Share

Bab 5

"Tambah cantik aja Mak," ledek Mbak Narti, tetangga depan rumah.

"Bisa aja kamu Ti."

"Baru ya gelangnya? Waahh diem - diem Emak banyak uang ya, bisa beli gelang bagus gitu," puji Narti sambil menarik tangan Emak, melihat dengan teliti gelang dipergelangan tangan Emak. Urung melanjutkan kerjaannya, menyapu halaman.

"Walah ini dibelikan sama si Farhan, tabungannya selama kerja di proyek sama nguli dipasar. Diam - diam aku dibelikan ini. Ya tak terima aja, biar seneng atinya," terang Emak.

"Ya nggak apa - apa to Mak, buat apa juga uangnya kalo bukan buat Emak. Mumpung belum punya istri, uangnya buat Emaknya. Kalo sudah menikah ya beda lagi."

"Iya juga sih. Eh kamu mau kemana pagi - pagi gini?"

"Beli telur Mak, buat sarapan anak - anak di rumah."

"Yowes ati -ati," jawab Emak sambil melanjutkan pekerjaannya.

Dibalik jendela Farhan tersenyum melihat mereka berdua. Sepeninggal Bapak, hidupnya pas - pasan. Boro - boro buat beli gelang, buat makan aja susah. Kini roda sedang berputar, dan akan mencapai titik tertingginya. Sabar. Butuh waktu dan usaha. Farhan takkan menyerah, batinnya.

"Kenapa senyum - senyum sendiri gitu Le?"

"Hehehe enggak Mak, Emak tambah cantik," ledek Farhan.

"Gelangnya ya? Makasih ya?" sahut Emak.

"Orangnya lah. Pake gelang makin cantik," ucap Farhan sambil menjawil dagu Emak.

"Opo to Le Tole," sahut Emak malu - malu.

"Wes ndang berangkat sana, sudah siang ini!"

"Baik Ibunda Ratu," ledek Farhan seraya meraih tangan Emak. Dicium takdzim tangan yang mulai keriput itu. Berlalu dari hadapan Emak, menaiki motor kesayangannya. Garis melengkung terbit dibibir Emak. Sukses ya Nak, lirih Emak.

***

"Sini Bu, biar saya yang bawa belanjaannya. Ini berat, nanti tangan Ibu sakit." Pintanya seraya meraih kantong plastik besar dari tangan Ibu. Sang Ibu tersenyum, membiarkan wanita disebelahnya meraih kantong dari genggamannya. Berlalu dari toko tempat Farhan mengais rejeki, menaiki kendaraan roda empat yang terparkir di ujung jalan.

Dari jauh Farhan melihat dua wanita tadi. Anak perempuan sedang menemani ibunya belanja ke pasar, tebak Farhan. Bagaimana dengan Emak dirumah? Apa - apa harus dikerjakannya sendiri, ia sibuk kerja. Tak ada yang menemani kalau Emak sedang membutuhkan sesuatu. Ah Emak. Wanita tangguh, tanpa pernah mengeluh kepada Farhan.

"Hei ngelamun aja!" teriakan Mas Arif menyadarkan Farhan dari lamunannya.

"Nggak ngelamun Mas, cuma lihatin orang lewat aja," sahut Farhan, bohong. Meninggalkan Arif yang baru saja duduk, kembali bekerja.

Jam tepat di angka lima. Saatnya juragan memberikan hak mereka setelah seharian bekerja. Ya, gajinya diberikan harian. Farhan membawa pulang selembar lima puluh ribuan. Terbersit dalam pikirannya untuk mengajak Emak jalan - jalan ke alun - alun kota. Tidak perlu mewah, yang penting bisa mengajak Emak keluar berdua. Makan di warung misalnya.

Farhan memasukkan gajinya ke dalam dompet, menutup kembali lalu dimasukkan kesaku celananya. Bersiap untuk pulang.

"Waalaikumsalam." Emak menjawab salam yang Farhan ucapkan.

Diciumnya tangan Emak takdzim. Kebiasaan ketika ia akan berangkat atau pulang kerja.

"Wes ndang cuci kaki, terus makan. Itu sudah Emak siapkan diatas meja," ucap Emak seraya menunjuk ke arah meja makan. Meja usang yang kakinya sudah dimakan rayap, namun masih kokoh berdiri karena tangan kreatif Farhan. Ia sambung kaki meja itu dengan kayu yang kokoh.

"Jangan makan dulu Mak! Farhan mau ajak Emak jalan - jalan. Tunggu sebentar ya Mak, Farhan mau mandi dulu," potong Farhan.

"Kamu punya uang apa Le? Lah kalau makan diluar ini yang makan masakan Emak siapa? Mubadzir dong kalau enggak dimakan!"

"Kasih Mbak Narti aja Mak!" jawab Farhan. Segera berlalu pergi. Membersihkan diri lalu bersiap.

***

Sepanjang perjalanan Emak tak henti berkisah. Kisahnya bersama suaminya dulu. Mengenang masa setelah menikah. Emak dan Bapak menikah karena dijodohkan. Tidak kenal sama sekali. Hanya tahu wajah masing - masing melalui foto. Sama - sama belum pernah pacaran membuat Emak dan Bapak saling melengkapi kekurangan masing - masing.

Bukan tanpa kekurangan, hanya pandai menutupi kekurangan diri dengan kelebihan pasangannya membuat rumah tangganya terlihat adem ayem. Karena hidup itu sawang sinawang. Apa yang mereka lihat belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Usia Bapak yang lebih matang membuatnya pandai mengendalikan ego. Membuat Emak nyaman berada didekatnya.

"Emak mau makan apa? Ini ada mie ayam, ada nasi goreng sama soto ayam," tawar Farhan setelah memarkirkan motornya. Mereka berada dipusat jajan di tengah kota.

"Terserah kamu aja Le, Emak ngikut aja," jawab Emak.

"Soto ayam aja ya Mak? Hawanya dingin, makan soto panas pasti cocok." Terang Farhan. Menarik kursi untuk duduk Emak. Lalu beralih ke Abang penjual, memesan dua mangkuk soto dan dua gelas teh manis hangat.

Pesanan datang. Diberikannya seporsi untuk Emak, lalu menggeser seporsi lagi untuknya. Ditambahkannya jeruk nipis dan kecap membuat aroma soto menguar tajam dihidungnya. Tak lupa menambahkan sesendok sambel membuat lidahnya semakin tak sabar untuk menikmati soto ayam dihadapannya.

Sesekali bolehlah mengapresiasi pencapaian diri. Gelang emas untuk Emak sudah terbeli, Farhan berhasil meraih satu impiannya. Farhan masih harus meraih impian lainnya. Sukses di dunia dan juga sukses diakhirat.

Melihat banyak pedagang disekeliling membuat Farhan berandai - andai. Bagaimana jika ia beralih profesi, menjadi pedagang. Pedagang gorengan misalnya? Pedagang apapun itu membutuhkan modal, yang jelas tidak sedikit, dan Farhan masih harus bersabar mengumpulkan rupiah kembali. Ia tidak mau membuka usaha dengan modal hutang.

"Mak lihat deh mereka! Kayaknya enak ya Mak kalau jadi pedagang?" ucap Farhan sambil menunjuk sekeliling.

"Kamu kepengen jadi pedagang?"

"Iya Mak. Apa iya harus kerja ikut orang terus? Bosen Mak! Kayaknya enak kalau punya usaha sendiri," tutur Farhan.

"Boleh boleh, mau jualan apa Le?" tanya Emak setelah mengambil tisu, mengelap sisa makanan dibibirnya.

"Belum tahu Mak, belum kepikiran. Masih kepengen aja. Modal juga belum ada Mak! Tunggu sebulan lagi biar terkumpul dulu uangnya."

"Bagus Le, nabung dulu aja toh kamu juga nggak nganggur kan sekarang?" jawab Emak.

Setelah selesai berbincang, Farhan segera membayar pesanannya. Mengajak Emak untuk meneruskan perjalanan. Akan kemana lagi setelah ini. Namun Emak menolak, mengajak pulang saja. Farhan menurut.

***

Matanya menatap langit - langit kamar. Teringat beberapa kejadian lalu, gadis cantik itu. Dengan siapapun ia menikah nanti, Farhan bertekad harus sukses lebih dulu. Bukan memiliki rumah megah dan mobil mewah, sukses menurutnya adalah ketika ia bisa berdiri diatas kaki sendiri. Tidak menggantungkan hidup pada orang lain. Artinya ia harus memiliki usaha sendiri.

Saat ini memang belum waktunya, saat ini waktunya ia belajar, belajar mengambil ilmu dari setiap kejadian apapun dihadapannya. Termasuk ilmu dagang. Strategi pemasaran dan bagaimana melayani pelanggan agar besok kembali lagi. Ia memang tidak sekolah khusus ilmu perdagangan, tapi ia terjun langsung melayani pelanggan. Dan disitu terdapat banyak ilmu bagi mereka yang mau berfikir.

Mulai besok, diam - diam ia harus memperhatikan dan mengambil pelajaran ketika juragannya melayani pelanggan. Usaha bisa ditiru tapi rejeki datang dari Allah. Ia yakin dengan bekerja keras ia pasti bisa sukses. Mata itu akhirnya terpejam. Terlelap dikeheningan malam. Mengawali kesuksesan melalui mimpi.

Bersambung🌷🌷🌷

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status