Langit sore menjingga pucat saat tiga sosok berjalan melintasi jalur sempit di antara bukit-bukit kecil yang mulai gersang. Udara berubah; tidak lagi segar seperti di pinggir hutan Aranira, melainkan lebih kering, berdebu, dan membawa bau tanah terbakar. Daerah ini adalah perbatasan menuju wilayah utara — arah Kota Maruta.
Tirta mengibas debu dari wajahnya. "Kita udah jalan berapa hari, sih? Rasanya punggungku udah menua sepuluh tahun."
Ayu, yang berjalan di depan, tak menjawab. Ia menatap horison di kejauhan, tempat bayang-bayang tembok kota mulai terlihat samar.
Rakasura berjalan pelan di belakang mereka, satu tangannya menyentuh bagian dada tempat fragmen-fragmen disimpan. Ada denyut samar di sana. Energi yang semakin kuat, semakin resah, seolah tahu mereka mendekati sesuatu.
Kota Maruta saat pagi tidak seperti kota lain. Kabut tipis menggantung di udara bahkan setelah matahari naik. Pasar mulai hidup dengan suara besi bertemu besi, bau roti hangat, dan teriakan pedagang yang bersaing dengan denting palu pandai besi.Rakasura, Ayu, dan Tirta berjalan menyusuri jalur utama pasar, mata mereka waspada. Di antara keramaian, mereka mencari petunjuk yang hanya bisa dilihat jika tahu apa yang dicari: lambang tersembunyi, kata-kata berkode, bisikan tentang lorong-lorong yang tidak tercantum dalam peta."Pasar ini padat tapi... terlalu rapi," gumam Ayu.Tirta melirik sekeliling. "Kau yakin ini bukan karena kota ini memang disiplin? Mungkin rajanya perfeksionis.""Bukan. Lebih seperti... ada sesuatu yang disembunyikan."
Pagi itu, kabut menggantung rendah di atas Kota Maruta. Rakasura, Ayu, dan Tirta duduk di sudut belakang sebuah kedai kecil, jauh dari jalan utama. Suara pasar terdengar sayup dari luar: langkah tergesa, tawar-menawar, dan derit roda gerobak. Tapi di dalam ruangan, semuanya terasa tenang. Terlalu tenang.Di atas meja kayu kasar, terbentang serpihan logam yang mereka ambil dari lorong bawah tanah. Saat disinari cahaya pagi, guratan-guratannya menampilkan pola samar: bukan sekadar ukiran, tapi garis-garis yang perlahan membentuk sebuah peta.Ayu menyipitkan mata. "Ini bukan peta kota. Tapi... semacam jalur."Tirta memiringkan kepalanya. "Kalau ini jalur rahasia, kenapa bisa tergambar di pecahan gelang? Apa peta ini muncul karena fragmen lain bereaksi?"Rakasura mengangguk
Kabut masih menyelimuti lembah ketika langkah mereka menyusuri jalan berbatu yang perlahan menurun. Matahari hanya menembus samar-samar melalui celah tebing tinggi di kedua sisi, membuat seluruh tempat tampak seperti berada dalam senja abadi. Setelah percakapan penuh ketegangan dengan Purnama, kini Rakasura, Ayu, dan Tirta melanjutkan perjalanan mereka menuju bagian terdalam dari Lembah Kabut."Kau yakin tempat ini ada hubungannya dengan fragmen ketiga?" tanya Ayu, matanya tak lepas dari belukar yang mereka lewati."Ya. Aku bisa merasakannya," jawab Rakasura, suaranya rendah. Ia membuka telapak tangan kirinya, tempat serpihan logam — dua bagian gelang yang telah mereka temukan — berdenyut lembut dengan cahaya kebiruan.
Kabut masih menyelimuti lembah saat mereka keluar dari lorong batu. Langit mulai berubah warna, mengguratkan semburat jingga di ujung cakrawala. Malam nyaris usai, tapi udara tetap dingin. Tirta menggigil pelan sambil merapatkan jubahnya."Kita harus cari tempat berteduh," gumamnya. "Aku tidak yakin kabut ini cuma kabut."Ayu menoleh, matanya menyapu lembah yang tampak asing meski mereka baru saja melewatinya beberapa jam lalu. Tanaman menjalar di dinding-dinding tebing kini tampak layu, dan tanah di sekitar kaki mereka terasa lembek seperti baru disiram hujan.Rakasura berdiri diam di tempatnya, mata terpejam. Fragmen ketiga yang baru saja ia peroleh kini menggantung di lehernya, disatukan dengan dua lainnya oleh tali kulit sederhana."Airnya mengalir ke tempat yang tidak semestinya," ucapnya pelan. "Ada sesuatu yang mengubah aliran unsur di lembah ini."Tirta mengangkat alis. "Maksudmu... ada yang mengacaukan energi alam?"Rakasura mengang
Udara di sisi lain lembah terasa berbeda. Lebih kering, lebih sunyi, seolah semua suara tertelan oleh tanah. Rakasura, Ayu, dan Tirta melangkah perlahan melewati jalur batu tua yang tampaknya belum dipijak manusia selama puluhan tahun.Dedaunan di kanan-kiri jalur telah mengering, namun tidak gugur. Mereka menggantung di ranting seperti ditahan oleh waktu. Setiap langkah menimbulkan gema kecil, meskipun tanahnya tak keras. Keheningan terasa pekat."Tempat ini seperti menahan napas," bisik Ayu.Rakasura mengangguk. "Kita semakin dekat. Fragmen keempat seharusnya berada di pusat lembah terdalam. Tapi... aku rasa itu bukan hanya sekadar tempat persembunyian.""Maksudmu?" tanya Tirta."Tempat ini menyimpan sesuatu yang dikunci. B
Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya. Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas. “Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya. “Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu. “Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura. “Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibu
Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha
Udara di sisi lain lembah terasa berbeda. Lebih kering, lebih sunyi, seolah semua suara tertelan oleh tanah. Rakasura, Ayu, dan Tirta melangkah perlahan melewati jalur batu tua yang tampaknya belum dipijak manusia selama puluhan tahun.Dedaunan di kanan-kiri jalur telah mengering, namun tidak gugur. Mereka menggantung di ranting seperti ditahan oleh waktu. Setiap langkah menimbulkan gema kecil, meskipun tanahnya tak keras. Keheningan terasa pekat."Tempat ini seperti menahan napas," bisik Ayu.Rakasura mengangguk. "Kita semakin dekat. Fragmen keempat seharusnya berada di pusat lembah terdalam. Tapi... aku rasa itu bukan hanya sekadar tempat persembunyian.""Maksudmu?" tanya Tirta."Tempat ini menyimpan sesuatu yang dikunci. B
Kabut masih menyelimuti lembah saat mereka keluar dari lorong batu. Langit mulai berubah warna, mengguratkan semburat jingga di ujung cakrawala. Malam nyaris usai, tapi udara tetap dingin. Tirta menggigil pelan sambil merapatkan jubahnya."Kita harus cari tempat berteduh," gumamnya. "Aku tidak yakin kabut ini cuma kabut."Ayu menoleh, matanya menyapu lembah yang tampak asing meski mereka baru saja melewatinya beberapa jam lalu. Tanaman menjalar di dinding-dinding tebing kini tampak layu, dan tanah di sekitar kaki mereka terasa lembek seperti baru disiram hujan.Rakasura berdiri diam di tempatnya, mata terpejam. Fragmen ketiga yang baru saja ia peroleh kini menggantung di lehernya, disatukan dengan dua lainnya oleh tali kulit sederhana."Airnya mengalir ke tempat yang tidak semestinya," ucapnya pelan. "Ada sesuatu yang mengubah aliran unsur di lembah ini."Tirta mengangkat alis. "Maksudmu... ada yang mengacaukan energi alam?"Rakasura mengang
Kabut masih menyelimuti lembah ketika langkah mereka menyusuri jalan berbatu yang perlahan menurun. Matahari hanya menembus samar-samar melalui celah tebing tinggi di kedua sisi, membuat seluruh tempat tampak seperti berada dalam senja abadi. Setelah percakapan penuh ketegangan dengan Purnama, kini Rakasura, Ayu, dan Tirta melanjutkan perjalanan mereka menuju bagian terdalam dari Lembah Kabut."Kau yakin tempat ini ada hubungannya dengan fragmen ketiga?" tanya Ayu, matanya tak lepas dari belukar yang mereka lewati."Ya. Aku bisa merasakannya," jawab Rakasura, suaranya rendah. Ia membuka telapak tangan kirinya, tempat serpihan logam — dua bagian gelang yang telah mereka temukan — berdenyut lembut dengan cahaya kebiruan.
Pagi itu, kabut menggantung rendah di atas Kota Maruta. Rakasura, Ayu, dan Tirta duduk di sudut belakang sebuah kedai kecil, jauh dari jalan utama. Suara pasar terdengar sayup dari luar: langkah tergesa, tawar-menawar, dan derit roda gerobak. Tapi di dalam ruangan, semuanya terasa tenang. Terlalu tenang.Di atas meja kayu kasar, terbentang serpihan logam yang mereka ambil dari lorong bawah tanah. Saat disinari cahaya pagi, guratan-guratannya menampilkan pola samar: bukan sekadar ukiran, tapi garis-garis yang perlahan membentuk sebuah peta.Ayu menyipitkan mata. "Ini bukan peta kota. Tapi... semacam jalur."Tirta memiringkan kepalanya. "Kalau ini jalur rahasia, kenapa bisa tergambar di pecahan gelang? Apa peta ini muncul karena fragmen lain bereaksi?"Rakasura mengangguk
Kota Maruta saat pagi tidak seperti kota lain. Kabut tipis menggantung di udara bahkan setelah matahari naik. Pasar mulai hidup dengan suara besi bertemu besi, bau roti hangat, dan teriakan pedagang yang bersaing dengan denting palu pandai besi.Rakasura, Ayu, dan Tirta berjalan menyusuri jalur utama pasar, mata mereka waspada. Di antara keramaian, mereka mencari petunjuk yang hanya bisa dilihat jika tahu apa yang dicari: lambang tersembunyi, kata-kata berkode, bisikan tentang lorong-lorong yang tidak tercantum dalam peta."Pasar ini padat tapi... terlalu rapi," gumam Ayu.Tirta melirik sekeliling. "Kau yakin ini bukan karena kota ini memang disiplin? Mungkin rajanya perfeksionis.""Bukan. Lebih seperti... ada sesuatu yang disembunyikan."
Langit sore menjingga pucat saat tiga sosok berjalan melintasi jalur sempit di antara bukit-bukit kecil yang mulai gersang. Udara berubah; tidak lagi segar seperti di pinggir hutan Aranira, melainkan lebih kering, berdebu, dan membawa bau tanah terbakar. Daerah ini adalah perbatasan menuju wilayah utara — arah Kota Maruta.Tirta mengibas debu dari wajahnya. "Kita udah jalan berapa hari, sih? Rasanya punggungku udah menua sepuluh tahun."Ayu, yang berjalan di depan, tak menjawab. Ia menatap horison di kejauhan, tempat bayang-bayang tembok kota mulai terlihat samar.Rakasura berjalan pelan di belakang mereka, satu tangannya menyentuh bagian dada tempat fragmen-fragmen disimpan. Ada denyut samar di sana. Energi yang semakin kuat, semakin resah, seolah tahu mereka mendekati sesuatu.
Langkah kaki Rakasura bergema saat ia menaiki lempeng logam besar yang tergeletak di tengah ruang bawah tanah. Setiap pijakan terasa berat, bukan karena logam itu menolak, tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai bergetar. Seolah-olah fragmen yang tersembunyi di bawah permukaan lempeng itu... mengenalinya.Bayangan melingkar yang berdiri di belakang Rasim menyusut pelan, bentuknya bergelombang, seperti asap pekat yang ditarik mundur oleh kekuatan yang lebih dalam. Tapi mata makhluk itu tetap menyala samar, menyisakan tatapan yang tidak pernah benar-benar pergi.“Rasim,” panggil Rakasura pelan, “Kau bisa dengar aku?”Pemuda itu berdiri kaku di atas lingkaran. Matanya terbuka, tapi tatapannya kosong. Mulutnya sedikit terbuka, napas teratur, namun... ia tidak hadir. Seperti tubuh yang ditingga
Malam di perkemahan terasa lebih hangat dari biasanya. Api unggun menjilat udara dengan tenang, mengusir hawa dingin yang turun dari pegunungan. Tirta mengunyah makanan dengan lahap, duduk di antara para pedagang yang mulai kembali tenang setelah insiden siang tadi. Suara obrolan rendah, gelak tawa kecil, dan aroma teh hangat menciptakan suasana yang menipu: seolah dunia tidak sedang berada di ambang kekacauan.Rakasura duduk agak jauh, di sisi luar lingkaran cahaya api. Ia menatap ke kegelapan lembah yang terbentang tak jauh dari kemah. Di balik ketenangan itu, matanya tetap tajam, menyisir bayangan di antara pepohonan dan batu besar.“Kau masih merasa sesuatu mengawasi kita?” Ayu datang dan duduk di sampingnya. Suaranya rendah, tapi cukup jelas.Rakasura tidak langsung menjawab. Ia menoleh sedikit ke a
Pagi di luar Desa Kemiripan menjanjikan udara segar dan langit yang lebih cerah dari biasanya. Embun masih menggantung di ujung rumput saat langkah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta mengayun meninggalkan batas desa. Tak ada perayaan, tak ada arak-arakan, tapi ketiganya merasa telah mengukir sesuatu yang lebih penting daripada tepuk tangan: kedamaian yang kembali.Jalan kecil yang mereka pilih membelah dua perbukitan yang menjulur panjang seperti lengan raksasa yang melindungi dataran rendah. Menurut peta kasar yang mereka peroleh dari Denatra, di ujung jalan ini ada sebuah celah sempit di antara dua gunung kembar. Celah itu dikenal oleh orang-orang setempat sebagai Lorong Wesi, tempat banyak kafilah dan peziarah melewati jalur dagang ke utara.“Jadi... jalur kita berikutnya