Sudah pukul sepuluh malam.
Bahkan Amy belum juga pulang. Keberadaan wanita itu sungguh sangat ditunggu olehnya. Kepala laki-laki itu berdetam, sakit. Seolah-olah ratusan jarum sedang menancap di kulit kepalanya. Hamam berbaring di ranjang dalam kamarnya dengan gelisah. Bagaimanapun ia mencoba, tetap saja dalam posisi apapun tidak bisa meredam gundahnya.
Ingatannya melayang pada selembar hasil tes kesuburan siang tadi. Yang ia dapatkan dari klinik tempat mereka berkonsultasi. Di atas kertas itu disebutkan, jika kondisi rahim Amy sehat-sehat saja. Indung telurnya bagus dan siap dibuahi. Saluran tuba faloppi-nya juga tidak ada masalah.
Berbeda dengan kondisi Hamam.
Ia mengalami kelainan Azoospermia. Yang mana dalam air mani atau cairan semen tidak ditemukan adanya sel sperma sama sekali. Hingga tidak ada sperma yang dikeluarkan untuk membuahi sel telur milik Amy.
“Tapi hal ini bisa kita tanggulangi melalui operasi pada organ kelamin anda. Selain itu, bayi tabung bisa menjadi alternatif lainnya,”
Bahkan saran dokter obgyn itu tak mampu menenangkan hatinya.
Hamam menyesali keputusannya menyetujui tes kesuburan itu. Masih lekat diingatan, kemarahan ibunya ketika ia menceritakan tentang tes tersebut.
“Buat apa kamu selalu ngikutin keinginannya dia, Hamam!” teriak ibunya murka. “Kau itu keturunan Raden Mas Aryo Sudiro! Darah ningrat mengalir dalam nadimu. Trah kakek buyutmu tidak akan mengizinkan hal ini bila beliau masih di sini! Ini penghinaan besar untuk keluarga kita!”
Teriakan ibunya membahana di rumah joglo megah milik keluarganya yang telah ditempati turun-temurun.
“Cih! Anak yatim piatu itu harusnya bersyukur, diangkat derajatnya ke dalam keluarga kita. Disambut dengan baik bagai putri raja. Keluarga pamannya berdiri sejajar dengan trah kita.”
Nafas wanita tua itu tersengal-sengal meluapkan emosi yang bergejolak.
“Keset kaki kalo sudah mulai belajar pake sepatu, ya begitu itu jadinya! Berani-beraninya meragukan kejantanan anakku! Awas, kalo sampai dia kau bawa kemari! Tidak akan ibu ampuni dia,” ancam ibunya diamini oleh adik-adiknya.
“Mas terlalu memanjakan dia. Istriku, Karin, tidak pernah melawanku di rumah. Dia selalu menuruti apa kataku. Padahal dia sama-sama dari keluarga ningrat. Sejajar dengan kita,” tukas Pras, adik keduanya membela ibu.
“Aku juga bingung. Mengapa ayah tega menjodohkan Mas Hamam dengan anak yatim itu. Hanya sekedar menghargai persahabatan ayah dan pamannya, sampai mengorbankan kehidupan Mas,” cuit Nandini, adik ke tiganya.
“Dan sekarang, perempuan itu mencoba berdalih dengan kemandulannya. Memintamu melakukan ini dan itu. Ck ..., ck..., ck..., sebenarnya, siapa yang jadi kepala keluarga di rumahmu, Mas?” seringai Aryo, adik pertamanya yang pandai sekali menggurat luka.
Hamam memejamkan mata. Terpuruk dengan ketidakmampuannya membela diri. Sebagian dirinya menyalahkan Amy. Jika saja istrinya mampu membawa diri, tidak akan jadi runyam seperti ini urusannya.
‘Kau ...! Kelak dalam pernikahan pilihanmu, tak akan ada satu keturunanpun yang bisa kau miliki!’ Sumpah salah-satu gadis dari sekian banyak wanita yang pernah ia gaul dan nodai, terngiang kembali di telinganya. Menimbulkan keresahan yang sangat pada diri Hamam.
Kau dulu terlalu sering mengumbar benihmu, sobat. Hingga di saat yang diperlukan, stoknya berkurang hingga tak bisa membuahi istri sahmu sendiri.
Ucap satu suara di sudut hatinya. Meremas kesadaran dan penyesalan akan masa lalunya yang kelam. Hamam menyobek kertas hasil tes itu hingga menjadi serpihan kecil ketika di dalam mobil. Lalu membuangnya. Ia berteriak sekeras-kerasnya melepaskan gumpalan kecewa dari dalam diri.
Dengan rasa malu yang sudah sampai ke ubun-ubun, ia bersumpah akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Dari siapapun.
Bahkan dari istrinya sendiri.
***
Bel rumah berdentang, menandakan seseorang berada di pintu masuk. Membawa laki-laki itu kembali ke tempat ia berada.
Hamam duduk. Menahan sebah dalam hatinya. Amarah serta-merta merambat naik ke permukaan dirinya, mengingat kemungkinan itu Amy yang baru pulang dari kerja.
Ia berdecih. Menatap jam dinding di seberangnya dengan nanar. Jam sepuluh lewat lima belas menit.
Darimana saja dia? Lembur yang tak tahu waktu!
Batin Hamam marah. Ia kembali berbaring. Mencoba menenangkan pikirannya.
Biarlah Ibu yang membuka pintu. Pikirnya.
Ibunya tadi siang sengaja bertandang dan dengan halus meminta untuk diundang menginap di rumahnya. Hamam mengiyakan saja tanpa memberitahu Amy. Toh, ponsel wanita itu tak bisa dihubungi sedari tadi. Beberapa menit kemudian, Amy muncul dari balik pintu tanpa mengetuk. Dengan tergesa, wanita itu langsung melangkah hendak ke kamar mandi.
“Darimana aja, kamu? Mas telpon dari siang tadi, gak aktif-aktif handphone-mu,” sergah Hamam dingin menghentikan langkah Amy.
Wanita itu berhenti melangkah. Tetapi tidak berbalik menghadap Hamam. Laki-laki itu menatap curiga. Membaui ada yang tidak beres dengan tingkah lakunya. Dengan segera Hamam bangkit berdiri dan menghampiri Amy. Ia membalikkan tubuh wanita itu, lalu terkejut mendapati keadaan istrinya yang kusut masai.
Pakaiannya basah kuyup. Rambutnya acak-acakan dengan make up yang luntur di sana-sini. Lipstik yang ia pakai tampak memudar dengan luka lebam di sudut bibir. Hidungnya juga mengeluarkan darah yang tampak telah mengering.
“Apa..., apa yang sudah terjadi, My?” tanyanya kaget.
Ia juga menelusuri blus kerja istrinya yang tampak robek di beberapa bagian. Matanya terbelalak heran. Amy mencengkram bagian depan blus kerjanya dengan tangan gemetar. Ia tidak berani membalas tatapan suaminya yang menuntut jawaban.
“Aku..., aku tadi terjatuh, Mas. Di tangga kantor...,” ucapnya lirih. Lalu melepaskan diri dari pegangan Hamam. “Aku mau mandi dulu,” pamitnya segera masuk ke kamar mandi.
Hamam berdiri bingung. Lama.
Lalu ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Mencoba menata pikirannya yang berkecamuk seperti rollercoster. Bunyi tempias air terdengar samar dari dalam kamar mandi, menandakan Amy sudah mulai membilas tubuhnya. Selang beberapa lama kemudian, bel rumah kembali berbunyi. Hamam mengernyit.
Heran.
Siapa yang bertamu malam-malam begini.
Pikirnya terusik. Ditolehnya pintu kamar mandi lalu bangkit melangkah ke luar kamar. Dengan langkah-langkah panjang, Hamam menghampiri pintu depan yang ternyata telah dibuka oleh ibunya.
“Siapa itu, Bu?” tanyanya heran. Dan menjadi lebih heran lagi ketika melihat wajah ibunya yang menoleh ke arahnya, berusaha menutup pintu.
Pucat dan pasi.
Hamam bergerak cepat menyingkap daun pintu. Naluri laki-lakinya berkata, bahwa seseorang di balik pintu itu adalah orang yang berbahaya.
“Hamam..., sabar, Nak...,” cegah ibu berusaha menghalangi dan diacuhkan olehnya.
Dengan sekali sentak, pintu membuka lebar. Seketika darahnya tersirap naik ke kepala, memompakan amarah yang sedari tadi ditahan.
“Kau...! Mau apa kau ke sini?!” hardiknya keras.
Sosok kusut masai dan basah kuyup itu berdiri tak gentar. Tubuhnya yang jangkung setara dengan Hamam menjulang menantang dihadapannya. Ia menyeringai, membalas sikap bermusuhan Hamam, lalu tanpa takut ia berucap lantang :
“Aku hanya mau mengembalikan sepatu dan tas milik Amy.”
Seringainya berbahaya.
Tangannya menjulur, hendak menyerahkan sebuah tas hitam dan sebelah sepatu berwarna senada. Lalu dengan seringai layaknya serigala sosok itu menyeringai dan berkat lirih sambil mendesis :
“Tadi tertinggal dalam mobil ..., saat aku mengantarnya pulang."
Bersambung...
Bugh! Hamam melayangkan tinjunya tepat ke pipi kiri laki-laki itu. Tak siap dengan serangan yang tiba-tiba, tubuh jangkung dan ramping segara melayang menghantam pot bunga besar yang ada di sisi kiri Hamam. Benda itu langsung hancur berkeping-keping ditimpa tubuh itu. Ibu menjerit panik menyaksikan kemarahan Hamam. Dengan segera suami yang sedang disulut api amarah itu bergerak menghampiri tamu yang tak diundang dan bertubi-tubi melayangkan pukulan dan tendangan tanpa ampun. Laki-laki dengan tubuh kusut masai itu melawan dan menangkis semua serangan Hamam yang membabi-buta. Ketika pukulan terakhir Hamam hampir mengenai pelipisnya, ia menangkis dan mencengkram tangan suami yang sedaang murka tersebut. Serta-merta, menarik tubuh Hamam jatuh dan duduk di atas perutnya. Hamam memicingkan mata, berusaha menjaga pandangan dari derasnya hujan yang mendera. Laki-laki yang menduduki tubuhnya menyeringai lebar lalu mendekatkan wajah dan berujar : “Bibirnya..., sama manis dengan senyumnya,” k
"Hamam? Ada apa, Nak?" tanya ibunya terkejut setelah mendengar bunyi grbrakan meja tadi. Perempuan tua itu muncul dari dalam dan segera menuju kursi makan. Dia duduk perlahan menemani anak laki-laki kebanggaannya.“Dari siapa, Hamam?” tanya ibunya heran setelah melihat tangan laki-laki itu sibuk bergerilya di layar gawai.Hamam menghapus isi chat itu dan melempar gawainya. Membuang muka. Takut jika ibunya turut membaca sms itu dan mengetahui rahasia kelamnya.Pandangannya tertumbuk ke sosok tubuh kecil yang muncul dari kamar. Melangkah takut-takut ke arah mereka dan berhenti di depan keduanya. Di ujung meja makan. Berdiri di hadapan mereka layaknya seorang pesakitan di dalam ruang pengadilan. Ibunya memandang Amy tajam. Jelas tak suka dengan menantunya itu. Walaupun wajah istri anaknya itu mulai membengkak dan penuh lebam. “Mas...,” panggil Amy sepelan desiran angin. Hamam memandangnya lekat. Ada rasa sesal menyaksikan keadaan Amy. Bagaimanapun, istrinya berhak memberikan penjelasan
Sudah tiga hari Hamam tak pulang. Amy hanya bisa mereguk kecewa saat bayangan suaminya tak menyapa netra. Mbok Napsiah memberitahu dirinya, Hamam pulang keesokan hari, setelah kejadian yang menyedihkan itu. "Tuan ngambil pakaian sama tas dan laptop kerjanya aja, Nya. Waktu Nyonya Amy masih tidur. Terus langsung pergi pake mobil Tuan. Kayaknya mau ke kantor." Mata tua itu menatap sedih Amy. "Mungkin nginap di rumah Ndoro Besar, Nya," usulnya.Amy dirundung kekecewaan yang dalam. Bahkan suaminya tak memberikan kesempatan sama sekali untuk membela diri. Hamam lebih memilih mendengarkan ibunya ketimbang istri yang selalu dipukuli setiap ia merasa kesal ini."Nya, makan dulu. Biar cepat sehat," bujuk Mbok Napsiah. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Amy yang sedang berbaring sambil menatap langit-langit. Kosong. Tangan tuanya mengangsurkan semangkuk bubur ayam pada wanita itu. "Bagaimana mau makan, Mbok. Mulutku bengkak begini. Susah buat ngunyah. Sakit semua...," ucap Amy lirih. Ada be
Pernahkah kau begitu mencintai seseorang hingga kau tak lagi memperdulikan dirimu? Mengikuti segala ingin hingga dirimu melebur tak bersisa padanya? Lupa jati diri, menyelingkuhi harkat martabat sendiri? Lalu, saat dirimu sudah seutuhnya menjadi milik seseorang, ia meninggalkanmu begitu rupa. Mencabikmu hingga tak bersisa. Sampai akal tak lagi bisa menolerirmu dalam hina. ===***=== Angelique berlalu pergi dari rumah, membawa satu buah tas koper besar berisi pakaian Hamam. Melenggang pergi dengan penuh kemenangan, setelah sebelumnya mendecih pada Amy. Menertawakan kelemahan dan kebodohan wanita yang terduduk lemah di sudut kamar. Ketika bayangan pelakor itu hilang dari pandangan. Dan derum mobil milyaran rupiahnya membelah pekarangan rumah, dengan gemetar Amy mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas. Pucat pasi ia kembali menghubungi Hamam. Setelah mencoba yang ke sepuluh kalinya, handphone laki-lak
"Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun." ===***=== Adalah Mbok Napsiah. Seorang wanita yang telah berumur jauh lebih matang. Yang telah menjalani seluruh hari tuanya bersama Amy. Bersumpah akan selalu setia dimanapun wanita malang itu berada. Mengemas semua yang bisa ia bawa melalui tangan tuanya. Memohon maaf dan berpamitan pada Hamam. Mengucapkan beribu terimakasih untuk semua kebaikan hati tuannya selama ini. Hamam tak ambil peduli. Toh, baginya, Mbok Napsiah hanyalah seorang wanita renta, jongos miskin yang bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak penting, hanya aksesoris tambahan yang bisa segera ia carikan penggantinya. Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki tampan dan gagah itu pergi ke luar. Meninggalkan tubuh Amy yang tak sadarkan diri di pojok teras rumah. Seperti biasa, Mbok Napsiah dan tukang kebunnya yang akan membereskan segalanya. Ia berlalu bersama
Dokter tua itu akhirnya mengembuskan napas berat. Penampakan wajah Amy yang babak belur membuatnya semakin sulit untuk memberitahukan kebenaran itu. Sang Asisten beberapa kali melirik ke arahnya dan Amy. “Begini, Ibu …, tepatnya akhir pekan lalu suami ibu datang mengambil hasil tesnya. Sudah saya jelaskan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mengatasi kekurangan yang di derita suami ibu …,” dokter berhenti sebentar lalu memberikan kode kepada asistennya untuk mengambilkan copy hasil pemeriksaan sebelumnya. Sang asisten tampak bingung tetapi akhirnya berjalan ke luar ruangan meninggalkan Amy dan dokter itu berdua di dalam ruangan. “Mak …, maksud dokter? Kekurangan suami saya?” bisik Amy tercekat. Dengan susah-payah dia berusaha kembali bicara. Pelipisnya terasa berdenyut seiring dengan gerak bibirnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dengan keterkejutan yang luar biasa. Kekurangan Mas Hamam? Jadi, selama ini …. Selama ini siapa yang ternyata mandul? Tib
Jika kita tidak berada dalam satu gelombang lagi, lalu, untuk apa kita terus melayang sendiri di sana. ***Amy terduduk di bawah papan reklame yang melindunginya dari pandangan orang-orang itu. Mereka yang berwajah rupawan tetapi berhati melebihi serigala. Angin malam berembus membelai kulit halusnya yang penuh dengan lebam. Dadanya naik turun menahan sebah di hatinya yang membuatnya seketika sesak. Keringat dingin membanjiri epidermis kulitnya mengalir di sela-sela cekungan punggungnya yang ringkih. Cahaya temaram dari lampu taman cafe menerpa wajah bengkaknya. Suram cahaya menulari raut wajahnya memantul kembali di bola mata yang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.[Aku mencintaimu, Amy ....]Bukankah itu kata-kata yang sering kau bisikkan di telingaku setiap kau habis menyesap sari tubuhku dengan meninggalkan lebam di sana, Mas? Pandangan Amy tak lepas dari wajah Hamam yang masih saja tampak bersungut-sungut dari kejauhan. Perempuan itu tidak ingin mengalihkan matanya d
Cinta itu bisa datang dari kebersamaan. Terus dipupuk dan disirami setiap hari dengan kesabaran. Hingga berbuah lebat dan bisa dituai dalam bentuk kasih sayang yang dominan. ***♡♡♡***Amy duduk terpekur. Masih menunggu kedatangan Hamam dari dalam kamar pengantin. Matanya nanar memandangi daun pintu berwarna putih tulang pilihannya sendiri dulu itu. Yang telah penuh dengan gerombolan bunga beraroma wangi. Indah. Indah sekali.Sungguh keindahan yang merobek hati.Dan, yang sungguh menyesakkan dadanya adalah : itu kamar mereka berdua dulu. Di sanalah mereka sering bergumul memadu kasih hampir setiap malam dikarenakan hasrat s*ksual Hamam yang tidak kunjung padam setiap kali dia menyentuh Amy sehabis pulang dari kantor perusahaannya.Di tempat kerja terlalu banyak p*ha dan d*da terbuka yang lalu-lalang di depan CEO muda itu. Mulai dari yang samar-samar hingga terang-terangan mengajak laki-laki tampan itu naik ke tempat tidur.Namun, masa-masa liar itu sudah lewat. Telah dihabiskan Hama