Share

Bab 89

Author: Zidan Fadil
last update Last Updated: 2025-07-27 19:44:37

Langit di atas mereka bukan lagi kelabu. Setelah keluar dari ruang gema, ketiganya disambut langit jingga yang berpendar, seolah senja tengah bersenandung di ufuk timur. Udara masih dingin, namun angin yang melintas kini membawa wewangian samar dari rerumputan dan tanah basah.

Tirta mendesah panjang. "Rasanya kayak keluar dari mimpi yang nggak bisa dijelasin."

Ayu menengadah, memejamkan mata sejenak. "Mimpi yang rasanya nyata... atau kenyataan yang terasa seperti mimpi."

Rakasura tidak berkata apa-apa. Ia masih memikirkan gema terakhir yang dilepaskan. Jubah tipis yang kini telah menyatu dengan gelang di tangannya seolah membuat langkahnya lebih ringan, tapi pikirannya justru lebih berat.

Mereka menyusuri jalan menurun yang membelah lembah. Kabut mulai mengendur, tapi belum sepenuhnya menghilang. Di kejauhan, suara burung-burung malam mulai terdengar, nyaris seperti balasan atas lagu yang barusan mereka lewati.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah padang rumput kecil yang diapit d
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Gelang Langit   Bab 90

    Pagi itu tidak cerah, namun juga tidak kelam. Langit menggantung dengan awan tipis berlapis-lapis, seperti kelambu raksasa yang menutupi dunia. Embun belum kering ketika langkah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta menginjak dedaunan hutan di tepi Lembah Sunyi. Di belakang mereka, suara gema sudah tak terdengar, namun keheningan yang mereka bawa masih terasa."Kita harus kembali ke jalur utama," ujar Rakasura sambil menatap jalur sempit yang membelah semak dan batang-batang tua.Tirta mengangguk lesu, matanya masih sering menoleh ke belakang. “Seolah... suara itu belum sepenuhnya pergi dari kepalaku.”Ayu berjalan paling depan. Langkahnya ringan tapi mantap. Ia tidak berkata banyak sejak meninggalkan sumur gema, namun sesekali jari-jarinya menyentuh lengan, seakan ingin memastikan dirinya masih nyata. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah—bukan karena seruling itu, tapi karena ia mendengar sesuatu yang tak semua orang bisa dengar: dirinya sendiri.

  • Gelang Langit   Bab 89

    Langit di atas mereka bukan lagi kelabu. Setelah keluar dari ruang gema, ketiganya disambut langit jingga yang berpendar, seolah senja tengah bersenandung di ufuk timur. Udara masih dingin, namun angin yang melintas kini membawa wewangian samar dari rerumputan dan tanah basah.Tirta mendesah panjang. "Rasanya kayak keluar dari mimpi yang nggak bisa dijelasin."Ayu menengadah, memejamkan mata sejenak. "Mimpi yang rasanya nyata... atau kenyataan yang terasa seperti mimpi."Rakasura tidak berkata apa-apa. Ia masih memikirkan gema terakhir yang dilepaskan. Jubah tipis yang kini telah menyatu dengan gelang di tangannya seolah membuat langkahnya lebih ringan, tapi pikirannya justru lebih berat.Mereka menyusuri jalan menurun yang membelah lembah. Kabut mulai mengendur, tapi belum sepenuhnya menghilang. Di kejauhan, suara burung-burung malam mulai terdengar, nyaris seperti balasan atas lagu yang barusan mereka lewati.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah padang rumput kecil yang diapit d

  • Gelang Langit   Bab 88

    Suara dari seruling itu bukan ledakan, bukan juga nyanyian. Ia datang seperti bisikan yang merayap di balik tulang, melewati batas indera biasa. Sebuah nada tunggal, panjang, menggema di dalam dada, bukan di telinga. Rakasura memejamkan mata, merasakan dunia di sekitarnya meluruh jadi gelombang sunyi yang beriak.Ayu dan Tirta tetap berdiri, meski lutut mereka sempat goyah. Suara dari seruling itu bukan sekadar bunyi. Ia seperti membuka sesuatu di dalam jiwa mereka, sesuatu yang telah lama tidur, menunggu panggilan."Kau dengar itu?" bisik Tirta, suaranya gemetar. "Itu... suara langit?"Ayu tak menjawab. Matanya terpaku pada Rakasura yang masih berdiri dengan seruling di tangan. Seruling itu kini retak, perlahan hancur menjadi debu cahaya perak dan lenyap ditiup angin yang tak terasa.Namun gema nadanya tetap tersisa, berputar-putar di udara. Dan dari tengah kabut, sesuatu mulai muncul.Siluet.Sebuah bayangan berjalan mendekat. Tingginya ta

  • Gelang Langit   Bab 87

    Kabut menggantung tebal di antara lereng-lereng batu. Cahaya matahari tersaring menjadi kelabu pucat, dan udara membawa bau tanah lembap serta suara-suara samar yang tidak berasal dari makhluk hidup mana pun.Rakasura berhenti di sebuah ceruk, matanya menyipit menatap celah tipis di antara batu yang berkilau lembut."Apa ini... gua?" tanya Tirta pelan."Bukan gua," jawab Ayu sambil meraba dinding batu. "Lebih seperti... ruang gema yang tumbuh sendiri. Seperti gema dari langkah kita, dari napas kita, membentuk ruang ini dari waktu ke waktu."Rakasura mengangguk. Ia bisa merasakannya juga. Ruang ini bukan dibangun. Ia lahir dari resonansi. Gema-gema yang terlantar menemukan tempat untuk bersarang, dan lambat laun membentuk rongga untuk bertahan.Mereka melangkah masuk. Semakin dalam, semakin aneh dunia di sekeliling mereka. Cahaya tak datang dari atas, tapi dari bawah—dari genangan air setipis kulit di lantai yang memantulkan cahaya biru pucat.

  • Gelang Langit   Bab 86

    Perjalanan menuju Batu Pemantul dimulai saat fajar masih bersembunyi di balik garis bukit. Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap meski beban di dadanya makin berat. Tirta dan Ayu mengikuti di belakang, mata mereka masih menyimpan sisa keheranan dan kegelisahan dari apa yang mereka alami di sumur gema.Kabut pagi menyelimuti jalur sempit yang membelah hutan dataran tinggi. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti penjaga bisu, dan suara burung-burung pun terdengar aneh—seolah dipantulkan kembali oleh udara itu sendiri. Setiap langkah terasa berulang, setiap suara terasa seperti bergema dua kali."Ini bukan pantulan biasa," gumam Ayu. "Suara kita... seperti dipelintir sebelum kembali."Rakasura mengangguk. "Batu Pemantul bukan sekadar tempat. Ia cermin bagi suara batin, bukan suara mulut. Semakin dekat kita, semakin gema itu akan memantulkan sisi yang kita sembunyikan."Tirta meneguk ludah. "Berarti... kita bisa dengar pikiran satu sama lain?"

  • Gelang Langit   Bab 85

    Matahari pagi menyusup malu-malu ke celah-celah pepohonan di tepi Lembah Sunyi. Tirta duduk sendirian di atas batu besar, menatap ke arah mulut sumur tempat Rakasura dan Ayu turun malam sebelumnya. Laras berdiri tidak jauh, menggenggam tongkat kayunya erat-erat."Sudah terlalu lama," gumam Tirta.Laras mengangguk pelan. "Tapi waktu tidak berjalan sama di bawah sana. Bisa jadi baru beberapa menit bagi mereka, sementara di sini terasa seperti berjam-jam.""Tetap saja. Aku nggak tenang."Mereka terdiam. Angin pagi berhembus lembut, tapi udara tetap terasa berat, seolah masih menyimpan gema dari pertarungan suara yang mengguncang tanah kemarin. Bahkan burung-burung pun belum kembali berkicau.Tiba-tiba, tanah di sekitar mulut sumur bergetar pelan. Sebuah cahaya lembut merambat dari dalam, lalu sosok Ayu muncul, terengah, dengan wajah penuh kelegaan. Di belakangnya, Rakasura naik perlahan, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi matanya tenang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status