Share

Pagi Yang Kacau

Author: Money Angel
last update Last Updated: 2025-10-06 15:37:48

Sinar matahari menyusup tirai putih tebal bangunan tinggi hotel bintang lima itu, menyapa wajah Hana yang masih damai dalam tidur. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. 

Hana mengerjap beberapa kali setelah merasa aneh dengan tempat asing yang jauh berbeda dari kamarnya, “Ini di mana?” gumamnya serak.

Ia mulai bergerak duduk perlahan, dengan pandangan yang masih buram dan sakit kepala sisa mabuk semalam. Akan tetapi, belum sempat Hana berpikir panjang, matanya langsung dikejutkan sesuatu. Di sampingnya, ada sosok pria yang tidur dengan bertelanjang dada.

Hana seketika menutup mulutnya yang refleks terbuka karena kaget. “Si-siapa dia?” ucapnya pelan. Tapi sayang sekali otaknya belum sinkron karena saat ini ia sedang memuji tanpa malu dalam hati.

‘Gila banget, punggungnya… aduh.’ 

Karena memang punggung terbuka yang ia lihat saat ini begitu lebar dan menunjukkan otot-otot yang jelas, dan dengan kulit yang tanpa celah. Bahkan mata Hana liar menyusuri setiap garis otot itu hingga menuju ke pinggang.

“Inikah yang namanya surga dunia para wanita? Model seksi begini nggak mungkin Made In Cin4, kan?” gumamnya konyol sambil menelan ludah.

“Tapi… dia siapa?” Hana menatap sekeliling ruangan itu, “Ini kan hotel, jadi ngapain kami berdua di sini? Aduh, Tuhan… apa-apaan lagi ini?”

Hana mulai memikirkan hal-hal fatal yang mungkin terjadi saat dia mabuk semalam, dan itu jelas mengerikan baginya, “Enggak, Han. Nggak mungkin aku ngelakuin kesalahan itu sama cowok random. Buktinya nggak ada rasa apa-apa di bawah sini?” gumamnya lagi, menyakinkan diri sendiri.

Namun sayangnya… pikiran konyolnya masih enggan beranjak meskipun pikirannya sudah kacau.

“Tapi kalau sebagus ini nggak ngapa-ngapain, kan, rugi—Stop!” Hana buru-buru menutup mulut sendiri, “Ngomong apa sih mulut?”

Hana masih menahan napas, tapi wajahnya segera memucat setelah pria di sampingnya itu berbalik badan dan kini tidur menghadapnya.

“A…Adam?”

Tubuhnya bergetar hebat sampai lemas. Ia tidak percaya kalau pria gagah yang baru saja ia puji dengan pikiran kotornya barusan adalah Adam. Adik kecil yang dulunya pernah ia rawat dan menggantungkan kesehariannya bersama Hana sebagai Kakak pengasuh.

Hana segera mengambil bantal dan menenggelamkan wajahnya di sana, “Hana Pramesti goblok!!! Kok bisa gini, sih!” Jeritnya, tapi suaranya jelas teredam bantal.

Hana buru-buru bangkit dari ranjang setelah menyadari situasi kacaunya. Ia dengan cepat memunguti pakaiannya dan mengenakan semuanya dengan tubuh gemetar.

“Kenapa bisa segoblok gini sih, aku? Minuman sialan! Pakai acara mabuk segala.” sambil berpakaian, ia terus mengomeli kebodohannya sendiri.

Namun, belum selesai merapikan pakaiannya, sebuah sensasi hangat menyentuh punggungnya. Bersamaan dengan aroma maskulin yang terhirup di hidungnya, sepasang lengan kuat melingkari pinggangnya mantap untuk menahan gerakan Hana. Dan.. jelas saja tubuh wanita itu langsung menegang.

“Mau ke mana?” suara berat itu berbisik lembut di telinganya dan nafas hangat Adam terasa di kulit lehernya.

Hana menelan ludah, “Anu… tolong lepasin saya.”

Tapi Adam malah semakin mendekat, suaranya terdengar menggoda, “Biar apa? Biar bisa kabur? Jadi kami nggak mau tanggung jawab sama perbuatan kamu semalam?”

“Hah?!” Hana refleks menoleh dan berbalik, mendorong dada Adam dengan cepat agar menjauh. Wajahnya sudah merah padam bercampur malu sekaligus panik.

“Bohong! Kita nggak ngapa-ngapain tadi malam!” sergahnya dengan nada tinggi.

Adam menyipitkan mata seolah pura-pura berpikir, “Oh, ternyata kamu ingat juga?”

“Aku—, saya… nggak sepenuhnya ingat sih, tapi saya yakin banget kita nggak ngapa-ngapain.”

“Oh…” Adam menatapnya dengan senyum tipis, “Berarti kamu sadar waktu tidur di dadaku, terus ngigau, buka baju sendiri, dan ngajak aku tidur di situ?” 

“Dan sekarang kamu yakin banget kita nggak ngapa-ngapain setelahnya?”

“Ya, iya lah.” jawab Hana cepat, “Mungkin kita berdua langsung tidur aja." 

“Kok aneh, ya. Biasanya yang ngomong seyakin itu justru yang paling—”

“Jangan dilanjutin!” Hana menutup mulut Adam dengan telapak tangannya, wajahnya sudah benar-benar merah seperti tomat rebus.

Tapi Adam malah terkekeh pelan, ia semakin ingin menggoda Hana dengan suaranya yang dalam dan berbahaya di telinga Hana.

“Santai aja. Aku nggak ngapa-ngapain kok. Tapi kamunya yang semalam terus—”

“Stop! Saya nggak mau denger dan nggak mau tau!” Hana langsung menutup telinganya dengan kedua tangan. 

Tapi Adam malah mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya nyaris sejajar dengan wajah Hana.

“Terus kenapa kamu yang jadinya panik kalau memang nggak terjadi apa-apa?”

Hana membeku, menatap mata Adam yang jelas-jelas menahan tawa.

“Karena kalimat kamu ambigu dan buat situasinya kelihatan salah.” balasnya kesal, memalingkan wajah.

Adam terkekeh, “Atau jangan-jangan... kamu yang sebenarnya kecewa karena nggak terjadi apa-apa?”

“Adam Mahendra!!!” Hana memukul pelan bahunya, tapi malah membuat Adam tertawa lepas, “Tuh kan, marahnya kamu itu kelihatan banget.”

“Diam! Masa bodoh.” Hana menunduk cepat untuk memungut tasnya, lalu berjalan ke arah pintu kamar mandi.

Adam sempat bersandar ke dinding sambil melipat tangan. “Jadi nggak mau ngaku kalau tadi sempet kecewa nggak terjadi apa-apa? Padahal aku seksi banget loh…” ejekan Adam masih terus berlanjut.

Hana langsung membeku, “Kamu dengar?”

Adam mengangguk sambil terkekeh, “Makasih, ya, udah bilang aku seksi. Jadi nggak rugi-rugi banget gendong kamu sampai sini." 

‘Habis udah kamu, Hana…’ gerutunya dalam hati. Rasanya ingin sekali dua menangis karena malu.

“Aku mau pulang,” gerutu Hana sambil menutup wajah dan buru-buru masuk ke kamar mandi.

Sementara Adam hanya terkekeh menatap punggung wanita itu yang masih salah tingkah. Membiarkan Hana selesai dengan rasa malunya yang menggemaskan.

“Lucu banget sih kamu. Kalau begini terus, gimana aku bisa berhenti jatuh cinta ke kamu?” bisiknya pelan, sebelum ikut tersenyum miring.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Fakta Miris Masa Lalu

    Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga atau Flo, berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku–,”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca, “Kamu bisa bicara, Julian. Aku akan mendengar.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku bukan cum

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   82 Fakta Miris Masa Lalu

    Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga—atau Flo—berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap.Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku—”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca. “Kamu bisa bicara, Julian. Aku di sini.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku tahu. Aku dengar it

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Dia Mamaku

    Suasana sore di dapur rumah Hana terasa tenang, hanya terdengar suara sendok beradu pelan di cangkir teh yang baru saja ia aduk. Udara membawa aroma jahe hangat yang menenangkan. Tapi hati Hana justru sebaliknya, penuh tanda tanya yang menumpuk sejak kejadian di pasar tadi.Ia memandangi jendela, di mana bayangan pepohonan menari karena hembusan angin. “Papa kenal Tante Bunga…” gumamnya lirih, seolah mengulang potongan adegan yang baru saja berlalu. Tatapan Surya kepada Bunga atau Flo, seperti yang ia dengar tadi, masih tergambar jelas di kepalanya. Tatapan yang terlalu dalam untuk sekadar pertemuan antara orang lama.Langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Adam baru pulang dari meeting luar, wajahnya tampak lelah tapi mata itu… mata itu melirik sesuatu yang berbeda dari Hana.Ada kekosongan, juga resah yang tidak biasa.“Sayang,” sapa Hana pelan sambil mendekat, “Kamu pulang? Kok aku nggak dengar suara mobil, ya?" Adam menatapnya sebentar, mencoba tersenyum, tapi senyum, “Hayo

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Aku Belum Siap

    Suara itu nyaris tak terdengar, hanya getar di udara.Surya menunduk sedikit, menatapnya dengan mata yang basah tapi tenang,.“Iya, Flo. Aku.”Bisikan itu cukup untuk membuat beberapa orang yang masih mengamati menahan napas. Ibu penjual daging yang tadi lantang kini sibuk menutup mulut dengan tangan, wajahnya merah padam, “Ma–maaf, saya… saya nggak tahu…”Suara itu gemetar, tapi Surya hanya menatapnya sebentar, lalu menghela napas.“Tidak apa-apa, Bu. Tapi lain kali, berhati-hatilah menilai seseorang. Lidah bisa lebih tajam dari pisau daging di depan Anda.”Kalimat itu membuat beberapa orang mengangguk pelan. Ada yang bahkan menepuk bahu Bunga, memberi senyum simpati, sementara Surya menggenggam tangannya dengan mantap, seolah takut jika melepaskan, semuanya akan hilang lagi.Di kejauhan, Hana yang baru selesai menawar ikan menatap dengan dahi berkerut, belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari cara Surya berdiri, ia tahu itu bukan orang asing. Kerumunan pasar mulai mencair,

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Pertemuan Julian Dan Flo

    Pagi itu langit belum terlalu terik. Pasar tradisional penuh suara teriakan pedagang, gesekan plastik, dan aroma sayur segar yang berpadu dengan bau tanah basah sisa hujan semalam.Surya berjalan di belakang Hana, membawa tas belanjaan besar yang setengah penuh. Menantunya itu asyik menawar ikan tenggiri, suaranya riang, seperti biasa. Tapi Surya tidak benar-benar mendengar. Ada sesuatu di udara pagi itu yang membuat langkahnya melambat. Entah kenapa, dada kirinya terasa sesak tanpa sebab yang jelas.Ia memalingkan wajah ketika samar-samar terdengar suara perempuan paruh baya yang sedang berbicara dengan nada tinggi di lapak daging beberapa meter dari tempatnya berdiri.“Jangan jual daging kita ke perempuan itu, ya! Aku udah bilang ke kamu!”Suara itu membuatnya menoleh. Di antara lalu-lalang pembeli dan deretan meja kayu, Surya melihat sosok wanita bersahaja dengan pakaian sederhana, memngenakan kemeja lengan panjang, dan dengan rambut yang disanggul seadanya.Gerak-geriknya tenang,

  • Gelora Cinta Bos Berondong Manisku   Sama-sama Menunggu

    Sore itu, aroma masakan memenuhi seluruh rumah. Bunga dan Hana sibuk di dapur sejak siang. Meja makan sudah tertata rapi dengan sup ayam bening, ikan bakar kesukaan Adam, dan puding mangga favorit Hana.“Wah, Tante serius banget, nih,” kata Hana sambil tersenyum kagum. Bunga hanya tertawa kecil. “Namanya juga tamu penting. Masa mau disambut asal-asalan.”Adam ikut membantu menata gelas, sesekali mencuri pandang ke arah pintu. “Kayaknya Papa bentar lagi sampai. Tadi udah balas pesan aku, katanya udah di jalan.”Waktu berjalan. Langit di luar mulai memerah, lalu perlahan gelap. Empat piring sudah tersaji, empat gelas berisi teh hangat menunggu, tapi kursi keempat di ujung meja masih kosong.Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh saat ponsel Adam berdering. Ia melihat nama yang muncul di layar, lalu cepat mengangkat.“Pa?” suaranya agak ceria, tapi itu hanya di awal.Beberapa detik kemudian ekspresinya berubah.“Iya, Pa… oh… gitu… baik, Pa. Hati-hati di jalan.” Nada suaranya menuru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status