Share

Mana Mungkin Lupa

Author: Money Angel
last update Last Updated: 2025-10-03 18:58:52

Suasana ruang rapat kembali hening setelah para staf mulai keluar satu persatu dari ruangan. Tapi Hana masih di sana, berdiri memegang mapnya. Jantungnya terasa berdegup kencang melihat Adam ada di hadapannya saat ini.

Adam sedang merapikan dokumen di meja, seolah benar-benar tidak terusik oleh keberadaannya atau apapun.

Hana menggigit bibir bawahnya, tertekan rasa penasaran yang semakin kuat, ‘Dia Adam-ku, kan? Aku nggak mungkin salah lihat.’

Dengan langkah pelan, Hana mendekat, “Maaf, Pak Adam,” ucapnya ragu. Suaranya terdengar lebih kecil dari yang diharapkan.

Adam mengangkat wajah, menatapnya dengan mata dingin yang membuat tenggorokan Hana seolah kering.

“Ada yang ingin kamu sampaikan, Miss Hana?” nada suaranya tetap datar, profesional.

Hana menelan ludah. Ia menunduk sedikit mencoba menutupi kegugupan, “Ini mungkin kedengaran aneh, Pak…”

Adam diam, setuju menunggu.

Hana menarik napas dalam, “Apa… apa Bapak tidak mengenal saya?”

Adam mengerutkan alis tipis, tapi tidak langsung menjawab.

Hana menambahkan kalimatnya lagi, “Sepuluh tahun lalu, di bandara. Adik saya, Adam kecil yang selalu ikut saya—”

“Profesionalisme sangat penting di perusahaan ini,” potong Adam tenang, meski sorot matanya berkedip nyaris tak terlihat, “Kalau kamu punya pertanyaan terkait proyek merger, silakan. Untuk hal pribadi, kita sebaiknya fokus pada pekerjaan.”

Hana terdiam. Pipinya terasa panas, seperti baru saja menabrak tembok tak kasat mata, ‘Nggak mungkin lupa. Aku yakin dia ingat, tapi kenapa dia pura-pura?’

Adam menutup map dan berdiri, “Rapat berikutnya akan dijadwalkan pekan depan. Terima kasih atas waktunya, Miss Hana.”

Tanpa menunggu balasan Hana, ia melangkah keluar, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar dan meninggalkan Hana dengan jutaan pertanyaan yang mendesak di dadanya.

Langkah Adam terdengar mantap di koridor yang sepi, tapi dadanya berdenyut hebat. Ternyata, dia memang ingat apa yang baru saja Hana sebutkan.

‘Gimana caranya aku bisa lupa kamu, Hana?’

Tiap detail wajahnya seperti senyum gugup, mata yang masih sama hangatnya seperti sepuluh tahun lalu itu, semua menghempaskan Adam ke masa kecil yang tak pernah benar-benar ia lupakan.

Adam menahan senyum yang nyaris pecah. Rasanya senang, lega, sekaligus… getir.

‘Setelah bertahun-tahun aku menunggu hari ini, kamu masih ingat aku. Tapi yang kamu lihat hanya ‘Adam kecil’ yang dulu menempel padamu… bukan pria yang berdiri di hadapanmu dengan cara yang beda.’

Adam mengepalkan jemari, menahan dorongan untuk berbalik dan memanggil Hana.

‘Belum sekarang. Biar waktu yang membuat kamu melihat aku. Bukan lagi sebagai adik kecil, tapi sebagai laki-laki yang ingin kamu pandang sebagai lawan jenis.’

Langkahnya terus maju, meninggalkan ruang rapat. Namun, setiap detiknya dipenuhi rasa bahagia yang nyaris tak tertahan.

Sepuluh tahun yang terlewati dengan rindu, akhirnya menemukan kebebasan saat melihat Hana yang masih sama seperti saat mereka berpisah.

***

Restoran Jepang bergaya modern itu dipenuhi aroma daging panggang dan suara riuh rendah para karyawan. Meja panjang dipenuhi hidangan lezat, minuman bergelembung berkilau di bawah lampu gantung.

Malam ini adalah jamuan penyambutan Adam, sebagai CEO muda baru cabang Indonesia. 

Hana duduk di meja deretan tengah bersama rekan satu divisinya, Mira dan Rani. Terpisah beberapa meja ke depan, ada Adam yang berbicara dengan jajaran direksi senior. 

Jasnya hitam pekat, kemeja putihnya rapi tanpa cela. Aura tenangnya membuat setiap gerakan terlihat menguasai ruangan hingga menjadi highlight di sana.

“Gila nggak tuh, bos baru kita kayak aktor film,” bisik Mira saat mencondongkan tubuhnya sambil menahan tawa

“Masih muda banget lagi. Jadi CEO di umur segitu? Gila banget, kan?” sahut Rani, matanya berbinar penuh kekaguman.

Hana hanya tersenyum kaku, tetapi pandangannya tak bisa menahan diri untuk menoleh. 

‘Adam… apa kamu benar-benar bocil aku yang dulu?’

Bayangan anak laki-laki yang dulu menemaninya bermain di halaman rumah tiba-tiba melintas di kepalanya, membuat dadanya terasa aneh.

Direktur Utama mengangkat gelas, meminta perhatian semua staff di sana. Beliau memberi sambutan singkat sebelum mempersilahkan Adam berdiri untuk bicara.

“Terima kasih atas jamuan ini,” Adam membuka pidatonya dengan suara bariton yang tenang namun tegas, “Saya harap kita bisa bekerja sama membangun perusahaan ini lebih maju.”

Suara tepuk tangan dan sorakan langsung memenuhi ruangan.

Setelah toast, acara berlanjut santai. Adam mulai berpindah meja, menyapa setiap karyawan dengan senyum profesional. Namun, semakin dekat ia melangkah ke arah meja Hana, semakin ramai bisik-bisik kecil terdengar.

“Hana, kenapa kok kayak nggak happy gitu? Keinget mantan, ya?” Mira menatapnya penuh selidik.

“Namanya sama kayak Pak Adam, kan?” Rani ikut menggoda, matanya menyipit penuh arti.

“Oh!” Mira menepuk meja pelan, pura-pura ingat, “Itu yang pernah kamu sebut waktu truth or dare, kan? Nama cowok yang paling kamu sayang. Jadi… udah jadi mantan sekarang?”

Beberapa kepala di meja itu ikut menoleh, tertarik dengan percakapan mereka. Hana langsung mendesah kesal dan berdiri setengah dari kursinya.

“Yang bilang dia mantan itu siapa?!” suaranya sedikit meninggi, “Adam yang aku maksud itu anak kecil, yang udah aku anggap adik sendiri!”

Ia menatap Mira dan Rani dengan alis terangkat, “Jangan sotoy. Lagian, aku udah punya tunangan dan besok ada acara temu keluarga.”

Reaksi itu justru memancing heboh lebih besar.

“Hah? Kamu serius?” Rani nyaris berteriak, membuat beberapa orang di meja sebelah menoleh penasaran.

Mira menutupi mulutnya dengan tangan, matanya bulat, “Buset, Hana! Kamu nyembunyiin tunangan dari kita? Pantes aja kamu jual mahal sama cowok-cowok kantor!”

Beberapa rekan kerja lain yang duduk tak jauh mulai saling berbisik. Hana memang dikenal sebagai karyawan yang sederhana, sopan, tapi selalu menjaga jarak dengan lawan jenis. 

Julukan ‘Single Abadi’ bahkan melekat sebagai imagenya.

Hana hanya bisa menahan napas, wajahnya memerah karena malu sekaligus kesal. 

Sementara itu, langkah Adam semakin dekat ke meja mereka, “Permisi…” senyum tenangnya membuat suasana riuh itu terasa semakin menegangkan, “Bisa tolong tenang sedikit? Tidak semua orang mau mendengar kabar bahagia orang lain." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Bukan Sambutan Hangat

    Seperti biasa, kebersamaan mereka berdua dilalui dengan senyap. Perjalanan pun sepi tanpa tanya jawab intens selayaknya pasangan. Sampai ketika mobil Reza memasuki perumahan elite dan berhenti di depan rumah orang tua kekasih Hana itu.Halaman memang tidak terlalu luas, tapi taman mini di sana tertata rapi dan membuat hati teduh ketika memandang. Akan tetapi, keteduhan itu tidak berpengaruh untuk hati Hana yang sedang bergemuruh tegang.Tangan Hana meremas tas sandangnya. Sementara itu Reza di sampingnya tersenyum, “Udah siap? Masuk, yuk!” Ajaknya.Hana mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Gimana kalau aku nanti…”Senyum Reza tersimpul, “Santai aja. Nggak bakalan gimana-gimana, kok. Aku udah cerita tentang kamu sama Mama Papa.”Nyatanya kalimat Reza belum berhasil membuat Hana tenang. Bahkan saat Reza sudah turun dan membukakan pintu untuknya jantung Hana malah semakin berdebar.‘Bisa, Hana. Bisa yuk, bisa!’ sebutnya untuk menyemangati diri sendiri.Begitu Hana melangkah masuk ke da

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Hubungan Hambar

    Sabtu tiba dengan cepat. Tapi sesore ini, Hana masih berdiri di depan jendela kecil pantry kantor sambil memegang gelas kopinya. Wanita itu terlihat melihat kosong ke langit, tapi pikirannya dipenuhi momen kacau setelah malam mabuknya kemarin.Wajah Adam masih sangat jelas mendominasi pikirannya. Mengingat lagi bagaimana wajah Adam yang sebelumnya masih terkekeh mengejek dan menggodanya dengan omong kosong, seketika berubah kaku dan kesal saat Hana mengungkit cerita masa lalu.“Kalau memang bukan dia, kenapa harus kesal gitu?” gumamnya bingung. Hana mulai menyeruput kopinya, “Nggak nyambung banget. Bikin orang bingung—,”“Hanaaa, selamat, yaw!”Suara Rani mengagetkan lamunan Hana, dan langsung membuatnya menoleh, “Apaan sih? Ngagetin aja!” decaknya.“Cieee, yang bentar lagi mau sold out. Padahal kalau belum tahun ini, aku mau jadiin kamu mentor aku, tau.” Celetuk Rani sambil mengambil cangkir minumnya.Hana malah semakin bingung, “Selamat buat apa sih, Ran? Mentor apaan, lagi?”Rani m

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Sampai Kapan

    Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana. Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas.Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. “Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.”Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?”Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang, kamu itu adiknya saya.”"Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Pagi Yang Kacau

    Sinar matahari menyusup tirai putih tebal bangunan tinggi hotel bintang lima itu, menyapa wajah Hana yang masih damai dalam tidur. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Hana mengerjap beberapa kali setelah merasa aneh dengan tempat asing yang jauh berbeda dari kamarnya, “Ini di mana?” gumamnya serak.Ia mulai bergerak duduk perlahan, dengan pandangan yang masih buram dan sakit kepala sisa mabuk semalam. Akan tetapi, belum sempat Hana berpikir panjang, matanya langsung dikejutkan sesuatu. Di sampingnya, ada sosok pria yang tidur dengan bertelanjang dada.Hana seketika menutup mulutnya yang refleks terbuka karena kaget. “Si-siapa dia?” ucapnya pelan. Tapi sayang sekali otaknya belum sinkron karena saat ini ia sedang memuji tanpa malu dalam hati.‘Gila banget, punggungnya… aduh.’ Karena memang punggung terbuka yang ia lihat saat ini begitu lebar dan menunjukkan otot-otot yang jelas, dan dengan kulit yang tanpa celah. Bahkan mata Hana liar menyusuri setiap garis otot itu hing

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Kenapa Bohong

    Ruang restoran itu masih riuh dengan suara gelas berdenting, tawa karyawan, dan aroma hidangan yang menggoda. Tapi bagi Hana, suasana yang seharusnya menyenangkan itu terasa menyesakkan.‘Tidak semua orang ingin mendengar kabar bahagia orang lain, katanya?’ kalimat Adam sebelumnya masih terngiang jelas di kepala Hana, ‘Jadi, dia benar-benar nggak mau mengaku kalau kami saling kenal, ya?’ sambungnya bergumam miris dalam hati.Setiap senyum dan canda rekan kerja rasanya seperti tembok yang menekan. Hana menarik napas pelan, mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. Wanita itu tidak pernah biasa minum-minum seperti itu, apalagi alkohol. Akan tetapi, di suasana hati serapuh ini, dan ketika salah seorang staff mengangkat gelas dan mengajak semua orang bersulang, untuk menyambut Adam, Hana merasa terpanggil untuk ikut.‘Masa bodoh. Kalau dia mau seperti itu, jadi biarkan saja.’ Hana bergumam lagi sambil mengangkat gelas kecil berisi minuman bergelembung. Sekali teguk, hangatnya

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Mana Mungkin Lupa

    Suasana ruang rapat kembali hening setelah para staf mulai keluar satu persatu dari ruangan. Tapi Hana masih di sana, berdiri memegang mapnya. Jantungnya terasa berdegup kencang melihat Adam ada di hadapannya saat ini.Adam sedang merapikan dokumen di meja, seolah benar-benar tidak terusik oleh keberadaannya atau apapun.Hana menggigit bibir bawahnya, tertekan rasa penasaran yang semakin kuat, ‘Dia Adam-ku, kan? Aku nggak mungkin salah lihat.’Dengan langkah pelan, Hana mendekat, “Maaf, Pak Adam,” ucapnya ragu. Suaranya terdengar lebih kecil dari yang diharapkan.Adam mengangkat wajah, menatapnya dengan mata dingin yang membuat tenggorokan Hana seolah kering.“Ada yang ingin kamu sampaikan, Miss Hana?” nada suaranya tetap datar, profesional.Hana menelan ludah. Ia menunduk sedikit mencoba menutupi kegugupan, “Ini mungkin kedengaran aneh, Pak…”Adam diam, setuju menunggu.Hana menarik napas dalam, “Apa… apa Bapak tidak mengenal saya?”Adam mengerutkan alis tipis, tapi tidak langsung me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status