Home / Horor / Ibu Susu untuk Bayi Gaib / 6. Suami Istri yang Berkelahi

Share

6. Suami Istri yang Berkelahi

Author: Hayisa Aaroon
last update Last Updated: 2023-08-03 08:15:00

Pertanyaan itu akhirnya menolong Tini yang sesak dadanya melawan kenangan buruk di kepala. 

"E-enam bulan, Nyonya."

Usai jeritan melengking yang membuat perempuan hamil itu terengah, kini ia menghela napas panjang.

Lalu Nyonya Arini terdiam, menyandarkan punggungnya ke bantal kursi seraya mengelus ikat perut yang membalut kehamilannya yang besar.

Setelah agak teratur napasnya, kemudian perempuan itu memerintah lagi, "Angkat wajah kamu, Tini!"

Tini perlahan mengangkat wajah, namun pandangannya hanya tertuju pada meja di mana buku saku yang sedari tadi ada di tangan majikannya itu terbuka setelah dilempar dengan kasar.

Tini pun agak penasaran dengan apa yang dituliskan oleh Nyonya Rini, karena coretan tinta merah itu bukan hanya sebuah catatan, tapi ada seperti gambar-gambar yang tak dimengertinya.

Sementara sang majikan yang mengamati lebih teliti wajah pekerjanya kemudian mengangguk, kini ada kilatan senang di wajahnya yang cemberut sedari tadi.

"Meskipun bodo tapi kamu cantik. Coba kalau kamu jelek. Saya tidak sudi bayi saya kamu susui. Bawa ke sini itu pulpen saya!"

Mendengar itu Tini bergegas bangkit, kakinya yang mati rasa setelah duduk lama membuatnya mengernyit. Perempuan kurus itu pun berjalan dengan lutut menghampiri meja untuk menyerahkan pulpen.

Lalu tak ada yang bisa dilakukannya kecuali memijit kaki sang majikan seraya sesekali mengamati kembali majikannya yang sibuk dengan pena dan buku saku di tangannya.

Lantas perhatiannya yang beralih pada kaki mulus majikannya dibuat semakin heran dengan keindahan tubuh Nyonya Arini karena kehamilan yang besar seperti tak berpengaruh pada setiap lekuk tubuhnya.

"Sudah Tini, berdiri! Ayo ikut saya! Selagi kamu nunggu bayi saya lahir. Kamu bantu saya urus suami saya. Kebetulan saya belum dapat pembantu yang khusus urus suami saya. Sini saya kasih tahu tugas kamu apa saja," tutur sang majikan seraya bangkit dengan mudahnya, membuat Tini bertambah takjub.

Ia pernah hamil dan tahu betul rasanya membawa beban di perut. Apalagi perut majikannya itu seperti mengandung bayi kembar.

Hingga langkah kaki mereka tiba di depan kamar Tuan Ario, Nyonya Rini tidak langsung membuka pintu, tapi membalik badannya hingga menghadap Tini. 

"Suami saya lumpuh, Tini" beber perempuan itu dengan suara halus. "Karena itu suasana hatinya selalu buruk. Dia berulang kali mencoba bunuh diri karena kondisinya. Jadi kamu urus dia baik-baik, yang telaten suapin Tuan. Akhir-akhir ini suami saya agak susah makan. Saya kadang kesal, capek. Jadi kamu cepat menyesuaikan diri, jangan bikin saya jengkel terus."

"Njjihh ... Nyonya ...!"

Tini pun kembali terheran dengan majikannya itu. Kali ini tutur katanya lembut, selaras dengan tampilannya yang anggun. 

Namun wajah kalem cantik itu tak bertahan lama ekspresi santunnya. Begitu memasuki kamar, raut wajahnya kembali suram, menghampiri pria yang duduk lemas menatap ke arah luar jendela kamar, di mana langit terlihat sama muramnya dengan wajahnya. 

Rambutnya yang sepanjang dagu acak-acakan dibelai angin dingin. Pria itu jauh dari kesan rapi,  berbeda dengan sekelebat bayangan mirip Tuan Ario yang sedari tadi tersenyum ganjil pada Tini. 

Wajahnya yang tampan ditumbuhi bulu halus. Pria itu lebih mirip gembel daripada seorang tuan tanah. Kemeja hitamnya pun kotor dengan bubur yang menodai di bagian depan. Bahkan di ujung-ujung rambut pria itu juga terdapat bubur kering. 

Pria itu tampak mengerikan sekaligus menyedihkan. Tatapannya yang berganti pada istrinya terpancar kebencian mendalam, mereka berdua lebih mirip musuh. 

"Suami saya tidak bisa bicara setelah kecelakaan itu, Tini. Jadi jangan ajak dia ngomong, percuma. Kadang-kadang kalau dia kumat, dia ngamuk. Tapi kamu jangan takut, keluar saja dari kamar, tinggalkan dia sendiri. Kepalanya kepentok waktu jatuh, jadi agak gila. Kalau dia mau lukai kamu, pukul saja tidak apa-apa. Kayak tadi Tumini digigit tangannya karena terus jejalin dia makanan. Nanti kamu lap badannya, terus ganti pakaiannya. Kalau dia ngamuk, tidak mau. Ya sudah, biar dia jadi gembel. Cukup siram dia dengan minyak wangi kalau tidak mau dibersihkan badannya."

Mendengar itu Tini semakin tercengang. Ia tak menyangka, di balik kehidupan makmur seorang kaya raya yang tersohor, tersimpan kenyataan memilukan. 

Perempuan itu pun lebih bersyukur. Meski kisah hidupnya tak mujur namun masih banyak yang bisa disyukuri. Kondisi badannya masih jauh lebih baik daripada Tuan Ario yang tak bisa apa-apa.

Lalu hal yang lebih mengujutkan saat Nyonya Arini beranjak dari posisinya berdiri di samping Tuan Ario, pria itu tiba-tiba meludahinya, tepat mengenai perut besarnya. 

"Plakkkk ...!" 

Sebuah tamparan keras menggema, lalu disusul tamparan-tamparan lain. Entah berapa kali pukulan, Tini yang ngeri terhenyak melihat kejadian di depan matanya. 

Ia tak pernah mengira hal semacam itu bisa terjadi dalam rumah tangga keluarga kaya. Apalagi Nyonya Arini yang seperti kesetanan kini menjambak kuat rambut suaminya. 

Perempuan itu baru berhenti setelah suaminya tersungkur di lantai. Namun yang lebih aneh, pria itu tertelungkup dengan tersenyum mengejek di balik rambut yang sebagian menutup wajahnya.

Sementara Nyonya Arini terengah dengan memegangi perutnya yang mengencang dan air mata berjatuhan dari wajahnya yang masih murka. 

Kini Tini mulai mengerti mengapa Nyonya Rini terkadang tampak pilu dan mudah marah. Ia tak bisa membayangkan ada di posisi perempuan itu.

"Sekarang kamu ambil air hangat di dapur, bawa sini!" perintah Nyonya Arini dengan suara bergetar menahan tangis, sementara tangannya yang bergelayut beberapa helai rambut suaminya kemudian mengusap kasar air mata di pipinya. 

Tini pun bergegas keluar kamar itu, mengikuti sang majikan yang berjalan cepat menuju dapur. Perasaan Tini campur aduk, antara iba dan takut. 

Sepanjang pengalamannya bekerja di beberapa rumah orang kaya, baru kali ini ia menyaksikan hal semacam itu. Sebisa mungkin Tini bergegas mengerjakan apa yang diperintah Nyonya Arini. 

Tangannya yang membawa baskom enamel berisi air hangat menuju kamar Tuan Ario gemetaran. Apa yang dituturkan Nyonya Arini dan kesaksiannya sendiri melihat pria itu meludahi perut istrinya membuat Tini benar-benar ketakutan. 

Namun sekuat tenaga ia mencoba tenang. Baskom enamel ukuran sedang berisi air hangat itu pun diletakkan di dekat Tuan Ario yang masih tertelungkup di lantai, posisi pria itu masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya. 

Tini yang ketakutan kemudian duduk bersimpuh di sebelah Tuan Ario, di sisi kanan di mana wajah pria itu menghadap. Lalu beberapa menit berlalu, namun Tini seperti tak mendapat kata-kata yang pas untuk memulai. 

Sementara Tuan Ario yang wajahnya tertutup rambut dibuat heran dengan pembantu baru yang hanya berdiam dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam. 

"Nyu-nyuwun sewu ... Tuan ...!" 

Kata-kata Tini akhirnya meluncur dan hanya terdengar seperti sebuah bisikan. Lalu beberapa menit berlalu lagi, Tini masih mengamati pria yang tak bergerak sama sekali. Kini ia yakin pria itu benar-benar lumpuh dan tak akan menyakitinya. 

"Tuan ... perkenalkan, nama saya Tini. Pembantu baru," tutur Tini lebih lancar setelah merasa lebih aman karena majikannya itu benar-benar lumpuh. "Sebetulnya saya bertugas mengasuh bayi Nyonya Arini yang akan lahir, tapi untuk sementara saya diminta mengurus Tuan. Tolong Tuan jangan marah ya. Kasihani saya. Saya punya bayi di rumah yang harus dinafkahi. Sedangkan saya tidak punya suami dan ibu saya sakit-sakitan."

Setelah kata-kata panjangnya, Tuan Ario tidak bereaksi. Tini yang sedari tadi menunduk kemudian perlahan mengangkat wajah dan tersentak saat mendapati mata tajam pria itu mengamatinya dari sela-sela rambut yang menutup wajah. 

Jantung Tini seakan-akan hampir melompat dari rongga dadanya. Perempuan itu benar-benar ketakutan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   26. Mbak Jah dan Mbak Mur

    Tumini menghela napas panjang, duduk perlahan di tepi ranjang. Aroma bedak bayi bercampur dengan wanginya kemenyan yang masih tertinggal di sudut kamar. Suara gamelan dari acara di depan samar-samar masih terdengar."Lah, Tin ... kamu ini aneh-aneh saja pertanyaannya. Nyonya Arini itu ningrat, keturunan darah biru. Orang-orang kaya seperti mereka bebas tidak menyusui bayinya sendiri. Sekarang kamu istirahat dulu, Tin. Besok pagi kita bicarakan lagi soal kamu mau berhenti atau tidak. Tapi ingat, Nyonya Arini sudah percaya sama kamu. Itu hal yang tidak mudah didapat, terutama di keluarga kaya seperti ini."Sebelum Tini bisa berkata lagi, Tumini sudah lebih dulu berjalan tergesa ke pintu, “Mbokde ke depan dulu ya, Tin. Sebentar lagi acara selesai.”Kepergian bibinya yang tergesa-gesa membuat jantung Tini kembali berdebar kencang ditinggal sendirian di kamar yang terasa mencekam.Perempuan itu perlahan duduk, dengan hati-hati melepaskan hisapan sang bayi dari dadanya. Rasa lega seketika

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   25. Aku Mau Berhenti Kerja, Mbokde.

    "Tini," suara Tuan Ario membisik di telinganya, dalam dan lembut, diikuti kecupan dingin di bahunya. Namun tubuh Tini tetap membeku, tak dapat bergerak barang sedikit pun. "Aku bisa membuatmu kaya, tidak perlu susah payah bekerja. Kamu hanya perlu menerimaku."Keringat dingin mulai mengucur deras dari dahi Tini, menetes ke leher hingga membasahi kerah kebayanya. Ia ingin berteriak, ingin melepaskan diri saat merasakan tubuh itu semakin merapat di belakangnya. ‘Aku tidak mau,' batinnya sambil mencoba memberontak sekuat tenaga. Namun, setiap otot di tubuhnya terasa kaku, seakan ditahan oleh pelukan gaib."Aarrrhhh ...!" Jeritan melengkung keluar dari mulutnya tepat saat pintu kamar terbuka dengan bunyi derit pelan. Tumini, yang baru masuk dengan bayi dalam gendongannya, terlonjak kaget. "Duh ... Gusti ...!" serunya sambil mengusap dada, lalu buru-buru menepuk-nepuk pantat bayi yang mulai menangis. Sedangkan Tini, masih berdiri seperti orang linglung, menoleh ke belakang dengan waja

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   24. Hubungan Ibu Tuan Ario dan Lurah Sukardi

    Tini menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya. "Masalah apa yang si Mbok maksud? Apa hubungannya dengan Bapak?"Ibu Tini menghela napas panjang, ia mulai bercerita dengan suara pelan, nyaris berbisik, "Dulu, Bapakmu, Lurah Sukardi, bukan orang biasa, Nduk. Bertahun-tahun dia menjabat sebagai lurah, dan tidak ada yang berani jadi pesaingnya. Orang-orang takut. Baru setelah Mbah Kiai masuk ke desa kita dan menyebarkan agama Islam, baru itu … bapakmu mulai kehilangan pamornya."Tini mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbok … saya tahu itu. Lalu …? ” “Dulu, waktu si Mbok pertama kali dinikahi Bapakmu, Mbok kira karena kecantikan si Mbok. Tapi ternyata bukan hanya itu."Ibu Tini berhenti sejenak. Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Rupanya Lurah Sukardi butuh penerus untuk ilmu-ilmu yang diturunkan dari orangtuanya dulu. Sayangnya, istri-istrinya yang dulu tidak ada yang bisa memberi anak dengan bakat khusus. Yang tubuhnya kuat untuk jadi wadah il

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   23. Tangisan Bayi

    Tumini terkekeh mendengar jawaban Tini, suaranya bercampur dengan sayup-sayup alunan gamelan dari halaman depan. "Ya lihat-lihat dulu siapa yang dulu menghamili kamu, Tin. Kalau sama-sama jongos, ya Mbok De bisa bantu, minimal marah-marah lah, minta tanggung jawab. Nanti kita juga bisa minta bantuan Nyonya Arini. Tapi kalau yang hamilin kamu orang kaya, lihat dulu kayanya sekaya apa. Kalau lebih kaya dari Nyonya Arini ya … Mbokde nggak bisa bantu. Juga Nyonya Arini."Tini menghela napas panjang, aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh bayi di dalam dekapannya seakan menenangkan gejolak hatinya. "Kalau gitu, sudah tidak usah dibahas lagi lah Mbok De. Percuma juga dibahas." Lalu perhatiannya beralih pada bayi yang kembali tertidur pulas. "Ini sudah kenyang kayaknya Mbok De."“Ohhh … iya …. Anak-anaknya Nyonya Arini tuh paling enak diasuh. Pokoknya asal kenyang, sudah. Nggak akan rewel. Sakit juga nggak pernah.”Tumini dengan gemas mengambil bayi dalam dekapan Tini. Sembari menimang s

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   22. Mendhem Ari-ari

    Seketika napas Tini tertahan ketika melihat bayi lain yang menangis di sisi ranjang. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka kain jarik yang membungkus bayi yang mulai menangis kencang. Wangi bedak bayi menyeruak saat kain tersingkap. Tini menghela napas lega saat mendapati kaki bayi itu normal seperti kaki bayi pada umumnya, bukan ekor ular seperti kejadian sebelumnya yang masih membuatnya bingung antara mimpi atau nyata.Tini lantas meletakkan bayi yang telah tertidur lelap di atas perlak motif bunga yang dilapisi kain batik. Ia lalu beralih mengambil bayi lainnya yang masih menangis. Tangisan bayi tampan itu sontak mereda begitu merasakan kehangatan dekapan Tini dan mulai menyusu dengan rakus.Dengan seksama, Tini memperhatikan kedua bayi itu. Mereka begitu mirip, seolah pinang dibelah dua, dan terasa sama nyatanya. Kemudian ia mulai teringat kata-kata ibu Tuan Ario yang mengatakan bahwa ibu susu lain tak bisa melihat bayi kembaran. Apa artinya itu? Tini benar-benar bingung,

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   21. Asal Usul Tini

    Suara Tumini yang memanggil dari arah teras depan rumah bergaya joglo itu sontak membuat Tini terkesiap. Perempuan itu menjauh dengan hati-hati dari dekat jendela, lalu bergegas menuju ke arah depan, menghampiri bibinya yang berjalan ke arah gerbang kayu berukir yang tertutup rapat."Mbok De panggil saya?" tanya Tini dengan berlari kecil menyusuri pelataran di hias pot-pot berbunga warna-warni."Iya," Tumini menoleh dengan kesal, wajahnya yang dihiasi kerut tampak lelah. "Kamu ke mana aja to, Tin? Itu bayinya Nyonya Arini mulai nangis. Mbok De mau cek di dapur, apa sudah beres atau belum.""Iya, Mbok De," sahut Tini patuh. Perempuan itu lantas mengikuti bibinya yang berjalan tergesa menuju teras sembari berkata, "Tini ... Tini ... nasibmu jelek amat to? Mbok De kadang kasihan sama kamu. Baru aja kamu dapat kerja di sini, ehh ... malah ketahuan sama ibunya Tuan Ario kalau kamu anaknya ibumu. Mbok De nggak nyangka ibunya Tuan Ario bisa tanya-tanya begitu. Biasanya kalau ada orang kerj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status