Sinar matahari menyusup tirai putih tebal bangunan tinggi hotel bintang lima itu, menyapa wajah Hana yang masih damai dalam tidur. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka.
Hana mengerjap beberapa kali setelah merasa aneh dengan tempat asing yang jauh berbeda dari kamarnya, “Ini di mana?” gumamnya serak. Ia mulai bergerak duduk perlahan, dengan pandangan yang masih buram dan sakit kepala sisa mabuk semalam. Akan tetapi, belum sempat Hana berpikir panjang, matanya langsung dikejutkan sesuatu. Di sampingnya, ada sosok pria yang tidur dengan bertelanjang dada. Hana seketika menutup mulutnya yang refleks terbuka karena kaget. “Si-siapa dia?” ucapnya pelan. Tapi sayang sekali otaknya belum sinkron karena saat ini ia sedang memuji tanpa malu dalam hati. ‘Gila banget, punggungnya… aduh.’ Karena memang punggung terbuka yang ia lihat saat ini begitu lebar dan menunjukkan otot-otot yang jelas, dan dengan kulit yang tanpa celah. Bahkan mata Hana liar menyusuri setiap garis otot itu hingga menuju ke pinggang. “Inikah yang namanya surga dunia para wanita? Model seksi begini nggak mungkin Made In Cin4, kan?” gumamnya konyol sambil menelan ludah. “Tapi… dia siapa?” Hana menatap sekeliling ruangan itu, “Ini kan hotel, jadi ngapain kami berdua di sini? Aduh, Tuhan… apa-apaan lagi ini?” Hana mulai memikirkan hal-hal fatal yang mungkin terjadi saat dia mabuk semalam, dan itu jelas mengerikan baginya, “Enggak, Han. Nggak mungkin aku ngelakuin kesalahan itu sama cowok random. Buktinya nggak ada rasa apa-apa di bawah sini?” gumamnya lagi, menyakinkan diri sendiri. Namun sayangnya… pikiran konyolnya masih enggan beranjak meskipun pikirannya sudah kacau. “Tapi kalau sebagus ini nggak ngapa-ngapain, kan, rugi—Stop!” Hana buru-buru menutup mulut sendiri, “Ngomong apa sih mulut?” Hana masih menahan napas, tapi wajahnya segera memucat setelah pria di sampingnya itu berbalik badan dan kini tidur menghadapnya. “A…Adam?” Tubuhnya bergetar hebat sampai lemas. Ia tidak percaya kalau pria gagah yang baru saja ia puji dengan pikiran kotornya barusan adalah Adam. Adik kecil yang dulunya pernah ia rawat dan menggantungkan kesehariannya bersama Hana sebagai Kakak pengasuh. Hana segera mengambil bantal dan menenggelamkan wajahnya di sana, “Hana Pramesti goblok!!! Kok bisa gini, sih!” Jeritnya, tapi suaranya jelas teredam bantal. Hana buru-buru bangkit dari ranjang setelah menyadari situasi kacaunya. Ia dengan cepat memunguti pakaiannya dan mengenakan semuanya dengan tubuh gemetar. “Kenapa bisa segoblok gini sih, aku? Minuman sialan! Pakai acara mabuk segala.” sambil berpakaian, ia terus mengomeli kebodohannya sendiri. Namun, belum selesai merapikan pakaiannya, sebuah sensasi hangat menyentuh punggungnya. Bersamaan dengan aroma maskulin yang terhirup di hidungnya, sepasang lengan kuat melingkari pinggangnya mantap untuk menahan gerakan Hana. Dan.. jelas saja tubuh wanita itu langsung menegang. “Mau ke mana?” suara berat itu berbisik lembut di telinganya dan nafas hangat Adam terasa di kulit lehernya. Hana menelan ludah, “Anu… tolong lepasin saya.” Tapi Adam malah semakin mendekat, suaranya terdengar menggoda, “Biar apa? Biar bisa kabur? Jadi kami nggak mau tanggung jawab sama perbuatan kamu semalam?” “Hah?!” Hana refleks menoleh dan berbalik, mendorong dada Adam dengan cepat agar menjauh. Wajahnya sudah merah padam bercampur malu sekaligus panik. “Bohong! Kita nggak ngapa-ngapain tadi malam!” sergahnya dengan nada tinggi. Adam menyipitkan mata seolah pura-pura berpikir, “Oh, ternyata kamu ingat juga?” “Aku—, saya… nggak sepenuhnya ingat sih, tapi saya yakin banget kita nggak ngapa-ngapain.” “Oh…” Adam menatapnya dengan senyum tipis, “Berarti kamu sadar waktu tidur di dadaku, terus ngigau, buka baju sendiri, dan ngajak aku tidur di situ?” “Dan sekarang kamu yakin banget kita nggak ngapa-ngapain setelahnya?” “Ya, iya lah.” jawab Hana cepat, “Mungkin kita berdua langsung tidur aja." “Kok aneh, ya. Biasanya yang ngomong seyakin itu justru yang paling—” “Jangan dilanjutin!” Hana menutup mulut Adam dengan telapak tangannya, wajahnya sudah benar-benar merah seperti tomat rebus. Tapi Adam malah terkekeh pelan, ia semakin ingin menggoda Hana dengan suaranya yang dalam dan berbahaya di telinga Hana. “Santai aja. Aku nggak ngapa-ngapain kok. Tapi kamunya yang semalam terus—” “Stop! Saya nggak mau denger dan nggak mau tau!” Hana langsung menutup telinganya dengan kedua tangan. Tapi Adam malah mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya nyaris sejajar dengan wajah Hana. “Terus kenapa kamu yang jadinya panik kalau memang nggak terjadi apa-apa?” Hana membeku, menatap mata Adam yang jelas-jelas menahan tawa. “Karena kalimat kamu ambigu dan buat situasinya kelihatan salah.” balasnya kesal, memalingkan wajah. Adam terkekeh, “Atau jangan-jangan... kamu yang sebenarnya kecewa karena nggak terjadi apa-apa?” “Adam Mahendra!!!” Hana memukul pelan bahunya, tapi malah membuat Adam tertawa lepas, “Tuh kan, marahnya kamu itu kelihatan banget.” “Diam! Masa bodoh.” Hana menunduk cepat untuk memungut tasnya, lalu berjalan ke arah pintu kamar mandi. Adam sempat bersandar ke dinding sambil melipat tangan. “Jadi nggak mau ngaku kalau tadi sempet kecewa nggak terjadi apa-apa? Padahal aku seksi banget loh…” ejekan Adam masih terus berlanjut. Hana langsung membeku, “Kamu dengar?” Adam mengangguk sambil terkekeh, “Makasih, ya, udah bilang aku seksi. Jadi nggak rugi-rugi banget gendong kamu sampai sini." ‘Habis udah kamu, Hana…’ gerutunya dalam hati. Rasanya ingin sekali dua menangis karena malu. “Aku mau pulang,” gerutu Hana sambil menutup wajah dan buru-buru masuk ke kamar mandi. Sementara Adam hanya terkekeh menatap punggung wanita itu yang masih salah tingkah. Membiarkan Hana selesai dengan rasa malunya yang menggemaskan. “Lucu banget sih kamu. Kalau begini terus, gimana aku bisa berhenti jatuh cinta ke kamu?” bisiknya pelan, sebelum ikut tersenyum miring.Seperti biasa, kebersamaan mereka berdua dilalui dengan senyap. Perjalanan pun sepi tanpa tanya jawab intens selayaknya pasangan. Sampai ketika mobil Reza memasuki perumahan elite dan berhenti di depan rumah orang tua kekasih Hana itu.Halaman memang tidak terlalu luas, tapi taman mini di sana tertata rapi dan membuat hati teduh ketika memandang. Akan tetapi, keteduhan itu tidak berpengaruh untuk hati Hana yang sedang bergemuruh tegang.Tangan Hana meremas tas sandangnya. Sementara itu Reza di sampingnya tersenyum, “Udah siap? Masuk, yuk!” Ajaknya.Hana mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Gimana kalau aku nanti…”Senyum Reza tersimpul, “Santai aja. Nggak bakalan gimana-gimana, kok. Aku udah cerita tentang kamu sama Mama Papa.”Nyatanya kalimat Reza belum berhasil membuat Hana tenang. Bahkan saat Reza sudah turun dan membukakan pintu untuknya jantung Hana malah semakin berdebar.‘Bisa, Hana. Bisa yuk, bisa!’ sebutnya untuk menyemangati diri sendiri.Begitu Hana melangkah masuk ke da
Sabtu tiba dengan cepat. Tapi sesore ini, Hana masih berdiri di depan jendela kecil pantry kantor sambil memegang gelas kopinya. Wanita itu terlihat melihat kosong ke langit, tapi pikirannya dipenuhi momen kacau setelah malam mabuknya kemarin.Wajah Adam masih sangat jelas mendominasi pikirannya. Mengingat lagi bagaimana wajah Adam yang sebelumnya masih terkekeh mengejek dan menggodanya dengan omong kosong, seketika berubah kaku dan kesal saat Hana mengungkit cerita masa lalu.“Kalau memang bukan dia, kenapa harus kesal gitu?” gumamnya bingung. Hana mulai menyeruput kopinya, “Nggak nyambung banget. Bikin orang bingung—,”“Hanaaa, selamat, yaw!”Suara Rani mengagetkan lamunan Hana, dan langsung membuatnya menoleh, “Apaan sih? Ngagetin aja!” decaknya.“Cieee, yang bentar lagi mau sold out. Padahal kalau belum tahun ini, aku mau jadiin kamu mentor aku, tau.” Celetuk Rani sambil mengambil cangkir minumnya.Hana malah semakin bingung, “Selamat buat apa sih, Ran? Mentor apaan, lagi?”Rani m
Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana. Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas.Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. “Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.”Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?”Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang, kamu itu adiknya saya.”"Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli
Sinar matahari menyusup tirai putih tebal bangunan tinggi hotel bintang lima itu, menyapa wajah Hana yang masih damai dalam tidur. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Hana mengerjap beberapa kali setelah merasa aneh dengan tempat asing yang jauh berbeda dari kamarnya, “Ini di mana?” gumamnya serak.Ia mulai bergerak duduk perlahan, dengan pandangan yang masih buram dan sakit kepala sisa mabuk semalam. Akan tetapi, belum sempat Hana berpikir panjang, matanya langsung dikejutkan sesuatu. Di sampingnya, ada sosok pria yang tidur dengan bertelanjang dada.Hana seketika menutup mulutnya yang refleks terbuka karena kaget. “Si-siapa dia?” ucapnya pelan. Tapi sayang sekali otaknya belum sinkron karena saat ini ia sedang memuji tanpa malu dalam hati.‘Gila banget, punggungnya… aduh.’ Karena memang punggung terbuka yang ia lihat saat ini begitu lebar dan menunjukkan otot-otot yang jelas, dan dengan kulit yang tanpa celah. Bahkan mata Hana liar menyusuri setiap garis otot itu hing
Ruang restoran itu masih riuh dengan suara gelas berdenting, tawa karyawan, dan aroma hidangan yang menggoda. Tapi bagi Hana, suasana yang seharusnya menyenangkan itu terasa menyesakkan.‘Tidak semua orang ingin mendengar kabar bahagia orang lain, katanya?’ kalimat Adam sebelumnya masih terngiang jelas di kepala Hana, ‘Jadi, dia benar-benar nggak mau mengaku kalau kami saling kenal, ya?’ sambungnya bergumam miris dalam hati.Setiap senyum dan canda rekan kerja rasanya seperti tembok yang menekan. Hana menarik napas pelan, mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. Wanita itu tidak pernah biasa minum-minum seperti itu, apalagi alkohol. Akan tetapi, di suasana hati serapuh ini, dan ketika salah seorang staff mengangkat gelas dan mengajak semua orang bersulang, untuk menyambut Adam, Hana merasa terpanggil untuk ikut.‘Masa bodoh. Kalau dia mau seperti itu, jadi biarkan saja.’ Hana bergumam lagi sambil mengangkat gelas kecil berisi minuman bergelembung. Sekali teguk, hangatnya
Suasana ruang rapat kembali hening setelah para staf mulai keluar satu persatu dari ruangan. Tapi Hana masih di sana, berdiri memegang mapnya. Jantungnya terasa berdegup kencang melihat Adam ada di hadapannya saat ini.Adam sedang merapikan dokumen di meja, seolah benar-benar tidak terusik oleh keberadaannya atau apapun.Hana menggigit bibir bawahnya, tertekan rasa penasaran yang semakin kuat, ‘Dia Adam-ku, kan? Aku nggak mungkin salah lihat.’Dengan langkah pelan, Hana mendekat, “Maaf, Pak Adam,” ucapnya ragu. Suaranya terdengar lebih kecil dari yang diharapkan.Adam mengangkat wajah, menatapnya dengan mata dingin yang membuat tenggorokan Hana seolah kering.“Ada yang ingin kamu sampaikan, Miss Hana?” nada suaranya tetap datar, profesional.Hana menelan ludah. Ia menunduk sedikit mencoba menutupi kegugupan, “Ini mungkin kedengaran aneh, Pak…”Adam diam, setuju menunggu.Hana menarik napas dalam, “Apa… apa Bapak tidak mengenal saya?”Adam mengerutkan alis tipis, tapi tidak langsung me