Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak like, komentar, ulasan, saran, kritik, vote atau dukungan yang lain agar author lebih bersemangat menyuguhkan cerita yang menarik. love you all❤️❤️❤️
“Sudah datang, Mas?” suara lembut dan senyum manis yang merekah dari wajah cantiknya seketika menyiramkan air es di kepalaku yang sejak seminggu ini serasa terbakar stres.Aku merentangkan kedua tanganku agar Melati datang ke pelukanku. Gadis itu patuh dan berjalan menghampiriku. Kupeluk tubuhnya yang wangi dan kuciumi puncak kepalanya.Seketika aku amnesia tentang banyak masalah yang menderaku.“Wangi sekali?” ujarku sembari mengendus lehernya.“Mas Bian akan datang, jadi aku harus wangi kan?” jawabnya.Kulihat senyumnya sudah mulai sumringah. Berbeda dengan di awal-awal kubawa dia ke vila ini.“Kangen aku tidak?” godaku padanya.Melati hanya menunduk, masih malu-malu mengakuinya.“Bilang saja, aku lebih suka kalau kau jujur dan apa a
“Astaga. Benar-benar wanita itu!” keluhku sembari memijit pelipis ketika nenek lampir itu sudah berlalu dari hadapanku.Aku langsung melipir pergi dari rumah itu untuk kembali ke kantor. Bisa stres aku terus di neraka ini.Saat sumpek begini, aku jadi uring-uringan tidak jelas, mengurung diri di ruang kantorku sambil merokok untuk menenangkan diri.Tiba-tiba memikirkan Melati. Membayangkan wajahnya cantik dan teduh itu, membuatku teralihkan. Aku berniat menghubunginya. Mudah-mudahan belum tidur.“Halo, Mas Bian?” suara bantalnya terdengar mengangkat panggilanku. Sepertinya Melati sudah tertidur tapi terpaksa bangun karena panggilanku.“Aku video call ya?” ujarku padanya.Mudah-mudahan melihat gadis itu, stresku bisa hilang.“Boleh, Mas. Tapi aku ganti baju dulu, ya?” jawab Melati dengan lembut. 
“Kino bilang kau ada bisnis di kota kelahiranmu itu?” tanya Soraya ketika kami makan malam bersama.Ada Tio kakak Miranda dan istrinya. Kudengar bisnis mereka hancur di Semarang. Bangkrut dan merugi banyak. Bahkan sekarang dikejar-kejar dept kolektor karena banyak berhutang.“Baru rencana, Ma. Nanti aku pelajari lagi. Kalau memang prospeknya bagus, tentu saja kuambil,” jawabku.Aku sebenarnya menyesali menyampaikan hal itu pada Kino. Maunya tidak perlu mengusik tentang tempat itu agar mereka tidak perlu ingin tahu dan pada akhirnya datang ke sana. Tidak mau saja mengendus tentang pernikahan diam-diamku dengan Melati.“Bagus itu, nanti aku saja yang menghandle-nya. Kau kan sudah banyak kerjaan di Surabaya!” Tio langsung menyela pembicaraan kami.“Benar itu, Bian. Mumpung Tio nganggur, lho. Kapan lagi kamu mendapat kesempatan
~POV Fabian~ “Mas Bian tumben lama di kampung halaman?” tanya Kino, sepupu Miranda yang ikut membantuku mengurus perusahaan.“Ada peluang bisnis yang harus ku observasi di sana,” jawabku santai. Pria ini mata-mata mertuaku. Aku tidak mau salah bersikap yang membuatnya curiga hingga harus mengadu yang tidak-tidak.“Apa itu, Mas?” Kino kepo ingin tahu peluang bisnis apa yang kumaksudkan.“Ada yang menawarkan kerjasama untuk bangun kafe atau vila mengingat daerahku itu pegunungan. Sepertinya daerahnya berpotensi sekali dikunjungi wisatawan untuk berlibur.”“Kalau untuk urusan bisnis, Mas Bian memang sudah jagonya. Percaya deh...” tukas Kino manggut-manggut seolah jaksa yang sudah bisa menerima alasanku.Aku tidak terlalu mengurusi pria itu. Karena sudah ad
Aku sampai menjatuhkan ponselku karena saking terkejutnya Bian tiba-tiba saja sudah ada di kamar.Apakah pria ini mendengar pembicaraanku dengan ibuku tadi? Bisa malu aku kalau dia tahu seperti apa ibuku itu.“Hei, telponmu jatuh.” Bian dengan cepat mengambil ponselku.Sejenak Bian memperhatikan benda itu lalu menatapku dengan sedikit kasihan. Pasti karena melihat ponselku yang murahan itu dengan layar kaca yang sudah retak .“Uangmu cukup kan untuk beli ponsel baru?” Bian menyodorkan benda itu padaku. dia pasti berpikir bahwa uag 500 juta yang sudah ditransfernya lebih dari cukup sekedar membeli sebuah ponsel baru.“Eng, tidak apa, ini masih bisa digunakan juga kan?” ujarku meraih benda itu sembari tersenyum.“Kau tidak terima uangnya?” Bian nampak curiga. Aku jadi bingung. Bagaimana kalau nan
Ponsel berdering dan Bian langsung mengangkatnya. Sepertinya dari anak buahnya.“Pomo sudah datang, kau mau balik sekarang?” tanya Bian padaku.Aku mengangguk.Hujan sudah reda, kami segera masuk ke dalam mobil jeep yang dibawa Pomo. Baru kulihat beberapa pengunjung mulai berdatangan dan memasuki area yang menuju air terjun.Pura-pura tidak paham, aku bertanya, “ Kok baru rame ya, Mas? Tadi pas kita ke air terjun, sepi sekali?”Bian hanya menjawab tanpa menoleh, “Mungkin baru datang. Tadi kan mendung dan hujan.”Aku hanya tersenyum kecil tapi tak akan mengusiknya lagi untuk mengakui kenapa tadi tempat itu ditutup. Yang ku kenang keintiman kami di bawah air terjun itu. Mendebarkan sekaligus menyenangkan.Ternyata semua tidak seperti yang kubayangkan saat menerima perjodoha