Share

Bab 3 Hari Pernikahan.

Di dalam kamar Andre menemani Amera, kakak iparnya itu belum sadarkan diri sedari tadi. Rasa cemas dan gelisah terus menghantuinya sampai Kejora masuk.

"Om, Bunda kenapa?" tanya Kejora dengan polos seraya mendekati Andre yang menatap kearahnya dengan senyuman.

Sebenarnya ada rasa tidak nyaman yang tengah Andre rasakan, setiap kali Kejora memanggilnya dengan panggilan tersebut. Ingin sekali Andre menyalurkan perasaan sayang dan cintanya pada gadis kecil yang seperti berlian begitu amat berharga itu. Namun, Amera masih belum mau menerimanya.

Andre meminta Kejora untuk duduk di atas pangkuannya seraya mengusap puncak kepala gadis kecil itu dengan penuh kehangatan, sampai tidak sadar Andre meneteskan air mata.

Mencintai seseorang dengan tulus dan tidak bisa terbalaskan merupakan cara yang amat menyiksa baginya, perasaan Andre terlalu dalam kepada Kejora dan Amera.

"Uugg ... ." Suara Amera yang mengeluh seraya membuka perlahan matanya, menyesuaikan cahaya dalam ruangan membuat Andre dan Kejora sedikit terkejut.

"Bunda!" teriak Kejora dengan kegirangan dan segera memeluk Amera.

Andre semakin tidak kuasa menahan perasaan harunya, ia telah berjanji di dalam hati. Bahwa akan terus memberikan cinta dan rela untuk berkorban demi kedua wanita yang saling berpelukan dihadapannya.

Hingga tatapan mata mereka bertemu, Amera segera tersadar. Bahwa Andre berada di kamarnya, walaupun ada Kejora ditengah-tengah mereka. Tetapi Amera masih merasa tidak nyaman.

"Sayang, bisa bawa Om Andre keluar sebentar? Kepala Bunda masih agak pusing," pinta Amera kepada Kejora dan mendapatkan anggukkan dari putrinya itu.

Namun, Andre yang mendengar hal itu segera menolak dan malahan meminta Kejora untuk mengambil air di dapur untuk Amera.

Kejora yang masih mengkhawatirkan keadaan Amera dengan polosnya menuruti permintaan Andre dan segera berlalu meninggalkan bunda dan omnya itu berduaan.

"Dek, ini tidak baik. Kamu tahu, bukan? Kalau kita bukan mahram," kata Amera dengan suara yang berat.

Amera tidak nyaman berduaan dengan Andre, walaupun mereka sudah lama bersama. Tetap saja, adik iparnya itu bukan lelaki yang boleh melihat auratnya.

"Sampai kapan, Mbak? Sampai kapan Mbak akan menolakku?"

Amera tersentak dengan pernyataan yang diucapkan oleh Andre, sebisa mungkin ia menutupi kegugupannya. Hari ini adik iparnya itu sangat berbeda dari biasanya.

Berkali-kali Amera menekan dadanya yang terus berdetak kencang, apa yang tengah ia rasakan saat ini? Hal ini tidak boleh dan tidak benar.

"Dek, Mbak sudah bilang—"

"Apa aku memang tidak pantas menjadi Ayah baru untuk Kejora? Apa aku tidak layak mendampingi Mbak Amera untuk mengurus Kejora?"

Amera terpaku dengan pertanyaan beruntun yang Andre berikan, di dalam hatinya amat mengahrgai dan terbantu dengan kehadiran adik iparnya selama ini. Namun, menerima lamaran Andre untuk menikah. Apakah ia mampu?

Semakin memikirkan hal itu, membuat kepala Amera terasa sakit. Seraya memegangi kepalanya, Amera hanya mampu menatap lekat wajah Andre. Untuk pertama kalinya mereka bertatapan cukup lama, sebab Andre sering kali memalingkan wajah ketika mata mereka bertemu.

Namun, kali ini Andre menampakan keseriusannya untuk meminang Amera. Hal itu yang tengah Amera rasakan, sampai Kejora datang.

"Bunda! Bunda! Kejora bawa minum!" cicit Kejora dengan memegangi sebuah nampan.

Amera segera menyambut gelas yang dibawakan oleh putrinya itu, ia merasa terbantu dengan kehadiran Kejora diantara dirinya dan Andre. Hingga suara Andre yang tengah bertanya kepada Kejora membuat Amera semakin yakin, bahwa Andre benar-benar tidak akan mau menyerah.

"Kejora sayang, apakah Om bisa jadi Ayah Kejora?"

Kejora dengan polosnya mengangguk dengan cepat membuat Amera seketika dalam dilema, ingin sekali ia marah. Namun tidak bisa ia lakukan.

Andre telah mengambil hati Kejora, kini tinggal hati Bundanya saja. Senyum penuh kemenangan pemuda itu tampilkan membuat Amera membuang nafas panjang.

"Jadi ... mulai sekarang. Kejora panggil Ayah, ya?" pinta Andre dan membuat gadis kecil itu kegirangan seraya meloncat-loncat.

Amera yang melihat betapa bahagianya Kejora tidak mampu berkata apa-apa lagi, hidupnya saat ini adalah membuat putrinya selalu bahagia. Walaupun harus mengorbankan perasaannya sendiri, Amera bersedia.

"Hore! Hore! Kejora punya Ayah!" teriak Kejora.

"Mbak, jangan ambil kebahagiaan Kejora. Aku bersedia berkorban jiwa dan raga demi kalian berdua, tolong ... terima aku menjadi Ayah untuk Kejora dan suami untukmu."

Andre meraih tangan Amera dan mata mereka kembali bertemu, Andre meminta dengan hati yang tulus membuat Amera meneteskan air mata dengan menutup mulutnya dengan tangan.

Amera tidak menyangka, kalau adik iparnya benar-benar melakukan hal ini. Kini, dirinya tidak memiliki alasan lain. Kecuali menerima Andre.

"Baiklah, Dek. Kapan kita akan menikah?" tanya Amera dengan gugup.

"Besok!" jawab Andre dengan cepat membuat mata Amera membulat sempurna.

***

Malam harinya, Andre pulang dengan hati yang berbunga-bunga seperti taman yang tengah bermekaran. Akhirnya, sekian lama. Penantian panjangnya berbuah manis, sang pujaan hati bisa ia miliki.

Seraya bersenandung ria, Andre melangkah menuju ke kamarnya. Malam ini ia harus segera tidur dan bersiap-siap untuk besok untuk mengucapkan janji suci pernikahan.

Namun, Andre baru tersadar ketika Mama Rossa menegurnya. Andre melupakan hal yang paling penting dari sebuah pernikahan, yaitu restu orang tua.

"Mama," panggil Andre gugup seraya duduk di depan wanita yang telah melahirkannya kedunia itu.

Mama Rossa hanya menatap lekat Andre dengan melipat tangannya di dada dan kaki yang di angkat, dari sorot mata wanita itu telah tergambar sebuah drama yang akan terjadi.

"Kamu tahu, ini sudah jam berapa? Apa saja yang kamu lakukan di rumah wanita murahan itu? Hah!"

Andre berusaha untuk menahan diri agar tidak marah kepada Mama Rossa, setelah mengatur nafas dengan baik. Andre mulai membicarakan tentang pernikahnnya bersama dengan Amera. Selang beberapa lama kemudian, wajah Mama Rossa memerah padam.

"Kamu sudah gila, kah? Sampai Mama mati sekalipun! Kamu tidak boleh menikahi wanita murahan itu!" pekik Mama Rossa seraya berdiri dari duduknya. Namun, Andre mencegat tangannya.

Tatapan Andre memohon, membuat Mama Rossa mengendus kesal. Ia sudah menyiapkan sebuah rencana, kini tinggal menjalankan saja.

"Andre mohon, Ma. Untuk kali ini saja, Mama memenuhi permintaan Andre," kata Andre memelas.

"Baiklah, Mama akan memenuhi apa yang kamu inginkan. Tapi ... dengan satu syarat."

Andre menelan ludahnya kasar, apa yang akan mamanya minta? Apalagi, besok dirinya sudah harus menikah.

"Apa kamu sanggup?" tanya Mama Rossa dengan raut wajah serius membuat Andre semakin terdesak dan tidak memiliki pilihan lain. Dengan hati yang berat, Andre menyanggupi syarat yang akan Mamanya berikan.

"Andre usahakan," balas Andre dengan lirih. Entahkah benar atau salah, jawaban yang ia berikan. Tapi, Andre membutuhkan restu dari Mama Rossa sebagai salah–satu permintaan dari Amera.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status