Share

Gelang Emas Untuk Emak
Gelang Emas Untuk Emak
Penulis: Safiiaa

Bab 1

"Farhan, nanti antar Emak kondangan ke rumah Bu Wito ya?" pinta Jum pada Farhan, anak tunggalnya.

"Iya Mak," jawab Farhan lembut.

Hati Farhan mendadak ngilu ketika teringat gelang kesayangan Emak yang biasa dipakai untuk kondangan harus dijual tahun lalu untuk biaya berobat sang bapak. Dalam hatinya, Farhan bertekad harus bisa mengumpulkan uang untuk bisa mengganti gelang Emak yang sudah dijual.

Bergegas Farhan masuk kedalam kamarnya, melihat jumlah uang yang ada dalam kaleng biskuit. Dihitungnya dengan teliti lembaran kertas dalam kaleng tersebut. Ada satu lembar kertas merah, tiga lembar kertas warna biru, lima lembar kertas warna cokelat dan dua puluh lembar kertas warna abu-abu. Dijumlahnya kertas-kertas tersebut, hanya ada sekitar tiga ratus ribu lebih. Masih kurang banyak untuk bisa membeli sebuah gelang emas.

Ia simpan kembali kertas-kertas tersebut berharap esok hari ia bisa mengumpulkan lebih banyak uang lagi. Farhan yakin akan ada jalan untuk membahagiakan Emak tercintanya. Meskipun ia hanya seorang kuli bangunan lulusan SMK yang tak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan lebih lanjut. Namun, ia tak putus asa. Semangat untuk membahagiakan emaknya selalu berkobar dalam hati.

Bagi Farhan pendidikan itu penting, tapi pantang baginya menyusahkan orang tuanya yang hanya seorang janda. Beberapa kali Ia coba mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur beasiswa, namun ia belum berhasil. Mungkin belum rejekinya.

Keinginannya untuk kuliah harus Ia tunda dahulu agar ia bisa fokus bekerja. Sedikit demi sedikit mengumpulkan rupiah, ia yakin bisa mewujudkan impiannya.

"Sudah siap Mak?" tanya Farhan kepada Jum yang sedang memasang bros bunga di kerudung instannya.

"Iya sebentar lagi, kamu siapin dulu motornya, ini emak sudah mau selesai."

"Sudah disiapin juga Mak motornya, tinggal naik aja," jawab Farhan didepan pintu kamar sang emak sambil memandang takjub kecantikan emaknya.

"Sudah cantik Mak, Emak kalo pake kerudung tambah kelihatan muda," ledek Farhan.

"Muda gundulmu wong umur emak sudah kepala empat kok! Sudah tua ini!" jawab Jum sambil mencubit gemas pipi Farhan.

"Yowis ayo berangkat, keburu malam ini! Nanti kalau kemalaman kasian kamu besok pagi masih harus kerja," ajak Jum sambil naik di boncengan motor butut Farhan.

Dari jauh Farhan melihat ibu - ibu yang sedang menikmati sajian, sedang berbincang sambil menggerak-gerakkan tangannya. Gemerincing suara gelang emas membuat hati Farhan ngilu. Perasaan bersalah menghantui hari-harinya. Sebagai seorang anak laki-laki, ia merasa bertanggung jawab membiayai kehidupan keluarganya. Namun apalah daya, saat itu ia masih duduk dibangku SMK, hanya bisa bekerja paruh waktu untuk membantu biaya hidup bertiga bersama Bapaknya yang sedang sakit.

Jum tidak pernah menuntut agar gelangnya bisa kembali, ia ikhlas mengorbankan harta benda miliknya untuk suami tercintanya. Keikhlasan hati Jum yang membuat Farhan semakin berkeinginan untuk membahagiakan Emaknya.

Juminah adalah janda satu anak. Suaminya meninggal dua tahun lalu karena serangan jantung. Satu tahun menderita penyakit jantung membuat kondisi fisiknya tidak bisa melakukan pekerjaan berat, membuat Jum dan Farhan harus bekerja sama mengais rejeki agar asap dapur tetap mengepul. Besarnya cinta untuk suaminya membuat Jum (nama panggilannya) rela menjanda.  Berharap kelak di akhirat bisa berjumpa kembali dengan suaminya. Sekuat tenaga Jum bekerja keras untuk membesarkan anak semata wayangnya.

Jum bekerja sebagai buruh cuci dan setrika. Hanya bekerja ketika ada yang memintanya mencuci atau mensetrika pakaian. Tak jarang para tetangga memintanya membantu ketika sedang ada hajatan. Penghasilannya tidak banyak, namun cukup untuk biaya hidup berdua dengan Farhan kala masih sekolah dulu. Kini Farhan sudah bekerja, sudah bisa membantu keuangan keluarga. Sehingga Jum tidak terlalu bergantung kepada para tetangga yang membutuhkan jasanya.

Beban hidupnya semakin ringan ketika Farhan sudah lulus sekolah. Tak mau memberatkan pundak sang emak, ketika selesai ujian nasional Farhan mengikuti jejak sang ayah sebagai kuli bangunan. Tidak ada kata malu dalam kamus Farhan, yang penting halal dan berkah.

Selesai menikmati hidangan, ibu - ibu tadi pamit pulang. Membiarkan Jum duduk sendiri, hanya menyapa sekedarnya. Jum sadar, ia hanya orang miskin. Tak pantas berjalan bersisihan bersama mereka. Hatinya sudah kebal dari rasa minder. Baginya yang penting ia makan dari hasil keringatnya sendiri, bukan meminta belas kasihan tetangga.

Tampak dari jauh Farhan sudah memberikan kode agar Jum segera undur diri. Menyadari hal itu, Jum segera berdiri, berpamitan dengan sang empunya hajat.

Jum menghampiri Farhan dengan senyum ramahnya, menyadari ada sesuatu yang sedang anaknya rasakan. Tanpa basa-basi Farhan memberondongnya beberapa pertanyaan.

"Mak ibu-ibu tadi kenapa sih ngobrol aja kok tangannya pake digerak-gerakin? Ga bisa gitu ya biasa aja tangannya?" ucap Farhan menahan kesal.

"Ya ga apa-apa, ngapain kamu pikirin! Mereka cuma bangga sama apa yang mereka punya, sudahlah dilihat saja, jangan dimasukin hati!"

"Ya tapi kan Farhan lihatnya risih Mak! Keliahatan banget kalo mau pamer!"

"Itu 'kan pemikiranmu Le,"

"Emak ga kepingin gitu, kayak mereka?" ledek Farhan.

"Emak ini wong susah, bisa makan aja syukur. Ada ya dipakai, ga ada ya sudah ndak usah maksa," jawab Jum lembut.

Obrolan mereka terhenti kala motor sudah sampai di depan rumah. Jum bergegas turun untuk membukakan pintu rumah agar motor Farhan bisa segera masuk.

Wajah Farhan tampak segar karena guyuran air wudhu. Kesibukannya tak lantas membuatnya melupakan kewajibannya terhadap sang Pencipta. Dalam doanya ada banyak air mata yang ia tumpahkan. Menyampaikan begitu banyak permintaan yang tanpa campur tangan Allah rasanya tak mungkin tercapai.

"Beri kemudahan Ya Allah, Aamin." usapan lembut di wajahnya mengakhiri isakan lirih dari bibir Farhan.

Bersambung šŸŒ·šŸŒ·šŸŒ·

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status