“Sudah sadar kamu?” suara bariton itu membuatku meremang.
Seorang pria tinggi tegap masuk ke dalam kamar dan dengan cepat menutup kembali pintunya.
Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan baik karena suasan kamar remang-remang. Lampu tidak dinyalakan, dan tirai pun belum dibuka.
“Siapa Anda?” tanyaku dengan segenap rasa cemas. Aku menyusutkan tubuhku takut seandainya dia pria yang akan macam-macam denganku.
Dia tak menjawab, tapi melangkah menekan saklar lampu. Sesaat keadaan terang dan aku bisa melihat pria yang sama sekali asing bagiku itu.
“S-siapa, kau?” tanyaku yang masih ketakutan di ujung tempat tidur. Ingatan tentang menjadi korban pemerkosaan pria asing membuatku gugup.
Dan aku tidak mengenal pria itu. Yang kini menatapku dengan sorot teduh namun begitu misterius.
“Hati-hati, kau bisa jatuh!” ujarnya dengan suara sedikit serak namun penuh dengan ketenangan.
Tapi akulah yang tidak tenang saat ini.
Bukan pria ini yang katanya akan menikahiku.
Lalu, kalau aku di sini, di sebuah kamar bersama pria asing yang tak kukenal, berarti ada yang salah.
Aku ingat harus menikah saat ini. Dengan majikan Pakdeku yang sudah memberikan uang 250 juta. Kalau ketahuan berdua-duaan bersama pria lain di kamar, ini akan jadi masalah besar. Tidak hanya untukku, tapi juga keluargaku.
Tak kusangka melihatku terus menepi dengan gugup membuatnya malah menghampiriku.
Karena itu, aku reflek turun dan berlari untuk menghindarinya.
Hanya saja kakiku terpeleset di lantai. Dan pria itu dengan sigap menangkapku. Menarik lenganku hingga aku terhempas di dadanya.
Aku meronta. Namun pegangan tangan kokoh pria ini membuatku tak berkutik.
“Tolong jangan apa-apakan aku!” pintaku memohon. Aku bahkan tanpa sadar memukuli dadanya.
“Tenang dulu, aku baru melepasmu,” ujarnya.
Mungkin karena berdiriku belum stabil, dia masih menahanku.
Tapi aku tidak bisa menuruti ucapannya. Terus saja nerocos dan merusal ingin di lepaskan.
“Kenapa aku ada di sini? Aku akan segera menikah hari ini. Tolong jangan buat aku dalam masalah. Keluargaku dalam masalah besar kalau aku tidak jadi menikah dengan majikan pakdeku!”
Perlahan kurasakan genggaman tangannya mengendur. Pria itu kemudian melepaskankanku
Dia memintaku duduk agar tenang. Menyodorkan sebotol air mineral dan dia sendiri melangkah untuk duduk di kursi yang lain. Memberikan sebuah tatapan lekat seolah sedang menilaiku.
“Pakdemu tidak akan marah karena kau sudah menikah,” tukasnya.
“A-apa? Aku sudah menikah?” Kupastikan apa yang kudengar tidaklah salah.
Terbersit di pikiranku, bisa jadi pernikahan tetap berjalan saat aku pingsan tadi. Kehadiranku bukanlah sebuah rukun dalam sahnya pernikahan.
Walau demikian, kalau memang pernikahan tetap berjalan, lalu kenapa aku malah ada di sebuah kamar bersama pria ini?
“Bagaiamana Anda dengan tidak tahu malunya malah ada di kamar pengantin wanita orang?” Aku mengingatkan pria itu, seandainya saja dia tidak tahu diri.
Pria itu tertegun menatapku. Menarik sudut bibirnya menyunggingkan seutas senyum samar.
Baru kuperhatikan pria itu tampan sekali. Aku sampai segan dan harus menunduk menghindari tatapannya.
“Memangnya kau menikah dengan siapa?” tanyanya dengan suaranya yang enak di dengar.
Walau begitu, belum juga menurunkan rasa gugupku akan banyak hal yang tidak kuketahui.
“A-aku menikah dengan majikan pakdeku,” ujarku tak bersedia menatap pria itu.
“Siapa majikan pakdemu?” tanyanya lagi dengan sabar.
Aku baru mendongakkan pandangku karena baru sadar dengan naifnya tidak tahu siapa nama majikan pakdeku yang menikahiku itu.
“Kau bahkan tidak kenal dengan pria yang akan menikahimu?” tanyanya lagi.
Pasti heran bagaimana ada wanita sepertiku yang tidak mengenal calon suaminya.
“Pasti yang kau tahu uang satu milyarnya itu, ya?” pria itu menyindirku.
Aku sedikit melirik ke arahnya. Tak menyangka kalau pria itu juga tahu hal ini. Padahal pakde bilang, semua serba rahasia.
“Bukan urusan Anda juga, kan?” tukasku dingin.
Terlihat tawa sinisnya. “Wanita jaman sekarang memang banyak yang matre, hanya ingat uangnya tapi tidak tahu siapa yang akan menikahinya.”
Sindiran itu sudah barang tentu ditujukan padaku. Aku yang tidak terima menyangkalnya, “Aku tahu kok, orangnya!”
“Oh, yah? Seperti apa dia?” kejarnya.
“Seumuran Pakde, gendut, dan berkumis seperti Pak Radhen!” ucapku begitu saja.
Kurasa aku harus menjelaskan ciri-ciri orang itu agar aku tidak dikira tidak tahu siapa yang menikahiku.
Sesaat setelah mendengarku mengatakan itu, kulihat pria ini menaikan alisnya menatapku. Namun sebentar melengos dan menyembunyikan tawa kecilnya.
“Anda siapa?” tanyaku yang baru ingat belum mengusik tentangnya. Merasa pria ini bukan pria kejam, aku mulai tidak panik dan tegang lagi.
Sebuah ketukan pintu menunda perkenalan kami. Nampak dua orang pelayan wanita masuk. Satu membawa beberapa baju ganti, dan yang satu membawa nampan berisi makanan.
“Permisi, Pak Fabian.”
Dua wanita itu menunduk hormat pada pria yang kini bangkit dari duduknya itu.
“Urus dia. Pastikan makan dengan benar biar tidak pingsan lagi!” ujar pria itu lalu melangkah pergi.
Melihat punggung itu menjauh, otakku masih kosong dan enggan menduga-duga.
Jadi, lebih baik langsung bertanya saja pada dua pelayan itu.
“Maaf, Mbak. Yang tadi itu siapa?”
Entah apa yang salah dari pertanyaanku hingga kedua wanita itu sontak menatapku bersamaan.
“Yang tadi maksudnya yang mana, Bu?” salah satu dari wanita itu bertanya. Barangkali mereka salah tangkap siapa yang kutanyakan.
“Yang tadi...” kutunjuk sofa tempat pria itu duduk. Dan lagi-lagi keduanya saling menatap heran.
“Anda tidak tahu?” tanyaya heran.
Melihat gelagat mereka, aku seketika merasa begitu bodoh.
Baru terlintas, bahwa bisa jadi pria itu adalah... majikan pakde?
🌹🌹🌹
Bersambung...
*“Mas Bian?” panggilnya, tatapannya lekat ke arahku. Dia mengenaliku.Mau tak mau, kubuka masker dan kacamata. “Astaga, kau cepat sekali mengenaliku, ya?” ujarku pura-pura terkejut.“Emang aku seperti Mas Bian yang tidak pernah mengenaliku? Cara berjalan bahkan helaan napasmu saja aku sudah hafal!” balas Melati, nada sindiran tipisnya terdengar jelas.“Siapa bilang? Buktinya aku mengenalimu di balik cadar itu?” sangkalku cepat.“Hmm, orang tadi di lift lewat begitu saja!” Melati mengingatkanku.“Ya sudah. Kamu mau makan buburnya tidak?” Aku mengalihkan pembicaraan agar kami tidak bertengkar di tengah pasar. Aku tahu Melati sudah sangat ingin menyantap bubur ini, jadi aku mengalah mencari tempat yang nyaman.Dia hanya mengangguk, mungkin saking laparnya. Kuajak dia ke tempat yang agak sepi: sebuah restoran cepat saji. Sekalian aku bisa memesan makanan untuk Vier dan Dini, sembari menunggu ibu hamil ini menyantap Bubur Madura dari cup tinwall-nya.“Kamu ngidam, Sayang?” pura-pura aku be
*Saat pintu lift terbuka, aku bersimpangan dengan seorang wanita bercadar yang menunggu untuk masuk. Langkahku sudah terburu-buru. Aku tak sabar menemui istri dan anakku di unit.Kemarin, Melati sudah mulai membuka suara walau intonasinya masih dingin dan sinis. Hari ini, aku harus mencoba lagi. Pokoknya, aku akan pantang menyerah.Begitu sampai di apartemen, hanya Dini yang kulihat, sedang menemani Vier bermain robot.“Ke mana Melati?” tanyaku pada Dini. Melati tak ada di ruang mana pun.“Baru saja keluar, Pak. Katanya mau cari sesuatu,” Dini memberitahu.Barusan tadi aku bersimpangan dengan wanita bercadar dan memakai topi di lorong. Jangan-jangan… itu dia.“Yang pakai cadar itu?” tanyaku memastikan.“Iya, Pa. Mama bilang biar tidak kepanasan jadi pakai baju besar dan bermasker.” Kali ini Vier yang menyahut, tangannya asyik memainkan robot i-lik-nya. Anak itu pasti sudah menginterogasi mamanya sebelum pergi.Aku mendengus. Wanita itu memang seharusnya diikat saja di ranjang agar ti
*“Laporan tentang pencemaran nama baik Bu Melati sudah masuk ke polisi, Pak. Mungkin prosesnya akan lebih dipercepat,” ujar Pomo.Dia mantan orang kepolisian, punya banyak kenalan dan teman dekat di sana. Pasti urusannya lebih mudah.“Bagus. Terima kasih, Mo,” ujarku pada orang kepercayaanku itu. “Bagaimana dengan kabar video yang katanya akan disebarkan itu?”“Ini masih kita usut, Pak.”"Baik, Mo. Kita bicarakan nanti."Panggilanku kuakhiri, karena orang yang sedang kutunggu datang juga. “Maaf Alicia, kalau aku menganggu waktumu sebentar,” tukasku bangkit memberi hormat pada wanita itu.“Tidak apa, Pak Bian. Papaku kenal baik denganmu. Jadi dia membiarkanku menemuimu.” Alicia langsung duduk setelah kupersilahkan.“Aku bisa kok menemuimu di rumahmu atau di mana yang kau mau aku menemuimu. Kau tidak harus yang datang menemuiku,” ujarku. Aku yang butuh bicara dengannya jadi etikanya akulah yang harus datang.“Jangan segan begitu Pak Bian. dengan kau mau menemuiku sudah membuatku punya
*“Jangan sedih, masih ada harapan. Apalagi Melati hamil. Masa idahnya sampai melahirkan. Selama masa itu, kalau kalian sewaktu-waktu rujuk, keputusan pengadilan agama itu dianggap tidak berlaku lagi,” tutur Om Damar saat malam itu datang ke Surabaya. Sekalian aku minta sarannya.Beruntung beliau tidak banyak tanya kenapa Melati menggugat cerai. Om Damar seorang pria, sama sepertiku. Tidak terlalu ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain, tapi akan selalu siap kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.“Sepi. Tidak ada kabar apa-apa? Tiba-tiba saja kamu bilang sudah cerai,” Om Damar akhirnya menanyakan hal itu. Karena memang mereka sama sekali tidak tahu.“Mungkin pengaruh hormon kehamilannya, Om. Sensitif. Hanya masalah sepele saja langsung dijadikan hal besar,” tukasku. Aku tidak bohong. Alasan yang dijadikan Melati untuk menggugatku adalah karena aku tidak pulang selama tiga hari dan karena cemburu pada kedekatanku dengan Elis.“Bukan hanya hormon kehamilan. Melati juga sedang krisis
“Pak Bian mau apa bawa pistol?” tanya Pomo, panik. Dia bangkit, berusaha menghadang langkahku yang sudah tak bisa dikendalikan.Pomo tahu bagaimana aku. Kalau sudah emosi tak terbendung begini, mati pun aku tidak takut.“Menghabisi pria itu, Mo!”“Pak, jangan gila. Kevin itu tidak sendirian. Dia punya banyak pengawal.”“Aku tidak takut!” bentakku. Kudorong Pomo yang mencoba menahanku dan bergegas keluar mencari mobil.“Kalau begitu, saya ikut!” seru Pomo sambil mengejar.Dia yang menyetir. Kutunjukkan tempat yang mungkin jadi persembunyian Kevin. Tapi aku tahu dia sengaja memperlambat laju mobil, memilih rute yang lebih jauh, memberi waktu agar aku bisa berpikir jernih.“Pikirkan Bu Melati, Pak. Pikirkan Vier. Mereka masih butuh Pak Bian. Banyak
*Kucoba mengaktifkan ponselku dan kulihat beberapa pesan dan panggilan dari Melati yang terbiar terabaikan. Dadaku kembali sesak membayangkan istriku menjerit dalam diam atas semua keputusannya itu.Dia terdesak, dia ditekan, dan diancam. Tapi Melatiku masih memikirkan harga diriku, kepentinganku, juga keselamatan putra kami. Sedangkan aku malah menambahi luka batinnya dengan membuatnya bertambah cemburu atas kedekatanku dengan Elis.Kucoba menghubunginya. Namun tidak ada suara yang tersambung. Sepertinya Melati tidak mengaktifkan ponselnya.“Tadi pagi sidang putusan perceraian, Pak. Aku sendiri yang mengikutinya dari jauh. Bu Melati tampak rapuh dan sembunyi-sembunyi mencari tempat sepi untuk meluapkan kesediahannya dengan menangis.” Pomo bercerita dengan mata memerah.Pomo bisa merasakan bahwa selama ini Melati terbiar tanpa sebuah perlindungan. Dia benar-benar sendi