Share

Bab 7 Pernikahan Andre

Sudah beberapa hari setelah kejadian waktu itu, Andre seakan kehilangan gairah hidupnya. Ternyata ia terlalu naif, cintanya memang terbalaskan. Namun, sang pujaan hati memilih untuk menjauh. Andaikan saja waktu bisa diulang kembali, maka Andre lebih memilih menjadi adik ipar Amera untuk selamanya dari pada wanita itu menjaga jarak seperti sekarang.

"Ndre! Kenapa sih wajahmu ditekut terus? Hari ini kamu akan menikah!"

Andre hanya memutar bola matanya malas, pemuda itu enggan meladeni ucapan sang mama yang datang menghampirinya. Padahal ijab qobul sebentar lagi akan segera dimulai.

Mungkin Rossa berhasil membuat Andre mau menikah dengan Hesti, tapi tidak dengan hati dan juga raga putranya yang masih tertinggal kepada Amera.

Dengan langkah gontai Andre ditarik paksa Rossa untuk segera keluar dari kamar, bisa-bisa dirinya dipermalukan oleh putranya itu jika para tamu mereka kelamaan menunggu.

"Mohon maaf Pak, Bu, Andre kelamaan dirias," kata Rossa tersenyum lebar seraya meminta maaf kepada bebeapa orang yang sedari tadi menunggu di ruangan tamu rumah mereka.

Sesuai dengan syarat yang Andre ajukan, bahwa hanya akan ada ijab qobul. Tidak ada resepsi pernikahan untuk hari yang seharusnya pemuda itu bahagia, namun hanya ada guratan keterpaksaan.

Pernikahan tanpa dasar cinta, bagaikan masakan tanpa garam. Rasanya hambar dan tidak enak untuk dimakan.

"Oh iya, Bu. Silahkan Nak Andre duduk di sana," pinta Ronal–adik dari mendiang ayah Andre yang diminta oleh Rossa menjadi saksi hari bersejarah untuk sang keponakan.

Andre hanya bisa menurut seraya berjalan dan mendudukkan bongkoknya di depan seorang penghulu yang dibatasi oleh sebuah meja kecil.

Berkali-kali Andre membuang nafas panjang, entah bagaimana hati dan perasan Amera saat ini kalau melihat dirinya sebentar lagi akan menikah dengan wanita lain.

"Apakah Pak Andre sudah siap?" tanya sang penghulu. Andre hanya mengagguk kecil, siap ataupun tidak, dirinya harus melakukan pernikahan ini. Kalau tidak, sang mama akan membekukan semua rekening Amera dan membuat kakak iparnya itu akan mengalami kesulitan ekonomi.

Semua kendali masih berada ditangan Rossa, segala aset rumah dan perusahaan atas nama wanita itu. Andre bisa apa untuk melawan mamanya? Terlebih diancam demikan, mana bisa ia membiarkan Amera dan Kejora sampai mati kelaparan nantinya.

"Baiklah, kita akan segera melaksanakan pernikahan Pak Andre dan Ibu Hesti," jelas sang penghulu.

Di saat Andre tersiksa akan pernikahan tersebut, Hesti malahan tersenyum bahagia. Wanita itu sebentar lagi akan menjadi nyonya dari Andre Satiawan, tidak akan ada yang berani meremehkannya lagi.

Hesti tidak perduli dengan apa yang telah terjadi sebelumnya, bagi wanita itu apa yang ia dapatkan hari ini merupakan rezeki nomplok. Mendapatkan lelaki kaya dan tampan berserta ibu mertua yang baik, nikmat mana lagi yang bisa ia dustakan.

Hingga ijab qobul pun berjalan dengan lancar tanpa hambatan, walaupun Andre sempat salah menyebutkan nama ayah Hesti. Namun akhirnya mereka pun telah sah menjadi pasangan suami–istri.

"Selamat ya, Dek. Semoga kamu bahagia."

Jantung Andre seakan berhenti berdetak seketika, manik matanya menatap tidak percaya dengan wajah cantik yang tersenyum tulus tersebut.

Tanpa Andre sadari air matanya menetes begitu saja, ia menahan tangan Amera. Seakan tidak ingin kakak iparnya itu pergi, hati Andre tersiksa akan semua ini.

Hesti yang berada di samping Andre merasa cemburu dan dengan kasar ia menarik tangan lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu.

"Tolong ya Bu Amera, jangan gatel jadi janda!"

Hati Amera terasa diremas akan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Hesti, dirinya tidak menyangka sama sekali. Kalau yang merebut Andre darinya adalah teman baiknnya dulu ketika masih bekerja.

Sedangkan Andre yang tersadar dari perasaannya segera memarahi Hesti, walaupun wanita itu adalah istrinya.

"Kamu kenapa bicara seperti itu! Hah!"

Karena Amera tidak ingin terjadi keributan, kemudian memilih untuk segera berlalu. Andaikan saja dirinya tidak memikirkan bahwa Andre adalah paman Kejora, mungkin dirinya tidak akan datang hari ini.

Bik Tini juga ikut andil dalam memujuk Amera, setidaknya mereka harus berpamitan kepada Andre dan Rossa. Sebab, ada ikatan darah antara Kejora dengan kedua orang tersebut.

"Mas, aku ini istrimu! Sedangkan dia hanya—"

"Cukup Hesti! Kamu hanya istri di atas kertas!" teriak Andre nyaring dan segera menyusul Amera yang sudah berlalu.

Semua orang yang berada di dalam ruangan tersebut bungkam seketika, terlebih Hesti yang menangis tersedu-sedu dan Rossa berusaha membujuk menantu barunya itu.

"Ma, Andre tega sama aku," adu Hesti.

"Sabar ya Sayang, Andre memang sudah keterlaluan!" kata Rossa kesal akan sikap putranya barusan yang telah membuatnya menjadi malu.

Sedangkan Andre yang mengajar Amera berhasil meraih tangan kakak iparnya itu, ia benar-benar merasa bersalah. Mungkin ini adalah kesempatannya untuk menjelaskan kebenarannya.

"Mbak, tunggu dulu," kata Andre.

Amera berbalik badan dan menatap pemuda tersebut, kini kedua manik mata mereka saling bertemu. Ada rasa cinta dan rindu yang tergambar, tapi semuanya ditutupi oleh rasa sakit dan benci.

"Kamu mau apalagi, Dek?" tanya Amera membuat Andre tersadar.

"Aku mau menjelaskan semuanya, Mbak. Sebenarnya—"

Amera segera memotong ucapan Andre dan membuat pemuda itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

"Semuanya sudah jelas, Dek. Mbak baik-baik saja, malahan Mbak berbahagia atas pernikahanmu," jelas Amera.

Bohong! Semuanya adalah kebohongan yang diucapkan oleh bibir manis Amera, di dalam hati wanita itu terus saja menjerit-jerit menahan rasa sakit dan pilu ketika melihat Andre bersanding dengan Hesti.

Andre yang masih menggenggam tangan Amera kembali berusaha mempertahankan agar kakak iparnya itu masih bisa berada didekatnya.

"Aku hanya mencintaimu, Mbak. Aku menikah dengan Hesti karena Mama."

Amera merasa muak dengan apa yang baru saja ia dengar, jika Andre bisa menikah dengan Hesti karena permintaan Mama Rossa. Maka akan mudah bagi Andre juga melupakannya, jika Mama Rossa meminta hal itu.

Ternyata sesakit ini mencintai seseorang dengan tulus dan mengorbankan perasan sendiri, demi kebahagiaan orang yang dicinta. Benar adanya, kalau cinta itu buta dan bodoh.

"Maafkan Mbak, Dek. Sebenarnya Mbak hanya ingin berpamitan padamu, tolong ... temui Kejora untuk terakhir kalinya," jelas Amera langung pada niat awalnya datang.

Tubuh Andre seketika terasa lunglai, seakan tidak memiliki tulang lagi. Ia menatap tidak percaya kearah Amera dan menggeleng cepat.

"Mbak, gak sedang bercanda 'kan?" tanya Andre penuh harapan.

"Sekali lagi mohon maaf, Dek. Mungkin ini yang terbaik untuk kita, bahagialah dengan istrimu. Doa Mbak selalu menyertai kalian."

Amera berusaha untuk tetap terlihat tegar, ia ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat. Sebab, semakin lama menatap Andre membuatnya tidak kuat untuk berpisah.

Cukup lama Andre terdiam dan mencerna ucapan Amera, mungkin benar jika ini yang terbaik untuk mereka berdua. Akhirnya Andre memilih mengalah dan minta dipertemukan dengan Kejora yang ternyata masih menunggu di dalam mobil bersama Bik Tini.

Andre segera memeluk tubuh Kejora dan menciumi seluruh pipi gadis kecil itu, mungkin hal ini merupakan terakhir kalinya dan akan sangat ia rindukan nanti. Sebab, Andre tidak bisa menghentikan keinginan Amera.

"Ayah, hentikan! Geli!" gelak Kejora menahan wajah Andre yang terus menciumi wajahnya sampai keleher.

"Sayang, Ayah minta kamu jagain Bunda ya? Jangan biarkan Bunda dekat sama Om-Om," pinta Andre seraya mencuibit gemas hidung Kejora yang telah ia anggap seperti anak sendiri. Setelah mendapatkan anggukan dari gadis itu barulah Andre menyerahkan kepada Bik Tini dan menutup pintu mobil kembali.

"Jaga diri, Mbak. Aku selalu mencintaimu," kata Andre yang bagaikan angin lalu untuk Amera. Kemudian mobil tersebut pun melaju menjauh, lagi dan lagi Andre harus menelan pil pahit.

"Mana pelakor tadi?" pekik Hesti.

"Apalagi ini ya Tuhan?" gumam Andre.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status