Share

Bab 3. Keset Kaki dan Tamu di Malam Hari

Sudah pukul sepuluh malam.

Bahkan Amy belum juga pulang. Keberadaan wanita itu sungguh sangat ditunggu olehnya. Kepala laki-laki itu berdetam, sakit. Seolah-olah ratusan jarum sedang menancap di kulit kepalanya. Hamam berbaring di ranjang dalam kamarnya dengan gelisah. Bagaimanapun ia mencoba, tetap saja dalam posisi apapun tidak bisa meredam gundahnya.

Ingatannya melayang pada selembar hasil tes kesuburan siang tadi. Yang ia dapatkan dari klinik tempat mereka berkonsultasi. Di atas kertas itu disebutkan, jika kondisi rahim Amy sehat-sehat saja. Indung telurnya bagus dan siap dibuahi. Saluran tuba faloppi-nya juga tidak ada masalah.

Berbeda dengan kondisi Hamam.

Ia mengalami kelainan Azoospermia. Yang mana dalam air mani atau cairan semen tidak ditemukan adanya sel sperma sama sekali. Hingga tidak ada sperma yang dikeluarkan untuk membuahi sel telur milik Amy.

“Tapi hal ini bisa kita tanggulangi melalui operasi pada organ kelamin anda. Selain itu, bayi tabung bisa menjadi alternatif lainnya,”

Bahkan saran dokter obgyn itu tak mampu menenangkan hatinya.

Hamam menyesali keputusannya menyetujui tes kesuburan itu. Masih lekat diingatan, kemarahan ibunya ketika ia menceritakan tentang tes tersebut.

“Buat apa kamu selalu ngikutin keinginannya dia, Hamam!” teriak ibunya murka. “Kau itu keturunan Raden Mas Aryo Sudiro! Darah ningrat mengalir dalam nadimu. Trah kakek buyutmu tidak akan mengizinkan hal ini bila beliau masih di sini! Ini penghinaan besar untuk keluarga kita!”

Teriakan ibunya membahana di rumah joglo megah milik keluarganya yang telah ditempati turun-temurun.

“Cih! Anak yatim piatu itu harusnya bersyukur, diangkat derajatnya ke dalam keluarga kita. Disambut dengan baik bagai putri raja. Keluarga pamannya berdiri sejajar dengan trah kita.”

Nafas wanita tua itu tersengal-sengal meluapkan emosi yang bergejolak.

“Keset kaki kalo sudah mulai belajar pake sepatu, ya begitu itu jadinya! Berani-beraninya meragukan kejantanan anakku! Awas, kalo sampai dia kau bawa kemari! Tidak akan ibu ampuni dia,” ancam ibunya diamini oleh adik-adiknya.

“Mas terlalu memanjakan dia. Istriku, Karin, tidak pernah melawanku di rumah. Dia selalu menuruti apa kataku. Padahal dia sama-sama dari keluarga ningrat. Sejajar dengan kita,” tukas Pras, adik keduanya membela ibu.

“Aku juga bingung. Mengapa ayah tega menjodohkan Mas Hamam dengan anak yatim itu. Hanya sekedar menghargai persahabatan ayah dan pamannya, sampai mengorbankan kehidupan Mas,” cuit Nandini, adik ke tiganya.

“Dan sekarang, perempuan itu mencoba berdalih dengan kemandulannya. Memintamu melakukan ini dan itu. Ck ..., ck..., ck..., sebenarnya, siapa yang jadi kepala keluarga di rumahmu, Mas?” seringai Aryo, adik pertamanya yang pandai sekali menggurat luka.

Hamam memejamkan mata. Terpuruk dengan ketidakmampuannya membela diri. Sebagian dirinya menyalahkan Amy. Jika saja istrinya mampu membawa diri, tidak akan jadi runyam seperti ini urusannya.

‘Kau ...! Kelak dalam pernikahan pilihanmu, tak akan ada satu keturunanpun yang bisa kau miliki!’ Sumpah salah-satu gadis dari sekian banyak wanita yang pernah ia gaul dan nodai, terngiang kembali di telinganya. Menimbulkan keresahan yang sangat pada diri Hamam.

Kau dulu terlalu sering mengumbar benihmu, sobat. Hingga di saat yang diperlukan, stoknya berkurang hingga tak bisa membuahi istri sahmu sendiri.

Ucap satu suara di sudut hatinya. Meremas kesadaran dan penyesalan akan masa lalunya yang kelam. Hamam menyobek kertas hasil tes itu hingga menjadi serpihan kecil ketika di dalam mobil. Lalu membuangnya. Ia berteriak sekeras-kerasnya melepaskan gumpalan kecewa dari dalam diri.

Dengan rasa malu yang sudah sampai ke ubun-ubun, ia bersumpah akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Dari siapapun.

Bahkan dari istrinya sendiri.

***

Bel rumah berdentang, menandakan seseorang berada di pintu masuk. Membawa laki-laki itu kembali ke tempat ia berada.

Hamam duduk. Menahan sebah dalam hatinya. Amarah serta-merta merambat naik ke permukaan dirinya, mengingat kemungkinan itu Amy yang baru pulang dari kerja.

Ia berdecih. Menatap jam dinding di seberangnya dengan nanar. Jam sepuluh lewat lima belas menit.

Darimana saja dia? Lembur yang tak tahu waktu!

Batin Hamam marah. Ia kembali berbaring. Mencoba menenangkan pikirannya.

Biarlah Ibu yang membuka pintu. Pikirnya.

Ibunya tadi siang sengaja bertandang dan dengan halus meminta untuk diundang menginap di rumahnya. Hamam mengiyakan saja tanpa memberitahu Amy. Toh, ponsel wanita itu tak bisa dihubungi sedari tadi. Beberapa menit kemudian, Amy muncul dari balik pintu tanpa mengetuk. Dengan tergesa, wanita itu langsung melangkah hendak ke kamar mandi.

“Darimana aja, kamu? Mas telpon dari siang tadi, gak aktif-aktif handphone-mu,” sergah Hamam dingin menghentikan langkah Amy.

Wanita itu berhenti melangkah. Tetapi tidak berbalik menghadap Hamam. Laki-laki itu menatap curiga. Membaui ada yang tidak beres dengan tingkah lakunya. Dengan segera Hamam bangkit berdiri dan menghampiri Amy. Ia membalikkan  tubuh wanita itu, lalu terkejut mendapati keadaan istrinya yang kusut masai.

Pakaiannya basah kuyup. Rambutnya acak-acakan dengan make up yang luntur di sana-sini. Lipstik yang ia pakai tampak memudar dengan luka lebam di sudut bibir. Hidungnya juga mengeluarkan darah yang tampak telah mengering.

“Apa..., apa yang sudah terjadi, My?” tanyanya kaget.

Ia juga menelusuri blus kerja istrinya yang tampak robek di beberapa bagian. Matanya terbelalak heran. Amy mencengkram bagian depan blus kerjanya dengan tangan gemetar. Ia tidak berani membalas tatapan suaminya yang menuntut jawaban.

“Aku..., aku tadi terjatuh, Mas. Di tangga kantor...,” ucapnya lirih. Lalu melepaskan diri dari pegangan Hamam. “Aku mau mandi dulu,” pamitnya segera masuk ke kamar mandi.

Hamam berdiri bingung. Lama.

Lalu ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Mencoba menata pikirannya yang berkecamuk seperti rollercoster. Bunyi tempias air terdengar samar dari dalam kamar mandi, menandakan Amy sudah mulai membilas tubuhnya. Selang beberapa lama kemudian, bel rumah kembali berbunyi. Hamam mengernyit.

Heran.

Siapa yang bertamu malam-malam begini.

Pikirnya terusik. Ditolehnya pintu kamar mandi lalu bangkit melangkah ke luar kamar. Dengan langkah-langkah panjang, Hamam menghampiri pintu depan yang ternyata telah dibuka oleh ibunya.

“Siapa itu, Bu?” tanyanya heran. Dan menjadi lebih heran lagi ketika melihat wajah ibunya yang menoleh ke arahnya, berusaha menutup pintu.

Pucat dan pasi.

Hamam bergerak cepat menyingkap daun pintu. Naluri laki-lakinya berkata, bahwa seseorang di balik pintu itu adalah orang yang berbahaya.

“Hamam..., sabar, Nak...,” cegah ibu berusaha menghalangi dan diacuhkan olehnya.

Dengan sekali sentak, pintu membuka lebar. Seketika darahnya tersirap naik ke kepala, memompakan amarah yang sedari tadi ditahan.

“Kau...! Mau apa kau ke sini?!” hardiknya keras.

Sosok kusut masai dan basah kuyup itu berdiri tak gentar. Tubuhnya yang jangkung setara dengan Hamam menjulang menantang dihadapannya. Ia menyeringai, membalas sikap bermusuhan Hamam, lalu tanpa takut ia berucap lantang :

“Aku hanya mau mengembalikan sepatu dan tas milik Amy.”

Seringainya berbahaya.

Tangannya menjulur, hendak menyerahkan sebuah tas hitam dan sebelah sepatu berwarna senada. Lalu dengan seringai layaknya serigala sosok itu menyeringai dan berkat lirih sambil mendesis :

“Tadi tertinggal dalam mobil ..., saat aku mengantarnya pulang."

Bersambung... 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Zufzit Ufd
nah ilmiah gt bgs
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status