Mag-log inSuasana ruang rapat kembali hening setelah para staf mulai keluar satu persatu dari ruangan. Tapi Hana masih di sana, berdiri memegang mapnya. Jantungnya terasa berdegup kencang melihat Adam ada di hadapannya saat ini.
Adam sedang merapikan dokumen di meja, seolah benar-benar tidak terusik oleh keberadaannya atau apapun. Hana menggigit bibir bawahnya, tertekan rasa penasaran yang semakin kuat, ‘Dia Adam-ku, kan? Aku nggak mungkin salah lihat.’ Dengan langkah pelan, Hana mendekat, “Maaf, Pak Adam,” ucapnya ragu. Suaranya terdengar lebih kecil dari yang diharapkan. Adam mengangkat wajah, menatapnya dengan mata dingin yang membuat tenggorokan Hana seolah kering. “Ada yang ingin kamu sampaikan, Miss Hana?” nada suaranya tetap datar, profesional. Hana menelan ludah. Ia menunduk sedikit mencoba menutupi kegugupan, “Ini mungkin kedengaran aneh, Pak…” Adam diam, setuju menunggu. Hana menarik napas dalam, “Apa… apa Bapak tidak mengenal saya?” Adam mengerutkan alis tipis, tapi tidak langsung menjawab. Hana menambahkan kalimatnya lagi, “Sepuluh tahun lalu, di bandara. Adik saya, Adam kecil yang selalu ikut saya—” “Profesionalisme sangat penting di perusahaan ini,” potong Adam tenang, meski sorot matanya berkedip nyaris tak terlihat, “Kalau kamu punya pertanyaan terkait proyek merger, silakan. Untuk hal pribadi, kita sebaiknya fokus pada pekerjaan.” Hana terdiam. Pipinya terasa panas, seperti baru saja menabrak tembok tak kasat mata, ‘Nggak mungkin lupa. Aku yakin dia ingat, tapi kenapa dia pura-pura?’ Adam menutup map dan berdiri, “Rapat berikutnya akan dijadwalkan pekan depan. Terima kasih atas waktunya, Miss Hana.” Tanpa menunggu balasan Hana, ia melangkah keluar, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar dan meninggalkan Hana dengan jutaan pertanyaan yang mendesak di dadanya. Langkah Adam terdengar mantap di koridor yang sepi, tapi dadanya berdenyut hebat. Ternyata, dia memang ingat apa yang baru saja Hana sebutkan. ‘Gimana caranya aku bisa lupa kamu, Hana?’ Tiap detail wajahnya seperti senyum gugup, mata yang masih sama hangatnya seperti sepuluh tahun lalu itu, semua menghempaskan Adam ke masa kecil yang tak pernah benar-benar ia lupakan. Adam menahan senyum yang nyaris pecah. Rasanya senang, lega, sekaligus… getir. ‘Setelah bertahun-tahun aku menunggu hari ini, kamu masih ingat aku. Tapi yang kamu lihat hanya ‘Adam kecil’ yang dulu menempel padamu… bukan pria yang berdiri di hadapanmu dengan cara yang beda.’ Adam mengepalkan jemari, menahan dorongan untuk berbalik dan memanggil Hana. ‘Belum sekarang. Biar waktu yang membuat kamu melihat aku. Bukan lagi sebagai adik kecil, tapi sebagai laki-laki yang ingin kamu pandang sebagai lawan jenis.’ Langkahnya terus maju, meninggalkan ruang rapat. Namun, setiap detiknya dipenuhi rasa bahagia yang nyaris tak tertahan. Sepuluh tahun yang terlewati dengan rindu, akhirnya menemukan kebebasan saat melihat Hana yang masih sama seperti saat mereka berpisah. *** Restoran Jepang bergaya modern itu dipenuhi aroma daging panggang dan suara riuh rendah para karyawan. Meja panjang dipenuhi hidangan lezat, minuman bergelembung berkilau di bawah lampu gantung. Malam ini adalah jamuan penyambutan Adam, sebagai CEO muda baru cabang Indonesia. Hana duduk di meja deretan tengah bersama rekan satu divisinya, Mira dan Rani. Terpisah beberapa meja ke depan, ada Adam yang berbicara dengan jajaran direksi senior. Jasnya hitam pekat, kemeja putihnya rapi tanpa cela. Aura tenangnya membuat setiap gerakan terlihat menguasai ruangan hingga menjadi highlight di sana. “Gila nggak tuh, bos baru kita kayak aktor film,” bisik Mira saat mencondongkan tubuhnya sambil menahan tawa “Masih muda banget lagi. Jadi CEO di umur segitu? Gila banget, kan?” sahut Rani, matanya berbinar penuh kekaguman. Hana hanya tersenyum kaku, tetapi pandangannya tak bisa menahan diri untuk menoleh. ‘Adam… apa kamu benar-benar bocil aku yang dulu?’ Bayangan anak laki-laki yang dulu menemaninya bermain di halaman rumah tiba-tiba melintas di kepalanya, membuat dadanya terasa aneh. Direktur Utama mengangkat gelas, meminta perhatian semua staff di sana. Beliau memberi sambutan singkat sebelum mempersilahkan Adam berdiri untuk bicara. “Terima kasih atas jamuan ini,” Adam membuka pidatonya dengan suara bariton yang tenang namun tegas, “Saya harap kita bisa bekerja sama membangun perusahaan ini lebih maju.” Suara tepuk tangan dan sorakan langsung memenuhi ruangan. Setelah toast, acara berlanjut santai. Adam mulai berpindah meja, menyapa setiap karyawan dengan senyum profesional. Namun, semakin dekat ia melangkah ke arah meja Hana, semakin ramai bisik-bisik kecil terdengar. “Hana, kenapa kok kayak nggak happy gitu? Keinget mantan, ya?” Mira menatapnya penuh selidik. “Namanya sama kayak Pak Adam, kan?” Rani ikut menggoda, matanya menyipit penuh arti. “Oh!” Mira menepuk meja pelan, pura-pura ingat, “Itu yang pernah kamu sebut waktu truth or dare, kan? Nama cowok yang paling kamu sayang. Jadi… udah jadi mantan sekarang?” Beberapa kepala di meja itu ikut menoleh, tertarik dengan percakapan mereka. Hana langsung mendesah kesal dan berdiri setengah dari kursinya. “Yang bilang dia mantan itu siapa?!” suaranya sedikit meninggi, “Adam yang aku maksud itu anak kecil, yang udah aku anggap adik sendiri!” Ia menatap Mira dan Rani dengan alis terangkat, “Jangan sotoy. Lagian, aku udah punya tunangan dan besok ada acara temu keluarga.” Reaksi itu justru memancing heboh lebih besar. “Hah? Kamu serius?” Rani nyaris berteriak, membuat beberapa orang di meja sebelah menoleh penasaran. Mira menutupi mulutnya dengan tangan, matanya bulat, “Buset, Hana! Kamu nyembunyiin tunangan dari kita? Pantes aja kamu jual mahal sama cowok-cowok kantor!” Beberapa rekan kerja lain yang duduk tak jauh mulai saling berbisik. Hana memang dikenal sebagai karyawan yang sederhana, sopan, tapi selalu menjaga jarak dengan lawan jenis. Julukan ‘Single Abadi’ bahkan melekat sebagai imagenya. Hana hanya bisa menahan napas, wajahnya memerah karena malu sekaligus kesal. Sementara itu, langkah Adam semakin dekat ke meja mereka, “Permisi…” senyum tenangnya membuat suasana riuh itu terasa semakin menegangkan, “Bisa tolong tenang sedikit? Tidak semua orang mau mendengar kabar bahagia orang lain."Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga atau Flo, berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku–,”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca, “Kamu bisa bicara, Julian. Aku akan mendengar.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku bukan cum
Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga—atau Flo—berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap.Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku—”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca. “Kamu bisa bicara, Julian. Aku di sini.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku tahu. Aku dengar it
Suasana sore di dapur rumah Hana terasa tenang, hanya terdengar suara sendok beradu pelan di cangkir teh yang baru saja ia aduk. Udara membawa aroma jahe hangat yang menenangkan. Tapi hati Hana justru sebaliknya, penuh tanda tanya yang menumpuk sejak kejadian di pasar tadi.Ia memandangi jendela, di mana bayangan pepohonan menari karena hembusan angin. “Papa kenal Tante Bunga…” gumamnya lirih, seolah mengulang potongan adegan yang baru saja berlalu. Tatapan Surya kepada Bunga atau Flo, seperti yang ia dengar tadi, masih tergambar jelas di kepalanya. Tatapan yang terlalu dalam untuk sekadar pertemuan antara orang lama.Langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Adam baru pulang dari meeting luar, wajahnya tampak lelah tapi mata itu… mata itu melirik sesuatu yang berbeda dari Hana.Ada kekosongan, juga resah yang tidak biasa.“Sayang,” sapa Hana pelan sambil mendekat, “Kamu pulang? Kok aku nggak dengar suara mobil, ya?" Adam menatapnya sebentar, mencoba tersenyum, tapi senyum, “Hayo
Suara itu nyaris tak terdengar, hanya getar di udara.Surya menunduk sedikit, menatapnya dengan mata yang basah tapi tenang,.“Iya, Flo. Aku.”Bisikan itu cukup untuk membuat beberapa orang yang masih mengamati menahan napas. Ibu penjual daging yang tadi lantang kini sibuk menutup mulut dengan tangan, wajahnya merah padam, “Ma–maaf, saya… saya nggak tahu…”Suara itu gemetar, tapi Surya hanya menatapnya sebentar, lalu menghela napas.“Tidak apa-apa, Bu. Tapi lain kali, berhati-hatilah menilai seseorang. Lidah bisa lebih tajam dari pisau daging di depan Anda.”Kalimat itu membuat beberapa orang mengangguk pelan. Ada yang bahkan menepuk bahu Bunga, memberi senyum simpati, sementara Surya menggenggam tangannya dengan mantap, seolah takut jika melepaskan, semuanya akan hilang lagi.Di kejauhan, Hana yang baru selesai menawar ikan menatap dengan dahi berkerut, belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari cara Surya berdiri, ia tahu itu bukan orang asing. Kerumunan pasar mulai mencair,
Pagi itu langit belum terlalu terik. Pasar tradisional penuh suara teriakan pedagang, gesekan plastik, dan aroma sayur segar yang berpadu dengan bau tanah basah sisa hujan semalam.Surya berjalan di belakang Hana, membawa tas belanjaan besar yang setengah penuh. Menantunya itu asyik menawar ikan tenggiri, suaranya riang, seperti biasa. Tapi Surya tidak benar-benar mendengar. Ada sesuatu di udara pagi itu yang membuat langkahnya melambat. Entah kenapa, dada kirinya terasa sesak tanpa sebab yang jelas.Ia memalingkan wajah ketika samar-samar terdengar suara perempuan paruh baya yang sedang berbicara dengan nada tinggi di lapak daging beberapa meter dari tempatnya berdiri.“Jangan jual daging kita ke perempuan itu, ya! Aku udah bilang ke kamu!”Suara itu membuatnya menoleh. Di antara lalu-lalang pembeli dan deretan meja kayu, Surya melihat sosok wanita bersahaja dengan pakaian sederhana, memngenakan kemeja lengan panjang, dan dengan rambut yang disanggul seadanya.Gerak-geriknya tenang,
Sore itu, aroma masakan memenuhi seluruh rumah. Bunga dan Hana sibuk di dapur sejak siang. Meja makan sudah tertata rapi dengan sup ayam bening, ikan bakar kesukaan Adam, dan puding mangga favorit Hana.“Wah, Tante serius banget, nih,” kata Hana sambil tersenyum kagum. Bunga hanya tertawa kecil. “Namanya juga tamu penting. Masa mau disambut asal-asalan.”Adam ikut membantu menata gelas, sesekali mencuri pandang ke arah pintu. “Kayaknya Papa bentar lagi sampai. Tadi udah balas pesan aku, katanya udah di jalan.”Waktu berjalan. Langit di luar mulai memerah, lalu perlahan gelap. Empat piring sudah tersaji, empat gelas berisi teh hangat menunggu, tapi kursi keempat di ujung meja masih kosong.Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh saat ponsel Adam berdering. Ia melihat nama yang muncul di layar, lalu cepat mengangkat.“Pa?” suaranya agak ceria, tapi itu hanya di awal.Beberapa detik kemudian ekspresinya berubah.“Iya, Pa… oh… gitu… baik, Pa. Hati-hati di jalan.” Nada suaranya menuru







