Amera membawa laju mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia ingin segera meninggalkan semua hal yang baru saja dilihat. Seakan hatinya tangah dicabik-cabik, Amera merasa dikhianati oleh adik iparnya itu.
Setelah sampai di rumah Amera pun segera berlari masuk ke kamar, ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan mengunci pintu kamarnya.Kenapa dadanya terasa sesak disaat melihat Andre bersama wanita lain? Ada apa dengan dirinya? Padahal selama hidup dengan Rudy, sekalipun Amera tidak pernah merasakan hal ini."Nak Mera, buka pintunya, Nak," panggil Bik Tini berulang-ulang kali. Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Wanita paruh baya itu tahu, kalau saat ini Amera tengah menangis. Hingga Bik Tini memilih untuk memberikan waktu kepada Amera menenangkan diri dan membawa Kejora ke kamarnya."Mas, kenapa kamu pergi? Kamu tahu, bukan? Kalau adikmu telah menyakitiku," gumam Amera sesigukan seraya duduk di atas ranjang dan menatap foto suaminya.Rudy merupakan lelaki idaman dan suami yang sangat penyayang, sekalipun Amera tidak pernah dibuat menangis oleh lelaki itu. Kecuali, hari di mana Rudy kepergian untuk selamanya.Amera mengusap kasar dadanya yang terasa sakit, seakan ada batu besar yang menghantam. Berkali-kali ia meremas-remas baju yang dikenakan melupakan perasaannya."Kamu jahat, Dek! Sama jahatanya dengan Mamamu!" pekik Amera tidak tertahankan lagi, ia melemparkan bantal dan membuat ranjangnya berantakan.Amera menangisi Andre, sebab merasa dikhianati oleh adik iparnya itu. Padahal sebelumnya Andre datang dengan bermulut manis merayu Amera, tapi hari ini perasaannya dibanting kejurang yang paling dalam oleh pemuda itu.Sakit, tapi tidak berdarah. Hal itu yang tengah Amera rasakan, ia benar-benar jijik ketika ingatannya kembali di saat melihat tubuh polos Andre bersama wanita lain."Cih! Ternyata alimmu itu hanya untuk menutupi kebusukanmu selama ini!" teriak Amera nyaring.Tanpa Amera sadari telah merobek baju kebaya yang merupakan kenangan dirinya bersama Rudy, seking sakit hatinya Amera terus saja mengumpat kesal dan membawa-bawa ibu mertuanya."Gak anak! Gak Mamanya! Semua sama saja! Dasar! Manusia munafik!"Amera terus saja menangis, hingga lama-kelamaan merasa lelah dan akhirnya tertidur di bawah ranjang seraya memeluk foto suaminya.Mungkin keputusan Amera untuk menerima adik iparnya itu telalu cepat, dodoh memang rasanya kalau Amera sampai mau menikah dengan Andre. Sebab, Mama Rossa akan menjadi mertua paling kejam untuk dirinya."Aku bersumpah tidak akan pernah menerimamu, Dek! Sampai mati sekalipun!" batin Amera dalam alam bawah sadar. ***"Bik, izinkan aku masuk!" Berkali-kali Andre memohon kepada Bik Tini, tapi jawaban wanita paruh baya itu tetap sama.Bik Tini menghalangi Andre yang ingin menemui Amera, bahkan wanita paruh baya itu memarahi pemuda yang ada dihadapannya dan melupakan kekecewaan atas apa yang baru saja terjadi tadi pagi.Seolah Andre dengan mudahnya melupakan kejadian itu dan datang untuk meminta maaf, lalu semuanya akan selesai. Big no! Bik Tini akan menjadi garda terdepan untuk melindungi Amera dari Andre."Bik!" seru Andre lagi dengan wajah memelas. Namun, Bik Tini tidak menampakkan keramahannya kepada Andre, tidak seperti sebelumnya ketika pemuda itu datang."Maaf Nak Andre! Kamu tahu bukan? Apa yang kamu lakukan itu sungguh keterlaluan!" bentak Bik Tini dan menekankan kata keterlaluan.Andre terdiam seketika, tubuhnya bergetar. Ingatannya kembali di saat Amera memergoki dirinya yang berada di atas ranjang bersama Hesti. Tentu saja, wanita mana yang bisa melihat calon suaminya dalam keadaan demikian.Hingga Andre tersenyum kecut ketika menyadari bahwa Amera merasa cemburu, itu pertanda bahwa memang ada cinta yang tumbuh di dalam hati kakak iparnya. Namun, tidak seharunya dengan cara seperti ini baru wanita tersebut menyadari akan perasaan cintanya."Nak Andre!" teriak Bik Tini menyadarkan Andre dari lamunannya."Bik, aku mohon," kata Andre kembali memohon dengan raut wajah memelas.Bik Tini membuang nafasnya panjang, dada wanita paruh baya itu naik–turun menahan emosi. Andaikan dia seorang lelaki, mungkin saja sudah sedari tadi menghajar Andre dengan bogem mentah agar pemuda itu pergi."Maaf, Nak Andre. Asalkan kamu tahu, kalau selama ini Nak Amera sangat dimanja oleh Nak Rudy. Tidak sekalipun Bibik pernah melihat Nak Amera menangis seperti tadi," jelas Bik Tini dengan suara pelan. Wanita paruh baya itu tidak bisa menahan cairan bening yang sedari tadi ingin melesak keluar.Andre semakin tersudutkan setelah ucapan Bik Tini barusan, ia sadar bahwa telah melakukan kesalahan yang besar. Tanpa banyak berbicara lagi, Andre melangkah menjauh dari rumah tersebut."Maafkan adikmu ini, Mbak. Aku terlalu naif dan percaya diri untuk mengantikan Mas Rudy," batin Andre seraya masuk ke mobil.Setelah kepergian Andre, Bik Tini menutup kembali pintu rumah dan memilih ke dapur. Menyiapkan makan siang yang sudah terlewat, untung saja Kejora tidak rewel dan bisa tidur dengan tenang. Walaupun gadis kecil itu mempertanyakan keadaan ibu dan calon ayahnya itu.Setelah selesai memasak, Bik Tini memilih untuk ke kamar Amera terlebih dahulu. Untung saja pintu kamar tidak dikunci lagi membuat wanita paruh baya itu bisa masuk."Nak Amera," panggil Bik Tini seraya menghampiri Amera yang sepertinya baru selesai mandi dengan rambut basah dan wajah segar. Walaupun dengan mata yang bengkak.Amera tersenyum menatap ke arah Bik Tini dan menepuk tepi ranjang sebelahnya meminta wanita itu untuk duduk.Bagi seorang Amera Darati, menangis itu boleh. Tapi, tidak boleh lama-lama. Sebab, sudah terlalu banyak rasa sakit yang telah ia lewati. Dari kehilangan kedua orangtuanya sampai suami yang begitu dicintai, jadi masalah ini jauh dibawah level penderitaan yang sudah dirasakan."Nak Amera sudah membaik?" tanya Bik Tini hati-hati dan mendapatkan anggukan dari Amera.Kemudian Amera mengutarakan niatnya untuk pergi meninggalkan rumah tersebut, ia ingin menghindari Andre. Hanya Bik Tini orang yang tepat menurutnya untuk berbagi keluh–kesah dan dapat dipercayai.Nampak raut keterkejutan tercetak jelas dari wajah Bik Tini yang sudah mulai dipenuhi oleh garis-garis halus, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Nak Mera yakin akan pergi? Bagaimana dengan nasib Nak Mera dan Kejora? Apalagi Kejora sebentar lagi akan sekolah." Bik Tini mengkhawatirkan keputusan Amera, terlebih Kejora yang sebentar lagi akan masuk taman kanak-kanak. Bagaimana dengan biaya kehidupan mereka dan lainnya, jika Amera pergi dari sini."Jangan memperturutkan hawa nafsu, Nak. Itu semua merupakan bisikan dari syetan," jelas Bik Tini.Amera membuang nafasnya panjang, dadanya masih sakit dan perih. Bagaimana ia bisa berhadapan dengan Mama Rossa dan bertemu Andre, bisa-bisa dirinya tidak kuat lalu menangis. Pantang bagi Amera untuk terlihat lemah didepan orang yang telah menyakitinya.Keputusan yang telah ia ambil merupakan keputusan terbaik untuk saat ini, terlebih Amera tidak ingin terus-menerus tergantung kepada Andre."Bu, Kejora itu merupakan anakku sudah seharunya menjadi tanggungjawabku untuk memberi makan serta mencukupkan semua kebutuhannya. Jadi ... aku banyak-banyak berterimakasih kepada Ibu selama ini telah menemani kami." Amera memperbaiki posisi duduknya seraya menggenggam tangan Bik Tini erat dan membuat wanita paruh baya itu terlihat begitu gusar."Aku minta maaf, sepertinya kita akan—" Suara Amera terasa tercekat dileher, carian bening yang sedari tadi ditahan akhirnya melesak keluar tanpa bisa dibendung lagi.Keduanya saling berpelukan, walaupun tidak ada ikatan darah yang mengikat mereka. Namun, selama ini Bik Tini menyayangi Amera seperti anakknya sendiri begitupun sebaliknya.Amera sudah terlanjut sakit hati kepada Andre, janji yang pernah pemuda itu ucapan semuanya hanya dusta. Masih lekat diingatkan Amera bahwa Andre mengatakan akan membahagiakan dirinya dan Kejora yang telah dianggap seperti anak sendiri.Namun hari ini, apa yang dilakukan oleh adik iparnya membuat semua kebaikan yang pernah dilakukan terhapus tanpa tersisa sedikitpun."Nak Amera, apapun yang terjadi. Bibik aka terus menemanimu," ucap Bik Tini seraya mengusap pipinya menghapus jejak air mata.Amera menggeleng pelan, "Ibu harus menjalani hidup tanpa kami lagi.""Maksudnya?" pekik Bik Tini tergugu memikirkan hal terburuk.Sudah beberapa hari setelah kejadian waktu itu, Andre seakan kehilangan gairah hidupnya. Ternyata ia terlalu naif, cintanya memang terbalaskan. Namun, sang pujaan hati memilih untuk menjauh. Andaikan saja waktu bisa diulang kembali, maka Andre lebih memilih menjadi adik ipar Amera untuk selamanya dari pada wanita itu menjaga jarak seperti sekarang."Ndre! Kenapa sih wajahmu ditekut terus? Hari ini kamu akan menikah!" Andre hanya memutar bola matanya malas, pemuda itu enggan meladeni ucapan sang mama yang datang menghampirinya. Padahal ijab qobul sebentar lagi akan segera dimulai.Mungkin Rossa berhasil membuat Andre mau menikah dengan Hesti, tapi tidak dengan hati dan juga raga putranya yang masih tertinggal kepada Amera.Dengan langkah gontai Andre ditarik paksa Rossa untuk segera keluar dari kamar, bisa-bisa dirinya dipermalukan oleh putranya itu jika para tamu mereka kelamaan menunggu."Mohon maaf Pak, Bu, Andre kelamaan dirias," kata
"Apalagi ini, ya Tuhan?" gumam Andre. Andre hanya mampu membuang nafas panjang akan sikap Hesti yang terlalu kekanak-kanakan, padahal jika istri barunya itu sedikit saja sadar diri. Bahwa yang sebenarnya pelakor adalah dia, tapi wanita itu malahan mengatai Amera sebagai pelakor.Pepatah lama menyebutkan, 'Maling teriak maling, tidak adakan ada maling yang mau mengaku. Jika sampai itu terjadi, maka penjara akan penuh.'"Mas! Kamu mau ke mana?" pekik Hesti melihat Andre yang melewatinya begitu saja. Namun, tidak digubris sama sekali oleh suaminya itu.Di saat Hesti dan Andre yang tengah marah-marahan, saling menyalahkan satu dan lainnya. Kini Amera yang masih melajukan mobilnya berusaha untuk tetap tegar.Hati Amera terasa sakit, setiap kali mengingat bagaimana senyum bahagia diwajah Mama Rossa yang selama ini tidak pernah ditujukan kepadanya selama menjadi menantu."Nak, kamu harus kuat." Amera menatap sekilas ke arah Bik Tini yang memberinya semangat."Iya Bun, Bunda harus kuat. J
Amera merasa begitu senang karena bisa dibantu oleh Selvi, sampai wanita itu memberikan dirinya tempat tinggal di kota ini.Tidak henti-hentinya Amera mengucapkan terimakasih kepada teman lamanya itu, sedangkan Selvi hanya tersenyum ramah kepadanya."Sekali lagi, gue berterimakasih benget sama loe, Vi," kata Amera yang kesekian kalinya."Biasa aja deh, Ra. Oh iya, gue cabut dulu, ya. Nanti berkas loe, bakalan gue kirim ke atasan perusahan tempat gue kerja," jelas Selvi seraya berlalu.Amera mengantar wanita cantik itu sampai ke pintu luar, perasaannya menjadi lega karena apartemen yang diberikan oleh Selvi begitu luas. Cukup untuk dirinya dan Bik Tini serta Kejora tinggal. Apartemen itu memiliki dua kamar tidur dan ruang tamu yang cukup luas berserta ruangan dapur yang menyatu dengan ruang makan, terlebih semua fasilitas yang ada di apartemen itu gratis.Baru saja Amera menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, Bik Tini mendekat dan mempertahankannya tentang Selvi."Nak, temanmu tadi kayakn
Pagi menyapa para penghuni bumi, Amera beberapa kali menatap dirinya dari pantulan cermin. Memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna, seraya memutar-mutarkan tubuh rampingnya yang nampak berisi.Amera mengenakan pakaian kemeja putih yang dipadupadankan dengan rok berwarna biru tua sebatas lutut, rambut panjangnya dibiarkan berderai begitu saja menambah kesan elegan untuk wanita yang usianya sudah hampir 30 tahun itu.Sesekali Amera mengoleskan lipstik berwarna merah muda pada bibirnya yang mungil itu, tidak lupa parfum aroma vanilla yang membuat aura janda anak satu itu tambah memikat.Bik Tini sampai terperangah dengan mulut terbuka lebar melihat penampilan Amera pagi ini yang belum pernah wanita paruh baya itu lihat sebelumnya."Nak Amera benar-benar mau kerja?" tanya Bik Tini dengan polos membuat Amera tersenyum dan mengangguk cepat seraya duduk untuk sarapan."Oh iya, Bu. Kejora masih tidur, aku sengaja tidak memban
"Mas Rudy!" panggil Amera dengan suara yang nyaring. Entah benar atau salah yang telah Amera lakukan, ia memanggil nama suaminya yang sudah meninggal. Mungkin Amera berharap roh Rudy bisa datang dan menolongnya, seperti film cassper.Tiba-tiba saja pintu yang awalnya tertutup di buka dengan begitu kasar dan menampakkan seorang lelaki paruh baya dengan wajah memerah, seolah menahan amarah."Bowo!" teriak lelaki itu dan membuat Pak Bowo sontak saja menarik tubuhnya dari Amera yang kini menangis ketakutan, karena hampir dilecehkan.Lelaki itu segera mendekat dan melayangkan kepalan tangannya tepat di wajah Bowo, membuat Bowo mengeluarkan sedikit darah dari sudut bibirnya.Tidak sampai di situ, lelaki itu meraih kerah baju Bowo dan melayangkan kembali bogem mentahnya. Kali ini tepat di mata Bowo dan membuatnya tergolek ke lantai."Dasar lelaki m*s*m!" teriak lelaki itu dengan nyaring.Amera yang melihat semua itu hanya diam, ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Seraya memeluk tubuh
"Maaf."Herman menunduk kepadanya, menyesal dengan kejadian yang baru saja mereka alami tadi. Namun, ia berusaha untuk tetap meraih tangan Amera yang Herman tahu masih marah padanya."Paman jahat!" pekik Amera dengan lantang seraya menatap tajam ke arah Herman.Hatinya terasa diremas, ketika mengetahui siapa lelaki yang telah menyelamatkannya itu. Lelaki yang kini berdiri tegap di hadapannya, nafas Amera terasa sesak. Setiap kali tersadar, bahwa Herman adalah lelaki yang telah menghilang dari hidupnya dan meninggalkan sejuta tanda tanya serta luka yang mendalam.Namun, semakin memikirkan hal itu membuat Amera semakin sadar. Bahwa tidak ada orang yang benar-benar baik dan mau mengulurkan tangan kepadanya, selain ia yang harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri untuk tetap bertahan.Berdiri tegak dan menantang hidup yang begitu berat dengan sebuah prestasi serta kesuksesan, agar dirinya tidak mudah diinjak atau diremeh
"Gila!" pekiknya nyaring.Amera merasa Herman telah kehilangan akal sehatnya lagi, ia merasa sudah masuk ke dalam sarang buaya setelah berhasil lepas dari kandang macan.Berkali-kali Amera mengelus dadanya, memperbanyak mengingat Tuhan. Lama-lama ia bisa kena serangan jantung, hari ini benar-benar membuatnya merasa lelah.Setelah beradu jotos dan mulut dengan Siska, terlebih hampir dilecehkan oleh Bowo. Sekarang ia diminta untuk menjadi Sugar Beby oleh Herman, dunia ini memang tidak pernah mau ramah dengannya."Paman beri kamu waktu sampai besok, kamu bisa hubungi Selvi kalau sudah memiliki jawab yang pasti. Pikiran saja baik-baik dulu," jelas Herman dengan santai.Lagi dan lagi nama Selvi yang dibawa-bawa membuat Amera benar-benar harus waspada kepada tamannya itu, ternyata kecurigaan Bik Tini bukan hanya isapan jempol saja.Namun, apa yang menjadi dasar Selvi melakukan hal ini kepadanya? Apakah benar ad
Setelah puas bermain dengan Kejora dan sesekali bertengkar dengan Bik Tini, Hermawan memilih berpamitan.Tidak henti-hentinya lelaki itu membujuk Amera untuk bekerja di perusahaan miliknya, walaupun Bik Tini berkali-kali juga meminta Amera untuk menolaknya.Amera menjadi bingung, ucapan siapa yang harus ia ikuti. Hingga malam harinya, wanita itu melamun di balkon kamarnya yang menghadapan langsung ke arah jalan raya."Mas, apa Paman Hermawan bisa aku percaya?" gumam Amera berbicara sendiri seraya melihat germelap lampu jalan berada di bawah sana serta kendaraan yang berlalu lalang.Tidak bisa Amera pungkiri, kalau benar-benar kehilangan sosok lelaki yang begitu ia cintai. Rudy meninggalkan sejuta kisah yang tidak bisa Amera lupakan. Hingga tragedi waktu itu menghantuinya kembali."Mbak Amera! Mbak!" teriak Andre dengan begitu keras seraya mencari keberadaan Amera yang kini tengah berada di kamarnya.Ia menatap heran wajah adik iparnya yang nampak pucat dengan keringat mengucur deras m