Share

Kenapa Bohong

Author: Money Angel
last update Last Updated: 2025-10-04 10:12:08

Ruang restoran itu masih riuh dengan suara gelas berdenting, tawa karyawan, dan aroma hidangan yang menggoda. Tapi bagi Hana, suasana yang seharusnya menyenangkan itu terasa menyesakkan.

‘Tidak semua orang ingin mendengar kabar bahagia orang lain, katanya?’ kalimat Adam sebelumnya masih terngiang jelas di kepala Hana, ‘Jadi, dia benar-benar nggak mau mengaku kalau kami saling kenal, ya?’ sambungnya bergumam miris dalam hati.

Setiap senyum dan canda rekan kerja rasanya seperti tembok yang menekan. Hana menarik napas pelan, mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. 

Wanita itu tidak pernah biasa minum-minum seperti itu, apalagi alkohol. Akan tetapi, di suasana hati serapuh ini, dan ketika salah seorang staff mengangkat gelas dan mengajak semua orang bersulang, untuk menyambut Adam, Hana merasa terpanggil untuk ikut.

‘Masa bodoh. Kalau dia mau seperti itu, jadi biarkan saja.’ Hana bergumam lagi sambil mengangkat gelas kecil berisi minuman bergelembung. Sekali teguk, hangatnya perlahan meresap dan sedikit melemaskan ketegangan di bahunya, ‘Pun, sepuluh tahun nggak ketemu, hidup aku masih terus jalan, kan?’

Suasana di setiap meja pun mulai berubah. Gelak tawa lebih lepas, obrolan semakin mencair tanpa canggung, dan semua seakan berterima kasih pada Adam yang tidak secara langsung menghadirkan momen seperti ini. 

Semua orang tampak menikmati momen hangat itu, tapi di sisi lain ruangan, ada sepasang mata yang tak lepas mengamati. Tatapan Adam yang dingin tapi penuh perhatian, terus mengarah ke meja Hana. 

Sedangkan Hana sendiri sudah meneguk minuman itu sekitar empat kali, membuat pipinya mulai terlihat memerah tipis. Ia merasa sedikit lebih santai berada di keramaian rekan kantor, yang nyatanya tidak ada yang mengerti apa yang ia rasakan.

Namun, nyatanya ke-santaian Hana tidak bertahan lama. Ia mulai merasakan kepalanya berdenyut. Ia tersenyum kaku pada Mira dan Rani, lalu menunduk sejenak.

“Kayaknya aku… udah cukup, Ran, Mir.” gumamnya pelan, berusaha terdengar santai, “Aku pamit dulu, ya.”

Mira menepuk bahunya, “Iya, hati-hati pulangnya. Kamu udah kebanyakan minum, Han. Takutnya besok izin nggak masuk. Bisa gawat dunia persilatan.”

“Iya, pulang langsung, Han. Jangan mampir-mampir lagi. Nanti sampai kos-kosan kabarin kita, ya.” Rani menambahkan.

Hana hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia menarik tasnya dan melangkah keluar restoran. 

Di luar, udara malam yang dingin menyegarkan sedikit kepalanya, tapi efek minuman itu masih terasa samar-samar. Perasaannya campur aduk antara merasa lega karena bisa keluar dari keramaian, dan grogi yang tertinggal dari ketersinggungan akibat kalimat pedas Adam tadi.

Di halte depan restoran itu, Hana duduk menunggu dengan tangan menggenggam tasnya. Sesekali ia melirik ponsel, men-scrolling nama kontak yang bertanda favorit di ponselnya.

Ia mencoba menghubungi sang kekasih, berharap Reza segera datang menjemput, tapi teleponnya terus berdering tanpa jawaban. 

“Nggak diangkat. Chat juga nggak dibaca, padahal aktif.” Gumamnya sambil mendesah lelah, “Matahari nongol dari Barat dong, kalau Reza Pradipta nggak sibuk hari gini.” Sambungnya menyebut fakta miris tentang tunangannya.

Sibuk, sibuk, dan sibuk. Satu kata itu seolah sudah berakar pada image Reza di mata Hana.

Hana mendesah pelan. “Tapi kasih pengecualian, dong. Time-nya aku lagi butuh kamu, Za. Please angkat telepon aku sekarang…” gumamnya frustasi, menunduk menatap layar ponsel. 

Pusing akibat minuman membuatnya merasa semakin lelah. Ia menutup mata sesaat, menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi nyatanya Hana malah tidak sadar bisa terlelap sesaat, dan nyaris jatuh ke tanah kalau saja seseorang tidak menyanggah tubuhnya.

“Ceroboh banget, sih? Kamu bisa jatuh kalau tidur begini!” Suara itu terdengar berat, bahkan lebih berat saat nada kesalnya jelas terdengar, “Kenapa nggak pulang dan malah diam di sini? Nggak takut bahaya?”

Saat Hana yang sudah di ambang kesadaran mencoba membuka mata pada sosok di dekatnya saat ini, ia tersenyum pahit, “Oh, kamu.”

“Bukannya harus profesional, apalagi saya orang asing… anda siapa, ya?” dengan gaya khas orang maabuk, Hana membalikkan pernyataan pada pria itu—Adam.

Adam mengepalkan tangannya geram. Ia pun berdiri dengan menahan kesal, “Bangun. Ayo saya antar pulang.” Ajaknya. Tapi nadanya masih dingin.

“Nggak. Ini bukan jam kerja, ya. Jangan sok ngatur!” Hana menggeleng cepat sambil menggembungkan pipinya kesal. Tentu saja keberanian itu muncul karena pengaruh mabuknya.

“Hana Pramesti, jangan kayak bocil. Ayo pulang sekarang.” Nada Adam lebih dingin. Ia pun menarik tangan Hana tanpa izin.

Hana mematung mendengar namanya dipanggil dengan lengkap.

‘Hana Pramesti, jangan kayak bocil, deh. Kalau diputusin cowok langsung nangis gini, udah jangan pacaran lagi. Tunggu aku gede biar aku yang jadi suami Kak Hana!’

Air mata Hana menggenang dan nyaris tumpah. Ia menengadahkan wajahnya memandang Adam, “Kenapa bohong?” Tanyanya lirih. Hana melepas genggaman tangan Adam, lalu memukulkan kedua tangannya ke dada bidang Adam, “Kenapa…”

Adam hanya diam menerima kekesalan Hana. Selain tidak bisa menjelaskan apapun pada wanita yang mabuk, ia memiliki alasan kenapa ia berpura-pura tidak mengenal wanita itu.

“Aku tau kamu Adam-nya aku. Tapi kenapa bohong? Kenapa pura-pura nggak kenal Kakak kamu sendiri, Dam…” Hana mulai menangis, meraung dengan kesal tanpa menghentikan pukulannya pada Adam.

Adam tetap diam. Memejamkan mata mendengar semua ocehan jujur Hana. Dan ketika merasa wanita itu sudah lelah meluapkan emosi, tangan Adam terangkat untuk mendekap dan membawa tubuh Hana ke dalam pelukannya.

“Kalau begini, jelas aku jadi nggak bisa nyerah…” gumamnya.

Sementara Hana sendiri mulai mereda. Bersandar di dada Adam rasanya seperti menemukan tempat pulang yang nyaman. Karena faktanya, saat dulu pun, ia harus memeluk adik kecilnya itu saat bersedih, dan dengan itu barulah dunia terasa adil untuknya.

“Jangan pergi lagi, Dam… Aku kesepian…” gumamnya pelan di akhir-akhir isak tangisnya. Ia terus menenggelamkan wajahnya, terus rakus mencari kenyamanan, hingga perlahan Hana tertidur di pelukan Adam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Bukan Sambutan Hangat

    Seperti biasa, kebersamaan mereka berdua dilalui dengan senyap. Perjalanan pun sepi tanpa tanya jawab intens selayaknya pasangan. Sampai ketika mobil Reza memasuki perumahan elite dan berhenti di depan rumah orang tua kekasih Hana itu.Halaman memang tidak terlalu luas, tapi taman mini di sana tertata rapi dan membuat hati teduh ketika memandang. Akan tetapi, keteduhan itu tidak berpengaruh untuk hati Hana yang sedang bergemuruh tegang.Tangan Hana meremas tas sandangnya. Sementara itu Reza di sampingnya tersenyum, “Udah siap? Masuk, yuk!” Ajaknya.Hana mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Gimana kalau aku nanti…”Senyum Reza tersimpul, “Santai aja. Nggak bakalan gimana-gimana, kok. Aku udah cerita tentang kamu sama Mama Papa.”Nyatanya kalimat Reza belum berhasil membuat Hana tenang. Bahkan saat Reza sudah turun dan membukakan pintu untuknya jantung Hana malah semakin berdebar.‘Bisa, Hana. Bisa yuk, bisa!’ sebutnya untuk menyemangati diri sendiri.Begitu Hana melangkah masuk ke da

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Hubungan Hambar

    Sabtu tiba dengan cepat. Tapi sesore ini, Hana masih berdiri di depan jendela kecil pantry kantor sambil memegang gelas kopinya. Wanita itu terlihat melihat kosong ke langit, tapi pikirannya dipenuhi momen kacau setelah malam mabuknya kemarin.Wajah Adam masih sangat jelas mendominasi pikirannya. Mengingat lagi bagaimana wajah Adam yang sebelumnya masih terkekeh mengejek dan menggodanya dengan omong kosong, seketika berubah kaku dan kesal saat Hana mengungkit cerita masa lalu.“Kalau memang bukan dia, kenapa harus kesal gitu?” gumamnya bingung. Hana mulai menyeruput kopinya, “Nggak nyambung banget. Bikin orang bingung—,”“Hanaaa, selamat, yaw!”Suara Rani mengagetkan lamunan Hana, dan langsung membuatnya menoleh, “Apaan sih? Ngagetin aja!” decaknya.“Cieee, yang bentar lagi mau sold out. Padahal kalau belum tahun ini, aku mau jadiin kamu mentor aku, tau.” Celetuk Rani sambil mengambil cangkir minumnya.Hana malah semakin bingung, “Selamat buat apa sih, Ran? Mentor apaan, lagi?”Rani m

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Sampai Kapan

    Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana. Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas.Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. “Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.”Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?”Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang, kamu itu adiknya saya.”"Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Pagi Yang Kacau

    Sinar matahari menyusup tirai putih tebal bangunan tinggi hotel bintang lima itu, menyapa wajah Hana yang masih damai dalam tidur. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Hana mengerjap beberapa kali setelah merasa aneh dengan tempat asing yang jauh berbeda dari kamarnya, “Ini di mana?” gumamnya serak.Ia mulai bergerak duduk perlahan, dengan pandangan yang masih buram dan sakit kepala sisa mabuk semalam. Akan tetapi, belum sempat Hana berpikir panjang, matanya langsung dikejutkan sesuatu. Di sampingnya, ada sosok pria yang tidur dengan bertelanjang dada.Hana seketika menutup mulutnya yang refleks terbuka karena kaget. “Si-siapa dia?” ucapnya pelan. Tapi sayang sekali otaknya belum sinkron karena saat ini ia sedang memuji tanpa malu dalam hati.‘Gila banget, punggungnya… aduh.’ Karena memang punggung terbuka yang ia lihat saat ini begitu lebar dan menunjukkan otot-otot yang jelas, dan dengan kulit yang tanpa celah. Bahkan mata Hana liar menyusuri setiap garis otot itu hing

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Kenapa Bohong

    Ruang restoran itu masih riuh dengan suara gelas berdenting, tawa karyawan, dan aroma hidangan yang menggoda. Tapi bagi Hana, suasana yang seharusnya menyenangkan itu terasa menyesakkan.‘Tidak semua orang ingin mendengar kabar bahagia orang lain, katanya?’ kalimat Adam sebelumnya masih terngiang jelas di kepala Hana, ‘Jadi, dia benar-benar nggak mau mengaku kalau kami saling kenal, ya?’ sambungnya bergumam miris dalam hati.Setiap senyum dan canda rekan kerja rasanya seperti tembok yang menekan. Hana menarik napas pelan, mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. Wanita itu tidak pernah biasa minum-minum seperti itu, apalagi alkohol. Akan tetapi, di suasana hati serapuh ini, dan ketika salah seorang staff mengangkat gelas dan mengajak semua orang bersulang, untuk menyambut Adam, Hana merasa terpanggil untuk ikut.‘Masa bodoh. Kalau dia mau seperti itu, jadi biarkan saja.’ Hana bergumam lagi sambil mengangkat gelas kecil berisi minuman bergelembung. Sekali teguk, hangatnya

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Mana Mungkin Lupa

    Suasana ruang rapat kembali hening setelah para staf mulai keluar satu persatu dari ruangan. Tapi Hana masih di sana, berdiri memegang mapnya. Jantungnya terasa berdegup kencang melihat Adam ada di hadapannya saat ini.Adam sedang merapikan dokumen di meja, seolah benar-benar tidak terusik oleh keberadaannya atau apapun.Hana menggigit bibir bawahnya, tertekan rasa penasaran yang semakin kuat, ‘Dia Adam-ku, kan? Aku nggak mungkin salah lihat.’Dengan langkah pelan, Hana mendekat, “Maaf, Pak Adam,” ucapnya ragu. Suaranya terdengar lebih kecil dari yang diharapkan.Adam mengangkat wajah, menatapnya dengan mata dingin yang membuat tenggorokan Hana seolah kering.“Ada yang ingin kamu sampaikan, Miss Hana?” nada suaranya tetap datar, profesional.Hana menelan ludah. Ia menunduk sedikit mencoba menutupi kegugupan, “Ini mungkin kedengaran aneh, Pak…”Adam diam, setuju menunggu.Hana menarik napas dalam, “Apa… apa Bapak tidak mengenal saya?”Adam mengerutkan alis tipis, tapi tidak langsung me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status