas tumit. Gerakan yang sopan, terlatih.
"Ngampunten Tuan, biar saya bersihkan lukanya."
Suaranya pelan, netral. Seolah tidak pernah menyaksikan drama mengerikan tadi.
Tuan Ario menoleh, matanya menyipit heran. Pelayan baru ini aneh. Wajahnya tetap datar, tidak ada ketakutan yang biasa dia lihat di mata pembantu-pembantu sebelumnya.
"Sudah, kamu pergi saja!" desaknya. "Kenapa masih di sini? Kamu tidak takut?"
Tini tidak menjawab langsung. Ia mencelupkan handuk kecil ke baskom, memerasnya, lalu mulai menyeka darah yang mengering di sisi wajah Tuan Ario. Gerakannya telaten, tidak terburu-buru.
"Kalau pulang sekarang," akhirnya ia berkata dengan nada lelah, "bukan hanya saya yang mati, Tuan. Ibu dan anak saya juga mati kelaparan."
Tangannya terus bekerja, membersihkan darah dengan hati-hati.
"Di rumah sudah tidak ada apa-apa untuk dimakan."
Tuan Ario terdiam. Matanya menatap perempuan cantik berkulit kuning langsat ini dengan tatapan heran.
"Arini punya setan," bisiknya, mencoba lagi. "Kamu tidak lihat Jumiati hilang?"
Tini memeras handuk. Air dalam baskom mulai berwarna kemerahan. Ia menghela napas panjang, seperti orang yang sudah terlalu lelah untuk takut.
"Lebih mengerikan kelaparan daripada setan, Tuan."
Kata-kata itu keluar dengan santai, tanpa emosi berlebih. Hanya kenyataan pahit yang diucapkan dengan jujur.
"Tuan tidak pernah kelaparan, jadi Tuan tidak tahu." Matanya sekilas melirik ke arah pintu. "Bubur saja dibuang-buang."
Tuan Ario tercenung.
Usahanya menakut-nakuti perempuan ini agar pergi justru disambut dengan ketidakpedulian. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak takut setan?
Tapi melihat wajah lelah Tini, Tuan Ario mulai mengerti. Di luar sana setengah mati orang berjuang untuk hidup, tapi di sini, nyaris setiap hari ia mencoba mengakhiri hidup. Kenyataan itu menyentilnya.
Ada setan yang lebih mengerikan dari hantu—kemiskinan yang mencekik leher setiap hari.
"Ngapunten Tuan, saya gantikan bajunya," ucap Tini setelah mengobati luka di pelipis Tuan Ario.
Tini sedikit condong ke depan, masih dalam posisi bersimpuh. Anehnya, Tuan Ario tidak memberontak seperti saat diurus Tumini.
Ia membiarkan Tini melepas kemeja berdarahnya, memperhatikan bagaimana jari-jari kurus itu bekerja dengan cekatan.
"Ngapunten Tuan, saya bantu ke tempat tidur."
Begitu kemeja berdarah terlepas, Tini melingkarkan lengan Tuan Ario ke bahunya. Tubuh perempuan itu kurus, tapi ada kekuatan yang lahir dari keputusasaan. Wajahnya memerah karena tenaga yang dikerahkan.
Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat tubuh tuannya. Tapi beban itu terlalu berat. Mereka terhuyung, dan Tuan Ario jatuh ke tempat tidur dengan bunyi bruk yang keras.
Tini terengah, berpegangan pada tepi dipan berukir. Keringat bercucuran di dahinya.
"Maaf Tuan," bisiknya di antara napas yang tersengal. "Tuan berat sekali."
Masih dengan napas tersengal, ia mengangkat kedua kaki Tuan Ario yang dibalut celana panjang drill hitam, memosisikannya di atas kasur. Kemudian berjalan ke lemari sambil mengusap peluh di dahi.
Tuan Ario memperhatikan dalam diam. Ada sesuatu yang berbeda dari perempuan ini. Bukan keberanian—tapi keterpaksaan yang sudah melampaui rasa takut.
"Kamu benar-benar tidak takut mati?" tanyanya pelan.
Tini berhenti sejenak di depan lemari, memunggungi tuannya.
"Saya takut, Tuan," jawabnya tanpa menoleh. "Tapi saya lebih takut melihat ibu dan anak saya mati kelaparan."
Ia mengambil selimut dari lemari, kembali ke tempat tidur.
"Lagipula," tambahnya sambil menyelimuti Tuan Ario, "kalau memang sudah takdir saya mati di sini, setidaknya keluarga saya sempat makan dulu. Itu sudah cukup."
Tuan Ario menatap langit-langit kamar. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa iba pada orang lain selain dirinya sendiri.
"Berapa umur anakmu?"
"Enam bulan, Tuan."
"Laki-laki?"
"Perempuan.”
Hening lagi. Tuan Ario menutup mata.
"Kalau bisa," bisiknya, "jangan pernah bawa dia ke sini. Apapun yang terjadi."
Tini mengangguk pelan, meski tahu tuannya tidak melihat. Ia mengambil baskom berisi air kemerahan setelah memilih kaus dan meletakkannya di meja, lalu melangkah ke kamar mandi dalam kamar.
Pintu kayu jati terbuka dengan bunyi berderit pelan. Di dalamnya, kemewahan era 70-an terpampang—bak mandi porselen putih dengan kaki cakar singa, keran kuningan yang masih berkilau meski sudah menghitam di beberapa sudut.
Dinding dilapisi ubin hijau tosca setinggi pinggang, sisanya cat putih yang mulai menguning. Wastafel marmer dengan cermin oval berbingkai emas, dan di sudutnya, dudukan sikat gigi dari porselen bermotif bunga-bunga kecil.
Aroma lembab bercampur wangi sabun. Tini membuang air kotor ke wastafel, melihat darah berputar sebelum hilang di lubang pembuangan.
Ia membersihkan baskom dengan sabun batangan Lux yang wanginya khas—bunga dan musk—lalu mengisinya dengan air bersih dari keran yang mengeluarkan bunyi groook khas pipa tua.
Handuk dicucinya dengan telaten, digosok dengan sabun hingga berbusa, dibilas berkali-kali sampai air perasan jernih. Dari rak kayu di dinding, ia mengambil handuk bersih lain berbahan terry yang tebal dan lembut.
Kembali ke kamar, Tini mendapati Tuan Ario masih terbaring dengan mata terpejam. Bau asam dan apak tercium dari tubuhnya—campuran keringat, bubur basi, dan samar wangi parfum mahal.
"Permisi Tuan, saya akan mengelap badan."
Suaranya lembut, sopan. Tuan Ario membuka mata, mengangguk pelan.
Tini mulai bekerja. Handuk basah menyapu wajah Tuan Ario dengan lembut, membersihkan sisa bubur yang mengering di sudut bibir, di pipi, bahkan di belakang telinga. Tangannya telaten, tidak terburu-buru.
"Sebelumnya kamu kerja di mana, Tin?"
Pertanyaan itu keluar tiba-tiba, memecah keheningan.
"Di Jakarta, Tuan. Tapi sudah berhenti tujuh bulan lalu."
"Suamimu di mana? Kenapa kamu kerja sampai tidak peduli setan?"
Tini menghela napas lelah. Handuk di tangannya berhenti sejenak di dada Tuan Ario.
"Saya ... tidak punya suami, Tuan."
Bisikan itu hampir tak terdengar. Tuan Ario terkejut, matanya melebar.
"Lalu anakmu dapat dari mana?"
Wajah Tini berubah sendu, tangannya kembali bekerja membersihkan lengan tuannya yang terdapat beberapa luka mengering.
"Saya …." Suaranya tercekat. "Anak majikan saya yang lama. Dia ... memaksa. Tapi Nyonya Besar malah mengusir saya. Menuduh saya yang menggoda."
Hening sejenak. Tini terus bekerja, kini membantu Tuan Ario duduk untuk membersihkan punggungnya.
"Maaf," bisik Tuan Ario.
"Sudah takdir, Tuan."
Saat membersihkan kepala Tuan Ario, Tini mengernyit. Rambut pria itu sepanjang dagu, kusut dan berminyak.
Bubur mengering di beberapa helai, baunya tidak sedap—seperti sudah berminggu-minggu tidak dikeramas.
"Tuan mau saya keramaskan? Biar segar."
Tini terbangun, terdiam, bingung. Matanya berkedip perlahan—satu kali, dua kali—mencoba menyesuaikan dengan cahaya matahari pagi yang menyilaukan. Pandangannya berputar. Tubuhnya lemas sekali. Setiap otot terasa berat, setiap napas terasa seperti membutuhkan usaha besar.Rasanya seperti baru bangun dari mimpi yang sangat melelahkan, mimpi yang terasa terlalu nyata.Telinganya mulai menangkap suara-suara di sekitar. Suara Sari masih menangis, tapi tidak lagi tangisan keras yang memilukan, hanya sesenggukan di bahu Anthony sebelah kanan. Tini berkedip lagi, pelan. Hidungnya mulai mencium—aroma parfum khas Anthony, parfum Paris yang mewah dan maskulin, yang dulu sering ia cium saat bekerja di rumah keluarga Anthony. Dan ada aroma lain—bau bunga melati, bau masakan, bau-bau khas orang hajatan.Hajatan?Otaknya berusaha memproses, tapi terlalu lelah.Anthony yang pertama menyadari. Ia merasakan tubuh di pelukannya bergerak—sedikit saja, tapi cukup membuatnya bukan main senang. Napas yang
Sementara itu, di dunia lain—dunia yang temaram meski siang hari—Tini berjalan bergandengan tangan dengan Ario di jalanan yang diapit pepohonan tinggi dan lebat. Pohon-pohon itu tidak bergerak, seperti lukisan yang diam. Tak ada angin.Tiba-tiba, ia mendengarnya—samar tapi jelas. Suara gending. Kaki Tini berhenti. Ia menoleh ke belakang, mencari sumber suara."Siapa yang menikah?" tanyanya pada Ario.Ario tersenyum—senyuman yang tenang, yang meyakinkan. "Warga kampung sebelah. Ayo kita lanjut. Sedikit lagi sudah sampai."Ia menunjuk ke depan. Di sana, suasana semakin suram seperti siang dengan matahari terhalang mendung tebal. Di depan mereka, sebuah gapura tua berdiri megah, gapura batu yang ditumbuhi lumut, dengan ukiran naga dan makhluk-makhluk aneh di sisi kanan kirinya. Gapura itu seperti pintu menuju dunia lain.Tapi sebelum mereka sampai ke gapura, Tini terkejut.Ibu Tuan Ario berjalan keluar dari balik gapura, menggandeng dua cucu laki-lakinya di kanan dan kiri, yang bayi dig
Mbah Kiai menatap ibu Tini yang masih menangis di samping tempat tidur. "Bu Tumirah, saya minta izin. Karena Tini sudah menggantikan Arini sebagai istri, dia harus punya seseorang yang lebih berhak menyebutnya istri."Tumirah menatap Mbah Kiai dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia percaya pada Mbah Kiai."Apa saja, Mbah," ucapnya pelan dengan suara parau. "Asal Tini bisa kembali. Asal dia bisa hidup."Mbah Kiai mengangguk. "Insya Allah."Fajar itu, semua orang tidak lagi tidur. Semuanya sibuk menyiapkan upacara pernikahan yang sederhana tapi sakral—sesuai syariat Islam, tapi juga adat Jawa tidak ketinggalan.Istri Mbah Kiai dan anak-anak perempuannya memandikan tubuh Tini yang masih tidak sadarkan diri dengan air mawar dan melati. Mereka memakaikan kebaya pengantin berwarna putih gading, kebaya milik anak perempuan Mbah Kiai yang baru saja menikah beberapa bulan lalu.Kain batik motif khusus untuk pengantin dililitkan dengan rapi. Sanggul tinggi dibentuk den
Tuan Ario melangkah mendekat. Setiap langkahnya lambat, tatapan menghipnotis.Tini ingin mundur. Seharusnya ia mundur, menutup pintu, berteriak memanggil ibunya. Tapi tubuhnya tidak menurut. Ia hanya berdiri di sana, terpaku, menatap sosok yang semakin mendekat.Ario berhenti tepat di depannya, begitu dekat sampai Tini bisa mencium wangi tubuhnya yang memabukkan. Bukan bau obat-obatan atau perban seperti pasien biasa, tapi aroma manis yang membuat kepala Tini mulai berkabut.Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh bibir bawah Tini dengan sangat lembut, sentuhan yang membuat seluruh tubuh Tini bergetar. "Kau mau ikut denganku, Tini?"Tini tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap mata kelam itu—mata yang seperti jurang tanpa dasar, yang menariknya masuk, menjanjikan kedalaman yang menakutkan sekaligus penuh rasa penasaran."Ikut denganku, Tini, " bisik Ario, tangannya turun dari bibir, menelusuri garis rahang dengan sentuhan sehalus bulu. "Ke tempat di mana tidak ada y
"Jangan dipikir dalam-dalam, Tin. Tono sudah kawin dengan si Tina."Suara laki-laki di dekat telinganya membuat Tini terlonjak dan refleks menampar bahu Toni."Tuan ini sukanya ngagetin!" protesnya kesal.Tony terkekeh—tawa yang hangat dan familiar, tawa yang dulu sering Tini dengar saat mereka masih akrab. Ia meraih tangan Tini yang akan memukulnya lagi."Masih tukang kaget kamu, Tin. Aku kangen kagetmu."Sontak Tini terdiam. Sama diamnya dengan Tony. Mereka saling menatap, mata bertemu mata dalam keremangan cahaya lampu minyak, teringat masa di mana mereka dulu pernah dekat sebagai teman. Masa-masa sederhana saat Tony pulang sore dan mengajak Tini jalan-jalan dengan Nyonya Saridewi, masa-masa saat mereka tertawa bersama tanpa beban.Tini yang tersadar dengan cepat menarik tangannya dan memasang wajah sinis. Ia berjalan melewatinya, tapi Tony menahan lengannya pelan."Tin ... sudahlah ... jangan marah terus. Aku harus bagaimana, biar kamu memaafkan?"Tini berhenti tapi tidak menoleh
Mbah Kiai pamit pergi—ia akan bermalam di masjid untuk berdoa sepanjang malam, memohon petunjuk atas masalah yang sedang dihadapi keluarga Nyonya Arini. Langkahnya tenang menyusuri jalan setapak menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya.Nyonya Arini masuk ke dalam rumah, Mbok Lastri mendorong kursi roda Tuan Ario mengikuti di belakang. Roda berderit pelan di lantai papan.Di koridor kamar, mereka bertemu dengan Tini. Perempuan muda itu membeku, dadanya berdebar saat bertemu pandang dengan Tuan Ario. Pria itu tersenyum, hanya senyum terima kasih yang sopan, tak lebih dari itu. Senyuman yang wajar, yang tidak mengandung apa-apa. Jauh berbeda dengan Tuan Ario dalam bayangannya.Tapi Tini merasakan sekujur tubuhnya meremang. Seperti ada sensasi aneh yang menjalar dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jantungnya berdetak lebih cepat, napasnya sedikit tersangkut.Dan Nyonya Arini—perempuan yang sudah bertahun-tahun hidup dengan hal-hal aneh—bisa melihat perbedaan itu. Ia melihat bagaiman







