Pertanyaan itu akhirnya menolong Tini yang sesak dadanya melawan kenangan buruk di kepala.
"E-enam bulan, Nyonya."
Usai jeritan melengking yang membuat perempuan hamil itu terengah, kini ia menghela napas panjang.
Lalu Nyonya Arini terdiam, menyandarkan punggungnya ke bantal kursi seraya mengelus ikat perut yang membalut kehamilannya yang besar.
Setelah agak teratur napasnya, kemudian perempuan itu memerintah lagi, "Angkat wajah kamu, Tini!"
Tini perlahan mengangkat wajah, namun pandangannya hanya tertuju pada meja di mana buku saku yang sedari tadi ada di tangan majikannya itu terbuka setelah dilempar dengan kasar.
Tini pun agak penasaran dengan apa yang dituliskan oleh Nyonya Rini, karena coretan tinta merah itu bukan hanya sebuah catatan, tapi ada seperti gambar-gambar yang tak dimengertinya.
Sementara sang majikan yang mengamati lebih teliti wajah pekerjanya kemudian mengangguk, kini ada kilatan senang di wajahnya yang cemberut sedari tadi.
"Meskipun bodo tapi kamu cantik. Coba kalau kamu jelek. Saya tidak sudi bayi saya kamu susui. Bawa ke sini itu pulpen saya!"
Mendengar itu Tini bergegas bangkit, kakinya yang mati rasa setelah duduk lama membuatnya mengernyit. Perempuan kurus itu pun berjalan dengan lutut menghampiri meja untuk menyerahkan pulpen.
Lalu tak ada yang bisa dilakukannya kecuali memijit kaki sang majikan seraya sesekali mengamati kembali majikannya yang sibuk dengan pena dan buku saku di tangannya.
Lantas perhatiannya yang beralih pada kaki mulus majikannya dibuat semakin heran dengan keindahan tubuh Nyonya Arini karena kehamilan yang besar seperti tak berpengaruh pada setiap lekuk tubuhnya.
"Sudah Tini, berdiri! Ayo ikut saya! Selagi kamu nunggu bayi saya lahir. Kamu bantu saya urus suami saya. Kebetulan saya belum dapat pembantu yang khusus urus suami saya. Sini saya kasih tahu tugas kamu apa saja," tutur sang majikan seraya bangkit dengan mudahnya, membuat Tini bertambah takjub.
Ia pernah hamil dan tahu betul rasanya membawa beban di perut. Apalagi perut majikannya itu seperti mengandung bayi kembar.
Hingga langkah kaki mereka tiba di depan kamar Tuan Ario, Nyonya Rini tidak langsung membuka pintu, tapi membalik badannya hingga menghadap Tini.
"Suami saya lumpuh, Tini" beber perempuan itu dengan suara halus. "Karena itu suasana hatinya selalu buruk. Dia berulang kali mencoba bunuh diri karena kondisinya. Jadi kamu urus dia baik-baik, yang telaten suapin Tuan. Akhir-akhir ini suami saya agak susah makan. Saya kadang kesal, capek. Jadi kamu cepat menyesuaikan diri, jangan bikin saya jengkel terus."
"Njjihh ... Nyonya ...!"
Tini pun kembali terheran dengan majikannya itu. Kali ini tutur katanya lembut, selaras dengan tampilannya yang anggun.
Namun wajah kalem cantik itu tak bertahan lama ekspresi santunnya. Begitu memasuki kamar, raut wajahnya kembali suram, menghampiri pria yang duduk lemas menatap ke arah luar jendela kamar, di mana langit terlihat sama muramnya dengan wajahnya.
Rambutnya yang sepanjang dagu acak-acakan dibelai angin dingin. Pria itu jauh dari kesan rapi, berbeda dengan sekelebat bayangan mirip Tuan Ario yang sedari tadi tersenyum ganjil pada Tini.
Wajahnya yang tampan ditumbuhi bulu halus. Pria itu lebih mirip gembel daripada seorang tuan tanah. Kemeja hitamnya pun kotor dengan bubur yang menodai di bagian depan. Bahkan di ujung-ujung rambut pria itu juga terdapat bubur kering.
Pria itu tampak mengerikan sekaligus menyedihkan. Tatapannya yang berganti pada istrinya terpancar kebencian mendalam, mereka berdua lebih mirip musuh.
"Suami saya tidak bisa bicara setelah kecelakaan itu, Tini. Jadi jangan ajak dia ngomong, percuma. Kadang-kadang kalau dia kumat, dia ngamuk. Tapi kamu jangan takut, keluar saja dari kamar, tinggalkan dia sendiri. Kepalanya kepentok waktu jatuh, jadi agak gila. Kalau dia mau lukai kamu, pukul saja tidak apa-apa. Kayak tadi Tumini digigit tangannya karena terus jejalin dia makanan. Nanti kamu lap badannya, terus ganti pakaiannya. Kalau dia ngamuk, tidak mau. Ya sudah, biar dia jadi gembel. Cukup siram dia dengan minyak wangi kalau tidak mau dibersihkan badannya."
Mendengar itu Tini semakin tercengang. Ia tak menyangka, di balik kehidupan makmur seorang kaya raya yang tersohor, tersimpan kenyataan memilukan.
Perempuan itu pun lebih bersyukur. Meski kisah hidupnya tak mujur namun masih banyak yang bisa disyukuri. Kondisi badannya masih jauh lebih baik daripada Tuan Ario yang tak bisa apa-apa.
Lalu hal yang lebih mengujutkan saat Nyonya Arini beranjak dari posisinya berdiri di samping Tuan Ario, pria itu tiba-tiba meludahinya, tepat mengenai perut besarnya.
"Plakkkk ...!"
Sebuah tamparan keras menggema, lalu disusul tamparan-tamparan lain. Entah berapa kali pukulan, Tini yang ngeri terhenyak melihat kejadian di depan matanya.
Ia tak pernah mengira hal semacam itu bisa terjadi dalam rumah tangga keluarga kaya. Apalagi Nyonya Arini yang seperti kesetanan kini menjambak kuat rambut suaminya.
Perempuan itu baru berhenti setelah suaminya tersungkur di lantai. Namun yang lebih aneh, pria itu tertelungkup dengan tersenyum mengejek di balik rambut yang sebagian menutup wajahnya.
Sementara Nyonya Arini terengah dengan memegangi perutnya yang mengencang dan air mata berjatuhan dari wajahnya yang masih murka.
Kini Tini mulai mengerti mengapa Nyonya Rini terkadang tampak pilu dan mudah marah. Ia tak bisa membayangkan ada di posisi perempuan itu.
"Sekarang kamu ambil air hangat di dapur, bawa sini!" perintah Nyonya Arini dengan suara bergetar menahan tangis, sementara tangannya yang bergelayut beberapa helai rambut suaminya kemudian mengusap kasar air mata di pipinya.
Tini pun bergegas keluar kamar itu, mengikuti sang majikan yang berjalan cepat menuju dapur. Perasaan Tini campur aduk, antara iba dan takut.
Sepanjang pengalamannya bekerja di beberapa rumah orang kaya, baru kali ini ia menyaksikan hal semacam itu. Sebisa mungkin Tini bergegas mengerjakan apa yang diperintah Nyonya Arini.
Tangannya yang membawa baskom enamel berisi air hangat menuju kamar Tuan Ario gemetaran. Apa yang dituturkan Nyonya Arini dan kesaksiannya sendiri melihat pria itu meludahi perut istrinya membuat Tini benar-benar ketakutan.
Namun sekuat tenaga ia mencoba tenang. Baskom enamel ukuran sedang berisi air hangat itu pun diletakkan di dekat Tuan Ario yang masih tertelungkup di lantai, posisi pria itu masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya.
Tini yang ketakutan kemudian duduk bersimpuh di sebelah Tuan Ario, di sisi kanan di mana wajah pria itu menghadap. Lalu beberapa menit berlalu, namun Tini seperti tak mendapat kata-kata yang pas untuk memulai.
Sementara Tuan Ario yang wajahnya tertutup rambut dibuat heran dengan pembantu baru yang hanya berdiam dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Nyu-nyuwun sewu ... Tuan ...!"
Kata-kata Tini akhirnya meluncur dan hanya terdengar seperti sebuah bisikan. Lalu beberapa menit berlalu lagi, Tini masih mengamati pria yang tak bergerak sama sekali. Kini ia yakin pria itu benar-benar lumpuh dan tak akan menyakitinya.
"Tuan ... perkenalkan, nama saya Tini. Pembantu baru," tutur Tini lebih lancar setelah merasa lebih aman karena majikannya itu benar-benar lumpuh. "Sebetulnya saya bertugas mengasuh bayi Nyonya Arini yang akan lahir, tapi untuk sementara saya diminta mengurus Tuan. Tolong Tuan jangan marah ya. Kasihani saya. Saya punya bayi di rumah yang harus dinafkahi. Sedangkan saya tidak punya suami dan ibu saya sakit-sakitan."
Setelah kata-kata panjangnya, Tuan Ario tidak bereaksi. Tini yang sedari tadi menunduk kemudian perlahan mengangkat wajah dan tersentak saat mendapati mata tajam pria itu mengamatinya dari sela-sela rambut yang menutup wajah.
Jantung Tini seakan-akan hampir melompat dari rongga dadanya. Perempuan itu benar-benar ketakutan.
Saking ngerinya, Tini hampir-hampir menghambur keluar, namun mengingat Tuan Ario bahkan tak mampu berpindah, ia mencoba melawan ketakutannya. "Nyu-nyuwun sewu, Tuan ...! Saya balik badannya, nggihh ...!" Ragu-ragu tangannya terulur, menyentuh bahu Tuan Ario yang masih diam. Saat pria itu tak melawan, Tini kemudian membalik tubuhnya, hingga pria itu kini terlentang di lantai. Ia bersyukur tatapan mata pria itu tak setajam di awal. Tuan Ario yang sekarang terlihat lebih ramah, namun masih belum selesai mengamati Tini dari sela-sela rambut di wajahnya. "Duhh ... ini gimana mindahnya ke atas?" Kini Tini dipusingkan dengan tubuh Tuan Ario yang berat. Perempuan itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di ketiak pria itu dan susah payah menyeretnya. Sampai napasnya terengah dan lehernya dibanjiri keringat, namun Tini hanya sanggup memindahnya hingga ke sisi depan ranjang dan dengan sangat hati-hati menyandarkan punggung pria itu. "Tunggu ya, Tuan. Biar saya panggil yang lain bu
Lalu ragu-ragu kakinya kembali mendekat pada majikannya dengan beberapa potong pakaian di tangannya, namun tatapan menilai Tuan Ario yang masih memandangnya dari sela-sela rambut di wajah membuat Tini kembali dilanda gugup. "Tuan Ario kok ngeliatinnya gitu, sih?" gumam perempuan itu sembari menoleh ke arah pintu ketika rumah itu kembali dikuasai keheningan. "Tapi dia kan lumpuh, nggak akan bisa macem-macem." Pandangannya kemudian beralih pada jam dinding, tak terasa waktu bergulir begitu cepat dan hari mulai merangkak siang. Perempuan itu kemudian teringat pada putrinya seraya meraba dadanya yang terasa penuh. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga ada waktu untuk sekejap pulang menyusui putrinya. Kemudian dengan menepis segala ketakutannya pada Tuan Ario, perempuan muda itu mulai menghamparkan selimut ke tubuh majikannya dan dengan telaten melucuti pakaian kotor pria itu tanpa memandang wajah yang sedari tadi menyulut ketakutan di hatinya. Hingga sang majikan kin
Tini pun terdiam, mencoba mencerna kata-kata aneh majikannya itu. Lantas ia terngiang pesan Nyonya Arini tentang suaminya yang mungkin akan menyampaikan hal buruk tentang perempuan itu, membuatnya semakin yakin bahwa Tuan Ario sedikit gila. Tini kemudian mengabaikan ucapan Tuan Ario dan kembali meraih mangkuk di atas nakas saat pria itu berucap lagi, “Kamu bisa mati kalau kerja di sini. Cepat pergi!” Kali ini nada suara Tuan Ario meninggi, membuat Tini terhenyak. “Maaf, kalau saya pulang dan berhenti bekerja, yang mati mungkin bukan hanya saya, Tuan. Tapi ibu saya yang sedang sakit, juga bayi saya. Maaf, apa maksud Tuan berkata seperti itu? Tolong Tuan jangan apa-apakan saya, ya. Saya di sini cuma mau kerja.” Kewaspadaan Tini sontak meningkat, takut, mungkin saja pria itu akan melukainya, namun mengingat Tuan Ario lumpuh, perempuan itu pun agak tenang. “Bukan saya yang akan mencelakakan kamu, tapi Arini,” bisik Tuan Ario sembari melirik ke arah pintu yang masih tertutup. “Cepat
Tuan Ario pun terhenyak mendengar pertanyaan Tini. Pembantu yang semula sopan kepadanya, kini nada suaranya mulai terdengar menyebalkan seperti Tumini. "Saya menyuruh Jumiati membeberkan ritual sesat yang dilakukan istri saya, agar istri saya mau berhenti. Karena saya sudah berulang kali memperingatkan istri saya, tapi dia tidak mau mendengar. Saya hanya ingin istri saya sadar, kalau apa yang dia lakukan tidak benar." Pria itu lantas menjeda kata-katanya sejenak, memperhatikan ekspresi Tini yang masih tampak tak percaya pada ucapannya. Lalu dengan menghela napas, pria itu menambahkan, "Semenjak saya kecelakaan, saya tidak pernah menyentuh istri saya, Tini. Tetapi beberapa bulan setelah itu, justru istri saya hamil. Sebelumnya istri saya tidak pernah melakukan ritual-ritual dan membuat sesaji. Jadi antara kehamilan istri saya dan kelakuannya yang mulai aneh-aneh hampir berbarengan. Awalnya saya curiga dia selingkuh. Tapi dia tidak pernah terlihat dengan laki-laki lain. Bahkan di ruma
Mendengar penuturan panjang nyonya Arini, Tini perlahan dirayapi ketakutan. Bayangan wajah Tuan Ario yang muncul saat ia mandi dan membuka pakaian seketika berkelebat, perempuan itu pun susah payah menelan ludah. Tini yang semula menganggap itu hanya khayalannya saja kini mulai beranggapan bahwa itu adalah Tuan Ario, membuat perempuan itu semakin was-was. “Jadi Tini …,” suara Nyonya Arini seketika menyita perhatian Tini, “nanti kalau mulai maghrib, kamu jangan keluar kamar, ya?! Kamar yang akan kamu tempati nanti sudah disediakan kamar mandi langsung di dalamnya. Jadi kalau belum pagi jangan keluar, kunci pintu. Kamu yang lebih muda dari dua ibu susu yang lain, paling cantik juga, jadi … jangan sekali-kali buka pintu sebelum pagi. Apapun yang kamu dengar di luar pintu, jangan pernah keluar. Dua pembantu lain yang jadi ibu susu anak-anak saya begitu setiap hari, biar tidak diganggu Mas Ario. Tapi kamu jangan takut, yang penting kamu dengar kata-kata saya, kamu nggak akan kenapa-napa.
“Iya, kalau sesajen memang ada banyak. Tapi itu cuma kebiasaan lama keluarga Nyonya Arini. Kayak mbah-mbah jaman dulu gitu lho, Mbok …! Keluarga Nyonya Arini itu masih kayak orang-orang kuno. Nyonya Arini juga orangnya bersih banget, sukanya yang wangi, cantik, rapi. Jadi tadi Tini juga disuruh mandi, luluran, terus ganti pakaian yang bagus. Nyonya Arini nggak suka bau asem. Badan Tini juga diasepin pakai dupa, biar wangi.” “Ohh … gitu.” Ibu Tini pun mengangguk-anggukkan kepala. “Mudah-mudahan itu cuma tradisi keluarga, nggak ada sangkut pautnya sama barang sesat. Coba kamu wudhu lagi di belakang, Tin. Dada kamu juga diusap pakai air wudhu. Ganti dulu pakaian kamu, pakai baju kamu yang biasa.” “Iya, Mbok …!” Tini pun bergegas menuju bagian belakang rumah berlantai tanah yang dipadatkan itu untuk mengerjakan apa yang disarankan oleh ibunya. Tak lama, putri cantik Tini mau disusukan. Tini pun lega dibuatnya. Dengan agak mengantuk, perempuan itu duduk bersandarkan tiang rumah, memper
Lalu pandangannya berganti pada Tumini. Perempuan itu dengan sangat hati-hati membantu Nyonya Arini menuruni undakan batu. Namun langkahnya terhenti sampai di undakan ke tiga di mana permukaan air bergelombang pelan menyapu batuan hitam. Sedang kaki pucat Nyonya Arini terus melangkah turun memasuki air yang tampak menghitam ditinggal cahaya sore. Tini yang agak kesulitan menonton apa yang dilakukan majikannya itu lantas mendekat, mengendap-endap di antara rumpun bunga mawar warna-warni yang dirawat rapi dan kemudian bersembunyi di balik batang besar pohon asam. Rupanya Nyonya Arini tengah berendam hingga ke batas bawah dada dan dua tangannya terentang dengan anggun, lalu menangkup membentuk sembah tepat di depan wajah. “Dinginnya begini kok Nyonya Arini mandi, to?” Tini pun dibuat bertanya-tanya sembari mengusap lengannya yang dirambati dingin. Bahkan beberapa menit berlalu, Nyonya Arini masih diam. Setengah tubuhnya terbenam dalam air, tampak mengagumkan dikelilingi kabut ti
Sementara Tuan Ario yang berbaring di atas ranjang masih terus mengerang sakit dan sesekali terdengar seperti orang yang mau muntah. Sedang pandangan Tini terus tertuju ke arah pintu yang perlahan dibuka. Jantungnya pun semakin berdebar tak karuan saat cahaya temaram dari arah jendela kamar yang tak ditutup menampakkan kaki berbalut jarik masuk dan terus mendekat ke arah ranjang. Dengan sangat hati-hati Tini pun mundur semakin jauh ke dalam kolong ranjang, menghindari sesaji di bawah tempat tidur yang telah padam dupanya. “Rasain … kalau siang lagaknya bukan main …!” Terdengar suara Tumini yang mendengkus saat berbicara. Meski Tini merasa agak tenang karena bibinya yang memasuki kamar Tuan Ario, namun Tini masih bertahan di bawah kolong sebab bingung kepada siapa ia harus percaya setelah melihat satu lagi keanehan keluarga majikannya itu.Perempuan itu pun bersyukur saat Tumini hanya membungkuk seraya menggapai-gapai bawah kolong tempat tidur tanpa melongokkan kepala untuk mengamb