Share

6. Suami Istri yang Berkelahi

Pertanyaan itu akhirnya menolong Tini yang sesak dadanya melawan kenangan buruk di kepala. 

"E-enam bulan, Nyonya."

Usai jeritan melengking yang membuat perempuan hamil itu terengah, kini ia menghela napas panjang.

Lalu Nyonya Arini terdiam, menyandarkan punggungnya ke bantal kursi seraya mengelus ikat perut yang membalut kehamilannya yang besar.

Setelah agak teratur napasnya, kemudian perempuan itu memerintah lagi, "Angkat wajah kamu, Tini!"

Tini perlahan mengangkat wajah, namun pandangannya hanya tertuju pada meja di mana buku saku yang sedari tadi ada di tangan majikannya itu terbuka setelah dilempar dengan kasar.

Tini pun agak penasaran dengan apa yang dituliskan oleh Nyonya Rini, karena coretan tinta merah itu bukan hanya sebuah catatan, tapi ada seperti gambar-gambar yang tak dimengertinya.

Sementara sang majikan yang mengamati lebih teliti wajah pekerjanya kemudian mengangguk, kini ada kilatan senang di wajahnya yang cemberut sedari tadi.

"Meskipun bodo tapi kamu cantik. Coba kalau kamu jelek. Saya tidak sudi bayi saya kamu susui. Bawa ke sini itu pulpen saya!"

Mendengar itu Tini bergegas bangkit, kakinya yang mati rasa setelah duduk lama membuatnya mengernyit. Perempuan kurus itu pun berjalan dengan lutut menghampiri meja untuk menyerahkan pulpen.

Lalu tak ada yang bisa dilakukannya kecuali memijit kaki sang majikan seraya sesekali mengamati kembali majikannya yang sibuk dengan pena dan buku saku di tangannya.

Lantas perhatiannya yang beralih pada kaki mulus majikannya dibuat semakin heran dengan keindahan tubuh Nyonya Arini karena kehamilan yang besar seperti tak berpengaruh pada setiap lekuk tubuhnya.

"Sudah Tini, berdiri! Ayo ikut saya! Selagi kamu nunggu bayi saya lahir. Kamu bantu saya urus suami saya. Kebetulan saya belum dapat pembantu yang khusus urus suami saya. Sini saya kasih tahu tugas kamu apa saja," tutur sang majikan seraya bangkit dengan mudahnya, membuat Tini bertambah takjub.

Ia pernah hamil dan tahu betul rasanya membawa beban di perut. Apalagi perut majikannya itu seperti mengandung bayi kembar.

Hingga langkah kaki mereka tiba di depan kamar Tuan Ario, Nyonya Rini tidak langsung membuka pintu, tapi membalik badannya hingga menghadap Tini. 

"Suami saya lumpuh, Tini" beber perempuan itu dengan suara halus. "Karena itu suasana hatinya selalu buruk. Dia berulang kali mencoba bunuh diri karena kondisinya. Jadi kamu urus dia baik-baik, yang telaten suapin Tuan. Akhir-akhir ini suami saya agak susah makan. Saya kadang kesal, capek. Jadi kamu cepat menyesuaikan diri, jangan bikin saya jengkel terus."

"Njjihh ... Nyonya ...!"

Tini pun kembali terheran dengan majikannya itu. Kali ini tutur katanya lembut, selaras dengan tampilannya yang anggun. 

Namun wajah kalem cantik itu tak bertahan lama ekspresi santunnya. Begitu memasuki kamar, raut wajahnya kembali suram, menghampiri pria yang duduk lemas menatap ke arah luar jendela kamar, di mana langit terlihat sama muramnya dengan wajahnya. 

Rambutnya yang sepanjang dagu acak-acakan dibelai angin dingin. Pria itu jauh dari kesan rapi,  berbeda dengan sekelebat bayangan mirip Tuan Ario yang sedari tadi tersenyum ganjil pada Tini. 

Wajahnya yang tampan ditumbuhi bulu halus. Pria itu lebih mirip gembel daripada seorang tuan tanah. Kemeja hitamnya pun kotor dengan bubur yang menodai di bagian depan. Bahkan di ujung-ujung rambut pria itu juga terdapat bubur kering. 

Pria itu tampak mengerikan sekaligus menyedihkan. Tatapannya yang berganti pada istrinya terpancar kebencian mendalam, mereka berdua lebih mirip musuh. 

"Suami saya tidak bisa bicara setelah kecelakaan itu, Tini. Jadi jangan ajak dia ngomong, percuma. Kadang-kadang kalau dia kumat, dia ngamuk. Tapi kamu jangan takut, keluar saja dari kamar, tinggalkan dia sendiri. Kepalanya kepentok waktu jatuh, jadi agak gila. Kalau dia mau lukai kamu, pukul saja tidak apa-apa. Kayak tadi Tumini digigit tangannya karena terus jejalin dia makanan. Nanti kamu lap badannya, terus ganti pakaiannya. Kalau dia ngamuk, tidak mau. Ya sudah, biar dia jadi gembel. Cukup siram dia dengan minyak wangi kalau tidak mau dibersihkan badannya."

Mendengar itu Tini semakin tercengang. Ia tak menyangka, di balik kehidupan makmur seorang kaya raya yang tersohor, tersimpan kenyataan memilukan. 

Perempuan itu pun lebih bersyukur. Meski kisah hidupnya tak mujur namun masih banyak yang bisa disyukuri. Kondisi badannya masih jauh lebih baik daripada Tuan Ario yang tak bisa apa-apa.

Lalu hal yang lebih mengujutkan saat Nyonya Arini beranjak dari posisinya berdiri di samping Tuan Ario, pria itu tiba-tiba meludahinya, tepat mengenai perut besarnya. 

"Plakkkk ...!" 

Sebuah tamparan keras menggema, lalu disusul tamparan-tamparan lain. Entah berapa kali pukulan, Tini yang ngeri terhenyak melihat kejadian di depan matanya. 

Ia tak pernah mengira hal semacam itu bisa terjadi dalam rumah tangga keluarga kaya. Apalagi Nyonya Arini yang seperti kesetanan kini menjambak kuat rambut suaminya. 

Perempuan itu baru berhenti setelah suaminya tersungkur di lantai. Namun yang lebih aneh, pria itu tertelungkup dengan tersenyum mengejek di balik rambut yang sebagian menutup wajahnya.

Sementara Nyonya Arini terengah dengan memegangi perutnya yang mengencang dan air mata berjatuhan dari wajahnya yang masih murka. 

Kini Tini mulai mengerti mengapa Nyonya Rini terkadang tampak pilu dan mudah marah. Ia tak bisa membayangkan ada di posisi perempuan itu.

"Sekarang kamu ambil air hangat di dapur, bawa sini!" perintah Nyonya Arini dengan suara bergetar menahan tangis, sementara tangannya yang bergelayut beberapa helai rambut suaminya kemudian mengusap kasar air mata di pipinya. 

Tini pun bergegas keluar kamar itu, mengikuti sang majikan yang berjalan cepat menuju dapur. Perasaan Tini campur aduk, antara iba dan takut. 

Sepanjang pengalamannya bekerja di beberapa rumah orang kaya, baru kali ini ia menyaksikan hal semacam itu. Sebisa mungkin Tini bergegas mengerjakan apa yang diperintah Nyonya Arini. 

Tangannya yang membawa baskom enamel berisi air hangat menuju kamar Tuan Ario gemetaran. Apa yang dituturkan Nyonya Arini dan kesaksiannya sendiri melihat pria itu meludahi perut istrinya membuat Tini benar-benar ketakutan. 

Namun sekuat tenaga ia mencoba tenang. Baskom enamel ukuran sedang berisi air hangat itu pun diletakkan di dekat Tuan Ario yang masih tertelungkup di lantai, posisi pria itu masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya. 

Tini yang ketakutan kemudian duduk bersimpuh di sebelah Tuan Ario, di sisi kanan di mana wajah pria itu menghadap. Lalu beberapa menit berlalu, namun Tini seperti tak mendapat kata-kata yang pas untuk memulai. 

Sementara Tuan Ario yang wajahnya tertutup rambut dibuat heran dengan pembantu baru yang hanya berdiam dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam. 

"Nyu-nyuwun sewu ... Tuan ...!" 

Kata-kata Tini akhirnya meluncur dan hanya terdengar seperti sebuah bisikan. Lalu beberapa menit berlalu lagi, Tini masih mengamati pria yang tak bergerak sama sekali. Kini ia yakin pria itu benar-benar lumpuh dan tak akan menyakitinya. 

"Tuan ... perkenalkan, nama saya Tini. Pembantu baru," tutur Tini lebih lancar setelah merasa lebih aman karena majikannya itu benar-benar lumpuh. "Sebetulnya saya bertugas mengasuh bayi Nyonya Arini yang akan lahir, tapi untuk sementara saya diminta mengurus Tuan. Tolong Tuan jangan marah ya. Kasihani saya. Saya punya bayi di rumah yang harus dinafkahi. Sedangkan saya tidak punya suami dan ibu saya sakit-sakitan."

Setelah kata-kata panjangnya, Tuan Ario tidak bereaksi. Tini yang sedari tadi menunduk kemudian perlahan mengangkat wajah dan tersentak saat mendapati mata tajam pria itu mengamatinya dari sela-sela rambut yang menutup wajah. 

Jantung Tini seakan-akan hampir melompat dari rongga dadanya. Perempuan itu benar-benar ketakutan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status