Share

Garis Dua dari Rahim Si Mandul
Garis Dua dari Rahim Si Mandul
Penulis: Andara Blythe

Bab 1. Mandul

“Aku tidak seputus-asa itu, Mas. Ingin dibuahi oleh laki-laki lain selain suamiku!” jerit Amy sambil berderai air mata.

Hamam hanya diam. Matanya berkabut. Ia menundukkan kepalanya dan membiarkan Amy larut dalam tangis. Sedangkan ibunya duduk tegak di kursi ruang makan dengan mata membara seolah-olah ingin membakar habis diri Amy.

“Halah, bilang saja kau sudah tak mampu lagi melahirkan anak! Pura-pura Hamam yang salah, tapi tak bisa jaga diri! Curhat sana-sini sampe ada yang nafsu liat kamu!” bentak ibu mertuanya sambil menunjuk hidung Amy. Bola matanya tampak memerah dengan dengusan nafas kuat dan dada turun naik menahan emosi.

Amy mengangkat kepala. Ia tersentak dan mengurut dadanya yang telah lama sakit akan perlakuan ibu mertuanya. Dengan nyalang ia melayangkan pandang ke arah Hamam, dan mengisut kecewa tatkala dilihatnya laki-laki itu bergeming. Diam. Membiarkan ibu laki-laki itu mencaci-maki Amy sambil menguarkan kebusukan fitnah yang akan menghancurkan rumah-tangganya.

“Mas ...?” tanyanya terperangah. Matanya nanar dan basah meminta pembelaan dari suaminya. Tubuh mungilnya yang halus dan putih bergetar menahan takut, amarah dan sebongkah besar rasa kecewa di dalam hati. Terlihat di sana-sini tampak memar-memar yang mulai membiru di beberapa permukan kulitnya yang halus dan seputih susu.

Hamam mendesah dalam, lalu mengangkat kepala. Wajahnya tampak kelam tertutup kabut hitam. Sepasang bola matanya yang legam meredup seolah-olah kehilangan ruh. Lalu, bibir tipis yang dulu biasa memagut bibir wanita itu, melemparkan sebuah pernyataan layaknya bom atom yang meluluhlantakkan dunia Amy.

“Ibu benar, My. Kau terlalu banyak curhat ke teman-temanmu. Hingga membuka peluang mereka untuk menggodamu,” ucap laki-laki itu kejam. Sang ibu segera meremas tangan Hamam, seolah-olah ingin memberikan kekuatan atas apa yang telah terjadi.

Sebuah dosa besar yang dituduhkan kepada menantunya tadi.

Seketika tubuh Amy melangkah mundur beberapa tapak. Mulutnya terbuka dengan mata membelalak. Hanya isakan sesekali terdengar dari bibirnya yang lebam akibat pukulan demi pukulan yang dilayangkan oleh suaminya beberapa waktu lalu.

Suasana hening yang janggal melingkupi sekitar ruang makan itu. Tiga orang dengan kedudukan yang berbeda saling melihat satu sama lain. Hanya bedanya, dua orang yang lain memandang penuh marah kepada sesosok cantik yang tersudut seorang diri tanpa ada yang berani menolong.

Kata-kata Hamam terus berulang di kepala Amy, menggurat luka menganga pada hati. Menabur garam pada luka basah yang sebelumnya tak pernah benar-benar sembuh. Tubuhnya tiba-tiba lemas dan limbung. Cepat-cepat ia berpegangan pada tepi meja makan. Berusaha untuk tidak terkapar jatuh sambil menahan segala rasa sakit akibat kekerasan yang dilakukan suaminya tadi.

“Mas ..., apa ..., teganya ...,” lirihnya sambil berlinang air mata.

Bahkan ia tak mampu menyusun kata kembali. Sudut matanya menangkap bayang wajah ibu mertuanya yang tampak puas digurat bibir tipis hampir segaris itu.

Aduhai. Alangkah kejamnya.

“Istirahatlah. Aku akan mengantar ibu pulang,” perintah Hamam datar.

Laki-laki itu beringsut bangun dari duduknya, lalu dengan lembut memapah wanita tua itu berdiri. Keduanya meninggalkan Amy yang belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi.

“Yang sabar, ya, Nak …,” ucap ibu Hamam dengan kelembutan yang nyaris sempurna. Dia mengusap punggung tubuh anak laki-laki kebanggaannya dengan masgyul. Matanya kemudian nyalang memandang ke arah menantu yang dianggapnya tidak tahu malu itu sebelum mereka menghilang di balik dinding ruang depan.

Perempuan tak tahu diuntung! Pulang ke rumah membawa malu suaminya. Mencoreng kotoran tepat di wajah anak kesayanganku! Awas kau! Penderitaanmu tidak akan berakhir sampai di sini! 

Pintu depan menutup pelan. Tetapi bagaikan petir yang sampai ke telinga Amy yang sedang berdiri tercenung. Segera ia tersadar lalu dengan panik mengejar keduanya ke depan. Perempuan mungil nan cantik dengan kulit seputih susu itu tak memperdulikan darah yang menetes dari sela bibirnya yang membengkak. Tak memperdulikan sudut matanya yang mulai membengkak dan membiru. Bahkan dia tak memperdulikan seruan pembantu rumah tangganya yang berusaha menahan tubuhnya untuk tidak mengejar kedua orang tadi.

“Nya! Nyonya, sudah. Tidak usah dikejar, Nya. Sudah, Nya. Lebih baik kita obati dulu luka-luka Nyonya …,” seru Bi Ijah dengan suara parau. Namun, tubuh perempuan tua itu tidak bisa menahan Amy yang segera saja melesat ke arah depan.

Tidak. Ini belum selesai. Aku tak mau berakhir seperti ini.

Batin Amy Puspitasari sambil melangkah tertatih-tatih. Kakinya berjuang untuk segera sampai di teras rumah. Terdengar suara hujan disertai guntur menggelegar jatuh di genteng rumah. Amy sedikit menjerit sambil menutup telinganya. Namun, kemudian dengan kalap ia membuka pintu dan mendapati mobil Hamam telah berjalan keluar pagar. Serta merta ia berteriak memanggil Hamam. Lalu mengejar mobil itu menembus derasnya hujan di tengah malam.

"Mas Hamam! Mas! Mas, dengarkan dulu penjelasanku!" Teriaknya sambil berjalan bersisian di tepi pintu mobil Hamam. Namun, lelaki itu tidak menggubrisnya. Malah melarikan mobilnya ke arah jalan raya.

Derasnya air hujan menghalangi pandangan Amy di jalan sehingga tangannya tergelincir ketika dia bertahan menarik kenop pintu mobil tempat Hamam duduk. Tubuhnya yang mungil segera saja terjatuh dengan lutut menghantam aspal jalan. Beruntung jalanan komplek di depan rumahnya sepi sehingga dia tidak tertabrak mobil yang lain.

Amy jatuh terduduk. Dia menangis tersedu-sedu di tengah guyuran hujan yang kian menderas. Hari telah kian malam dan ini kedua kalinya dalam hari ini dia harus merasakan dinginnya air hujan di malam hari.

"Kau salah paham, Mas ...," isaknya lirih. “Mas …, aku dan Ali tidak berbuat seperti yang kau sangkakan …,” bisiknya lirih pada derai hujan yang kian menderas.

***

Hamam bahkan tak menghentikan mobil dan membiarkan Amy jatuh terduduk di jalan. Ia melihat istrinya  melalui kaca spion bersimbah duka diguyur nestapa. Namun, kemarahan telah merajai dirinya sehingga dia tidak bisa mengendalikan kekejaman yang keluar dari sisi gelap dirinya.

Entah apa yang merasukinya hingga ia harus berbuat sejauh itu. Mungkin rasa marah akan pengkhianatan yang dia tuduhkan ke istriya atau rasa malu akan kenyataan yang dia dapatkan dari secarik kertas yang dia dapatkan siang tadi.

Secarik kertas yang membeberkan rahasia terdalam yang ada dalam dirinya.

Hamam mengembuskan napas berat. Sudut matanya mengalihkan pandang dari bayangan Amy yang kian mengecil dan akhirnya hilang di tikungan jalan. Keheningan sesaat menguasai Hamam dan ibunya. Ruang dalam mobil mewah yang seharusnya nyaman dan sejuk karena air conditioner  disetel kuat, terasa sebaliknya bagi Hamam. Dia merasa begitu gerah dan sesak.

“Ceraikan dia, Hamam. Dia merusak marfuah dirimu dan keluarga kita. Hanya serupa aib dalam kehidupan pernikahanmu,” titah ibunya. Sudut bibir perempuan itu tertarik keatas. Mulutnya tampak kejam ketika ia berujar kembali.

“Akan ibu carikan lagi calon istri untukmu. Yang penurut dan tidak membangkang. Kau bisa memperoleh keturunan darinya, bukan dari wanita mandul itu,” tukas ibunya.

Hamam menoleh memandang ibunya dengan berjuta perasaan campur aduk. Lalu ia menatap jalanan dengan lekat sambil membatin dalam hatinya. 'Bukan Amy yang mandul, Bu. Tetapi aku.'

Bersambung ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zufzit Ufd
sadis mertuany
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status