Share

Bab 5

Penulis: Zidan Fadil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 20:25:59

Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura.

"Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo.

"Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup.

"Kita harus cepat."

Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu.

"Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas.

"Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat.

Rakasura mengangguk dan melanjutkan langkahnya menuju balai desa, diikuti Ayu dan beberapa warga yang tampak bingung dan cemas. Di balai desa, mereka membaringkan Pak Darmo di atas tikar anyaman. Seorang pria berlari masuk dengan membawa kotak obat sederhana.

"Kita harus membersihkan luka ini dulu," pria itu berkata sambil memeriksa lengan Pak Darmo yang berlumuran darah.

Rakasura memperhatikan dengan saksama. "Lukanya tidak biasa," ujarnya pelan, matanya fokus meneliti bekas luka yang tampak seperti cakaran tajam.

"Apa ada hewan buas di sekitar hutan?"

Warga yang berada di ruangan itu saling berpandangan, wajah mereka penuh kecemasan. "Bukan hewan biasa, i-ini seperti bekas serangan siluman." Salah satu dari mereka akhirnya berkata, suaranya bergetar.

Ayu, yang duduk di dekat kepala Pak Darmo, tersentak mendengar kata itu. "Siluman?" tanyanya, menatap Rakasura yang wajahnya tetap tenang meski pikirannya mulai menganalisis situasi.

"Kami tidak tahu pasti, Tapi ini bukan pertama kalinya sesuatu seperti ini terjadi." Ucap Pak Wira, ayah Ayu yang sedang merawat Pak Darmo sambil menghela napas.

Rakasura berpikir sejenak, kemudian menoleh pada Ayu.

"Ayu, siapa yang bisa memberiku informasi tentang apa yang sedang terjadi di desa ini?"

Ayu mengangkat wajahnya yang mulai memerah karena khawatir.

"Kepala desa. Dia pasti tahu sesuatu."

"Kalau begitu, kita harus bicara dengannya, Pastikan dia dirawat dengan baik. Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi." Rakasura berdiri, menghimbau warga yang masih mengelilingi Pak Darmo.

***

Beberapa saat kemudian, Rakasura dan Ayu berjalan menuju rumah kepala desa yang tidak jauh dari balai desa. Rumah itu lebih besar dibandingkan rumah lainnya, dengan ukiran kayu pada pintu yang menampilkan gambar flora dan fauna.

Sesampainya di depan rumah kepala desa, Ayu mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Ketukan lembutnya terdengar samar di malam yang hening, tetapi langkah berat dari dalam segera terdengar mendekat.

Pintu terbuka, memperlihatkan kepala desa yang tampak sedikit lelah. Ia mengangkat alis saat melihat Ayu dan Rakasura berdiri di depan pintu.

"Kalian datang malam-malam begini, ada apa?" tanyanya dengan nada cemas, pandangannya bergantian ke arah Ayu dan Rakasura.

"Apa ini tentang Pak Darmo?"

Ayu mengangguk cepat. "Iya, Pak. Kami menemukan beliau terluka parah di hutan. Sekarang sedang dirawat di balai desa."

Wajah kepala desa seketika berubah serius. Ia memberi isyarat agar mereka masuk. "Masuklah, kita bicarakan ini di dalam."

Mereka melangkah masuk ke ruang tamu yang sederhana namun penuh dengan barang antik—ukiran kayu, lukisan tua, dan benda-benda pusaka yang tertata rapi. Kepala desa duduk di kursi kayu, sementara Rakasura memilih berdiri di sudut ruangan, tangannya terlipat di dada.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" kepala desa bertanya, matanya tertuju pada Rakasura.

"Kami menemukannya di tepi hutan, Lukanya seperti bekas serangan makhluk liar, tapi tidak biasa. Warga menyebut ini ulah siluman dan pak Wira bilang ini bukan yang pertama kali. Apa itu benar?" jawab Rakasura tenang.

Kepala desa menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya yang mulai keriput. "Ini memang bukan pertama kalinya, Pak Darmo mungkin melewati batas wilayah hutan tanpa sengaja."

"Jadi memang ada sesuatu di sana?" tanya Rakasura, pandangannya tajam.

Kepala desa mengangguk pelan. "Kami menyebutnya Penjaga Bayangan. Makhluk itu tidak suka manusia yang terlalu dekat dengan wilayahnya."

Ayu yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. "Tapi, Pak, mengapa makhluk itu menyerang Pak Darmo? Apakah beliau melakukan sesuatu yang memicu kemarahan siluman itu?"

Kepala desa terlihat ragu sejenak, lalu menjawab, "Aku tidak tahu pasti. Tapi... ada sesuatu di hutan itu yang dilindungi oleh Penjaga Bayangan. Sesuatu yang sudah ada sejak dulu."

"Apa itu?" Rakasura bertanya dengan nada mendesak.

Kepala desa menatapnya tajam. "Aku tidak tahu dengan pasti. Tapi ada cerita turun-temurun tentang pusaka yang tersembunyi di hutan itu. Banyak orang yang mencoba mencarinya, tetapi tak ada yang kembali hidup-hidup."

Rakasura mengerutkan dahi. Kata "pusaka" itu langsung mengingatkannya pada gelangnya yang hilang. "Apa pusaka itu berupa gelang?" tanyanya langsung, suaranya nyaris berbisik.

Kepala desa tampak terkejut. "Bagaimana kau tahu?"

"Aku hanya menebak. Kalau memang ada pusaka seperti itu, aku harus pergi ke sana dan mencarinya." jawab Rakasura, mencoba menyembunyikan emosinya.

"Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja. Hutan itu berbahaya!" Ucap Ayu terkejut mendengar ucapan itu.

"Aku tahu risikonya, Tapi ini penting." Balas Rakasura dengan tenang.

Kepala desa memperhatikan Rakasura dengan mata penuh selidik.

"Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, tapi aku merasa kau lebih dari sekadar orang asing yang tersesat di desa ini."

Rakasura tidak menjawab, hanya menatap kepala desa dengan tatapan seribu makna.

"Baiklah, kalau kau memang ingin pergi, setidaknya tunggu sampai pagi. Jangan memasuki hutan dalam keadaan gelap. Kau hanya akan menjadi mangsa yang lebih mudah." Ucap kepala desa mempersilahkan.

"Tolong pikirkan lagi, Rakasura. Jangan pergi sendiri." Ucap Ayu sambil menggenggam lengan Rakasura dengan cemas.

"Aku akan baik-baik saja." Rakasura menatap Ayu sejenak sebelum melepaskan tangannya dengan lembut.

Suasana menjadi hening, hanya suara serangga dan burung-burung malam yang terdengar. "Kalau kau yakin, aku akan memberitahumu jalur yang paling aman. Tapi tetaplah waspada.” Ucap kepala desa yang akhirnya mendukung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gelang Langit   Bab 132

    Kabut belum sepenuhnya sirna ketika fajar perlahan menjalar di lembah. Cahaya pertama yang menembus sela pepohonan tampak pucat, seperti sinar yang kehilangan keberaniannya setelah malam yang panjang. Rakasura membuka matanya perlahan, mendengar sayup desiran air di kejauhan. Udara dingin masih menusuk, namun tak lagi menggigit. Hening itu terasa berbeda, seolah dunia baru saja menarik napas panjang setelah ketegangan yang tak berujung.Ayu sudah terjaga lebih dulu. Ia duduk di atas batu besar, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya menatap jauh ke arah lembah yang tertutup kabut. Tangan kanannya memegang selendang, sementara tangan kirinya mengusap batu di sampingnya perlahan, seolah sedang menenangkan sesuatu yang tidak kasatmata.Tirta masih tidur, tubuhnya meringkuk di balik jubah yang lembap. Napasnya teratur, sesekali terdengar dengkuran kecil. Rakasura menatapnya sebentar, lalu berjalan mendekati Ayu."Kau tidak tidur sama sekali?" tanyanya pelan.Ayu menggeleng tanpa menoleh.

  • Gelang Langit   Bab 131

    Setelah gema terakhir dari pertempuran itu sirna, lembah kembali tenggelam dalam diam. Kabut yang tadi terbelah oleh cahaya dan suara kini perlahan menutup lagi, seolah ingin menelan semua yang baru saja terjadi. Bau tanah hangus dan getah terbakar masih menggantung di udara, namun rasa gentar yang tadi menyelimuti mereka kini berganti dengan kelelahan yang dalam.Rakasura berdiri di tengah bebatuan, napasnya teratur tapi berat. Gelang di pergelangannya tampak redup, seperti bara yang hampir padam. Ia menatap ke arah jalur di mana makhluk bayangan terakhir tadi lenyap, lalu menunduk, memandangi tanah yang masih berasap.Ayu berjalan pelan menghampirinya. Raut wajahnya tidak lagi tegang, namun di balik ketenangan itu, ada sorot mata yang lelah dan khawatir. “Kau terluka?” tanyanya perlahan.Rakasura menggeleng. “Tidak. Tapi gelang ini... terlalu banyak menyerap yang seharusnya tidak ia tanggung.”Tirta datang menyusul, wajahnya kotor oleh debu dan abu. Ia mengusap peluh dengan lengan b

  • Gelang Langit   Bab 133

    Udara di lembah itu diam. Tak ada suara burung, tak ada desir angin. Hanya sisa abu yang melayang perlahan, membentuk pusaran samar di atas tanah. Di tengahnya, Rakasura berdiri dengan tubuh nyaris tak bergerak. Napasnya berat, tapi matanya masih menatap ke arah di mana bayangan dirinya tadi menghilang.Cahaya gelang di pergelangannya kini tenang. Tidak berdenyut, tidak bergetar, seolah sedang menunggu. Tapi di antara keheningan itu, ada sesuatu yang baru—gema halus, seperti bisikan yang datang dari dalam gelang sendiri."Kau sudah menatap dirimu sendiri, Rakasura," suara itu bergaung lembut. Bukan suara asing, melainkan pantulan dari dirinya sendiri. Suara yang pernah ia dengar di masa ketika masih menjadi dewa langit. "Tapi apakah kau sudah mengenali dirimu sepenuhnya?"Rakasura menutup mata. Dalam gelap, ia melihat kilasan masa lalu: istana langit yang runtuh oleh kesombongannya, petir yang ia lempar ke bumi, dan wajah-wajah manusia yang ia remehkan. Lalu berganti menjadi wajah Ayu

  • Gelang Langit   Bab 130

    Sisa gema pertempuran masih terasa di udara ketika mereka bertiga memasuki ruang yang lebih luas. Cahaya yang berdenyut dari gelang di pergelangan Rakasura memantul di dinding-dinding batu, memperlihatkan relief-relief kuno yang menggambarkan sosok-sosok bersayap dan manusia yang berlutut, tangan terentang ke arah langit. Udara di sini tidak lagi hanya dingin, tetapi sarat getaran, seperti suara yang nyaris terdengar namun menahan diri untuk tidak pecah.Rakasura melangkah pelan. Kakinya menyentuh permukaan lantai yang licin, namun setiap pijakan terasa seolah menyentuh nadi bumi. Gelang di pergelangannya berdenyut makin kencang, seakan mengenali tempat ini. Ayu berdiri di sampingnya, wajahnya pucat namun mata bersinar. Tirta berjalan sedikit di belakang, jemarinya menggenggam pusaka kecil yang diberikan oleh ayahnya dulu."Ini… ruang inti perjanjian lama," gumam Rakasura lirih. "Semua jalan yang kita tempuh mengarah ke sini." Kata-katanya tidak sekadar penegasa

  • Gelang Langit   Bab 129

    Kabut tebal yang tercabik oleh ledakan pertemuan mereka dengan Makhluk Bayangan perlahan menutup kembali, seperti luka yang berusaha sembuh. Bau tanah basah bercampur darah samar masih tertinggal di udara. Sisa-sisa energi hitam berputar di atas tanah, menari-nari sebelum lenyap menjadi percikan cahaya dingin. Di tengahnya, Rakasura berdiri tegak dengan napas tersengal. Gelang di pergelangannya berdenyut seirama dengan jantungnya, memancarkan sinar biru pucat yang kini terasa lebih berat daripada sebelumnya.Ayu menahan tubuhnya dengan tongkat kayu yang ditemukan di sela bebatuan. Bibirnya memucat, namun matanya tetap menyala. "Itu... baru bayangannya saja," ucapnya lirih. "Seperti penjaga awal. Kita bahkan belum sampai ke inti."Tirta menatap sekeliling, memegangi bahu yang tadi sempat tercakar. "Kalau ini baru awal, aku tidak bisa membayangkan apa yang menunggu kita nanti." Ia berusaha tertawa kecil, tapi suaranya teredam oleh kabut.Rakasura mengangkat wajahn

  • Gelang Langit   Bab 128

    Langkah mereka membawa ke sebuah ruang lapang yang tak ada di peta gunung mana pun. Permukaan tanahnya rata, seperti dipahat tangan raksasa, dan setiap sisi dipenuhi tiang batu menjulang seperti senar instrumen purba. Kabut yang tadi lembut kini berputar-putar, membentuk pusaran besar di atas kepala. Di tengah pusaran itu, seberkas bayangan menggantung—makhluk itu seakan tak memiliki bentuk tetap, hanya gumpalan gelap dengan ujung-ujung menjulur seperti tinta yang larut dalam air.Rakasura berhenti di bibir lapangan. Cahaya gelangnya berdenyut cepat, kali ini panasnya terasa sampai ke tulang. Ayu menutup telinga, karena dari bayangan itu terdengar bunyi rendah yang bukan suara manusia atau hewan; bunyi yang lebih mirip gema dari perjanjian lama yang patah. Tirta melangkah maju satu langkah, lalu terhenti. "Itu dia… makhluk yang selalu mengikuti kita." Suaranya lirih.Bayangan itu memanjang, menjalar ke tiang-tiang batu. Tiap kali menyentuh permukaan, muncul kilatan gambar: Rakasura di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status