Di dalam kamar Andre menemani Amera, kakak iparnya itu belum sadarkan diri sedari tadi. Rasa cemas dan gelisah terus menghantuinya sampai Kejora masuk.
"Om, Bunda kenapa?" tanya Kejora dengan polos seraya mendekati Andre yang menatap kearahnya dengan senyuman.Sebenarnya ada rasa tidak nyaman yang tengah Andre rasakan, setiap kali Kejora memanggilnya dengan panggilan tersebut. Ingin sekali Andre menyalurkan perasaan sayang dan cintanya pada gadis kecil yang seperti berlian begitu amat berharga itu. Namun, Amera masih belum mau menerimanya.Andre meminta Kejora untuk duduk di atas pangkuannya seraya mengusap puncak kepala gadis kecil itu dengan penuh kehangatan, sampai tidak sadar Andre meneteskan air mata.Mencintai seseorang dengan tulus dan tidak bisa terbalaskan merupakan cara yang amat menyiksa baginya, perasaan Andre terlalu dalam kepada Kejora dan Amera."Uugg ... ." Suara Amera yang mengeluh seraya membuka perlahan matanya, menyesuaikan cahaya dalam ruangan membuat Andre dan Kejora sedikit terkejut."Bunda!" teriak Kejora dengan kegirangan dan segera memeluk Amera.Andre semakin tidak kuasa menahan perasaan harunya, ia telah berjanji di dalam hati. Bahwa akan terus memberikan cinta dan rela untuk berkorban demi kedua wanita yang saling berpelukan dihadapannya.Hingga tatapan mata mereka bertemu, Amera segera tersadar. Bahwa Andre berada di kamarnya, walaupun ada Kejora ditengah-tengah mereka. Tetapi Amera masih merasa tidak nyaman."Sayang, bisa bawa Om Andre keluar sebentar? Kepala Bunda masih agak pusing," pinta Amera kepada Kejora dan mendapatkan anggukkan dari putrinya itu.Namun, Andre yang mendengar hal itu segera menolak dan malahan meminta Kejora untuk mengambil air di dapur untuk Amera.Kejora yang masih mengkhawatirkan keadaan Amera dengan polosnya menuruti permintaan Andre dan segera berlalu meninggalkan bunda dan omnya itu berduaan."Dek, ini tidak baik. Kamu tahu, bukan? Kalau kita bukan mahram," kata Amera dengan suara yang berat.Amera tidak nyaman berduaan dengan Andre, walaupun mereka sudah lama bersama. Tetap saja, adik iparnya itu bukan lelaki yang boleh melihat auratnya."Sampai kapan, Mbak? Sampai kapan Mbak akan menolakku?"Amera tersentak dengan pernyataan yang diucapkan oleh Andre, sebisa mungkin ia menutupi kegugupannya. Hari ini adik iparnya itu sangat berbeda dari biasanya.Berkali-kali Amera menekan dadanya yang terus berdetak kencang, apa yang tengah ia rasakan saat ini? Hal ini tidak boleh dan tidak benar."Dek, Mbak sudah bilang—""Apa aku memang tidak pantas menjadi Ayah baru untuk Kejora? Apa aku tidak layak mendampingi Mbak Amera untuk mengurus Kejora?"Amera terpaku dengan pertanyaan beruntun yang Andre berikan, di dalam hatinya amat mengahrgai dan terbantu dengan kehadiran adik iparnya selama ini. Namun, menerima lamaran Andre untuk menikah. Apakah ia mampu?Semakin memikirkan hal itu, membuat kepala Amera terasa sakit. Seraya memegangi kepalanya, Amera hanya mampu menatap lekat wajah Andre. Untuk pertama kalinya mereka bertatapan cukup lama, sebab Andre sering kali memalingkan wajah ketika mata mereka bertemu.Namun, kali ini Andre menampakan keseriusannya untuk meminang Amera. Hal itu yang tengah Amera rasakan, sampai Kejora datang."Bunda! Bunda! Kejora bawa minum!" cicit Kejora dengan memegangi sebuah nampan.Amera segera menyambut gelas yang dibawakan oleh putrinya itu, ia merasa terbantu dengan kehadiran Kejora diantara dirinya dan Andre. Hingga suara Andre yang tengah bertanya kepada Kejora membuat Amera semakin yakin, bahwa Andre benar-benar tidak akan mau menyerah."Kejora sayang, apakah Om bisa jadi Ayah Kejora?"Kejora dengan polosnya mengangguk dengan cepat membuat Amera seketika dalam dilema, ingin sekali ia marah. Namun tidak bisa ia lakukan.Andre telah mengambil hati Kejora, kini tinggal hati Bundanya saja. Senyum penuh kemenangan pemuda itu tampilkan membuat Amera membuang nafas panjang."Jadi ... mulai sekarang. Kejora panggil Ayah, ya?" pinta Andre dan membuat gadis kecil itu kegirangan seraya meloncat-loncat.Amera yang melihat betapa bahagianya Kejora tidak mampu berkata apa-apa lagi, hidupnya saat ini adalah membuat putrinya selalu bahagia. Walaupun harus mengorbankan perasaannya sendiri, Amera bersedia."Hore! Hore! Kejora punya Ayah!" teriak Kejora."Mbak, jangan ambil kebahagiaan Kejora. Aku bersedia berkorban jiwa dan raga demi kalian berdua, tolong ... terima aku menjadi Ayah untuk Kejora dan suami untukmu."Andre meraih tangan Amera dan mata mereka kembali bertemu, Andre meminta dengan hati yang tulus membuat Amera meneteskan air mata dengan menutup mulutnya dengan tangan.Amera tidak menyangka, kalau adik iparnya benar-benar melakukan hal ini. Kini, dirinya tidak memiliki alasan lain. Kecuali menerima Andre."Baiklah, Dek. Kapan kita akan menikah?" tanya Amera dengan gugup."Besok!" jawab Andre dengan cepat membuat mata Amera membulat sempurna. ***Malam harinya, Andre pulang dengan hati yang berbunga-bunga seperti taman yang tengah bermekaran. Akhirnya, sekian lama. Penantian panjangnya berbuah manis, sang pujaan hati bisa ia miliki.Seraya bersenandung ria, Andre melangkah menuju ke kamarnya. Malam ini ia harus segera tidur dan bersiap-siap untuk besok untuk mengucapkan janji suci pernikahan.Namun, Andre baru tersadar ketika Mama Rossa menegurnya. Andre melupakan hal yang paling penting dari sebuah pernikahan, yaitu restu orang tua."Mama," panggil Andre gugup seraya duduk di depan wanita yang telah melahirkannya kedunia itu.Mama Rossa hanya menatap lekat Andre dengan melipat tangannya di dada dan kaki yang di angkat, dari sorot mata wanita itu telah tergambar sebuah drama yang akan terjadi."Kamu tahu, ini sudah jam berapa? Apa saja yang kamu lakukan di rumah wanita murahan itu? Hah!"Andre berusaha untuk menahan diri agar tidak marah kepada Mama Rossa, setelah mengatur nafas dengan baik. Andre mulai membicarakan tentang pernikahnnya bersama dengan Amera. Selang beberapa lama kemudian, wajah Mama Rossa memerah padam."Kamu sudah gila, kah? Sampai Mama mati sekalipun! Kamu tidak boleh menikahi wanita murahan itu!" pekik Mama Rossa seraya berdiri dari duduknya. Namun, Andre mencegat tangannya.Tatapan Andre memohon, membuat Mama Rossa mengendus kesal. Ia sudah menyiapkan sebuah rencana, kini tinggal menjalankan saja."Andre mohon, Ma. Untuk kali ini saja, Mama memenuhi permintaan Andre," kata Andre memelas."Baiklah, Mama akan memenuhi apa yang kamu inginkan. Tapi ... dengan satu syarat."Andre menelan ludahnya kasar, apa yang akan mamanya minta? Apalagi, besok dirinya sudah harus menikah."Apa kamu sanggup?" tanya Mama Rossa dengan raut wajah serius membuat Andre semakin terdesak dan tidak memiliki pilihan lain. Dengan hati yang berat, Andre menyanggupi syarat yang akan Mamanya berikan."Andre usahakan," balas Andre dengan lirih. Entahkah benar atau salah, jawaban yang ia berikan. Tapi, Andre membutuhkan restu dari Mama Rossa sebagai salah–satu permintaan dari Amera.Amera menyambut pagi yang indah dengan senyum yang terus mengembang, entah mengapa hatinya seakan dipenuhi oleh banyak sekali kebahagiaan. Apakah, sebuah pertanda di mana hari ini dirinya akan melepaskan status jandanya dan menikah dengan sang adik ipar.Andre merupakan pemuda yang amat sempurna dan terkadang membuat Amera merasa begitu canggung, setiap kali mereka bertemu. Namun, sebentar lagi keduanya akan menjalin sebuah hubungan yang lebih erat dari sekedar adik dan kakak ipar saja."Wah, ada yang sedang bahagia?" Amera menatap ke arah pintu di mana asal suara tadi, ternyata wanita paruh baya yang telah ia anggap seperti ibu sendiri.Wanita itu menghampirinya dan memegang bahu Amera yang kini tengah mengenakan kebaya putih yang dulu pernah ia kenakan ketika menikah dengan Rudy."Kamu cantik, Amera. Ibu senang melihatnya," kata Bu Tini sampai meneteskan air mata. Sejak Amera kecil, wanita paruh baya itu mendampingi keluarga Amera dan begitu banyak hal yang terjadi. Ia merupakan s
Amera keluar dari kamar Andre dengan lelehan air mata, ia tidak menyangka kalau pemuda yang selama ini begitu menjaga jarak dengannya dan selalu bersikap sopan ternyata adalah seorang b*j*ng*n.Ketika Amera melewati ruangan tamu dan bertemu kembali dengan Mama Rossa, sebisa mungkin ia menutupi perasaan kecewanya."Mau ke mana kamu, Amera? Apakah pesta kalian sudah selesai?" Lagi dan lagi, wanita itu mengeluarkan kalimat yang menusuk ke hati Amera. Setelah mengusap sisa jejak air mata, Amera tidak tahan lagi. Ia berbalik badan dan menatap mantan mertuanya itu dengan tajam."Ternyata, wanita murahan yang selalu Mama ucapkan sudah naik ke atas ranjang Andre?" Amera berusaha terlihat kuat dan ingin memberikan sedikit pelajaran kepada Mama Rossa. Namun, apa yang Amera harapkan? Wanita itu malahan berdiri dan bertepuk tangan, kemudian mendekatinya. "Wah! Wah! Sepertinya kamu melewatkan bagian yang seru, ya?" ejek Mama Rossa dengan senyum lebar.Ingin sekali Amera melayangkan tinjunya
Amera membawa laju mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia ingin segera meninggalkan semua hal yang baru saja dilihat. Seakan hatinya tangah dicabik-cabik, Amera merasa dikhianati oleh adik iparnya itu.Setelah sampai di rumah Amera pun segera berlari masuk ke kamar, ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan mengunci pintu kamarnya.Kenapa dadanya terasa sesak disaat melihat Andre bersama wanita lain? Ada apa dengan dirinya? Padahal selama hidup dengan Rudy, sekalipun Amera tidak pernah merasakan hal ini."Nak Mera, buka pintunya, Nak," panggil Bik Tini berulang-ulang kali. Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Wanita paruh baya itu tahu, kalau saat ini Amera tengah menangis. Hingga Bik Tini memilih untuk memberikan waktu kepada Amera menenangkan diri dan membawa Kejora ke kamarnya."Mas, kenapa kamu pergi? Kamu tahu, bukan? Kalau adikmu telah menyakitiku," gumam Amera sesigukan seraya duduk di atas ranjang dan menatap foto suaminya.
Sudah beberapa hari setelah kejadian waktu itu, Andre seakan kehilangan gairah hidupnya. Ternyata ia terlalu naif, cintanya memang terbalaskan. Namun, sang pujaan hati memilih untuk menjauh. Andaikan saja waktu bisa diulang kembali, maka Andre lebih memilih menjadi adik ipar Amera untuk selamanya dari pada wanita itu menjaga jarak seperti sekarang."Ndre! Kenapa sih wajahmu ditekut terus? Hari ini kamu akan menikah!" Andre hanya memutar bola matanya malas, pemuda itu enggan meladeni ucapan sang mama yang datang menghampirinya. Padahal ijab qobul sebentar lagi akan segera dimulai.Mungkin Rossa berhasil membuat Andre mau menikah dengan Hesti, tapi tidak dengan hati dan juga raga putranya yang masih tertinggal kepada Amera.Dengan langkah gontai Andre ditarik paksa Rossa untuk segera keluar dari kamar, bisa-bisa dirinya dipermalukan oleh putranya itu jika para tamu mereka kelamaan menunggu."Mohon maaf Pak, Bu, Andre kelamaan dirias," kata
"Apalagi ini, ya Tuhan?" gumam Andre. Andre hanya mampu membuang nafas panjang akan sikap Hesti yang terlalu kekanak-kanakan, padahal jika istri barunya itu sedikit saja sadar diri. Bahwa yang sebenarnya pelakor adalah dia, tapi wanita itu malahan mengatai Amera sebagai pelakor.Pepatah lama menyebutkan, 'Maling teriak maling, tidak adakan ada maling yang mau mengaku. Jika sampai itu terjadi, maka penjara akan penuh.'"Mas! Kamu mau ke mana?" pekik Hesti melihat Andre yang melewatinya begitu saja. Namun, tidak digubris sama sekali oleh suaminya itu.Di saat Hesti dan Andre yang tengah marah-marahan, saling menyalahkan satu dan lainnya. Kini Amera yang masih melajukan mobilnya berusaha untuk tetap tegar.Hati Amera terasa sakit, setiap kali mengingat bagaimana senyum bahagia diwajah Mama Rossa yang selama ini tidak pernah ditujukan kepadanya selama menjadi menantu."Nak, kamu harus kuat." Amera menatap sekilas ke arah Bik Tini yang memberinya semangat."Iya Bun, Bunda harus kuat. J
Amera merasa begitu senang karena bisa dibantu oleh Selvi, sampai wanita itu memberikan dirinya tempat tinggal di kota ini.Tidak henti-hentinya Amera mengucapkan terimakasih kepada teman lamanya itu, sedangkan Selvi hanya tersenyum ramah kepadanya."Sekali lagi, gue berterimakasih benget sama loe, Vi," kata Amera yang kesekian kalinya."Biasa aja deh, Ra. Oh iya, gue cabut dulu, ya. Nanti berkas loe, bakalan gue kirim ke atasan perusahan tempat gue kerja," jelas Selvi seraya berlalu.Amera mengantar wanita cantik itu sampai ke pintu luar, perasaannya menjadi lega karena apartemen yang diberikan oleh Selvi begitu luas. Cukup untuk dirinya dan Bik Tini serta Kejora tinggal. Apartemen itu memiliki dua kamar tidur dan ruang tamu yang cukup luas berserta ruangan dapur yang menyatu dengan ruang makan, terlebih semua fasilitas yang ada di apartemen itu gratis.Baru saja Amera menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, Bik Tini mendekat dan mempertahankannya tentang Selvi."Nak, temanmu tadi kayakn
Pagi menyapa para penghuni bumi, Amera beberapa kali menatap dirinya dari pantulan cermin. Memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna, seraya memutar-mutarkan tubuh rampingnya yang nampak berisi.Amera mengenakan pakaian kemeja putih yang dipadupadankan dengan rok berwarna biru tua sebatas lutut, rambut panjangnya dibiarkan berderai begitu saja menambah kesan elegan untuk wanita yang usianya sudah hampir 30 tahun itu.Sesekali Amera mengoleskan lipstik berwarna merah muda pada bibirnya yang mungil itu, tidak lupa parfum aroma vanilla yang membuat aura janda anak satu itu tambah memikat.Bik Tini sampai terperangah dengan mulut terbuka lebar melihat penampilan Amera pagi ini yang belum pernah wanita paruh baya itu lihat sebelumnya."Nak Amera benar-benar mau kerja?" tanya Bik Tini dengan polos membuat Amera tersenyum dan mengangguk cepat seraya duduk untuk sarapan."Oh iya, Bu. Kejora masih tidur, aku sengaja tidak memban
"Mas Rudy!" panggil Amera dengan suara yang nyaring. Entah benar atau salah yang telah Amera lakukan, ia memanggil nama suaminya yang sudah meninggal. Mungkin Amera berharap roh Rudy bisa datang dan menolongnya, seperti film cassper.Tiba-tiba saja pintu yang awalnya tertutup di buka dengan begitu kasar dan menampakkan seorang lelaki paruh baya dengan wajah memerah, seolah menahan amarah."Bowo!" teriak lelaki itu dan membuat Pak Bowo sontak saja menarik tubuhnya dari Amera yang kini menangis ketakutan, karena hampir dilecehkan.Lelaki itu segera mendekat dan melayangkan kepalan tangannya tepat di wajah Bowo, membuat Bowo mengeluarkan sedikit darah dari sudut bibirnya.Tidak sampai di situ, lelaki itu meraih kerah baju Bowo dan melayangkan kembali bogem mentahnya. Kali ini tepat di mata Bowo dan membuatnya tergolek ke lantai."Dasar lelaki m*s*m!" teriak lelaki itu dengan nyaring.Amera yang melihat semua itu hanya diam, ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Seraya memeluk tubuh