Hari-hari sebelumnya ....
“Mas, udah bangun?” bisik Amy pada lelaki yang tidur di sampingnya.
Hamam menggeliat sebentar, bergumam lalu berbalik menghadap Amy. Tangan yang kekar melingkari pinggang istrinya dan mendekap wanita itu. Mencari kehangatan pada epidermis kulit yang halus dan lembut miliknya.
Amy mengelus wajah tampan dengan rupa putih bersih yang mulai dihiasi garis-garis halus. Hembusan nafas kekasih hati menggelitik puncak hidungnya, sesuatu yang sangat ia sukai dari Hamam. Ia ingin berlama-lama dalam dekapan laki-laki itu.
Ah, betapa aku menyayanginya.
Batinnya sambil mengecup pipi laki-laki itu lalu melepaskan dekapan suaminya dan beranjak bangun dari ranjang. Hari menjelang subuh, suara-suara orang mengaji terdengar mengalun dari speaker masjid yang terletak tak begitu jauh dari rumah mereka.
Dengan letih, akibat pergumulan semalam, usaha untuk mengais ladang pahala buat suami. Amy bergegas ke kamar mandi dan membasuh tubuhnya dengan mengikuti rukun. Setelah usai, ia berpakaian dan keluar dari kamar menuju dapur. Segera mempersiapkan makan pagi untuk suaminya.
Ia menjerang air untuk membuat kopi hitam, memasukkan dua potong roti tawar ke dalam toaster lalu memutar tombolnya ke angka lima.
Mas Hamam suka yang garing. Batinnya sendiri.
Jemarinya yang lentik membuka lemari dapur dan mengambil oats yang berjajar di nakas. Ia lalu menyeduh oats di satu mangkuk sementara kopi hitam di cangkir favorite Hamam. Semua ia lakukan dengan cekatan. Seolah-olah rutinitas bertahun-tahun itu telah hapal di luar kepala dan tubuhnya bergerak dengan sendirinya.
Ketika ia mengoleskan selai srikaya ke roti yang telah garing sempurna, adzan Subuh berkumandang. Segera ia tuntaskan tugasnya menata meja makan. Lalu bergegas menuju kamar. Membangunkan Hamam dari tidurnya.
“Mas..., Mas..., bangun. Solat Subuh dulu,” panggilnya sambil menyentuh pundak Hamam lembut. Laki-laki itu mengerang sebentar, menggeliat lalu tidur lagi.
“Mas, ayo solat berjamaah. Kita tuntaskan ikhtiar kita dengan doa,” bisiknya di telinga Hamam sambil mengguncang tubuh paripurna itu dengan lembut.
“Kau duluan saja, Dek. Aku nyusul ntar,” jawab Hamam setengah sadar. Lalu kembali mendengkur halus. Amy terdiam. Ada segumpal kecewa merasuk ke dalam hatinya. Mengapa Hamam kini seperti kehilangan semangat saja?
Wanita dengan usia telah genap 30 tahun itu lalu berdiri. Lama memandangi Hamam yang kembali pulas tertidur. Tubuh laki-laki itu hanya dibalut dengan celana boxer saja. Memperlihatkan dada bidang dan otot perut yang masih sempurna. Sambil menghembuskan nafas berat, Amy menyelimuti dan meninggalkannya. Mengambil wudhu lalu membentangkan sajadah menunaikan solat Subuh.
Ia menyesali diri kenapa tidak segera bangun dan solat tahajud di sepertiga malam yang penting. Hendak memohon kebaikan Allah untuk menganugerahkan mereka seorang anak.
Satu saja, Ya Allah. Aku hanya minta satu. Enam tahun merupakan waktu yang terlalu lama untuk Kau berikan ujian kepada kami.
Lirih ia bisikkan keluhan yang sama di tiap hari. Air mata menganak sungai di pipi, jatuh menimpa mukena putih yang dikenakannya. Bahunya berguncang hebat setiap ia menyuarakan beban berat yang dipikulnya.
Jangan berikan aku ujian melebihi batas kemampuan, Ya Rabb. Bungkamlah mulut orang-orang kejam yang mengatai aku mandul, dengan memberikan kami keturunan, ya Maha Sebaik-baik Pemberi.
Isakannya makin kuat. Hingga pecah berubah menjadi tangisan pilu yang menggetarkan. Tiba-tiba tubuhnya tersentak saat sentuhan lembut menyapa bahunya. Amy menoleh dan mendapati wajah Hamam yang terluka dirundung nestapa. Wanita itu kemudian luluh dalam dekapan suaminya. Lalu menangis sejadi-jadinya. Hamam memeluk istrinya erat. Berusaha tegar walau hatinya tercabik-cabik setiap ia mendapati wanita ini menangis di hamparan sajadah.
“Ayo. Mari kita lakukan,” ucapnya lirih kemudian.
Amy menengadah menatap suaminya. Linangan air mata membentuk alur di pipinya yang halus. Ia memandang laki-laki itu dengan pandangan heran.
“Lakukan apa, Mas?”
Hamam diam sebentar. Lalu dengan berat ia menghembuskan nafas dan berujar,
“Ayo kita lakukan tes kesuburan, seperti yang kau minta dulu,” ucapnya susah payah. Amy bergeming. Melihat duka dalam bola mata coklat hazel di hadapannya. Mengetahui betapa harga diri lelaki itu terluka ketika mengucapkan perkataan tadi.
Mata Amy mengerjap-ngerjap. Berusaha mempercayai perkataan Hamam. Bertahun-tahun telah berusaha, tak sekalipun suaminya mau mengikuti tes kesuburan pasangan yang ingin memiliki keturunan. Di sebuah klinik milik dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi terkemuka di kotanya.
Amy biasa memeriksakan diri ke sana seorang diri. Namun percuma bila pasangannya tidak mau diajak berobat. Dokter kandungan selalu mengatakan hal itu padanya. Bertahun-tahun ia berusaha membujuk Hamam, tapi nihil. Laki-laki itu terlalu menjaga harga dirinya.
Dan sekarang, tanpa diminta, ia mengiyakan permohonan Amy tanpa bertanya ini dan itu.
***
Dua bulan berlalu sudah. Hasil yang ditunggu dengan debaran yang tak kunjung usai pun sampailah. Hari ini, secarik kertas tersebut sudah bisa diambil. Entah bagaimana hasilnya. Akankah baik atau buruk hingga bisa mematahkan hati salah satu pasangan yang dirundung gundah.
Hamam duduk dengan gelisah di dalam mobil. Berulangkali ia mencoba menghubungi istrinya. Tetapi hanya nada nonaktif yang terdengar di ujung sana. Setelah berkali-kali berusaha menghubungi Amy, ia menyerah. Merutuki kebiasaan istrinya yang pelupa dan sering men-silent handphone-nya.
Ia keluar dari mobil dan memandang pintu klinik bercat putih di hadapannya. Satu dua poster tentang terapi kandungan menempel di sana. Lalu dengan segenap rasa ingin tahu yang melebihi egonya, ia melangkah dan membuka daun pintu. Seketika aroma khas medis menerpa cuping hidung menyusutkan keberaniannya untuk bertemu dokter Obgyn yang ramah itu.
“Pak Hamam,” sapa asisten dokter ramah, “Bapak sudah menunggu Anda dari tadi,” sambungnya.
Perempuan paruh baya itu kemudian tersenyum dan menyilakan Hamam masuk ke ruangan dokter. Di dalam, dokter Pandu telah duduk menanti. Ia mendongak dan segera berdiri menyambut laki-laki yang tengah ragu di depannya.
“Pak Hamam. Mari, silakan duduk,” sapanya ramah.
Wajah khas milik dokter itu bersinar ramah. Mencoba menenangkan setiap pasien laki-lakinya, yang selalu tampak hendak melarikan diri dari hadapannya. Hamam mengangguk. Dengan kaku ia melangkah dan duduk di kursi yang ada di hadapan dokter. Ahli Obgyn itu memandang dari balik kacamata minus yang melorot di hidung besarnya. Tatapan mata serius membuat jantung Hamam melorot hingga ke dengkul.
“Istri Anda tidak ikut, Pak?” tanyanya yang seolah-olah menyalahkan.
Hamam mengatupkan rahang, berusaha mengatur debar jantung dan menenangkan dirinya. Ia mencoba tersenyum, tetapi malah tampak seperti lengkung tipis yang dipaksakan.
“Amy berhalangan hadir, Dok,” jawabnya masgyul.
Sang dokter menatapnya mahfum. Berusaha mengurai resah yang terlihat nyata di hadapan. Semakin lama maka akan semakin menyiksa pasiennya. Maka ia berkata : “Saya langsung saja, Pak Hamam,” ucap dokter itu sambil mengambil selembar kertas dari dalam map berwarna biru.
Di atasnya terpampang gambar dan grafik dengan bahasa medis yang tidak akan dimengerti oleh orang awam. Hamam bergerak-gerak gelisah. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Kerongkongannya tiba-tiba kering hingga menyebabkan ia merasa tercekik. Tanpa sadar, laki-laki itu menarik kerah leher bajunya. Seolah-olah hal tersebut bisa membantu meringankan derita.
“Menilik dari hasil tes beberapa bulan lalu, saya bisa menyimpulkan bahwa ....”
Penjelasan yang diberikan oleh dokter tersebut seketika meluluhlantakkan dunianya.
Bersambung ....
Sudah pukul sepuluh malam.Bahkan Amy belum juga pulang. Keberadaan wanita itu sungguh sangat ditunggu olehnya. Kepala laki-laki itu berdetam, sakit. Seolah-olah ratusan jarum sedang menancap di kulit kepalanya. Hamam berbaring di ranjang dalam kamarnya dengan gelisah. Bagaimanapun ia mencoba, tetap saja dalam posisi apapun tidak bisa meredam gundahnya.Ingatannya melayang pada selembar hasil tes kesuburan siang tadi. Yang ia dapatkan dari klinik tempat mereka berkonsultasi. Di atas kertas itu disebutkan, jika kondisi rahim Amy sehat-sehat saja. Indung telurnya bagus dan siap dibuahi. Saluran tuba faloppi-nya juga tidak ada masalah.Berbeda dengan kondisi Hamam.Ia mengalami kelainan Azoospermia. Yang mana dalam air mani atau cairan semen tidak ditemukan adanya sel sperma sama sekali. Hingga tidak ada sperma yang dikeluarkan untuk membuahi sel telur milik Amy.“Tapi hal ini bisa kita tanggulangi melalui operasi pada organ kelamin anda. Selain itu, bayi tabung bisa menjadi alternatif l
Bugh! Hamam melayangkan tinjunya tepat ke pipi kiri laki-laki itu. Tak siap dengan serangan yang tiba-tiba, tubuh jangkung dan ramping segara melayang menghantam pot bunga besar yang ada di sisi kiri Hamam. Benda itu langsung hancur berkeping-keping ditimpa tubuh itu. Ibu menjerit panik menyaksikan kemarahan Hamam. Dengan segera suami yang sedang disulut api amarah itu bergerak menghampiri tamu yang tak diundang dan bertubi-tubi melayangkan pukulan dan tendangan tanpa ampun. Laki-laki dengan tubuh kusut masai itu melawan dan menangkis semua serangan Hamam yang membabi-buta. Ketika pukulan terakhir Hamam hampir mengenai pelipisnya, ia menangkis dan mencengkram tangan suami yang sedaang murka tersebut. Serta-merta, menarik tubuh Hamam jatuh dan duduk di atas perutnya. Hamam memicingkan mata, berusaha menjaga pandangan dari derasnya hujan yang mendera. Laki-laki yang menduduki tubuhnya menyeringai lebar lalu mendekatkan wajah dan berujar : “Bibirnya..., sama manis dengan senyumnya,” k
"Hamam? Ada apa, Nak?" tanya ibunya terkejut setelah mendengar bunyi grbrakan meja tadi. Perempuan tua itu muncul dari dalam dan segera menuju kursi makan. Dia duduk perlahan menemani anak laki-laki kebanggaannya.“Dari siapa, Hamam?” tanya ibunya heran setelah melihat tangan laki-laki itu sibuk bergerilya di layar gawai.Hamam menghapus isi chat itu dan melempar gawainya. Membuang muka. Takut jika ibunya turut membaca sms itu dan mengetahui rahasia kelamnya.Pandangannya tertumbuk ke sosok tubuh kecil yang muncul dari kamar. Melangkah takut-takut ke arah mereka dan berhenti di depan keduanya. Di ujung meja makan. Berdiri di hadapan mereka layaknya seorang pesakitan di dalam ruang pengadilan. Ibunya memandang Amy tajam. Jelas tak suka dengan menantunya itu. Walaupun wajah istri anaknya itu mulai membengkak dan penuh lebam. “Mas...,” panggil Amy sepelan desiran angin. Hamam memandangnya lekat. Ada rasa sesal menyaksikan keadaan Amy. Bagaimanapun, istrinya berhak memberikan penjelasan
Sudah tiga hari Hamam tak pulang. Amy hanya bisa mereguk kecewa saat bayangan suaminya tak menyapa netra. Mbok Napsiah memberitahu dirinya, Hamam pulang keesokan hari, setelah kejadian yang menyedihkan itu. "Tuan ngambil pakaian sama tas dan laptop kerjanya aja, Nya. Waktu Nyonya Amy masih tidur. Terus langsung pergi pake mobil Tuan. Kayaknya mau ke kantor." Mata tua itu menatap sedih Amy. "Mungkin nginap di rumah Ndoro Besar, Nya," usulnya.Amy dirundung kekecewaan yang dalam. Bahkan suaminya tak memberikan kesempatan sama sekali untuk membela diri. Hamam lebih memilih mendengarkan ibunya ketimbang istri yang selalu dipukuli setiap ia merasa kesal ini."Nya, makan dulu. Biar cepat sehat," bujuk Mbok Napsiah. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Amy yang sedang berbaring sambil menatap langit-langit. Kosong. Tangan tuanya mengangsurkan semangkuk bubur ayam pada wanita itu. "Bagaimana mau makan, Mbok. Mulutku bengkak begini. Susah buat ngunyah. Sakit semua...," ucap Amy lirih. Ada be
Pernahkah kau begitu mencintai seseorang hingga kau tak lagi memperdulikan dirimu? Mengikuti segala ingin hingga dirimu melebur tak bersisa padanya? Lupa jati diri, menyelingkuhi harkat martabat sendiri? Lalu, saat dirimu sudah seutuhnya menjadi milik seseorang, ia meninggalkanmu begitu rupa. Mencabikmu hingga tak bersisa. Sampai akal tak lagi bisa menolerirmu dalam hina. ===***=== Angelique berlalu pergi dari rumah, membawa satu buah tas koper besar berisi pakaian Hamam. Melenggang pergi dengan penuh kemenangan, setelah sebelumnya mendecih pada Amy. Menertawakan kelemahan dan kebodohan wanita yang terduduk lemah di sudut kamar. Ketika bayangan pelakor itu hilang dari pandangan. Dan derum mobil milyaran rupiahnya membelah pekarangan rumah, dengan gemetar Amy mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas. Pucat pasi ia kembali menghubungi Hamam. Setelah mencoba yang ke sepuluh kalinya, handphone laki-lak
"Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun." ===***=== Adalah Mbok Napsiah. Seorang wanita yang telah berumur jauh lebih matang. Yang telah menjalani seluruh hari tuanya bersama Amy. Bersumpah akan selalu setia dimanapun wanita malang itu berada. Mengemas semua yang bisa ia bawa melalui tangan tuanya. Memohon maaf dan berpamitan pada Hamam. Mengucapkan beribu terimakasih untuk semua kebaikan hati tuannya selama ini. Hamam tak ambil peduli. Toh, baginya, Mbok Napsiah hanyalah seorang wanita renta, jongos miskin yang bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak penting, hanya aksesoris tambahan yang bisa segera ia carikan penggantinya. Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki tampan dan gagah itu pergi ke luar. Meninggalkan tubuh Amy yang tak sadarkan diri di pojok teras rumah. Seperti biasa, Mbok Napsiah dan tukang kebunnya yang akan membereskan segalanya. Ia berlalu bersama
Dokter tua itu akhirnya mengembuskan napas berat. Penampakan wajah Amy yang babak belur membuatnya semakin sulit untuk memberitahukan kebenaran itu. Sang Asisten beberapa kali melirik ke arahnya dan Amy. “Begini, Ibu …, tepatnya akhir pekan lalu suami ibu datang mengambil hasil tesnya. Sudah saya jelaskan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mengatasi kekurangan yang di derita suami ibu …,” dokter berhenti sebentar lalu memberikan kode kepada asistennya untuk mengambilkan copy hasil pemeriksaan sebelumnya. Sang asisten tampak bingung tetapi akhirnya berjalan ke luar ruangan meninggalkan Amy dan dokter itu berdua di dalam ruangan. “Mak …, maksud dokter? Kekurangan suami saya?” bisik Amy tercekat. Dengan susah-payah dia berusaha kembali bicara. Pelipisnya terasa berdenyut seiring dengan gerak bibirnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dengan keterkejutan yang luar biasa. Kekurangan Mas Hamam? Jadi, selama ini …. Selama ini siapa yang ternyata mandul? Tib
Jika kita tidak berada dalam satu gelombang lagi, lalu, untuk apa kita terus melayang sendiri di sana. ***Amy terduduk di bawah papan reklame yang melindunginya dari pandangan orang-orang itu. Mereka yang berwajah rupawan tetapi berhati melebihi serigala. Angin malam berembus membelai kulit halusnya yang penuh dengan lebam. Dadanya naik turun menahan sebah di hatinya yang membuatnya seketika sesak. Keringat dingin membanjiri epidermis kulitnya mengalir di sela-sela cekungan punggungnya yang ringkih. Cahaya temaram dari lampu taman cafe menerpa wajah bengkaknya. Suram cahaya menulari raut wajahnya memantul kembali di bola mata yang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.[Aku mencintaimu, Amy ....]Bukankah itu kata-kata yang sering kau bisikkan di telingaku setiap kau habis menyesap sari tubuhku dengan meninggalkan lebam di sana, Mas? Pandangan Amy tak lepas dari wajah Hamam yang masih saja tampak bersungut-sungut dari kejauhan. Perempuan itu tidak ingin mengalihkan matanya d