Ruangan meeting itu sudah kosong sejak pukul sembilan tadi. Meeting kali ini memang dilaksanakan pagi karena klien Arjuna yang baru memiliki jadwal yang padat. Mau tidak mau meeting harus dimulai pukul tujuh pagi.
Ponsel Arjuna berdering dari semalam. Nadhine tak henti-hentinya mengiriminya pesan untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah pameran Nadhine. Arjuna tidak membukanya, ia hanya membacanya dari notifikasi yang muncul di atas layar.
Jangan lupa, besok pameran.
Masih ingat fakultasku, kan? Di aula yang waktu itu kamu jemput aku
Aku tunggu besok pagi.
Hun, jangan lupa. Pameran dimulai jam sembilan.
Jangan belagak sibuk, aku tau kamu baca chatku!
Pokoknya aku tunggu, nggak mau tau!!
Itulah sederet pesan Nadhine dari kemarin malam. Arjuna sampai merasakan kepalanya berdenyut tiap kali ponselnya berdering memberi tanda ada pesan masuk. Sulit sekali menolak permintaan Nadhine.
Setelah menimbang berkali-kali keputusannya, akhirnya Arjuna memilih untuk berangkat saja dengan langkah gamang.
"Bapak mau kemana?" Fina, sekretaris Arjuna menyambutnya di depan pintu.
"Hari ini saya udah nggak ada jadwal ketemu klien, kan?"
Fina menatap remindernya. Tidak ada acara setelah merting tadi pagi.
"Kosong, Pak. Tidak ada janji sama sekali," seru Fina setelah membaca papan organizer di kubikelnya. "Memangnya Bapak mau kemana? Apa ada meeting dadakan?"
Arjuna menggeleng seraya melepas jasnya. "Nggak ada, Fin. Saya mau datang ke acara pamerannya Nadhine. Tolong nanti kalau ada hal yang penting dan mendesak, kamu langsing telepon saya, ya. Ingat! Penting dan mendesak!" Arjuna memperingatkan dengan tegas.
"Baik, Pak!" jawab Fina seraya tersenyum.
Arjuna mengangguk kemudian segera melangkah pergi meninggalkan kantornya.
"Gue kira mau kemana, ternyata mau dateng ke acaranya nenek lampir!" gumam Fina yang didengar oleh rekannya.
"Huss! Masih aja lo nyebut Nadhine nenek lampir! Ntar kalo Pak Juna denger, bisa digorok lo!"
Fina mengibaskan tangannya. "Bodo amat! Kan, emang dia kayak nenek lampir! Kalo dateng ke sini, mana pernah punya sopan santun, senyum kek, nyapa kek. Pasti langsung masuk aja! Masih pacar tuh, udah sombong! Gimana kalo jadi istri?"
Rinda menggeleng seraya tertawa. "Elo sensi banget sig, Fin? Bilang aja lo ngiri kan sama Nadhine? Hayoo ngakuuu!"
Fina melotot membuat Rinda tertawa lebih kencang.
***
Arjuna memarkir mobilnya di parkiran utama. Sesampainya di jurusan Nadhine, seperti biasa ia akan mengirimi Nadhine pesan. Tetapi belum sempat ia kirimkan, Nadhine sudah ada di depannya.
“Udah dari tadi?” tanya Nadhine.
“Belum. Barusan dateng.” Jawabnya datar.
“Ya udah yuk, langsung ke aula aja!” Nadhine segera menggandeng Arjuna dan mengajaknya memasuki aula utama.
Pameran busana untuk jurusan tata busana dilakukan di aula utama karena semua kelas memamerkan hasil karyanya hari itu juga. Arjuna sebenarnya tidak terlalu memahami fashion, ia datang ke sini hanya untuk memenuhi permintaan Nadhine.
“Ke sana yuk, Jun. Rancangan aku ada di sana.” Ajak Nadhine. Lagi-lagi Arjuna hanya menurutiya.
Sesampainya di sisi kiri aula, ada empat rancangan baju. Menurut Nadhine, dua yang di tengah adalah rancangannya.
“Ini rancangan aku, Jun. Menurut kamu bagus nggak?” tanyanya pada Arjuna yang sedari tadi hanya diam.
Arjuna mendekati dua manekin di depannya. Yang pertama, setelan untuk laki-laki dengan celana katun berwarna hitam yang dipadukan dengan baju berwarna ungu tua dengan aksen batik khas timur. Baju berlengan pendek itu menampakkan kesan kalem.
Yang kedua adalah gaun selutut dengan lengan tiga perempat. Warnanya senada dengan baju untuk laki-laki tadi hanya saja aksen batik lebih mendominasi mulai dari perut sampai lutut. Untuk model leher dari gaun tersebut diberi model sabrina sehingga menampilkan kesan anggun.
“Bagus!” jawab Arjuna sambil mengangguk padahal ia tak mengerti sama sekali apa nama model baju tersebut dan tetek bengeknya. “Kamu desain sendiri?”
“Ya iyalah! Apalagi ini dipamerin satu jurusan!” seru Nadhine dengan semangat. “Oh iya, aku nggak bisa nemenin kamu lama-lama. Soalnya nanti ada peragaan busana. Dan aku salah satu modelnya. Nggak apa-apa kan?”
Arjuna terdiam sejenak. Kalau tau hanya untuk melihat desain baju dari Nadhine, harusnya ia tak perlu berangkat sepagi ini. “Iya. Nggak apa-apa. Mungkin nanti aku langsung pulang.”
“Iya, Pak Bos! Nggak apa-apa kok!” Nadhine tersenyum. “Eh, tadi kamu belum ngisi daftar tamu ya? Ayo, isi dulu! Biar dapet tambahan nilai!” Nadhine menyeret Arjuna mendekati meja yang sudah disiapkan. Dengan malas Arjuna menulis nama, kesannya dan tanda tangan di sana.
“Udah!” serunya singkat.
“Makasih!” Nadhine memeluknya. Arjuna tersenyum. “Ya udah, aku ke backstage dulu ya. Dari tadi udah dicariin. Makasih udah nyempetin waktu ke sini!” pamitnya kemudian melengang pergi.
Arjuna hanya tersenyum. “Terus aku ngapain di sini?” gumamnya sambil melirik kanan-kiri. “Aku keliling aula ini dulu kali ya? Abis itu langsung pulang?”
Akhirnya Arjuna mengelilingi aula tersebut sendirian. Ia melihat-lihat beberapa rancangan baju terlihat simpel tetapi elegan baginya. Meskipun Arjuna tidak mengerti secara pasti, tetapi ia bisa memberikan sedikit penilaian menarik atau tidaknya rancangan-rancangan di depannya.
Beberapa pasang mata menatap Arjuna dengan kagum. Celana joger pants berwarna hitam dengan sedikit aksen putih di lutut, kaos putih yang dibalut tuxedo hitam yang digulung sampai siku. Pakaian santainya untuk memasuki aula ini mungkin akan terlihat sedikit aneh. Tetapi bukan itu yang membuat ia menjadi pusat perhatian. Tetapi karena matanya yang berwarna coklat terang dan tubuhnya yang atletis membuat beberapa perempuan berdecak kagum melihatnya.
Arjuna menoleh. Merasa diperhatikan ia pun buru-buru keluar dari aula tersebut. sesampainya di luar ia meneliti pakaiannya. “Emangnya ada yang salah? Kayaknya enggak deh!” gumamnya lagi. “Ah, palingan mereka aja yang kurang kerjaan ngeliatin orang sebegitunya!” omelnya.
Arjuna menatap gedung seberang yang juga terlihat ramai. “Eh, di sana ada apa ya? Kok rame?” gumamnya lagi. Karena penasaran akhirnya Arjuna turun dan berjalan menuju gedung di seberangnya yang terdapat papan bertuliskan Jurusan Seni Lukis.
Arjuna memerhatikan sekelilingnya. Gaya anak seni yang menurut orang-orang terlihat nyeleneh menarik perhatiannya. Arjuna memantapkan hatinya untuk menaiki gedung itu. Di setiap lantainya ia celingukan mencari pusat keramaian. Hingga ia tiba di lantai ketiga dan berhenti di sana. Arjuna berjalan mendekati kerumunan beberapa mahasiswa. Ia mendongak. Aula Seni Lukis. Tulisan itu membuatnya melongokkan kepala ke dalam ruang di depannya. Aula yang tidak sebesar aula untuk pameran tata busana tadi. Tetapi, ada hal yang mendorong Arjuna untuk masuk.
“Selamat datang di pameran lukisan jurusan seni lukis!” sapa seorang perempuan mengagetkannya.
“Eh, hehehe. iya.” Jawabnya canggung. Perempuan di depannya mengerutkan kening.
“Masnya nyariin seseorang?” tanyanya.
“Eh, enggak sih. Tadi sebenernya saya liat pameran busana di gedung sebelah. Terus liat ke sini kok kayaknya rame juga. Karena penasaran saya ke sini juga deh!” ujar Arjuna jujur.
Perempuan di depannya mengulurkan tangannya. “Reni. Saya salah satu mahasiswa yang sedang menyelenggarakan pameran ini.”
Arjuna terdiam. Ia meneliti perempuan di depannya. Sepatu sport berwarna hitam dengan aksen putih yang terlihat dekil, celana jeans belel yang warnanya sudah tidak nampak, kemeja berwarna krem yang kebesaran dan digulung sampai siku juga rambut kecoklatannya yang diikat asal. Pantes banget jadi anak seni. Batin Arjuna.
Merasa perkenalannya tidak mendapatkan tanggapan, Reni memperhatikan laki-laki yang ada di depannya. “Mas?” serunya.
Arjuna tersadar kemudian segera menjabat tangan Reni. “Arjuna. Atau kamu bisa panggil Juna.” Ujarnya memperkenalkan diri.
“Oh, oke.” Reni tersenyum. “Ada yang bisa dibantu?”
Arjuna tertawa. “Kamu nggak usah seformal itu kali! Biasa aja.” Serunya membuat Reni nyengir dan menampakkan gigi gingsulnya.
“I-Iya maaf. Habisnya tadi kamu juga kaku. Aku kan jadi bingung harus ngomong gimana.”
“Hehehe. Maaf.” Arjuna memperhatikan sekelilingnya. “Bisa temenin lihat-lihat lukisan?”
Reni tersenyum. “Tentu!”
***
Nadhine melongokkan kepalanya ke segala arah. Sedari tadi ia belum menemukan Arjuna padahal ia ingin Arjuna melihatnya saat memamerkan busana nanti. “Kemana sih, Juna? Kok ngilang gitu aja?” gerutunya sambil mencoba menghubungi Arjuna. “Angkat dong, Jun!” serunya gemas saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh kekasihnya. “Kenapa sih kok mondar-mandir terus dari tadi kayak setrikaan?” seru suara di belakang Nadhine membuatnya tersentak dan menoleh. “Ini lho, Feb! Aku tadi kan ngajak Arjuna ke sini buat liat hasil desain aku. Aku bilang ke dia kalo bentar lagi aku mau memeragakan busana. Eh, dianya sekarang ngilang!” Seseorang yang disebut Feb itu mendekat. “Mungkin dia udah pulang kali. Si Juna itu kan sibuk banget.” “Ya sibuk sih sibuk. Tapi masa’ liat aku bentaran aja dia nggak sempet sih!?”
Arjuna memasuki rumah sembari bersenandung. Entah kenapa, pameran tadi begitu ia nikmati. Apakah karena gadis dekil tadi? Ah, pasti perempuan itu tidak suka jika disebut gadis dekil. "Tumben anak Mama pulang keliatan sumringah gitu? Habis menangin tender besar ya, Sayang?" Andini merangkul bahu Arjuna dari balik sofa tempat Arjuna duduk "Eh, Mama," Arjuna mencium tangan Mamanya. "Enggak kok, Ma. Arjuna nggak menangin tender besar. Arjuna cuma habis dari pameran. Kening Andini berkerut. "Pameran? Sejak kapan anak mama ini suka lihat pameran? Arjuna tertawa kecil. Sejak dulu, ia memang tak pernah mau mendatangi tempat-tempat pameran karena menurutnya itu semua membuang-buang waktu "Yah, tadi awalnya liat pameran busana jurusannya Nadhine. Tapi cuma bentar karena aku nggak ngerti apapun tentang fashion. Akhirnya aku keluar, terus liat di gedung sebelah ada pameran
Arjuna duduk di samping Mamanya dengan gelisah. Ia berkali-kali menatap jam yang melingkar di tangan kanannya dengan gusar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Mamanya yang menyadari putranya tidak bisa diam. “Nggak apa-apa, Ma!” Arjuna memaksakan senyumnya. Ia mengusap keringat yang turun di keningnya. “Perasaan AC mobilnya nggak mati. Kok kamu sampai keringetan gitu, Jun?” tanya Papanya yang menatap Arjuna dari spion mobil. “Nggak tau, Pa. Mungkin gara-gara jasnya, aku jadi agak gerah!” kilahnya. “Emm, atau jangan-jangan kamu gugup ya mau ketemu calon tunangan kamu? Iya kan?” goda Mamanya. “Ih, Mama nih apaan sih?” Arjuna membuang muka membuat Mamanya tersenyum. Sesampainya di tempat tujuan, Arjuna menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia benar-bena
Reni dan Arjuna saling bertatapan. Mereka sama-sama melongo dengan tatapan tak percaya.“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Andini menyadarkan keduanya.Reni dan Arjuna sama-sama membuang muka.Jadi dia! Batin keduanya.“Kita pernah ketemu di acara pameran lukisan.” jawab Arjuna saat bisa menguasai diri.“Kamu ngapain ke pameran lukisan?” tanya Wirawan dengan heran.“Kemarin itu lho, Pa. Waktu aku dateng ke acara pameran busana, aku main-main juga ke pameran lukisan. Dan ketemu sama.... Reni.” Arjuna memelankan suaranya saat menyebut nama Reni.“Wah, kebetulan banget ya! Syukurlah kalo kalian udah saling mengenal. Kita nggak perlu repot-repot memaksa kalian untuk berkenalan. Iya kan, Ndin?” seru Santi.“Iya.” Andini mengangguk. “Sekarang, mendingan kita biarkan mereka berdua dulu deh. Para orang tua jangan ngganggu!” serunya me
Jumat sore Arjuna masih terus disibukkan oleh pekerjaannya. Bahkan, ia sampai tidak sempat menikmati weekend minggu lalu. Dan kali ini ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa beristirahat sejenak.“Serius amat, Pak?” seru seseorang sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan Arjuna. Arjuna mendongak dan detik berikutnya ia tersenyum.“Eh, Aldo? Sejak kapan di situ? Sini, masuk!” ajaknya seraya berdiri.Seseorang yang dipanggil Aldo itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bernuansa putih gading itu. “Lagi sibuk? Ganggu gak nih?”“Sedikit, tapi nggak pa-pa kok. Emangnya ada apa? Tumben main ke sini?”Keduanya tertawa. Aldo menyodorkan sebuah tiket ke depan Arjuna.“Nih! Besok gue mau ngadain pameran di gedung kesenian. Elo dateng ya. Sekalian, buat hiburan biar elo nggak suntuk terus bapak arsitek!” serunya.Arjuna mengulum senyum kemudian mengambil tiket d
Arjuna berkali-kali menatap jam di tangannya. Ia mendecak kesal. “Sial! Kenapa bisa kesiangan sih!?” gerutunya sambil sesekali memukul stirnya. Ketika sampai di tempat yang tertulis di undangan, Arjuna segera memarkir mobilnya dan memasuki ruangan. “Selamat datang, Pak! Bisa ditunjukkan undangannya?” seru seorang perempuan dengan senyuman melekat di bibirnya. “Oh, ini Mbak!” Arjuna menyerahkan tiket yang sedari dipegangnya sampai hampir sobek. Perempuan di depannya tersenyum. “Silakan masuk, Bapak.” Ujarnya ramah. Arjuna segera memasuki gedung tersebut. Ia memandangi beberapa foto yang dipajang. Pandangannya terhenti saat melihat sosok yang dikenalnya. “Reni?” serunya. Si empunya nama menoleh dan menampakkan wajah yang tak kalah kaget dengan Arjuna. “Kamu? Kamu ngapain di sini?” tanyanya seraya mendekati Arjuna. “Mau kondangan!” ujar Arjuna kesal. “Ya mau liat pameran lah! Gimana sih?” Mera
Setelah mengikuti serangkaian acara dalam pameran fotografi, Arjuna mengajak Reni keluar dari gedung. “Kamu mau langsung pulang?” tanya Arjuna saat sudah berada di luar gedung. “Eng..” Reni menggaruk kepalanya. “Nggak tau. Mau pulang, ntar nggak ngapa-ngapain. Tapi kalo nggak pulang juga mau kemana?” Reni mengangkat bahu. Arjuna melihat jam di tangannya. Masih pukul empat sore. Masih terlalu sore untuk pulang ke rumah. Ia kembali melihat Reni yang memegangi perutnya. “Kenapa?” tanya Arjuna heran. “Aku... laper.” Bisik Reni sambil meringis. Arjuna tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Ya udah yuk, kita cari makan!” Arjuna langsung menggenggam tangan Reni dan menariknya. “Eh, aku bawa mobil sendiri!” seru Reni membuat langkah Arjuna terhenti. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu. “Dititipin ke Aldo aja. Nanti kita ambil di sini. Gimana?” tanyanya memberikan saran. “Emangnya nggak pa-pa? Takutnya ng
Hari sudah gelap saat Arjuna dan Reni pulang. Arjuna mengantar Reni ke gedung kesenian kemudian langsung pulang. Ketika sampai di rumah, Mamanya sedang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah. Ketika mendengar suara pintu dibuka, ia mendongak.“Kamu baru pulang? Dari mana aja?” tanya Mamanya seraya menutup majalah yang sedang ia baca.“Tadi liat pameran foto di gedung kesenian.” Arjuna menghempaskan tubuhnya di samping Mamanya. “Terus ketemu sama Reni.”Mata Andini membesar. “Kamu ketemu sama Reni? Terus-terus?”Arjuna menghela napas. “Ya aku ajak dia makan. Udah itu doang!”“Ya ampun, kamu ini belum-belum kok udah ngambil langkah pertama! Mama jadi seneng!”Arjuna memandang Mamanya dengan wajah penasaran. “Langkah pertama? Langkah pertama apa maksud Mama?”Andini mendengus. “Ya itu, kamu udah ngajakin Reni dinner.” Andini tersenyum leba