Dengan pikiran buntu dan hati yang panas Zayn berjalan kaki di trotoar setelah meninggalkan kediaman Richermond. Harapan terakhirnya pupus sudah. Semua gara-gara pria sialan keturunan Adira Lukmana itu! Zayn merutuki Jovan.Ketika sampai di sebuah halte bus, Zayn memilih untuk duduk sendiri bengong meratapi nasibnya yang naas. Dia seharusnya menjadi pewaris tunggal aset kekayaan mendiang papanya. Namun, semua tidak bisa diusut. Pengacara keluarga Pradipta malah tersandung kasus hukum hingga masuk bui. Dia sekarang luntang lantung hanya punya dompet dan HP saja. Entah barangnya di kost sudah dibuang ke mana oleh pengelola tempat tersebut atau pula disimpan kalau orangnya baik hati. Zayn belum sempat pulang ke kost. Sebuah mobil sedan Ferrari merah berhenti tak jauh dari halte bus tempat Zayn duduk bengong sendirian di sana. Seorang wanita dengan penampilan heboh dan riasan tebal mendekati Zayn."Hai, apa Mas lagi butuh pekerjaan? Kenalkan namaku Mami Rosa. Aku suka wajah dan perawaka
"ZAYN! Lepasiiiin—nanti gue basah!" jerit gadis itu diwarnai gelak tawa ketika tubuh rampingnya digendong menuju ombak yang bergulung ke tepi pantai.Namun, pacarnya yang bernama Zayn itu justru tak memedulikan protes Intan dan terus memanggulnya di bahu kokohnya lalu menceburkan gadis cantik berambut sepunggung tadi ke dalam air laut berombak sedang. "Gue emang pengin basah-basahan kok, nggak usah protes deh! Hahaha," balas Zayn yang berbasah-basahan terkena deburan ombak. Sebelum bibir mungil merah muda itu kembali merepet, Zayn melahapnya dan mengisapnya kuat-kuat tanpa menghiraukan deburan ombak yang kembali menerpa mereka berdua.Berada dalam rengkuhan badan kekar pemuda itu membuat Intan pun seolah lunglai tak berdaya menghadapi segala pesona seorang Zayn. Kekasihnya dulu saat SMA adalah bintang sekolah, super duper ganteng, dan tajir melintir. Sebuah paket komplit sebagai pacar bagi gadis remaja yang 'bukan siapa-siapa' sepertinya."Tan ... gue cinta banget sama lo!" ucap Zayn
"Hoeekk ... hooeekk!" Suara mual yang berulang kali terdengar di kamar mandi pagi itu membuat seisi Panti Asuhan Kasih Ibu Kartini menjadi gembar."Intan, apa kamu masuk angin? Mau Bunda kerokin?" Wanita berusia setengah abad itu memijit tengkuk anak asuh kesayangannya yang masih membungkukkan badannya menghadap kloset.Kemudian Intan pun berdiri dan menjawab, "Intan minum obat aja, Bun. Paling juga sebentar udah baikan, maklum cuacanya lagi nggak menentu 'kan?""Ohh, ya sudah. Kamu isi dulu perut kamu pake nasi soto ayam yang Bunda bikin. Sedikit nggakpapa, yang penting nggak kosong dan bisa buat minum obat. Kuliah kamu hari ini apa mending libur aja?" ujar Bunda Kartini merangkul bahu Intan seraya berjalan keluar dari kamar mandi menuju ke meja makan."Iya, Bun. Terpaksa begitu, Intan bolos sehari kuliahnya. Besok lihat catatan kuliah teman Intan aja," jawab gadis itu sembari duduk di meja makan panjang bersama adik-adik yang sama-sama menjadi anak asuh di panti asuhan Bunda Kartini
"Huhh ... sial ... sial ... sial!" teriak kesal Zayn sembari memukul gagang setir mobilnya. Tak dipungkiri hatinya masih tak rela mengakhiri hubungannya dengan Intan baru saja."Gue udah ingetin bolak-balik pake pil kontrasepsi biar kagak kebobolan. Dasar perempuan tolol, rusak semua jadinya!" maki pemuda itu penuh amarah di dalam mobilnya yang melaju kencang menuju ke rumah keluarga Pradipta di pinggiran kota Jakarta yang tenang.Tak biasanya Zayn pulang ke rumah itu, tetapi kali ini mamanya mengiriminya pesan agar dia hadir makan malam bersama di sana. Ucapan mamanya itu mutlak harus dipatuhi kalau masih menginginkan suport materi secara penuh. Bendahara di keluarga Pradipta adalah mamanya, Nyonya Selvi Ratna Pradipta. Sedangkan, papanya yaitu Bramantyo Muis Pradipta hanya tahu mencari nafkah dan menambah pundi-pundi kekayaan keluarga mereka. Pak Bram hanya tahu beres atas segala pengaturan istrinya yang memang jago menaruh pos-pos keuangan keluarga. Hubungan Zayn dan Intan memang
Dari kaca jendela kamarnya yang ada di lantai 2 Zayn menyaksikan kepergian dua orang wanita berbeda generasi itu berjalan kaki berangkulan menuju pintu gerbang rumahnya. Dia sudah dapat membayangkan pertemuan Intan dan ibu asuhnya dengan mamanya. Pastilah teramat menyakitkan hati.Pria muda itu menghela napas dalam-dalam dengan kedua tangan terbenam di saku celana panjang kainnya. Tiba-tiba pintu kamar Zayn diketok dari luar."Masuk, nggak dikunci kok!" ujar Zayn ringan dengan punggung masih membelakangi pintu kamarnya.Ternyata mamanya yang mengunjunginya, wanita itu menghampiri Zayn di depan jendela kaca yang tertutup. "Perempuan yang bernama Intan itu hamil dan ingin meminta pertanggung jawabanmu, Nak. Mama memberikannya cek giro untuk dicairkan di bank sebanyak 100 juta rupiah," cerita Nyonya Selvi."Ma, jangan kasih dia duit. Enak aja duit sebanyak itu dikasih cuma-cuma!" protes Zayn keras dengan alis berkerut. "Ohh ... Mama tadi pikir biar dia nggak ganggu kamu lagi, Zayn. Kamu
Pak Rusli, manager bank tempat Intan akan mencairkan cek giro dari mama Zayn itu ikut panik. Beliau pun menelepon Nyonya Selvi harus dibawa ke rumah sakit mana karena bingung."Ohh ... baik—baik, saya mengerti. Akan saya bawa ke rumah sakit itu, Bu Selvi!" jawab Pak Rusli sebelum menutup panggilan teleponnya. Kemudian dia memanggil sopir pribadinya untuk menjemput di depan pintu keluar bank.Bunda Kartini tidak menaruh curiga sedikit pun dan malah berterima kasih karena manager bank swasta tersebut mau direpotkan mengurusi Intan yang pingsan. Mobil Expander hitam tersebut melaju kencang menuju ke Rumah Sakit Persada Medika. "Terima kasih lho, Pak Rusli atas bantuannya!" ujar Bunda Kartini di dalam mobil yang masih dalam perjalanan ke rumah sakit."Tidak perlu sungkan, Bu. Kasihan Mbak Intan ini 'kan sedang hamil muda. Takut janinnya terganggu karena syok. Semoga saja dokter di sana bisa merawat ibu dan janinnya dengan baik," jawab Pak Rusli yang memang tidak begitu paham persoalan I
Durasi panjang penerbangan dari Jakarta sampai Swiss berakhir sudah. Hari pun telah petang di negara teraman dan terbersih sedunia itu. Zayn bersama asisten pribadinya mengantre untuk turun dari pesawat. Mereka mengambil koper barang bawaan di bagian pengambilan bagasi lalu Martin mendorong troli berisi 4 koper besar yang 3 di antaranya adalah milik tuan mudanya."Siapa yang jemput kita di bandara, Martin?" tanya Zayn dengan cuek. Penampilannya begitu keren dengan mantel Burberry mahal warna blue navy dan kaca mata Gucci yang bertengger di hidung mancungnya.Martin pun menjawab, "Ada sopir pribadi dari perusahaan papanya Mas Zayn yang jemput. Nah itu dia bawa papan nama kamu, Mas!" Dia menunjuk ke kerumunan penjemput penumpang penerbangan internasional.Seorang pria berambut pirang sebahu bertampang bule memegangi papan kertas bertuliskan nama lengkap Zayn. Dia mengenali pemuda yang akan dijemputnya itu dari kejauhan karena sudah dikirimi foto Zayn via email sehari sebelumnya oleh Mar
Setelah kuliah pagi berakhir, Intan menemui kepala bagian akademik untuk menghadiri surat panggilan yang diterimanya kemarin di alamat panti asuhan domisilinya. "Selamat pagi. Silakan duduk, ini benar Intan Malika Kahiyang ya?" sapa Pak Widagdo Prasojo, kabag akademik kampus tempat Intan berkuliah.Intan berjabat tangan lalu duduk di sofa seberang Pak Widagdo, dia menjawab, "Selamat pagi, Pak Wid. Benar, saya Intan. Kemarin siang ada surat yang dikirim dari kampus ke tempat tinggal saya. Ada apa ya?""Baik. Memang benar surat tersebut dikirim untuk Mbak Intan. Sebelumnya saya mau meminta maaf karena harus menyampaikan kabar buruk. Jadi beasiswa penuh untuk Mbak Intan dicabut dari pusat. Silakan untuk semester berikutnya, kalau kuliah ingin dilanjutkan bisa dibayar dengan pembiayaan mandiri," tutur Pak Widagdo Prasojo dengan nada tenang. Dia hanya penyambung lidah dari dekanat dan juga bagian administrasi mahasiswa.Seperti mendengar petir di siang bolong, Intan sontak terkejut. Dia l