Share

Bab 5

    Ruangan meeting itu sudah kosong sejak pukul sembilan tadi. Meeting kali ini memang dilaksanakan pagi karena klien Arjuna yang baru memiliki jadwal yang padat. Mau tidak mau meeting harus dimulai pukul tujuh pagi.

    Ponsel Arjuna berdering dari semalam. Nadhine tak henti-hentinya mengiriminya pesan untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah pameran Nadhine. Arjuna tidak membukanya, ia hanya membacanya dari notifikasi yang muncul di atas layar.

    Jangan lupa, besok pameran.

    Masih ingat fakultasku, kan? Di aula yang waktu itu kamu jemput aku 

    Aku tunggu besok pagi.

    Hun, jangan lupa. Pameran dimulai jam sembilan.

    Jangan belagak sibuk, aku tau kamu baca chatku!

    Pokoknya aku tunggu, nggak mau tau!!

    Itulah sederet pesan Nadhine dari kemarin malam. Arjuna sampai merasakan kepalanya berdenyut tiap kali ponselnya berdering memberi tanda ada pesan masuk. Sulit sekali menolak permintaan Nadhine.

    Setelah menimbang berkali-kali keputusannya, akhirnya Arjuna memilih untuk berangkat saja dengan langkah gamang.

    "Bapak mau kemana?" Fina, sekretaris Arjuna menyambutnya di depan pintu.

    "Hari ini saya udah nggak ada jadwal ketemu klien, kan?"

    Fina menatap remindernya. Tidak ada acara setelah merting tadi pagi.

    "Kosong, Pak. Tidak ada janji sama sekali," seru Fina setelah membaca papan organizer di kubikelnya. "Memangnya Bapak mau kemana? Apa ada meeting dadakan?"

    Arjuna menggeleng seraya melepas jasnya. "Nggak ada, Fin. Saya mau datang ke acara pamerannya Nadhine. Tolong nanti kalau ada hal yang penting dan mendesak, kamu langsing telepon saya, ya. Ingat! Penting dan mendesak!" Arjuna memperingatkan dengan tegas.

    "Baik, Pak!" jawab Fina seraya tersenyum.

    Arjuna mengangguk kemudian segera melangkah pergi meninggalkan kantornya.

    "Gue kira mau kemana, ternyata mau dateng ke acaranya nenek lampir!" gumam Fina yang didengar oleh rekannya.

    "Huss! Masih aja lo nyebut Nadhine nenek lampir! Ntar kalo Pak Juna denger, bisa digorok lo!"

    Fina mengibaskan tangannya. "Bodo amat! Kan, emang dia kayak nenek lampir! Kalo dateng ke sini, mana pernah punya sopan santun, senyum kek, nyapa kek. Pasti langsung masuk aja! Masih pacar tuh, udah sombong! Gimana kalo jadi istri?"

    Rinda menggeleng seraya tertawa. "Elo sensi banget sig, Fin? Bilang aja lo ngiri kan sama Nadhine? Hayoo ngakuuu!"

    Fina melotot membuat Rinda tertawa lebih kencang.

    ***

    Arjuna memarkir mobilnya di parkiran utama. Sesampainya di jurusan Nadhine, seperti biasa ia akan mengirimi Nadhine pesan. Tetapi belum sempat ia kirimkan, Nadhine sudah ada di depannya.

“Udah dari tadi?” tanya Nadhine.

“Belum. Barusan dateng.” Jawabnya datar.

“Ya udah yuk, langsung ke aula aja!” Nadhine segera menggandeng Arjuna dan mengajaknya memasuki aula utama.

Pameran busana untuk jurusan tata busana dilakukan di aula utama karena semua kelas memamerkan hasil karyanya hari itu juga. Arjuna sebenarnya tidak terlalu memahami fashion, ia datang ke sini hanya untuk memenuhi permintaan Nadhine.

“Ke sana yuk, Jun. Rancangan aku ada di sana.” Ajak Nadhine. Lagi-lagi Arjuna hanya menurutiya.

Sesampainya di sisi kiri aula, ada empat rancangan baju. Menurut Nadhine, dua yang di tengah adalah rancangannya.

“Ini rancangan aku, Jun. Menurut kamu bagus nggak?” tanyanya pada Arjuna yang sedari tadi hanya diam.

Arjuna mendekati dua manekin di depannya. Yang pertama, setelan untuk laki-laki dengan celana katun berwarna hitam yang dipadukan dengan baju berwarna ungu tua dengan aksen batik khas timur. Baju berlengan pendek itu menampakkan kesan kalem.

Yang kedua adalah gaun selutut dengan lengan tiga perempat. Warnanya senada dengan baju untuk laki-laki tadi hanya saja aksen batik lebih mendominasi mulai dari perut sampai lutut. Untuk model leher dari gaun tersebut diberi model sabrina sehingga menampilkan kesan anggun.

“Bagus!” jawab Arjuna sambil mengangguk padahal ia tak mengerti sama sekali apa nama model baju tersebut dan tetek bengeknya. “Kamu desain sendiri?”

“Ya iyalah! Apalagi ini dipamerin satu jurusan!” seru Nadhine dengan semangat. “Oh iya, aku nggak bisa nemenin kamu lama-lama. Soalnya nanti ada peragaan busana. Dan aku salah satu modelnya. Nggak apa-apa kan?”

Arjuna terdiam sejenak. Kalau tau hanya untuk melihat desain baju dari Nadhine, harusnya ia tak perlu berangkat sepagi ini. “Iya. Nggak apa-apa. Mungkin nanti aku langsung pulang.”

“Iya, Pak Bos! Nggak apa-apa kok!” Nadhine tersenyum. “Eh, tadi kamu belum ngisi daftar tamu ya? Ayo, isi dulu! Biar dapet tambahan nilai!” Nadhine menyeret Arjuna mendekati meja yang sudah disiapkan. Dengan malas Arjuna menulis nama, kesannya dan tanda tangan di sana.

“Udah!” serunya singkat.

“Makasih!” Nadhine memeluknya. Arjuna tersenyum. “Ya udah, aku ke backstage dulu ya. Dari tadi udah dicariin. Makasih udah nyempetin waktu ke sini!” pamitnya kemudian melengang pergi.

Arjuna hanya tersenyum. “Terus aku ngapain di sini?” gumamnya sambil melirik kanan-kiri. “Aku keliling aula ini dulu kali ya? Abis itu langsung pulang?”

Akhirnya Arjuna mengelilingi aula tersebut sendirian. Ia melihat-lihat beberapa rancangan baju terlihat simpel tetapi elegan baginya. Meskipun Arjuna tidak mengerti secara pasti, tetapi ia bisa memberikan sedikit penilaian menarik atau tidaknya rancangan-rancangan di depannya.

Beberapa pasang mata menatap Arjuna dengan kagum. Celana joger pants berwarna hitam dengan sedikit aksen putih di lutut, kaos putih yang dibalut tuxedo hitam yang digulung sampai siku. Pakaian santainya untuk memasuki aula ini mungkin akan terlihat sedikit aneh. Tetapi bukan itu yang membuat ia menjadi pusat perhatian. Tetapi karena matanya yang berwarna coklat terang dan tubuhnya yang atletis membuat beberapa perempuan berdecak kagum melihatnya.

Arjuna menoleh. Merasa diperhatikan ia pun buru-buru keluar dari aula tersebut. sesampainya di luar ia meneliti pakaiannya. “Emangnya ada yang salah? Kayaknya enggak deh!” gumamnya lagi. “Ah, palingan mereka aja yang kurang kerjaan ngeliatin orang sebegitunya!” omelnya.

Arjuna menatap gedung seberang yang juga terlihat ramai. “Eh, di sana ada apa ya? Kok rame?” gumamnya lagi. Karena penasaran akhirnya Arjuna turun dan berjalan menuju gedung di seberangnya yang terdapat papan bertuliskan Jurusan Seni Lukis.

Arjuna memerhatikan sekelilingnya. Gaya anak seni yang menurut orang-orang terlihat nyeleneh menarik perhatiannya. Arjuna memantapkan hatinya untuk menaiki gedung itu. Di setiap lantainya ia celingukan mencari pusat keramaian. Hingga ia tiba di lantai ketiga dan berhenti di sana. Arjuna berjalan mendekati kerumunan beberapa mahasiswa. Ia mendongak. Aula Seni Lukis. Tulisan itu membuatnya melongokkan kepala ke dalam ruang di depannya. Aula yang tidak sebesar aula untuk pameran tata busana tadi. Tetapi, ada hal yang mendorong Arjuna untuk masuk.

“Selamat datang di pameran lukisan jurusan seni lukis!” sapa seorang perempuan mengagetkannya.

“Eh, hehehe. iya.” Jawabnya canggung. Perempuan di depannya mengerutkan kening.

“Masnya nyariin seseorang?” tanyanya.

“Eh, enggak sih. Tadi sebenernya saya liat pameran busana di gedung sebelah. Terus liat ke sini kok kayaknya rame juga. Karena penasaran saya ke sini juga deh!” ujar Arjuna jujur.

Perempuan di depannya mengulurkan tangannya. “Reni. Saya salah satu mahasiswa yang sedang menyelenggarakan pameran ini.”

Arjuna terdiam. Ia meneliti perempuan di depannya. Sepatu sport berwarna hitam dengan aksen putih yang terlihat dekil, celana jeans belel yang warnanya sudah tidak nampak, kemeja berwarna krem yang kebesaran dan digulung sampai siku juga rambut kecoklatannya yang diikat asal. Pantes banget jadi anak seni. Batin Arjuna.

Merasa perkenalannya tidak mendapatkan tanggapan, Reni memperhatikan laki-laki yang ada di depannya. “Mas?” serunya.

Arjuna tersadar kemudian segera menjabat tangan Reni. “Arjuna. Atau kamu bisa panggil Juna.” Ujarnya memperkenalkan diri.

“Oh, oke.” Reni tersenyum. “Ada yang bisa dibantu?”

Arjuna tertawa. “Kamu nggak usah seformal itu kali! Biasa aja.” Serunya membuat Reni nyengir dan menampakkan gigi gingsulnya.

“I-Iya maaf. Habisnya tadi kamu juga kaku. Aku kan jadi bingung harus ngomong gimana.”

“Hehehe. Maaf.” Arjuna memperhatikan sekelilingnya. “Bisa temenin lihat-lihat lukisan?”

Reni tersenyum. “Tentu!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status