Hingga larut malam aku mondar mandir di kamar, tapi tak juga Bian datang.Jadi penasaran, apa yang sedang dia bicarakan dengan Tom Lee di depan.Aku memutuskan keluar dan mencari tahu. Tidak tenang saja kalau aku tidak tahu apa-apa.“Sudah malam, Mel. Kenapa tidak tidur?” tanya Iqdam yang juga masih belum tidur.“Mas Bian masih di depan?” tanyaku menoleh ke ruang depan. Tapi kosong dan sepi.“Sudah pergi tadi.” Iqdam kembali menjawab dengan cuek.“Pergi? Mas Bian juga?” tanyaku lagi.Iqdam yang sibuk dengan ponselnya melirikku. “Bukannya kau tidak mau bertemu dengan Mas Bian? Dia pergi kamu cari-cari?” ucapnya menyindirku.Aku tak membahasnya. Malas saja sudah malam. Dan lagi, aku juga lelah dan mengantuk. Tidak baik sedang hamil begini tapi masih begadang.Teringat hal itu aku sebenarnya merana. Biasanya ada suami yang akan mendampingiku dan menjagaku di masa kehamilan. Tapi itu tidak akan bisa jika statusku hanyalah istri simpanan Bian.Hingga saat aku masuk, kutemukan ponselku sud
~ Pov Melati ~Ketika hendak memesan ojek online di aplikasi yag ada di ponselku, aku menyadari ponselku tak ada di tas.Baru kuingat, tadi aku sempat mengeluarkannya dari tasku untuk melihat jam. Kuletakkan di nakas dan kutinggal ke kamar mandi.Sekeluarnya aku lupa tidak memasukan lagi ke dalam tasku. Karena terburu-buru, takut keduluan Bian bangun dan akan sulit baginya membiarkanku pergi.Aku masih labil. Belum bisa bicara dengan baik dengannya. Percuma juga karena nanti kami hanya akan bertengkar dan selalunya aku yang merasa sakit hati.Aku hanya mencoba menjaga emosiku saat-saat masih trimester pertama ini. Takut mahluk kecil di rahimku ini terimbas buruk dari keadaanku.Hujan yang tiba-tiba turun membuatku harus mencari tempat untuk berteduh. Tidak mungkin juga harus balik ke vila itu. Jadi aku melangkah ke minimarket yang tak jauh dari vila itu.Masuk ke dalam untuk membeli air mineral, tak tahunya melihat susu formula untuk ibu hamil, aku jadi ingat stok susu ibu hamil di
“Aku akan berubah Bian. Aku janji tidak lagi membiarkan mama dan Tio menguasaiku. Aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku bahkan sudah menerima Melati menjadi maduku. Jadi jangan ceraikan aku, Bian.”Miranda memohon-mohon padaku dengan keseriusannya itu.Aku hanya menghela saja. Meruntuk karena selalu diposisi yang sulit begini. Tegaspun akan terkesan salah karena tak mau memberi kesempatan pada wanita yang sudah beritikad untuk berubah ini.Meski aku tak mudah luluh dengan kesungguhannya itu. Kusimpan saja sendiri dan tak mau banyak berspekulasi. Syukur-syukur kalau memang Miranda benar-benar mau berubah. Jika tidak, akan sangat mudah bagiku untuk melepasnya.Setidaknya, aku sudah jujur bagaimana perasaanku saat ini padanya, juga tentang perasaanku pada Melati. Poin pentingnya adalah Miranda membiarkanku masih bersama Melati. Artinya, tidak akan ada masalah jika aku melegalkan pernikahanku dengan Melati. Bukankah yang selama ini Melati inginkan hanyalah sebuah kepastian pernikahan
Tante Aini memanggilku dan Miranda. Sepertinya dia juga terpikirkan tentang masalah perasaanku. Dia paham, aku dan Melati saling mencintai. Karenanya sebagai orang tua, dia ingin membantu meluruskan.“Kau serius ingin berubah, Miranda?” tanya Tante Aini pada Miranda.Miranda mengangguk pasti.Hingga Tante Aini bertanya tentang Melati.Saat itu aku mulai tegang.“Kau pasti sudah tahu kan, bahwa Bian juga memiliki istri lainnya yang baru dinikahi secara siri?”“Tante?” selaku cepat.Miranda sangat sensitif kalau membahas tentang Melati. Biar aku saja yang menyelesaikan masalah ini secara pribadi tak perlu Tante Aini ikut campur.Aku sudah bertekad setelah semua beres, aku akan lanjut menceraikan Miranda.Kedengarannya kejam dan hanya memanfaatkannya saja. Tapi akan kuberitahu Miranda baik-baik, bahwa aku tidak lagi mencintainya.Percuma dipaksakan kalau kenyataannya Melatilah yang sudah menguasai hatiku. “Bian, ini harus ditegaskan sekarang. Mumpung Miranda memang bertekad berubah.
Aku mengajak Miranda ke Magetan bukan tanpa alasan.Di tempat di mana dia jauh dari mama dan kakaknya, aku akan memanfaatkan ini untuk menunjukan sikap keluarganya yang sangat tidak baik itu.Tidak seharusnya mereka merampas harta pribadiku dan membuatku kalang kabut begini. Harapku aku bisa membuat Miranda bersedia dengan suka rela mengembalikan semua sertifikat yang mamanya bawa.“Nanti Tante Aini bisa jadi tidak menerimamu dengan baik setelah dia tahu apa yang dilakukan Tio. Kau sudah aku beri tahu hal ini sebelumnya, Mir. Tolong jangan menyesal.” Kusampaikan itu karena Miranda tidak memiliki kesabaran tinggi. Takut saja malah dia ngamuk dan membuat suasana lebih runyam.“Aku menyadari itu, Bian. Karenanya aku datang untuk meminta maaf. Kau harus tahu bahwa aku tidak sekedar melakukan ini. Semua ini adalah bukti bahwa aku sungguh-sungguh ingin berubah. Ingin menjadi istrimu yang baik, Bian,” ujar Miranda tak gentar sebelum kami turun dari mobil.Dia tersenyum sembari mengambil sel
“Bian, aku tadi maunya mengamankannya agar mama tak macam-macam. Kau tahu kan dia wanita yang ….”“Miranda?!”kupotong kata-katanya yang selalu mengingatkan tentang bagaimana sang mama padaku. Seolah aku ini anak kecil yang harus ditakut-takuti agar mau menurutinya.“Kembalikan ponselku. Aku banyak urusan!” tukasku menunjukan kekesalanku. Agar dia ingat dengan apa yang barusan dia sepakati.Belum-belum sudah mau ingkar.“Masalahnya aku sudah merusaknya, Sayang. Jadi aku ganti yang baru, ya?”“Kau merusaknya?!”“Tidak sengaja, Sayang. Tadi masih kubawa saat kita foto-foto di balkon, tapi jatuh kesenggol… Maaf, ya?” Miranda tampak bersalah dan meminta maaf padaku.Aku tahu ini hanya triknya saja. Jadi percuma juga aku berdebat dengannya.Aku hanya melengos dan lebih baik keluar untuk mencari Pomo saja. Namun lagi-lagi Miranda menahanku. “Bukannya kau bilang lelah, Sayang? Mau ke mana?”“Aku ada urusan, Mir. Jangan menyebalkan begini, lah!” ujarku sedikit ketus padanya. Miranda tampak se